• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Monogliserida dan Digliserida

Sintesis monogliserida dan digliserida dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah esterifikasi langsung, reaksi gliserolisis dan dapat dilakukan secara enzimatis.

Monogliserida adalah mono ester gliserol dengan asam lemak yang merupakan gliserida sederhana, karena hanya satu gugus hidroksi pada gliserol yang diganti oleh asam lemak. Berdasarkan posisi asam lemak yang diikatnya

monogliserida terdiri dari α-monogliserida dan β-monogliserida. Sedangkan

berdasarkan asam lemak yang diikatnya monogliserida dapat terdiri dari beberapa jenis misalnya gliseril monostearat, gliseril monooleat dan lain-lain. Monogliserida

mudah sekali berisomerisasi yaitu perubahan bentuk dari β-monogliserida menjadi α-

monogliserida. α-monogliserida mudah berubah menjadi β-monogliserida dalam

suasana asam, basa atau panas menjadi bentuk α-monogliserida yang lebih stabil

(Martin, 1953). O OH OH OH O OH C O R C O R ά monogliserida β monogliserida Gambar 2.3 Struktur ά dan β Monogliserida.

Monogliserida sangat banyak ditemukan dalam ekstrak sel dan merupakan monoester asam lemak dari gliserol. Monogliserida pertama kali disintesis pada tahun 1853 dan baru pada tahun 1960 monogliserida dibuat dalam skala industi melalui reaksi gliserolisis trigliserida. Berdasarkan jenis substratnya, pembentukan monogliserida dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu reaksi esterifikasi langsung antara asam lemak dengan gliserol, melalui reaksi transesterifikasi trigliserida dengan

gliserol, melalui transesterifikasi metil ester asam lemak dengan gliserol, melalui reaksi hidrolisis trigliserida atau lemak dan melalui reaksi kondensasi asam lemak dengan gliserol atau dengan senyawa-senyawa turunannya (Awang, 2004).

Monogliserida merupakan komponen yang tersusun oleh satu rantai asam lemak yang diesterifikasi ke rantai gliserol, sehingga monogliserida bagian gugus hidroksil bebas, yang merupakan hidrofilik dan gugus ester asam lemak yang merupakan gugus hidrofobik. Karena sifat afinitas gandanya atau sering disebut amphifilik tersebut, monogliserida dapat digunakan sebagai emulsifier. Monogliserida dengan satu gugus asam lemak dan dua gugus hidroksil bebas pada gliserol membuatnya bersifat seperti lemak dan air (Potter, 1986). Monogliserida dapat disentesis melalui beberapa metode yaitu hidrolisis selektif terhadap trigliserida, esterifikasi asam lemak atau ester asam lemak dengan gliserol dan gliserol dengan lemak /minyak (Bornscheuer, 1995).

Monogliserida dapat diperoleh secara alami dan sintesis. Secara alami monogliserida hanya dalam jumlah kecil saja yaitu hasil hidrolisa lemak atau minyak oleh enzim lipase selama penyimpanan.Dalam industri, monogliserida biasanya dibuat dengan dua cara, yaitu dengan cara gliserolisis (reaksi antara gliserol dengan lemak/minyak) dan reaksi esterifikasi langsung antara asam lemak dengan gliserol. Esterifikasi langsung dapat menggunakan katalis, misalnya NaOH dan dapat juga menggunakan protective group, misalnya asetonasi menggunakan aseton sebagai protective group (Brahmana, 1989).

Digliserida atau diasilgliserida (DAG) adalah ester dari gliserol, dimana dua gugus hidroksil gliserol teresterifikasi oleh asam lemak. Digliserida terdapat secara alami pada beberapa minyak dan lemak dengan jumlah berkisar ± 5%.

Diasilgliserida telah luas digunakan sebagai pengemulsi pada pembuatan makanan. Metode tradisional untuk memproduksi digliserida adalah melalui reaksi interesterifikasi trigliserida dengan gliserol menggunakan katalis alkali seperti natrium/kalium hidroksida, natrium metoksida atau kalium asetat. Diasilgliserida juga dapat disintesis melalui reaksi esterifikasi secara enzimatis menggunakan enzim lipase

(Flickinger dan Matuso, 2005). Sintesis 1,3-diasilgliserida dengan hasil cukup besar menggunakan enzim lipase yang spesifik bekerja pada posisi 1 dan 3 gliserol telah dapat dilakukan. Enzim lipase yang digunakan berasal dari Chromobacterium viscosum, Rhizopus delemar dan Rhizomucor miehei dengan donor aslinya berasal dari asam lemak bebas, alkil ester asam lemak dan vinil ester. Keseluruhan reaksi dilakukan dalam pelarut n-heksan, dietil eter atau t-BuOMe (Maki, et al , 2002)

2.6 Epoksida

Epoksida ialah eter siklik dengan cincin beranggota tiga yang mengandung satu atom oksigen (Hart,2003). Epoksida ini mudah terkena serangan nukleofilik karena elektronegativitas oksigen yang menyebabkan terpolarisasinya ikatan C-O (Bresnick, 2002). Penamaan epoksida disebut dengan oksirana. Senyawa oksida pada sintesa organik merupakan zat antara yang potensial dimanfaatkan untuk beragam bentuk senyawa dengan berbagai keperluan sehingga penelitian tentang epoksidasi baik kondisi reaksi, keberlanjutan hasil reaksi maupun manfaat hasil reaksi terus dikembangkan (Wisewan, 1983).

Epoksidasi terhadap ikatan rangkap adalah salah satu modifikasi kimia terhadap berbagai senyawa yang memiliki ikatan π. Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi dari cincin oksiran epoksida dapat dipakai sebagai zat antara untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia, yakni alkohol, alkanol amin, senyawa karbanil, ester, dan bahan polimer.

Senyawa epoksidasi mengandung gugus oksiran yang dibentuk melalui reaksi epoksidasi antara asam peroksi dengan olefinat atau senyawa aromatik tidak jenuh. Reaksi epoksidasi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pembentukan asam peroksi yang selanjutya digunakan untuk reaksi epoksidasi dan reaksi epoksidasi secara in-situ. Proses epoksidasi yang dilakukan secara in-situ lebih aman jika dibandingkan dengan reaksi epoksidasi melalui pembentukan asam peroksi. Selain itu juga pada reaksi epoksidasi dengan cara tersebut akan dihasilkan dua fase dalam campurannya, yaitu fase air dan fase minyak. Selama reaksi epoksidasi berlangsung

asam peroksi mengoksidasi ikatan rangkap, sehingga terjadi pemutusan ikatan rangkap dan pembentukan gugus oksiran (Nasution, 2006).

Minyak nabati yang memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh merupakan sumber menarik untuk diperbaharui dalam menghasilkan produk baru yang berguna tetapi kereaktifannya perlu ditingkatkan melalui penambahan gugus fungsi kedalam molekul asam lemaknya, dengan demikian dengan berbagai reaksi kimia dan biokimia telah dilakukan berbagai cara pengubahan menjadi produk yang lebih berharga. Sejalan dengan reaksi tersebut, epoksida memegang peranan penting karena minyak maupun ester asam lemak yang terepoksidasi dapat digunakan untuk membuat senyawa-senyawa yang berbeda fungsinya dalam industri seperti plastizer, stabilizer, resin, PVC, polyester, poliuretan, resin epoksi, dan pelapisan permukaan (Carlson dan Chang, 1985).

Metode yang umum digunakan untuk mensintesis epoksida adalah reaksi alkena dengan asam peroksida dan prosesnya dinamakan epoksidasi. Peroksida merupakan sumber elektrofilik oksigen dan bereaksi dengan nukleofilik ikatan dari alkena (Riswiyanto, 2002).

Ada empat teknik yang dapat digunakan untuk menghasilkan epoksida dari molekul olefin, yaitu :

1. Epoksida dengan asam perkarboksilat yang sering digunakan dalam industri dan dapat dipercepat dengan bantuan katalis atau enzim.

2. Epoksida dengan peroksida organik dan anorganik, termasuk epoksidasi alkali dengan hidrogen peroksida nitril dan epoksida yang dikatalisis logam transisi. 3. Epoksida dengan halohidrin, menggunakan asam hipohalogen, dengan garamnya

sebagai reagen dan epoksida olefin dengan defisiensi elektron ikatan rangkap. 4. Epoksida dengan menggunakan molekul oksigen, untuk minyak nabati jarang

digunakan, karena dapat menyebabkan degradasi dari minyak menjadi senyawa yang lebih kecil seperti aldehid dan keton atau asam karboksilat berantai pendek.

Epoksidasi dari minyak nabati merupakan hal yang penting dan sangat berguna terutama dalam hal sebagai stabilisator dan plastisasi bahan polimer. Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi dari cincin oksiran, epoksida juga dapat dipakai untuk berbagai jenis bahan kimia yaitu alkohol, glikol, alkanolamin, senyawa karbonil, senyawa olefin, dan polimer seperti poliester, poliuretan (Goud, et al, 2006)

Adapun reaksinya adalah sebagai berikut :

O O

R – C – OH + H2O2 R – C – O – OH + H2 asam peroksida asam peroksida air

O

karboksilat

O H H O

R – C – O – OH + -- C = C -- -- C – C -- + R – C – OH

H H O

asam peroksida olefin epoksida

Gambar 2.4 Reaksi Epoksidasi Terhadap Gugus Olefin Pada Senyawa Alkena

2.7 Poliol

Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari satu. Dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi maupun aditif. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam, seperti amilum, selulosa, sukrosa dan lignin.

Gugus hidroksi pada senyawa organik dapat meningkatkan sifat hidrofil karena disamping gugus fungsi yang aktif bereaksi dengan berbagai pereaksi untuk menghasilkan senyawa baru, juga dapat berinteraksi baik melalui dipol-dipol yang terbentuk maupun melalui ikatan hidrogen dengan gugus hidrofil dari senyawa lain. Gugus hidroksil yang tidak terikat memberikan sifat hidrofil, sedangkan gugus

hidroksil yang terikat baik sebagai ester, eter dapat mengubah senyawa tersebut menjadi lipofil. Adanya sifat hidrofil dan lipofil menyebabkan senyawa poliol banyak digunakan sebagai surfaktan dalam makanan, kosmetik maupun keperluan farmasi, seperti obat-obatan (Jung, et al, 1998).

Beberapa minyak nabati diupayakan dalam pembuatan poliol dengan memanfaatkan asam lemak tidak jenuh terutama oleat, linoleat maupun linolenat. Seperti halnya pembuatan poliol dari minyak kacang kedelai melalui proses ozonolisis katalitik dan dihasilkan komposisi gliserida yang baru, yang mana komponen utamanya adalah rantai 2-hidroksi nonanoat dari gugus hidroksil yang baru. Senyawa yang terbentuk berupa campuran mono, di dan trigliserida yang memiliki gugus hidroksi.

Kebutuhan poliol yang cukup meningkat dikembangkan dalam industri oleokimia. Pada awalnya telah dimanfaatkan risinoleat dari minyak jarak sebagai sumber poliol dalam bentuk trigliserida yang komposisi utamanya adalah gliserol tririsinoleat. Bahan poliol dari sumber minyak nabati dikembangkan melalui transformasi ikatan π pada asam lemak tidak jenuh, baik sebagai trigliserida maupun bentuk asam lemak dan juga alkil asam lemak, melalui proses kimia seperti ozonolisis, epoksidasi, hidroformulasi dan metathesis (Goud, et al, 2002).

2.8 Katalis

Katalis adalah suatu zat yang mengakibatkan reaksi lebih cepat mencapai kesetimbangan. Katalis berpengaruh untuk mengubah kecepatan konversi (pengubahan) substrat menjadi produk dalam suatu reaksi. Katalis tidak akan mengubah nilai ketetapan kesetimbangan, dan tidak mengalami perubahan apapun. Menurut teori kecepatan reaksi absolute, peranan katalis adalah menurunkan energi aktivasi (Cotton dan Wilkinson, 1989)

Berdasarkan sifat campuran reaksi maka katalis dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Jika katalis dan reaktan-reaktan berada

pada fasa yang sama disebut katalis homogen, dan bila katalis berada pada fasa yang berbeda dari reaktannya dikatakan sebagai katalis heterogen.

Pada pembuatan monogliserida secara gliserolisis, jumlah gliserol yang dicampurkan pada minyak berkisar 25-40% dan ditambah katalis sebesar 0,05-0,2%. Katalis yang banyak digunakan adalah NaOH, tapi disamping itu, dapat juga digunakan KOH (Stirton, 1964)

Pada proses esterifikasi langsung, gliserol direaksikan dengan asam-asam lemak seperti asam oleat, linoleat, stearat, laurat dan lain-lain dalam suasana vakum pada suhu 180°C katalis yang digunakan adalah NaOH. Reaksi terjadi dalam dua tingkatan. Pertama molekul asam lemak menyebar secara acak antara ketiga gugus OH dari gliserol yang menghasilkan trigliserida, dan tingkatan kedua adalah campuran antara gliserolisis dan esterifikasi. Kesetimbangan reaksi dicapai setelah pemanasan berlangsung selama 1-4 jam. Pada akhir kesetimbangan reaksi, baik secara gliserolisis maupun esterifikasi langsung, campuran yang dihasilkan tidak seluruhnya merupakan monogliserida, tetapi terdiri dari campuran digliserida dan trigliserida (Choudhury,1962).

2.9 Emulsifier

Emulsifier adalah bahan yang berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan diantara dua fase yang tidak saling bercampur, sehingga dapat bersatu dan berbentuk emulsi (Dziezak, 1988). Emulsifier biasanya berupa ester yang memiliki gugus hidrofilik dan lipofilik.

Emulsifier terbagi menjadi tiga yaitu emulsifier ionik, nonionik dan ampoterik. Emulsifier ionik ini merupakan emulsifier yang mempunyai muatan yang dibagi menjadi dua bagian yaitu emulsifier kationik dan anionik. Emulsifier ampoterik merupakan emulsifier yang memiliki baik gugus anoin maupun kation sehingga tergantung pada pH. Sedangkan emulsifier nonionik yaitu emulsifier yang tidak memiliki ion serta tidak larut dalam air karena ikatan kovalenya, namun memiliki

segmen lipofilik dan hidrofilik seperti monogliserida dan digliserida. Cara kerja emulsifier ini dengan menurunkan tegangan permukaan antara dua fase kemudian akan menstabilkan produk ( Kamel, 1991).

Emulsifier dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai HLB. Nilai tersebut menunjukkan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilik (menyukai air atau polar) dan gugus lipofilik (menyukai minyak atau non polar) dari dua fase yang diemulsikan. Emulsifier yang mempunyai nilai HLB rendah biasanya diaplikasikan ke dalam produk emulsi water in oil (w/o), sedangkan emulsifier dengan nilai HLB tinggi sering digunakan dalam produk emulsi oil in water.

Klasifikasi emulsifier berdasarkan nilai HLBnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.3 Nilai HLB dan Aplikasinya

Nilai HLB Aplikasi 3-6 Emulsifier w/o 7-9 Wetting agent 8-18 Emulsifier o/w 13-15 Detergen 15-18 Stabilizer Sumber : Becker (1983) 2.10 Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan suatu metode analisis yang didasarkan pemisahan fisik zat organik atau anorganik yang stabil pada pemanasan dan mudah diatsirikan. Pada kromatografi gas sampel diuapkan di dalam gerbang suntik dan selanjutnya mengalami pemisahaan fisik di dalam kolom setelah dielusi dengan gas pembawa yang lembam ( Mulja, 1995). Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya (Khopkar, 2003).

Dikenal dua macam metode kromatografi gas yaitu : 1. Kromatografi Gas Padat (KGP)

Dimana sebagai fase diam adalah butiran-butiran adsorben padat dan fase gerak adalah gas. Mekanisme pemisahan komponen sampel adalah perbedaan sifat fisik adsorbs oleh fase diam. Ada beberapa kelemahan pada KGP yaitu adsorbs fase diam terhadap komponen-komponen sampel bersifat semipermanen terutama terhadap molekul yang aktif atau molekul yang polar. Disamping itu KGP seringkali memberikan bentuk kromatogram yang berekor dan efektivitas pemisahaan komponen sangat dipengaruhi bobot molekul. KGP lebih efektif untuk pemisahaan komponen-komponen dengan massa molekul relatif rendah.

2. Kromatografi Gas Cair (KGC)

Pada KGC sebagai fase gerak adalah gas yang lembam dan fase diam adalah cairan yang disalutkan tipis pada permukaan butiran padat sebagai pendukung. Mekanisme pemisahannya adalah perbedaan partisi komponen-komponen sampel di antara fase gas dan fase cair ( Mulja, 1995).

Kromatografi gas (KG) merupakan metode pilihan untuk pemisahaan dan analisis kuantitatif asam-asam lemak. Untuk meningkatkan volatilitasnya dan untuk meningkatkan efesiensi pemisahan, asam-asam lemak pada umumnya diderivatisasi sebelum dilakukan analisis secara KG. Metilasi merupakan metode derivatisasi yang paling sering digunakan karena sederhana dan biayanya murah. Kolom kapiler lebih dipilih untuk analisis asam-asam lemak ini karena mempunyai kapasitas pemisahaan yang lebih tinggi. Metilasi dilakukan dengan BF3 10 % dalam metanol. Kolom kapiler silica lebur ( CP Sil 88,50 x 0,25 mm i.d; ketebalan lapisan 0,20 mikron) digunakan untuk pemisahaan secara isothermal. Suhu kolom bervariasi antara 155oC – 185oC; suhu lubang injeksi dan suhu detector dipertahankan pada suhu 250oC. Helium digunakan sebagai gas pembawa (tekanan inlet 120 kPa). Urutan retensi metal ester asam lemak tergantung pada suhu kolom (Rohman, 2008).

Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beragam. Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan waktu retensi (waktu

tambat), yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom. Kekurangan alat ini adalah tidak mudah memisahkan campuran dalam jumlah yang besar (Mc Nair, 1988). Waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di kolom disebut waktu tambat, yang diukur mulai saat penyuntikan sampai terjadi elusi (Gritter, 1991).

Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot molekul rendah sampai tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya dengan beberapa metode kromatografi. Sifat- sifat yang harus dimiliki cuplikan agar dapat dipisahkan dengan kromatografi, antara lain :

1. Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)

2. Kecenderungan molekul untuk melarut pada permukaan serbuk halus (adsorpsi)

3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian) (Willet, 1987)

Dokumen terkait