Lampiran F : Data Penentuan Bilangan Iodin dengan Metode Wijs
Sampel Massa Sampel (gr) Volume Titrasi (mL) Bilangan
Iodin
m1 m2 m3 m v1 v2 v3 v
Blanko - - - - 47,47 47,47 47,47 47,47 -
Gliseril Monooleat 0,235 0,235 0,231 0,234 31,8 31,8 32,1 32,90 79,01
Gliseril 9,10
dihidroksi stearat 0,337 0,343 0,336 0,339 39,2 39,4 39,2 39,26 30,74
Perhitungan Bilangan Iodin dengan Metode Wijs
(Vblanko – Vsampel) x N Na2S2O4 Bil.Iodin =
x 12,69
Massa sampel (gr)
1. Senyawa Gliseril Oleat
Bil. Iodin = (47,47 – 31,53) x 0,1 x 12,69 0,256
= 79,01
2. Senyawa Gliseril 9,10 Dihidroksi Stearat
Bil. Iodin = (47,47 – 39,26) x 0,1 x 12,69
0,339
Lampiran G : Data Penentuan Harga HLB dengan Metode Titrasi
Data Penentuan Bilangan Asam
Sampel Massa Sampel (gr) Volume Titrasi (mL) Bilangan
Asam
m1 m2 m3 m v1 v2 v3 v
Gliseril
Monooleat 3,035 3,030 3,032 3,033 10,6 10,7 10,6 10,64 1,968
Gliseril 9,10
dihidroksi
stearat
3,118 3,120 3,118 3,119 14,7 14,8 14,7 14,73 2,649
Data Penentuan Bilangan Penyabunan
Sampel Massa Sampel (gr) Volume Titrasi (mL) Bilangan
Penyabunan
m1 m2 m3 m v1 v2 v3 v
Blanko - - - - 22,70 22,70 22,70 22,70 -
Gliseril
Monooleat 3,030 3,050 3,044 3,041 21,2 21,1 21,2 21,17 2,862
Gliseril 9,10
dihidroksi
stearat
Perhitungan Harga HLB Menggunakan Metode Titrasi
S HLB = 20 1 –
A
1. Senyawa gliseril oleat
2,862 HLB = 20 1 -
1,968
= 9,08
2. Senyawa gliseril 9,10 dihidroksi stearat
4,109 HLB = 20 1 -
2,649
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R., Marvin, W dan Krishnamurthy, R. 1982. Bailey’s Industrial Oil and Fat. Fourth Edition. New York : John Willey and Sons
Austin, T. 1985. Sherve’s Chemistry Process Industries. Fourth edition. New York : Mc. Graw Hill Book Company.
Awang, R. 2004. Synthesis of Monoglyceride from dihidroxystearic acid. Malaysia Journal of Chemistry 6 : hal. 13-19
Becker, P. 1983. Encyclopedia of Emultion Technology. Vol 1 : Basic Theory. New York : Marcel Dekker Inc.
Bornscheuer, U.T. 1995. Lipase-catalyzed synthesis of monoacylglycerol. Enzyme Microbal Technology 17 : hal. 679-686
Brahmana, H. R. 1989. Penentuan Komposisi Asam Lemak Dari Bahan Alam Dengan Cara Kromatografi Gas Terhadap Metil Ester Asam Lemak Dari Minyak Nabati. Medan : Lembaga Penelitian USU V
Braun, R.D. 1987. Introduction to Instrumental Analysis. New York : Mc. Graw Hill Book Company.
Bresnick, S. 2002. Kimia Organik. Jakarta : Erlangga
Carlson, K.D dan Chang S.P. 1985. Chemical epoxidation of naturan unsaturated epoxy seed oil from vernonia galamanensis and a look of epoxy oil market. J.Am.Oil.Chem.Soc 62 : hal. 934-939
Dziezak,D.1988. Emulsifiers: The Interfacial Key To Emulsion Stability. Journal Of Food Techonology
Endo, Y.H., Sanae dan Kenshiro, F. 1997. Autooxidation of synthetic isomers of Triacylglycerol containing eicosapentaenoic acid. J.Am.Oil.Chem.Soc 74(5): hal. 543-548
Fessenden, R.J dan Fessenden, J. 1989. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jilid 2. Jakarta : Erlangga
Gan, L.H., Goh, S.H dan Ooi, K.S. 1992. Kinetics studies of epoxidation and oxirane cleavage of palm olein methyl ester. J.Am.Oil.Chem.Soc 69 : hal. 347-351 Gound, V.V., Pradhan, N.C dan Patwardan A.V. 2006. Epoxidation of karanja oil by H2O2. J.Am.Oil.Chem.Soc 83 : hal. 635
Gunstone, F.D., Harwood, J.L dan Padley, F.B. 1994. The Lipid Handbook. London : Chapman and Hall.
Hart, H. 2003. Kimia Organik. Edisi Kesebelas. Jakarta : Erlangga
Hui, Y.H. 1996. Bailey’s industrial oil and fat products. John Wiley & Sons Inc, Singapore 3
Jung, S., Goulon, M ., Girardin dan Ghoul. 1998. Structure and surface active properties determination of fructose monooleats. Journal of Surfactans and Detergent 1 : hal. 53-57
Kamel, B.S. 1991. “Emulsifiers”. Dalam J. Smith (ed). Food Additive Users’s Handbook. Glasgow : Blackie Academic & Professional.
Ketaren, S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press.
Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press
Kusmiyati. 2008. Reaksi Katalisis Esterifikasi Asam Oleat dan Metanol Menjadi Biodiesel dengan Metode Destilasi Reaktif. Surakarta : Teknik Kimia, Universitas Muhammadiyah. Vol.12 No.2
Manurung, R. 2006. Transesterifikasi Minyak Nabati. Jurnal Teknologi Proses Departemen Teknik Kimia, Teknik USU.
Martin, J.B. 1953. The equilibrium between symmetrical and unsymmetrical monoglycerides and determination of total monoglyceryds.
J.Am.Oil.Chem.Soc 75 : hal. 5483-5486
Mulja, M. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya
Nasution, S. 2006. Pembuatan Senyawa Epoksi dari Metil Ester Asam Lemak Sawit Destilat Menggunakan Katalis Amberlite. Tesis. Medan : FT.Kimia - USU
Noureddini, H dan Medikonduru. 1977. Glycerolysis of fats and methyl esters. J.Am.Oil.Chem.Soc 74(4) : hal. 419-425
Ocha, D. 2009. Studi Alkoksilasi dengan Gliserol Terhadap Hasil Epoksidasi Metil Risinoleat yang Diperoleh dari Minyak Jarak. Skripsi. Medan : F.MIPA, Kimia - USU
Poedjiadi, A. 2006. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta : UI Press.
Richtler, M.J dan Knaut, J. 1984. Challenges to nature industry marketing and economics of oleochemical in western europe . J.Am.Oil.Chem.Soc 61 hal. 16
Riswiyanto. 2002. Kimia Organik. Erlangga : Jakarta
Rohman, A. 2008. Metode Kromatografi untuk Analisis Makanan. Jakarta : Erlangga.
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Organik. Yogyakarta : UGM Press.
Seager, S.L dan Slabough, M.R. 1994. Organic and Biochemistry for Today. Second Edition. New York : West Publishing Company.
Sreenivasan, R. Interesterification of Fats. J.Am.Oil.Chem.Soc 55 : hal. 796-805
Suarti, B. 2008. Pembuatan Shortening yang Mengandung C12 – C18
Gliserolisis Terhadap Campuran Minyak Inti Sawit dan Stearin. Skripsi. Melalui Reaksi
Medan : F.MIPA, Kimia - USU
Tambun, R. 2006. Teknologi Oleokimia. Medan : USU Press
Tarigan, D. 2005. Pembuatan surfaktan dari minyak kemiri melalui reaksi Interesterifikasi diikuti reaksi amidasi. Jurnal Sains Kimia 9(1) : hal. 1-7 Willet, J. 1987. Gas Chromatography. London : ACOL
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
Nama Alat Ukuran Merck
Alat Vakum Fisons
Beaker Glass 100 ml Pyrex
Hotplate stirrer Thermolyne
Kertas Saring
Kondensor Pyrex
Labu leher dua 250 ml Pyrex
Labu takar 250 ml Pyrex
Neraca Analitis Mettler PM 480
Pengaduk magnetic Thermolyne
Rotarievaporator Heidolph
Statif dan Klem
Tabung CaCl2 Pyrex
Tabung Iodine
3.2Bahan
Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
Akuades -
Amilum p.a E’Merck
Asam Formiat 90% p.a E’Merck
Asam Klorida 37% p.a E’Merck
Asam Oksalat (s) p.a E’Merck
Asam Oleat p.a E’Merck
Asam Sitrat (s) p.a E’Merck
Asam Sulfat 98% p.a E’Merck
CaCl2 Anhidrat p.a E’Merck
Dietil eter p.a E’Merck
Gliserol PT SOCI
Hidrogen Peroksida 30% p.a E’Merck
Iodin p.a E’Merck
Kalium Hidroksida (pellet) p.a E’Merck
Kalium Iodida p.a E’Merck
Metanol
n-heksana p.a E’Merck
Natrium Hidroksida (pellet) p.a E’Merck
Natrium Sulfat Anhidrat p.a E’Merck
Natrium Tiosulfat p.a E’Merck
Nitrogen PT Aneka Gas
3.3Prosedur Penelitian
3.3.1 Pembuatan Reagen dan Standarisasi
3.3.1.1Pembuatan Larutan KOH-Alkohol 0,5N
Ditimbang KOH sebanyak 7,0125 gram dan dilarutkan dengan alkohol dalam labu takar 250 mL sampai garis batas dan distandarisasi dengan menggunakan larutan H2C2O4 0,5N dan indikator fenolftalein.
3.3.1.2 Pembuatan Larutan KOH 0,5N
Ditimbang KOH sebanyak 4,5 gram dan dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 250 mL sampai garis batas dan distandarisasi dengan menggunakan larutan H2C2O4 0,5N dan indikator fenolftalein.
3.3.1.3Pembuatan Larutan HCl 0,1N
Diukur sebanyak 2,07 mL larutan HCl 37% lalu diencerkan dengan akuades dalam labu takar 250 mL sampai garis batas dan distandarisasi dengan menggunakan larutan Na2CO3 0,1N.
3.3.1.4Pembuatan Larutan H2C2O4 0,1N
Ditimbang 1,575 gram H2C2O4.2H2O lalu dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan diencerkan dengan akuades sampai garis tanda.
3.3.1.5Pembuatan Larutan Indikator Fenolftalein 1%
3.3.1.6Pembuatan Alkohol Netral
Ke dalam 200 mL alkohol 96% ditambahkan 4 tetes indikator fenolftalein dan ditetesi dengan larutan KOH 0,1N hingga menjadi larutan merah muda.
3.3.1.7Pembuatan Larutan KI 10%
Ditimbang 10 gram Kristal KI, dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 100 ml sampai garis batas.
3.3.1.8Pembuatan Larutan Na2S2O3 0,1N
Ditimbang 6,25 gram Kristal Na2S2O3.5H2O, dilarutkan dengan akuades dan diencerkan dalam labu takar 250 ml sampai garais batas. Distandarisasi dengan larutan K2Cr2O7 0,1N menggunakan indikator amilum mengikuti titrasi secara iodometri.
3.3.1.9Pembuatan Larutan KOH 0,1N
Dipipet 50 ml larutan KOH 0,5N kemudian diencerkan dengan akuades dalam labu takar 250 ml sampai garis batas. Distandarisasi dengan larutan H2C2O4 0,1N menggunakan indikator fenolftalein.
3.3.1.10 Pembuatan Larutan Asam Sitrat 10%
3.3.2 Pembuatan Monogliserida Oleat Campuran
Ke dalam labu leher dua dimasukkan 120 ml gliserol dan 1 gram NaOH pellet. Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2. Kemudian dipanaskan sampai pada suhu 120oC sambil diaduk selanjutnya melalui corong penetes ditesteskan sebanyak 50 ml asam oleat secara perlahan- lahan. Direfluks pada suhu 200oC dalam keadaan vakum dengan gas N2 selama 5 jam. Hasil reaksi didinginkan pada suhu kamar, kemudian dimasukkan kedalam corong pisah dan diekstraksi dengan 75 ml dietil eter. Fase dietil eter ditambahkan dengan larutan asam sitrat 10% sebanyak 20 mL dan dicuci dengan akuades sebanyak 2 kali masing- masing sebanyak 10 ml. Kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotarievaporator. Hasil yang diperoleh dianalisis melalui analisis spektroskopi FT-IR, dilanjutkan analisis KGC, bilangan iodine dan harga HLB.
3.3.3 Pembuatan Senyawa Gliseril 9,10- Dihidroksi Stearat
3.3.4 Prosedur Analisis
3.3.4.1 Analisis Bilangan Penyabunan
Analisis ini dilakukan terhadap monogliserida oleat campuran dan gliseril 9,10-dihidroksi stearat.
Ditimbang ± 0,3 gram sampel dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Ditambahkan 25 mL larutan KOH-alkohol 0,5N kemudian dipanaskan hingga mendidih. Didinginkan dan ditambah 3 tetes indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,1N hingga warna merah muda hilang.
Dicatat volume HCl 0,1N yang terpakai dan dihitung bilangan penyabunan dengan rumus :
(Vblanko – Vsampel) x N HCl x 56,1 Bil.Penyabunan =
Massa sampel (gr)
3.3.4.2 Analisis Bilangan Asam
Analisis ini dilakukan terhadap monogliserida oleat campuran dan gliseril 9,10-dihidroksi stearat.
Ditimbang ± 0,3 gram sampel dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Ditambahkan 10 mL larutan isopropil alkohol. Erlenmeyer tersebut ditutup dengan plastik dan dipanaskan sampai mendidih. Larutan tersebut didinginkan dan ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0,1N sampai terbentuk warna merah muda.
Dicatat volume KOH 0,1N yang terpakai dan dihitung bilangan asam dengan rumus :
V KOH x N KOH x 56,1 Bil.Asam =
3.3.4.3Penentuan Harga HLB
Analisis ini dilakukan terhadap monogliserida oleat campuran dan gliseril 9,10-dihidroksi stearat.
Harga HLB dapat diperoleh dari bilangan asam dan bilangan penyabunan dari senyawa ester dengan menggunakan rumus :
S HLB = 20 1 –
A
Dimana : S = Bilangan penyabunan A = Bilangan asam
3.3.4.4Analisis Bilangan Iodin
Analisis ini dilakukan terhadap monogliserida oleat campuran dan gliseril 9,10-dihidroksi stearat.
Ditimbang sampel sebanyak ± 0,3 gram ke dalam Erlenmeyer 250 ml yang bertutup, lalu ditambahkan 20 ml sikloheksana, kemudian dikocok/diguncang untuk memastikan sampel telah benar-benar larut. Ditambahkan 25 ml larutan Wijs ke dalamnya, kemudian ditutup dan dikocok agar campuran benar-benar bercampur. Disimpan bahan tersebut dalam ruang gelap selama ± 30 menit. Diambil bahan tersebut dari tempat penyimpanan dan ditambahkan 25 ml larutan KI10% dan 150 ml air. Dititrasi dengan larutan Na2S2O4
Dicatat volume Na
0,1N sampai warna kuning hampir hilang (kuning pucat). Ditambahkan 1-2 ml indikator amilum ke dalamnya dan dititrasi kembali sampai warna biru hilang.
2S2O4
(Vblanko – Vsampel) x N Na
0,1N yang terpakai dan dihitung bilangan iodin dengan rumus :
2S2O4 Bil.Iodin =
x 12,69
3.4 Bagan Penelitian
3.4.1 Pembuatan Monogliserida Oleat Campuran
120 mL gliserol
dimasukkan ke dalam labu leher dua
ditambahkan 1 gr NaOH pellet
dirangkai alat refluks dilengkapi dengan tabung CaCl2 anhidrous
dipanaskan sampai suhu 120oC sambil diaduk dengan magnetik stirer
ditambahkan 50 mL asam oleat melalui corong penetes
direfluks kembali pada suhu 200oC dalam keadaan vakum dengan gas N2 selama 5 jam
campuran
didinginkan pada suhu kamar
dimasukkan ke dalam corong pisah
diekstraksi dengan 75 mL dietil eter
lapisan atas lapisan bawah
ditambahkan asam sitrat 10% sebanyak 20 mL
dicuci dengan aquadest sebanyak 2 kali masing-masing 10 mL
lapisan atas lapisan bawah
diuapkan dengan rotarievaporator pada suhu 33oC
hasil destilat
3.4.2 Pembuatan Gliseril 9,10-dihidroksi Stearat
30 mL HCOOH 90%
dimasukkan ke dalam labu leher dua
ditambah 15 mL H2O2 30% setetes demi setetes
ditambahkan 1 mL H2SO4 (p) setets demi setetes melalui corong penetes sambil diaduk
diaduk pada suhu 40-45oC selama 1 jam dirangkai alat refluks dilengkapi dengan tabung CaCl2 anhidrous
ditambahkan 30 mL monogliserida oleat campuran
campuran
diaduk pada suhu 40-45oC selama 2 jam
didiamkan selama 1 malam
lapisan atas
dimasukkan ke dalam corong pisah
lapisan bawah
ditambah 50 mL dietil eter
dicuci dengan 10 mL NaOH 2N
dicuci dengan aquadest sebanyak 2 kali masing-masing 10 mL
lapisan atas lapisan bawah
dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous
disaring
filtrat residu
dirotarievaporasi
hasil
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Pembuatan Monogliserida Oleat Campuran
Esterifikasi asam oleat dengan katalis NaOH, dengan waktu reaksi selama 5 jam dalam temperatur 200°C menghasilkan monogliserida dan digliserida. Hasil analisis melalui Kromatografi Gas Cair detektor FID (Flame Ionization Detector), kolom DB-5HT (15m x 0,25m) dengan gas pembawa He, suhu injektor dan detektor 380°C diperoleh kromatogram (Gambar 4.1) dengan komposisi seperti pada Tabel 4.1
Gambar 4.1 Kromatogram hasil esterifikasi asam oleat dengan katalis NaOH
Tabel 4.1 Persen komposisi hasil reaksi esterifikasi asam oleat dengan katalis NaOH
Komponen Kadar (%)
Gliserol 1,1531
Ester 61,8124
Monogliserida 21,6774
Digliserida 11,972
4.1.2 Pembuatan Senyawa Gliseril 9,10-dihidroksi stearat
Pembuatan senyawa gliseril 9,10 dihidroksi stearat campuran diperoleh melalui epoksidasi monogliserida campuran dengan asam performat yang dilanjutkan dengan hidrolisis. Asam performat yang digunakan diperoleh dari reaksi antara HCOOH 90% dengan H2O2 30% menggunakan katalis H2SO4 (p) yang selanjutnya diikuti penambahan hasil gliserolisis yang direfluks pada suhu 40-45°C. Dalam hal ini, ikatan
π dari monogliserida campuran yang tidak jenuh akan membentuk cincin epoksida dan
Gambar 4.3 Spektrum FT-IR senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pembuatan Monogliserida Oleat Campuran
Esterifikasi terhadap asam oleat dengan menggunakan katalis NaOH pada suhu 200°C menghasilkan campuran monogliserida dan digliserida. Hasil esterifikasi yang dihasilkan dianalisa dengan spektroskopi FT-IR dan dilanjutkan analisis KGC untuk menghitung kadar dari monogliserida dan digliserida yang dihasilkan.
menunjukkan vibrasi stretching =C-H (alkena) yang didukung oleh puncak serapan C=C pada bilangan gelombang 1651 cm-1. Pada bilangan gelombang 2924 cm-1 dan 2854 cm-1 menunjukkan vibrasi stretching C-H sp3 asimetrik dan simetrik untuk -CH2- yang didukung oleh vibrasi bending C-H sp3 pada bilangan gelombang 1458 cm-1 dan 1361 cm-1. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1735 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O dari ester yang didukung oleh puncak serapan C-(C=O)-C pada bilangan gelombang 1172 cm-1. Puncak serapan pada bilangan gelombang 725 cm-1 menunjukkan adanya alkil rantai panjang –(CH2)n dimana (n≥4).
Harga bilangan iodin dari senyawa monogliserida oleat campuran yang diperoleh sebesar 79,01 (lampiran F). Hasil penentuan harga HLB monogliserida oleat campuran adalah sebesar 9,08 (lampiran G)
Adapun reaksi dari pembuatan mono dan digliserida oleat adalah sebagai berikut :
2H3C-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C
Gambar 4.4 Reaksi esterifikasi asam oleat menggunakan katalis NaOH
4.2.2 Pembuatan senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat.
Monogliserida campuran yang diperoleh selanjutnya diepoksidasi dengan asam performat, kemudian dilanjutkan dengan reaksi hidrolisis sehingga dihasilkan senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat.
Asam formiat dan hidrogen peroksida direaksikan membentuk senyawa performat dengan bantuan katalis H2SO4 (p), selanjutnya diikuti penambahan monogliserida oleat campuran dan direfluks pada suhu 40-45°C selama 2 jam. Dalam
Berdasarkan hasil FT-IR terhadap hasil epoksidasi dan hidrolisis dari monogliserida campuran diperoleh spektrum (Gambar 4.3) dengan puncak serapan pada bilangan gelombang 3431 cm-1 yang merupakan serapan khas gugus OH. Pada daerah ini, sebelum diepoksidasi belum ditemui puncak serapan tersebut dan yang ditemui adalah pada daerah 3091 cm-1 (C-H sp2) serta pada daerah 1651 cm-1 (C=C) yang menunjukkan bahwa masing-masing ikatan π pada monogliserida oleat campuran telah dioksidasi dan berubah menjadi bentuk diol. Pada bilangan gelombang 2924 - 2852cm-1 dan menunjukkan serapan khas dari vibrasi stretching C-H sp3 yang didukung oleh puncak vibrasi pada daerah bilangan gelombang 1459 – 1415 cm-1 yang menunjukkan serapan khas dari vibrasi bending C-H sp3. Pada bilangan gelombang 1735 cm-1 menunjukkan serapan khas gugus karbonil (C=O) dan bilangan gelombang pada daerah 1173 cm-1 menunjukkan serapan khas gugus C-O-C yang menunjukkan adanya ester.
Adapun reaksi dari pembuatan gliseril 9,10-dihidroksi stearat adalah sebagai berikut :
Gliseril mono 9,10 dihidroksi stearat
2.
Gliseril di 9,10 dihidroksi stearat
H2O
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran dapat disintesis dari asam oleat melalui reaksi esterifikasi, epoksidasi yang diikuti dengan hidrolisis. 2. Harga HLB dari senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran adalah
sebesar 11,02 dan dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi o/w.
5.2 Saran
1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar memisahkan monogliserida dan digliserida yang diperoleh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oleokimia
Oleokimia merupakan bagian dari ilmu kimia yang mempelajari tentang proses pengolahan asam lemak dan gliserol serta derivatnya, baik yang dihasilkan dari minyak atau lemak maupun hasil sintesis dari produksi etilena dan propilena secara industri petrokimia.
Oleokimia mencakup pengertian sebagai proses pembuatan asam lemak dan turunannya serta proses pengolahannya dari berbagai reaksi sintesis kimia, sehingga menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk kebutuhan manusia (Richtler, et al , 1984).
Oleokimia alami merupakan senyawa kimia yang berasal dari minyak dan lemak tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dengan cara saponifikasi diikuti hidrolisis sehingga menghasilkan asam lemakbebas dan gliserol. Dari asam lemak ini, dapat dibuat turunan asam lemak seperti alkohol asam lemak, amina asam lemak dan lain-lain. Sedangkan oleokimia sintesis berasal dari petrokimia, misalnya pembuatan alkohol asam lemak dari etilena serta gliserol dari propilena (Austin, 1985).
Diagram alir dari oleokimia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Diagram alur Oleokimia
Bahan Dasar
Bahan Dasar Oleokimia Turunan Oleokimia
Minyak/
Asam lemak adalah asam organik yang terdapat sebagai ester trigliserida atau lemak, baik berasal dari hewan maupun tumbuhan. Asam ini adalah asam karboksilat yang mempunyai rantai karbon panjang, dengan rumus umum :
O R – C – OH
leburnya. Apabila dibandingkan dengan asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh mempunyai titik lebur lebih rendah. Asam oleat mempunyai rantai karbon yang sama panjang dengan asam stearat, akan tetapi suhu kamar asam oleat berupa zat cair. Di samping itu, makin banyak jumlah ikatan rangkap, makin rendah titik leburnya. Hal ini tampak pada titik lebur asam linoleat yang lebih rendah dari titik lebur asam oleat (Poedjiadi, 2006).
Asam lemak dapat dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya mempunyai ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan rangkap di antara satu atom-atom penyusunnya (Tambun, 2006).
Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya. Asam lemak tidak jenuh biasanya terdapat dalam bentuk cis, walaupun sebagian kecil dalam bentuk trans. Asam lemak bentuk cis mempunyai titik cair yang lebih rendah dibandingkan dengan bentuk trans dengan panjang rantai yang sama. Panjang rantai karbon juga mempengaruhi titik cair. Pada asam lemak jenuh, titik cair akan semakin meningkat dengan semakin panjangnya rantai karbon. Pada asam lemak tidak jenuh, titik cair akan semakin menurun dengan bertambahnya iakatan rangkap, sehingga asam lemak jenuh mempunyai titik cair yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah atom karbon yang sama. Posisi asam lemak pada molekul trigliserida juga mempengaruhi titik cair minyak dan lemak. Posisi asam lemak yang simetris dalam molekul trigliserida mempunyai titik cair yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi yang tidak simetris (Seager dan Slabough, 1994).
Sifat fisik dan fisiologi asam lemak ditentukan oleh panjang rantai dan derajat ketidakjenuhan. Semakin panjang rantai atom karbon, maka titik cair asam lemak semakin tinggi. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan asam lemak, maka titik cairnya semakin rendah , serta asam lemak yang berstruktur trans mempunyai titik cair yang lebih tinggi daripada yang berstruktur cis (Ketaren, 2006).
Keberadaan ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh menjadikannya memiliki dua bentuk, yaitu cis dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya memiliki bentuk cis. Asam lemak trans hanya diproduksi oleh sisa metabolisme hewan atau dibuat secara sintetis. Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis memiliki rantai yang melengkung. Asam lemak trans karena atom H-nya berseberangan, tidak mengalami efek polarisasi yang kuat dan rantainya tetap relatif lurus (Tambun, 2006).
2.2.1 Asam Oleat
Asam oleat atau asam heptadekana-8,1-karboksilat merupakan penyusun dari lemak-lemak tanaman atau hewan. Asam oleat dapat dipisahkan dari zat tersebut dengan cara hidrolisis. Sebagian asam oleat berada bersama-sama dengan asam stearat dan asam palmitat. Sruktur asam oleat adalah CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH. Asam oleat membentuk cis karena mempunyai titik lebur yang rendah dan mempunyai panas pembakaran yang lebih tinggi (Sastrohamidjojo, 2005).
Asam oleat dapat dihasilkan dari fraksinasi asam lemak yang diperoleh dari proses pengubahan minyak menjadi asam lemak. Dalam hal ini proses yang digunakan adalah proses hidrolisa. Asam Oleat dapat juga dihasilkan dari fraksinasi asam lemak yang diperoleh dari hidrolisis lemak. Dalam industri asam oleat banyak digunakan sebagai surface active, emulsifier, dan dalam produk-produk kosmetika.
Sifat-sifat fisika dan kimia asam oleat adalah sebagai berikut : a. Sifat Kimia :
larut dalam pelarut organik seperti alkohol bersifat hidrolisis
tidak stabil pada suhu kamar Asam lemak bebas 2,5-2,4 % b. Sifat Fisika :
berat molekul : 280,45 (kg/mol) titik leleh : 16,3 0C
titik didih : 285 0C indeks bias : 1,4565
spesifik gravity : 0,917-0,919 (25 0C) densitas : 0,8910 gr/ml
tidak larut dalam air mudah terhidrogenasi
merupakan asam lemak tak jenuh
Penelitian tentang asam oleat telah banyak dikembangkan, misalnya dalam pembuatan bahan bakar alternatif (biodiesel). Asam oleat dikonversi menjadi produk biodiesel di unit reaksi penambahan alkohol dan katalis, kemudian dimurnikan di unit pemisahan (Kusmiyati, 2008).
2.3 Esterifikasi
Esterifikasi adalah suatu reaksi ionik yang merupakan gabungan dari reaksi adisi dan reaksi penataan ulang eliminasi. Esterifikasi juga dapat didefenisikan sebagai reaksi antara asam karboksilat dan alkohol. Esterifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis enzim (lipase) dan asam anorganik (asam sulfat dan asam klorida), dengan berbagai variasi alkohol biasanya methanol, etanol, propanol, 1-butanol, amyl alkohol dan lain-lain. Asam anorganik yang digunakan sebagai katalis akan menyebabkan asam karboksilat mengalami konjugasi, sehingga asam konjugat dari asam karboksilat tersebutlah yang aan berperan sebagai substrat (Ozgulsun, 2008).
Cara lain dalam pembuatan ester adalah dengan melewatkan HCl ke dalam campuran reaksi tersebut dan direfluks. Cara ini dikenal dengan nama metode Fischer-Speier. Esterifikasi tanpa katalis dapat juga dilakukan dengan satu molekul asam karboksilat dan satu pereaksi secara berlebih. Pertambahan hasil juga dipengaruhi oleh dehidrasi yang artinya menarik air yang terbentuk sebagai hasil samping reaksi. Air dapat dipisahkan dengan cara menambahkan pelarut yang bersifat non polar seperti misalnya benzene dan kloroform, sehingga air yang terbentuk akan segera terikat pada pelarut yang digunakan atau dengan menambahkan molecular sieves (Yan, 2001).
Reaksi esterifikasi ini dapat terjadi secara acak ataupun terarah. Secara umum reaksi esterifikasi dapat terjadi secara batch, semi continuously atau continuously. Reaksi ini akan berjalan dengan empat tahapan, yaitu : perlakuan minyak awal, penambahan katalis, terjadi reaksi dan deaktivasi enzim. Reaksi terjadi acak mengikuti hukum kemungkinan hingga komposisi yang terbentuk seimbang. Reaksi ini dapat terjadi pada suhu tinggi ataupun rendah. Secara komersial, reaksi ini berlangsung pada suhu tinggi 249°C tanpa katalis, atau pada suhu rendah dengan penambahan katalis metal alkali. Proses esterifikasi umumnya dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : suhu, lama pengadukan, jenis substrat, konsentrasi katalis dan perbandingan metanol dan asam lemak (Hui,1996).
Tabel 2.2 Kondisi Optimum Katalis Dalam Proses Esterifikasi Kimia.
Katalis untuk
Penggunaan katalis dalam reaksi esterifikasi akan berpengaruh terhadap peningkatan laju reaksi yang terjadi. Katalis yang digunakan dalam reaksi esterifikasi dapat berupa katalis kimia maupun katalis enzimatis. Kedua jenis katalis ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penggunaan katalis kimia saat ini lebih banyak digunakan dikarenakan katalis kimia memiliki kelebihan antara lain mudah penanganannya, harganya yang murah, mudah dipisahkan dan dapat digunakan dalam konsentrasi relatif rendah. Walaupun begitu penggunaan katalis kimia memiliki beberapa kekurangan, antara lain terjadinya variasi produk yang beragam karena gugus asil terdistribusi dengan acak. Selain itu diketahui juga bahwa produk hasil sintesis secara kimiawi memiliki rendemen yang rendah, warna yang gelap dan flavour yang kurang baik (Bornscheuer, 1995).
2.3.1 Ester Asam Lemak
Ester asam lemak di alam terdapat dalam bentuk ester antara gliserol dengan asam lemak ataupun terkadang ada gugus hidroksilnya yang teresterkan tidak dengan asam lemak tetapi denga phospat seperti pada phospolipida. Ester asam lemak sering dimodifikasi baik untuk bahan makanan maupun untuk bahan oleokimia seperti surfaktan, aditif, dan deterjen (Endo, et al, 1997). Ester asam lemak yang paling sederhana adalah ester antara metanol dengan asam lemak yang dikenal luas sebagai metil ester asam lemak pada industri oleokimia. Metil ester asam lemak ini dapat dihasilkan melalui transesterifikasi secara metanolisis terhadap ester asam lemak dengan gliserol (Manurung, 2008).
c. Alkoholisis
O O
R-C-OR’ + R”-OH R-C-OR” + R’-OH
d. Asidolisis
O O O O
R-C-OR’ + R”-C-OH R”-C-OR’ + R-C-OH (Gandhi, 1997)
Ester merupakan turunan dari asam karboksiat, dimana dapat dibentuk melalui reaksi langsung antara suatu asam karboksilat dengan alkohol, yang disebut dengan reaksi esterifikasi (Shreve, 1956)
Yang dikelompokkan sebagai ester asam lemak meliputi :
a. Ester karboksilat tunggal dengan panjang rantai karbon mulai dari C6 sampai C20
b. Ester asam lemak yang hanya mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. .
Ester asam lemak sering dimodifikasi untuk digunakan sebagai bahan makanan, surfaktan, polimer, sintesis, zat aditif, bahan kosmetik dan kebutuhan lain. Metil ester asam lemak yang merupakan bagian dari pada ester asam lemak mono alkohol merupakan zat antara dalam industri oleokimia, di samping dapat digunakan sebagai bahan bakar biodiesel (Ozgul, 1993).
2.4 Gliserol
Gliserol merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas 3 atom karbon. Jadi tiap atom karbon mempunyai gugus-OH. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua, tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserida, digliserida dan trigliserida.
Sifat fisik dari gliserol :
Merupakan cairan tidak berwarna Tidak berbau
Cairan kental dengan rasa yang manis Densitas 1,261
Gliserol dengan bentuk gunting Gliserol dengan bentuk sisir
Gambar 2.2 Struktur Gliserol
2.5 Monogliserida dan Digliserida
Sintesis monogliserida dan digliserida dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah esterifikasi langsung, reaksi gliserolisis dan dapat dilakukan secara enzimatis.
Monogliserida adalah mono ester gliserol dengan asam lemak yang merupakan gliserida sederhana, karena hanya satu gugus hidroksi pada gliserol yang diganti oleh asam lemak. Berdasarkan posisi asam lemak yang diikatnya
monogliserida terdiri dari α-monogliserida dan β-monogliserida. Sedangkan
berdasarkan asam lemak yang diikatnya monogliserida dapat terdiri dari beberapa jenis misalnya gliseril monostearat, gliseril monooleat dan lain-lain. Monogliserida
mudah sekali berisomerisasi yaitu perubahan bentuk dari β-monogliserida menjadi α
-monogliserida. α-monogliserida mudah berubah menjadi β-monogliserida dalam
suasana asam, basa atau panas menjadi bentuk α-monogliserida yang lebih stabil
(Martin, 1953).
Gambar 2.3 Struktur ά dan β Monogliserida.
gliserol, melalui transesterifikasi metil ester asam lemak dengan gliserol, melalui reaksi hidrolisis trigliserida atau lemak dan melalui reaksi kondensasi asam lemak dengan gliserol atau dengan senyawa-senyawa turunannya (Awang, 2004).
Monogliserida merupakan komponen yang tersusun oleh satu rantai asam lemak yang diesterifikasi ke rantai gliserol, sehingga monogliserida bagian gugus hidroksil bebas, yang merupakan hidrofilik dan gugus ester asam lemak yang merupakan gugus hidrofobik. Karena sifat afinitas gandanya atau sering disebut amphifilik tersebut, monogliserida dapat digunakan sebagai emulsifier. Monogliserida dengan satu gugus asam lemak dan dua gugus hidroksil bebas pada gliserol membuatnya bersifat seperti lemak dan air (Potter, 1986). Monogliserida dapat disentesis melalui beberapa metode yaitu hidrolisis selektif terhadap trigliserida, esterifikasi asam lemak atau ester asam lemak dengan gliserol dan gliserol dengan lemak /minyak (Bornscheuer, 1995).
Monogliserida dapat diperoleh secara alami dan sintesis. Secara alami monogliserida hanya dalam jumlah kecil saja yaitu hasil hidrolisa lemak atau minyak oleh enzim lipase selama penyimpanan.Dalam industri, monogliserida biasanya dibuat dengan dua cara, yaitu dengan cara gliserolisis (reaksi antara gliserol dengan lemak/minyak) dan reaksi esterifikasi langsung antara asam lemak dengan gliserol. Esterifikasi langsung dapat menggunakan katalis, misalnya NaOH dan dapat juga menggunakan protective group, misalnya asetonasi menggunakan aseton sebagai protective group (Brahmana, 1989).
Digliserida atau diasilgliserida (DAG) adalah ester dari gliserol, dimana dua gugus hidroksil gliserol teresterifikasi oleh asam lemak. Digliserida terdapat secara alami pada beberapa minyak dan lemak dengan jumlah berkisar ± 5%.
(Flickinger dan Matuso, 2005). Sintesis 1,3-diasilgliserida dengan hasil cukup besar menggunakan enzim lipase yang spesifik bekerja pada posisi 1 dan 3 gliserol telah dapat dilakukan. Enzim lipase yang digunakan berasal dari Chromobacterium viscosum, Rhizopus delemar dan Rhizomucor miehei dengan donor aslinya berasal dari asam lemak bebas, alkil ester asam lemak dan vinil ester. Keseluruhan reaksi dilakukan dalam pelarut n-heksan, dietil eter atau t-BuOMe (Maki, et al , 2002)
2.6 Epoksida
Epoksida ialah eter siklik dengan cincin beranggota tiga yang mengandung satu atom oksigen (Hart,2003). Epoksida ini mudah terkena serangan nukleofilik karena elektronegativitas oksigen yang menyebabkan terpolarisasinya ikatan C-O (Bresnick, 2002). Penamaan epoksida disebut dengan oksirana. Senyawa oksida pada sintesa organik merupakan zat antara yang potensial dimanfaatkan untuk beragam bentuk senyawa dengan berbagai keperluan sehingga penelitian tentang epoksidasi baik kondisi reaksi, keberlanjutan hasil reaksi maupun manfaat hasil reaksi terus dikembangkan (Wisewan, 1983).
Epoksidasi terhadap ikatan rangkap adalah salah satu modifikasi kimia terhadap berbagai senyawa yang memiliki ikatan π. Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi dari cincin oksiran epoksida dapat dipakai sebagai zat antara untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia, yakni alkohol, alkanol amin, senyawa karbanil, ester, dan bahan polimer.
asam peroksi mengoksidasi ikatan rangkap, sehingga terjadi pemutusan ikatan rangkap dan pembentukan gugus oksiran (Nasution, 2006).
Minyak nabati yang memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh merupakan sumber menarik untuk diperbaharui dalam menghasilkan produk baru yang berguna tetapi kereaktifannya perlu ditingkatkan melalui penambahan gugus fungsi kedalam molekul asam lemaknya, dengan demikian dengan berbagai reaksi kimia dan biokimia telah dilakukan berbagai cara pengubahan menjadi produk yang lebih berharga. Sejalan dengan reaksi tersebut, epoksida memegang peranan penting karena minyak maupun ester asam lemak yang terepoksidasi dapat digunakan untuk membuat senyawa-senyawa yang berbeda fungsinya dalam industri seperti plastizer, stabilizer, resin, PVC, polyester, poliuretan, resin epoksi, dan pelapisan permukaan (Carlson dan Chang, 1985).
Metode yang umum digunakan untuk mensintesis epoksida adalah reaksi alkena dengan asam peroksida dan prosesnya dinamakan epoksidasi. Peroksida merupakan sumber elektrofilik oksigen dan bereaksi dengan nukleofilik ikatan dari alkena (Riswiyanto, 2002).
Ada empat teknik yang dapat digunakan untuk menghasilkan epoksida dari molekul olefin, yaitu :
1. Epoksida dengan asam perkarboksilat yang sering digunakan dalam industri dan dapat dipercepat dengan bantuan katalis atau enzim.
2. Epoksida dengan peroksida organik dan anorganik, termasuk epoksidasi alkali dengan hidrogen peroksida nitril dan epoksida yang dikatalisis logam transisi. 3. Epoksida dengan halohidrin, menggunakan asam hipohalogen, dengan garamnya
sebagai reagen dan epoksida olefin dengan defisiensi elektron ikatan rangkap. 4. Epoksida dengan menggunakan molekul oksigen, untuk minyak nabati jarang
Epoksidasi dari minyak nabati merupakan hal yang penting dan sangat berguna terutama dalam hal sebagai stabilisator dan plastisasi bahan polimer. Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi dari cincin oksiran, epoksida juga dapat dipakai untuk berbagai jenis bahan kimia yaitu alkohol, glikol, alkanolamin, senyawa karbonil, senyawa olefin, dan polimer seperti poliester, poliuretan (Goud, et al, 2006)
Adapun reaksinya adalah sebagai berikut :
O O
Gambar 2.4 Reaksi Epoksidasi Terhadap Gugus Olefin Pada Senyawa Alkena
2.7 Poliol
Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari satu. Dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi maupun aditif. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam, seperti amilum, selulosa, sukrosa dan lignin.
hidroksil yang terikat baik sebagai ester, eter dapat mengubah senyawa tersebut menjadi lipofil. Adanya sifat hidrofil dan lipofil menyebabkan senyawa poliol banyak digunakan sebagai surfaktan dalam makanan, kosmetik maupun keperluan farmasi, seperti obat-obatan (Jung, et al, 1998).
Beberapa minyak nabati diupayakan dalam pembuatan poliol dengan memanfaatkan asam lemak tidak jenuh terutama oleat, linoleat maupun linolenat. Seperti halnya pembuatan poliol dari minyak kacang kedelai melalui proses ozonolisis katalitik dan dihasilkan komposisi gliserida yang baru, yang mana komponen utamanya adalah rantai 2-hidroksi nonanoat dari gugus hidroksil yang baru. Senyawa yang terbentuk berupa campuran mono, di dan trigliserida yang memiliki gugus hidroksi.
Kebutuhan poliol yang cukup meningkat dikembangkan dalam industri oleokimia. Pada awalnya telah dimanfaatkan risinoleat dari minyak jarak sebagai sumber poliol dalam bentuk trigliserida yang komposisi utamanya adalah gliserol tririsinoleat. Bahan poliol dari sumber minyak nabati dikembangkan melalui transformasi ikatan π pada asam lemak tidak jenuh, baik sebagai trigliserida maupun bentuk asam lemak dan juga alkil asam lemak, melalui proses kimia seperti ozonolisis, epoksidasi, hidroformulasi dan metathesis (Goud, et al, 2002).
2.8 Katalis
Katalis adalah suatu zat yang mengakibatkan reaksi lebih cepat mencapai kesetimbangan. Katalis berpengaruh untuk mengubah kecepatan konversi (pengubahan) substrat menjadi produk dalam suatu reaksi. Katalis tidak akan mengubah nilai ketetapan kesetimbangan, dan tidak mengalami perubahan apapun. Menurut teori kecepatan reaksi absolute, peranan katalis adalah menurunkan energi aktivasi (Cotton dan Wilkinson, 1989)
pada fasa yang sama disebut katalis homogen, dan bila katalis berada pada fasa yang berbeda dari reaktannya dikatakan sebagai katalis heterogen.
Pada pembuatan monogliserida secara gliserolisis, jumlah gliserol yang dicampurkan pada minyak berkisar 25-40% dan ditambah katalis sebesar 0,05-0,2%. Katalis yang banyak digunakan adalah NaOH, tapi disamping itu, dapat juga digunakan KOH (Stirton, 1964)
Pada proses esterifikasi langsung, gliserol direaksikan dengan asam-asam lemak seperti asam oleat, linoleat, stearat, laurat dan lain-lain dalam suasana vakum pada suhu 180°C katalis yang digunakan adalah NaOH. Reaksi terjadi dalam dua tingkatan. Pertama molekul asam lemak menyebar secara acak antara ketiga gugus OH dari gliserol yang menghasilkan trigliserida, dan tingkatan kedua adalah campuran antara gliserolisis dan esterifikasi. Kesetimbangan reaksi dicapai setelah pemanasan berlangsung selama 1-4 jam. Pada akhir kesetimbangan reaksi, baik secara gliserolisis maupun esterifikasi langsung, campuran yang dihasilkan tidak seluruhnya merupakan monogliserida, tetapi terdiri dari campuran digliserida dan trigliserida (Choudhury,1962).
2.9 Emulsifier
Emulsifier adalah bahan yang berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan diantara dua fase yang tidak saling bercampur, sehingga dapat bersatu dan berbentuk emulsi (Dziezak, 1988). Emulsifier biasanya berupa ester yang memiliki gugus hidrofilik dan lipofilik.
segmen lipofilik dan hidrofilik seperti monogliserida dan digliserida. Cara kerja emulsifier ini dengan menurunkan tegangan permukaan antara dua fase kemudian akan menstabilkan produk ( Kamel, 1991).
Emulsifier dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai HLB. Nilai tersebut menunjukkan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilik (menyukai air atau polar) dan gugus lipofilik (menyukai minyak atau non polar) dari dua fase yang diemulsikan. Emulsifier yang mempunyai nilai HLB rendah biasanya diaplikasikan ke dalam produk emulsi water in oil (w/o), sedangkan emulsifier dengan nilai HLB tinggi sering digunakan dalam produk emulsi oil in water.
Klasifikasi emulsifier berdasarkan nilai HLBnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.3 Nilai HLB dan Aplikasinya
Nilai HLB Aplikasi
3-6 Emulsifier w/o
7-9 Wetting agent
8-18 Emulsifier o/w
13-15 Detergen
15-18 Stabilizer
Sumber : Becker (1983)
2.10 Kromatografi Gas
Dikenal dua macam metode kromatografi gas yaitu : 1. Kromatografi Gas Padat (KGP)
Dimana sebagai fase diam adalah butiran-butiran adsorben padat dan fase gerak adalah gas. Mekanisme pemisahan komponen sampel adalah perbedaan sifat fisik adsorbs oleh fase diam. Ada beberapa kelemahan pada KGP yaitu adsorbs fase diam terhadap komponen-komponen sampel bersifat semipermanen terutama terhadap molekul yang aktif atau molekul yang polar. Disamping itu KGP seringkali memberikan bentuk kromatogram yang berekor dan efektivitas pemisahaan komponen sangat dipengaruhi bobot molekul. KGP lebih efektif untuk pemisahaan komponen-komponen dengan massa molekul relatif rendah.
2. Kromatografi Gas Cair (KGC)
Pada KGC sebagai fase gerak adalah gas yang lembam dan fase diam adalah cairan yang disalutkan tipis pada permukaan butiran padat sebagai pendukung. Mekanisme pemisahannya adalah perbedaan partisi komponen-komponen sampel di antara fase gas dan fase cair ( Mulja, 1995).
Kromatografi gas (KG) merupakan metode pilihan untuk pemisahaan dan analisis kuantitatif asam-asam lemak. Untuk meningkatkan volatilitasnya dan untuk meningkatkan efesiensi pemisahan, asam-asam lemak pada umumnya diderivatisasi sebelum dilakukan analisis secara KG. Metilasi merupakan metode derivatisasi yang paling sering digunakan karena sederhana dan biayanya murah. Kolom kapiler lebih dipilih untuk analisis asam-asam lemak ini karena mempunyai kapasitas pemisahaan yang lebih tinggi. Metilasi dilakukan dengan BF3 10 % dalam metanol. Kolom kapiler silica lebur ( CP Sil 88,50 x 0,25 mm i.d; ketebalan lapisan 0,20 mikron) digunakan untuk pemisahaan secara isothermal. Suhu kolom bervariasi antara 155oC – 185oC; suhu lubang injeksi dan suhu detector dipertahankan pada suhu 250oC. Helium digunakan sebagai gas pembawa (tekanan inlet 120 kPa). Urutan retensi metal ester asam lemak tergantung pada suhu kolom (Rohman, 2008).
tambat), yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom. Kekurangan alat ini adalah tidak mudah memisahkan campuran dalam jumlah yang besar (Mc Nair, 1988). Waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di kolom disebut waktu tambat, yang diukur mulai saat penyuntikan sampai terjadi elusi (Gritter, 1991).
Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot molekul rendah sampai tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya dengan beberapa metode kromatografi. Sifat- sifat yang harus dimiliki cuplikan agar dapat dipisahkan dengan kromatografi, antara lain :
1. Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
2. Kecenderungan molekul untuk melarut pada permukaan serbuk halus (adsorpsi)
3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian) (Willet, 1987)
2.11 Spektroskopi Inframerah
Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah vibrasi molekul yang dideteksi dan diukur pada spektrofotometer inframerah. Spektra di daerah merah dapat dipergunakan untik mempelajari sifat-sifat bahan. Perubahan struktur yang sedikit saja, dapat memberikan perubahan yang dapat diamati pada spektogram panjang gelombang vs transmitansi. Perubahan ini sangat spesifik dan merupakan sidik jari suatu molekul, dengan membandingkan spektogram yang dihasilkan oleh bahan yang diuji terhadap bahan yang sudah diketahui secara kualitatif.
Spektra inframerah biasanya merupakan spektrofotometer berkas ganda dan terdiri dari empat bagian utama, yaitu sumber cahaya, monokromator, kisi difraksi dan detektor.
1. Sumber cahaya
Sumber cahaya berfungsi untuk memberikan panjang gelombang yang dibutuhkan untuk analisa. Berbagai tipe sumber inframerah digunakan sesuai dengan kebutuhannya.
2. Monokromator
Monokromator berfungsi untuk mengurangi spektrum sinar menjadi berbagai spektra sesuai dengan urutan panjang gelombang yang dianalisa, yang diperoleh melalui sebuah slit (celah) panjang gelombang.
3. Sampel ditempatkan pada sebuah sel yang dibuat khusus. Syarat umum dari sel untuk sampel ini adalah transparan terhadap panjang gelombang yang
digunakan. Berarti sel untuk inframerah harus transparan terhadap sinar inframerah. Umumnya sel ini terbuat dari NaCl yang memiliki sifat kekerasan yang mudah larut dalam air.
4. Detektor
Detektor yang digunakan juga bermacam-macam sesuai dengan tipe
instrumennya. Untuk spektrofotometer infra double beam, data pengukuran transmitans dari sampel diolah dan ditampilkan dalam bentuk spektogram (grafik) yang menggambarkan hubungan antara frekuensi dan persen (%) transmitans. Spektogram ini berguna untuk identifikasi secara kualitatif. Alat-alat yang modernkebanyakan menggunakan detektor “thermopile”. Dasar kerja thermopile adalah sebagai berikut : Jika 2 kawat logam yang berbeda
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Monogliserida dan digliserida mempunyai sifat hidrofilik karena gugus hidroksil bebas yang dimilikinya dan bersifat hidrofobik karena adanya residu asam lemak. Monogliserida dan digliserida larut parsial dalam air dan dalam lemak, sehingga monogliserida dan digliserida merupakan zat pengemulsi yang baik. Monogliserida dan digliserida biasanya ditambahkan sebagai shorterning dan pengelmulsi dalam beberapa produk makanan (Potter, 1986).
Untuk memperoleh senyawa monogliserida telah dilakukan melalui reaksi gliserolisis terhadap lemak maupun metil ester asam lemak, baik secara kimiawi maupun secara enzimatis. Suarti (2008) telah membuat senyawa monogliserida melalui reaksi gliserolisis campuran minyak inti sawit dan stearin untuk pembuatan shortening dengan menggunakan katalis natrium metoksida.
Noureddini (2004) mengatakan bahwa monogliserida dan digliserida dapat dibuat dari semua senyawa gliserida baik yang berasal dari lemak maupun minyak. Senyawa gliserida tersebut direaksikan dengan gliserol dan menggunakan katalis natrium / kalium gliserolat yang dibuat dari NaOH / KOH dan gliserol. Reaksi dilakukan pada suhu 220-250oC dalam tekanan atmosfir.
minyak nabati yang memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh tinggi (Goud,et al, 2006).
Salah satu produk epoksida yang dapat dihasilkan menggunakan minyak nabati sebagai bahan bakunya adalah senyawa polihidroksi trigliserida. Polihidroksi trigliserida merupakan senyawa turunan dari minyak atau lemak yang memiliki gugus hidroksil lebih dari dua. Senyawa polihidroksi trigliserida ini banyak digunakan sebagai bahan pembuatan poliuretan, bahan aditif untuk plastik, pelumas, surfaktan dan lain-lain sehingga kebutuhan akan senyawa ini menjadi sangat tinggi.
Senyawa polihidroksi trigliserida ini dihasilkan melalui reaksi hidroksilasi. Reaksi hidroksilasi meliputi dua tahap reaksi, yaitu reaksi epoksidasi pembentukan cincin epoksida (oksiran) dan diikuti reaksi pembentukan cincin oksiran. Senyawa trigliserida tidak jenuh yang terkandung dalam minyak nabati ini diepoksidasi menggunakan asam peroksi, yang terbuat dari asam karboksilat dan hidrogen peroksida (Gan, 1992).
Adanya ikatan π pada senyawa organik seperti halnya asam lemak tidak jenuh
melalui reaksi epoksidasi dilanjutkan dengan hidrolisis akan menghasilkan senyawa poliol (Fessenden,,R.J,1994).
Ikatan π pada metil resinoleat dari minyak jarak juga telah berhasil
diepoksidasi dan dilanjutkan dengan alkoksilasi untuk menghasilkan senyawa metil [9-(2,3-dihidroksipropoksi)-10,12-dihidroksioktadekanoat] (Ocha,2009).
1.2 Permasalahan
1. Apakah senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran dapat dihasilkan melalui hidrolisis terhadap epoksida dari monogliserida oleat campuran.
2. Berapakah nilai HLB dari hasil yang diperoleh.
1.3 Pembatasan Masalah
Permasalahan dibatasi pada :
1. Monogliserida oleat campuran yang digunakan diperoleh melalui reaksi esterifikasi antara asam oleat dengan gliserol menggunakan katalis NaOH. 2. Epoksidasi terhadap monogliserida campuran dilakukan dengan menggunakan
asam performat dan katalis H2SO4
3. Analisis hasil dilakukan dengan menggunakan GC, IR, Bilangan Iodin dan HLB
(p).
4. Penentuan harga HLB dilakukan dengan metode titrasi dengan menentukan harga bilangan asam dan bilangan penyabunan.
5. Penentuan harga bilangan iodin dilakukan dengan metode Wijs.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk menghasilkan senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran melalui hidrolisis senyawa epoksida dari monogliserida oleat campuran.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi salah satu pemanfaatan asam oleat bagi industri oleokimia dalam menghasilkan gliseril 9,10-dihidroksi stearat sebagai bahan untuk surfaktan.
1.6 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik F.MIPA-USU Medan, analisa kandungan gliserida dengan kromatografi gas dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), analisa FT-IR dilakukan di Laboratorium Bea Cukai Belawan dan analisa bilangan iodin dilakukan di salah satu laboratorium kimia Perusahaan Swasta di Medan.
1.7 Metodologi Penelitian
ABSTRAK
ABSTRACT
SINTESIS GLISERIL 9,10-DIHIDROKSI STEARAT DARI MONO
GLISERIDA OLEAT CAMPURAN YANG DIPEROLEH
MELALUI REAKSI ESTERIFIKASI DENGAN
MENGGUNAKAN KATALIS NaOH
SKRIPSI
DEWI PRATIWI
070802036
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SINTESIS GLISERIL 9,10-DIHIDROKSI STEARAT DARI MONO
GLISERIDA OLEAT CAMPURAN YANG DIPEROLEH
MELALUI REAKSI ESTERIFIKASI DENGAN
MENGGUNAKAN KATALIS NaOH
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
DEWI PRATIWI
070802036
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : SINTESIS GLISERIL 9,10-DIHIDROKSI STEARAT DARI MONOGLISERIDA OLEAT CAMPURAN YANG DIPEROLEH MELALUI REAKSI
ESTERIFIKASI DENGAN MENGGUNAKAN KATALIS NaOH
Kategori : SKRIPSI
Nama : DEWI PRATIWI
No Induk Mahasiswa : 070802036
Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA
Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di
Medan, Januari 2013
Komisi Pembimbing :
Pembimbing II, Pembimbing I,
Drs. Darwis Surbakti, MS
NIP. 195307071983031001 NIP. 195307041980031002 Dr. Adil Ginting, M.Sc
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Kimia F.MIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
SINTESIS GLISERIL 9,10-DIHIDROKSI STEARAT DARI
MONOGLISERIDA OLEAT CAMPURAN YANG DIPEROLEH MELALUI REAKSI ESTERIFIKASI DENGAN MENGGUNAKAN KATALIS NaOH
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Januari 2013
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan penyertaanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini sesuai dengan rencana dan kehendakNya. Banyak hal sebagai pembelajaran dan pembentukan diri yang penulis rasakan setiap waktu, sehingga semakin melihat dan merasakan kebaikan dan kebesaranNya.
Dengan rasa hormat penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Adil Ginting, M.Sc selaku pembimbing I serta bapak Drs. Darwis Surbakti, MS selaku pembimbing II yang telah memberikan arahan serta dukungan selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terimakasih kepada ibu Dr. Rumondang Bulan, MS dan bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku ketua dan sekretaris Departemen Kimia FMIPA-USU Medan. Kepada seluruh staf ahli Laboratorium Kimia Organik/Proses Kimia F.MIPA USU, bapak Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc , bapak Dr. Mimpin Ginting, MS , ibu Dra. Herlince Sihotang, M.Si , ibu Dr. Juliati Tarigan, M.Si , ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra, M.Si dan ibu Helmina Sembiring M.Si yang telah banyak membantu dan memberikan arahan selama melakukan penelitian, serta kepada seluruh staf dan dosen FMIPA-USU yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda dan ibunda tercinta, Drs. Lasman Purba dan Erli Kristina br Ginting yang selalu memberikan dukungan doa, kasih sayang dan materil, kepada adik tersayang Theo Sam Joseph Purba dan kepada yang terkasih Roy Marananndo atas dukungan dan perhatiannya. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih untuk para sahabat, Silorida br Tarigan, Stephanus Pasaribu, Ira Flora Purba, Bahtiar Lubis, Cristy Halomoan, Nova Maria, William Singarimbun, Pahala Simbolon, Sarwedi Situngkir dan Best Avesta yang selalu memberikan bantuan dan semangat, juga kepada seluruh asisten Laboratorium Kimia Organik : Samuel, Deny, Sion, Mutiara, Bayu, Egi, Rimenda, Despita, Naomi, Sophia, Dian dan Yabes, serta kepada seluruh teman seangkatan 2007 dan adik-adik stambuk 2008, 2009 dan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penelitian dan kemajuan Ilmu Pengetahuan Alam demi pengembangan Bangsa dan Negara.
Medan, Januari 2013 Penulis
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
1.2. Permasalahan 3
1.3. Pembatasan Masalah 3
1.4. Tujuan Penelitian 3
1.5. Manfaat Penelitian 3
1.6. Lokasi Penelitian 4
1.7. Metodologi Penelitian 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Oleokimia 5
2.2. Asam Lemak 6
2.2.1 Asam Oleat 8
2.3. Esterifikasi 10
2.3.1Ester Asam Lemak 12
2.4. Gliserol 14
2.5. Monogliserida dan Digliserida 15
2.6. Epoksida 17
2.7. Poliol 19
2.8. Katalis 20
2.9. Emulsifier 21
2.10. Kromatograsi Gas 22
2.11. Spektroskopi Inframerah 24
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Alat 26
3.2. Bahan 27
3.3. Prosedur Penelitian 28
3.3.1.1 Pembuatan Larutan KOH-Alkohol 0,5N 28 3.3.1.2 Pembuatan Larutan KOH 0,5N 28 3.3.1.3 Pembuatan Larutan HCl 0,1N 28 3.3.1.4 Pembuatan Larutan H2C2O4
3.3.1.5 Pembuatan Larutan Indikator Fenolptalein 1% 28
0,1N 28
3.3.1.6 Pembuatan Alkohol Netral 29
3.3.1.7 Pembuatan Larutan KI 10% 29
3.3.1.8 Pembuatan Larutan Na2S2O3
3.3.1.9 Pembuatan Larutan KOH 0,1N 29
0,1N 29
3.3.1.4 Pembuatan Larutan Asam Sitrat 10% 29 3.3.2. Pembuatan Monogliserida oleat campuran 30 3.3.3. Pembuatan Gliseril 9,10 dihidroksi stearat 30
3.3.4. Prosedur Analisis 31
3.3.4.1 Analisis Bilangan Penyabunan 31
3.3.4.2 Analisis Bilangan Asam 31
3.3.4.3 Penentuan Harga HLB 32
3.3.4.4 Analisis Bilangan Iodin 32
3.4. Bagan Penelitian 33
3.4.1. Pembuatan Monogliserida oleat campuran 33 3.4.2. Pembuatan Gliseril 9,10 dihidroksi stearat 34
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 35
4.1.1. Pembuatan Monogliserida oleat campuran 35 4.1.2. Pembuatan Gliseril 9,10 dihidroksi stearat 37
4.2. Pembahasan 38
4.2.1. Pembuatan Monogliserida oleat campuran 38 4.2.2. Pembuatan Gliseril 9,10 dihidroksi stearat 40
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 42
5.2. Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 43
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Diagram alur oleokimia 6
Tabel 2.2. Kondisi optimum katalis dalam proses esterifikasi kimia 11
Tabel 2.3. Nilai HLB dan aplikasinya 22
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur trans dan cis asam oleat 8
Gambar 2.2 Struktur gliserol 14
Gambar 2.3 Struktur ά dan β monogliserida 15 Gambar 2.4 Reaksi epoksidasi terhadap gugus olein pada senyawa alkena 19 Gambar 4.1. Kromatogram hasil esterifikasi asam oleat dengan katalis 36
NaOH
Gambar 4.2. Spektrum FT-IR hasil esterifikasi asam oleat dengan katalis 36 NaOH
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A. Standar Kromatografi Total 49 Lampiran B. Kromatogram hasil esterifikasi asam oleat
menggunakan katalis NaOH 50
Lampiran C. Spektrum FT-IR Asam Oleat 51 Lampiran D. Spektrum FT-IR hasil esterifikasi asam oleat
menggunakan Katalis NaOH 52
Lampiran F. Spektrum FT-IR hasil epoksidasi dan hidrolisis
monogliserida campuran 53