BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oleokimia
Oleokimia merupakan bagian dari ilmu kimia yang mempelajari tentang proses
pengolahan asam lemak dan gliserol serta derivatnya, baik yang dihasilkan dari
minyak atau lemak maupun hasil sintesis dari produksi etilena dan propilena secara
industri petrokimia.
Oleokimia mencakup pengertian sebagai proses pembuatan asam lemak dan
turunannya serta proses pengolahannya dari berbagai reaksi sintesis kimia, sehingga
menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk kebutuhan manusia (Richtler, et al
, 1984).
Oleokimia alami merupakan senyawa kimia yang berasal dari minyak dan
lemak tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dengan cara saponifikasi diikuti hidrolisis
sehingga menghasilkan asam lemakbebas dan gliserol. Dari asam lemak ini, dapat
dibuat turunan asam lemak seperti alkohol asam lemak, amina asam lemak dan
lain-lain. Sedangkan oleokimia sintesis berasal dari petrokimia, misalnya pembuatan
alkohol asam lemak dari etilena serta gliserol dari propilena (Austin, 1985).
Bahan oleokimia yang dihasilkan dari produk petrokimia yang diolah dari
hasil minyak bumi dan gas alam merupakan bahan yang tidak dapat diperbaharui,
sehingga diperkirakan tidak dapat bersaing dengan bahan yang berasal dari hasil
pertanian yang dapat diperbaharui. Hingga saat ini, umumnya sebagian produk
oleokimia digunakan sebagai surfaktan pada produk-produk kosmetika, obat-obatan,
Diagram alir dari oleokimia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Diagram alur Oleokimia
Bahan Dasar
Bahan Dasar Oleokimia Turunan Oleokimia
Minyak/
Asam lemak adalah asam organik yang terdapat sebagai ester trigliserida
atau lemak, baik berasal dari hewan maupun tumbuhan. Asam ini adalah asam
karboksilat yang mempunyai rantai karbon panjang, dengan rumus umum :
O
R – C – OH
dimana R adalah rantai rantai karbon yang jenuh atau yang tidak jenuh, dan terdiri atas
4 sampai 24 buah atom karbon. Rantai karbon yang jenuh ialah rantai karbon yang
tidak mengandung ikatan rangkap, sedangkan yang mengandung ikatan rangkap
leburnya. Apabila dibandingkan dengan asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh
mempunyai titik lebur lebih rendah. Asam oleat mempunyai rantai karbon yang sama
panjang dengan asam stearat, akan tetapi suhu kamar asam oleat berupa zat cair. Di
samping itu, makin banyak jumlah ikatan rangkap, makin rendah titik leburnya. Hal
ini tampak pada titik lebur asam linoleat yang lebih rendah dari titik lebur asam oleat
(Poedjiadi, 2006).
Asam lemak dapat dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak
jenuh. Asam lemak jenuh hanya mempunyai ikatan tunggal di antara atom-atom
karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu
ikatan rangkap di antara satu atom-atom penyusunnya (Tambun, 2006).
Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan
rangkapnya dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul
keseluruhannya. Asam lemak tidak jenuh biasanya terdapat dalam bentuk cis,
walaupun sebagian kecil dalam bentuk trans. Asam lemak bentuk cis mempunyai titik
cair yang lebih rendah dibandingkan dengan bentuk trans dengan panjang rantai yang
sama. Panjang rantai karbon juga mempengaruhi titik cair. Pada asam lemak jenuh,
titik cair akan semakin meningkat dengan semakin panjangnya rantai karbon. Pada
asam lemak tidak jenuh, titik cair akan semakin menurun dengan bertambahnya
iakatan rangkap, sehingga asam lemak jenuh mempunyai titik cair yang lebih tinggi
dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah atom karbon yang sama.
Posisi asam lemak pada molekul trigliserida juga mempengaruhi titik cair minyak dan
lemak. Posisi asam lemak yang simetris dalam molekul trigliserida mempunyai titik
cair yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi yang tidak simetris (Seager dan
Slabough, 1994).
Asam lemak dengan jumlah atom C lebih dari 12 tidak larut dalam air dingin
maupun air panas, tetapi dengan jumlah rantai atom karbon yang pendek bersifat larut
dalam air. Demikian juga sifat kelarutan garam dari asam lemak yang mempunyai
berat molekul rendah dan tak jenuh lebih mudah larut dalam alkohol dari pada garam
Sifat fisik dan fisiologi asam lemak ditentukan oleh panjang rantai dan
derajat ketidakjenuhan. Semakin panjang rantai atom karbon, maka titik cair asam
lemak semakin tinggi. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan asam lemak, maka titik
cairnya semakin rendah , serta asam lemak yang berstruktur trans mempunyai titik cair
yang lebih tinggi daripada yang berstruktur cis (Ketaren, 2006).
Keberadaan ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh menjadikannya
memiliki dua bentuk, yaitu cis dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya
memiliki bentuk cis. Asam lemak trans hanya diproduksi oleh sisa metabolisme
hewan atau dibuat secara sintetis. Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis memiliki
rantai yang melengkung. Asam lemak trans karena atom H-nya berseberangan, tidak
mengalami efek polarisasi yang kuat dan rantainya tetap relatif lurus (Tambun, 2006).
2.2.1 Asam Oleat
Asam oleat atau asam heptadekana-8,1-karboksilat merupakan penyusun dari
lemak-lemak tanaman atau hewan. Asam oleat dapat dipisahkan dari zat tersebut dengan cara
hidrolisis. Sebagian asam oleat berada bersama-sama dengan asam stearat dan asam
palmitat. Sruktur asam oleat adalah CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH. Asam oleat
membentuk cis karena mempunyai titik lebur yang rendah dan mempunyai panas
pembakaran yang lebih tinggi (Sastrohamidjojo, 2005).
Asam oleat dapat dihasilkan dari fraksinasi asam lemak yang diperoleh dari
proses pengubahan minyak menjadi asam lemak. Dalam hal ini proses yang digunakan
adalah proses hidrolisa. Asam Oleat dapat juga dihasilkan dari fraksinasi asam lemak
yang diperoleh dari hidrolisis lemak. Dalam industri asam oleat banyak digunakan
sebagai surface active, emulsifier, dan dalam produk-produk kosmetika.
Sifat-sifat fisika dan kimia asam oleat adalah sebagai berikut :
a. Sifat Kimia :
larut dalam pelarut organik seperti alkohol
bersifat hidrolisis
tidak stabil pada suhu kamar
Asam lemak bebas 2,5-2,4 %
b. Sifat Fisika :
berat molekul : 280,45 (kg/mol)
titik leleh : 16,3 0C
titik didih : 285 0C
indeks bias : 1,4565
spesifik gravity : 0,917-0,919 (25 0C)
densitas : 0,8910 gr/ml
tidak larut dalam air
mudah terhidrogenasi
merupakan asam lemak tak jenuh
Asam oleat, asam linoleat dan linolenat biasanya terdapat bersama dengan
asam lemak lain seperti asam laurat, asam miristat, asam palmitat, asam stearat dan
asam lemak lainnya. Asam lemak tidak jenuh tersebut dapat diubah ke berbagai
bentuk turunannya antara lain dalam pembentukan ester asam lemak dengan poliol
seperti sorbitol, manitol dan sebagainya untuk membentuk surfaktan. Ester asam
lemak dengan poliol tersebut memiliki sifat surfaktan karena disamping memiliki
gugus ester juga masih memiliki gugus hidroksil sehingga terjadi keseimbangan antara
Penelitian tentang asam oleat telah banyak dikembangkan, misalnya dalam
pembuatan bahan bakar alternatif (biodiesel). Asam oleat dikonversi menjadi produk
biodiesel di unit reaksi penambahan alkohol dan katalis, kemudian dimurnikan di unit
pemisahan (Kusmiyati, 2008).
2.3 Esterifikasi
Esterifikasi adalah suatu reaksi ionik yang merupakan gabungan dari reaksi adisi dan
reaksi penataan ulang eliminasi. Esterifikasi juga dapat didefenisikan sebagai reaksi
antara asam karboksilat dan alkohol. Esterifikasi dapat dilakukan dengan
menggunakan katalis enzim (lipase) dan asam anorganik (asam sulfat dan asam
klorida), dengan berbagai variasi alkohol biasanya methanol, etanol, propanol,
1-butanol, amyl alkohol dan lain-lain. Asam anorganik yang digunakan sebagai katalis
akan menyebabkan asam karboksilat mengalami konjugasi, sehingga asam konjugat
dari asam karboksilat tersebutlah yang aan berperan sebagai substrat (Ozgulsun,
2008).
Cara lain dalam pembuatan ester adalah dengan melewatkan HCl ke dalam
campuran reaksi tersebut dan direfluks. Cara ini dikenal dengan nama metode
Fischer-Speier. Esterifikasi tanpa katalis dapat juga dilakukan dengan satu molekul asam
karboksilat dan satu pereaksi secara berlebih. Pertambahan hasil juga dipengaruhi oleh
dehidrasi yang artinya menarik air yang terbentuk sebagai hasil samping reaksi. Air
dapat dipisahkan dengan cara menambahkan pelarut yang bersifat non polar seperti
misalnya benzene dan kloroform, sehingga air yang terbentuk akan segera terikat pada
pelarut yang digunakan atau dengan menambahkan molecular sieves (Yan, 2001).
Esterifikasi asam karboksilat dengan alkohol merupakan reaksi reversibel. Bila
asam karboksilat diesterkan, digunakan alkohol berlebih. Untuk membuat reaksi
kebalikannya, yakni hidrolisis berkataliskan asam dari ester menjadi asam karboksilat
digunakan air berlebihan. Kelebihan air ini akan menggeser kesetimbangan kea rah
Reaksi esterifikasi ini dapat terjadi secara acak ataupun terarah. Secara
umum reaksi esterifikasi dapat terjadi secara batch, semi continuously atau continuously. Reaksi ini akan berjalan dengan empat tahapan, yaitu : perlakuan minyak awal, penambahan katalis, terjadi reaksi dan deaktivasi enzim. Reaksi terjadi
acak mengikuti hukum kemungkinan hingga komposisi yang terbentuk seimbang.
Reaksi ini dapat terjadi pada suhu tinggi ataupun rendah. Secara komersial, reaksi ini
berlangsung pada suhu tinggi 249°C tanpa katalis, atau pada suhu rendah dengan
penambahan katalis metal alkali. Proses esterifikasi umumnya dipengaruhi beberapa
faktor, yaitu : suhu, lama pengadukan, jenis substrat, konsentrasi katalis dan
perbandingan metanol dan asam lemak (Hui,1996).
Tabel 2.2 Kondisi Optimum Katalis Dalam Proses Esterifikasi Kimia.
Katalis untuk
Penggunaan katalis dalam reaksi esterifikasi akan berpengaruh terhadap
peningkatan laju reaksi yang terjadi. Katalis yang digunakan dalam reaksi esterifikasi
dapat berupa katalis kimia maupun katalis enzimatis. Kedua jenis katalis ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penggunaan katalis kimia saat ini lebih banyak digunakan
dikarenakan katalis kimia memiliki kelebihan antara lain mudah penanganannya,
harganya yang murah, mudah dipisahkan dan dapat digunakan dalam konsentrasi
relatif rendah. Walaupun begitu penggunaan katalis kimia memiliki beberapa
kekurangan, antara lain terjadinya variasi produk yang beragam karena gugus asil
terdistribusi dengan acak. Selain itu diketahui juga bahwa produk hasil sintesis secara
kimiawi memiliki rendemen yang rendah, warna yang gelap dan flavour yang kurang baik (Bornscheuer, 1995).
2.3.1 Ester Asam Lemak
Ester asam lemak di alam terdapat dalam bentuk ester antara gliserol dengan asam
lemak ataupun terkadang ada gugus hidroksilnya yang teresterkan tidak dengan asam
lemak tetapi denga phospat seperti pada phospolipida. Ester asam lemak sering
dimodifikasi baik untuk bahan makanan maupun untuk bahan oleokimia seperti
surfaktan, aditif, dan deterjen (Endo, et al, 1997). Ester asam lemak yang paling sederhana adalah ester antara metanol dengan asam lemak yang dikenal luas sebagai
metil ester asam lemak pada industri oleokimia. Metil ester asam lemak ini dapat
dihasilkan melalui transesterifikasi secara metanolisis terhadap ester asam lemak
dengan gliserol (Manurung, 2008).
Ester asam lemak sering dimodifikasi, baik untuk bahan makanan maupun
untuk surfaktan, aditif dan detergen. Senyawa ester dapat dibentuk beberapa cara,
yaitu :
a. Esterifikasi
O O
R-C-OH + R’OH R-C-OR’ + H2O
b. Interesterifikasi
O O O O
c. Alkoholisis
O O
R-C-OR’ + R”-OH R-C-OR” + R’-OH
d. Asidolisis
O O O O
R-C-OR’ + R”-C-OH R”-C-OR’ + R-C-OH
(Gandhi, 1997)
Ester merupakan turunan dari asam karboksiat, dimana dapat dibentuk melalui
reaksi langsung antara suatu asam karboksilat dengan alkohol, yang disebut dengan
reaksi esterifikasi (Shreve, 1956)
Yang dikelompokkan sebagai ester asam lemak meliputi :
a. Ester karboksilat tunggal dengan panjang rantai karbon mulai dari C6 sampai
C20
b. Ester asam lemak yang hanya mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. .
Ester asam lemak sering dimodifikasi untuk digunakan sebagai bahan
makanan, surfaktan, polimer, sintesis, zat aditif, bahan kosmetik dan kebutuhan lain.
Metil ester asam lemak yang merupakan bagian dari pada ester asam lemak mono
alkohol merupakan zat antara dalam industri oleokimia, di samping dapat digunakan
sebagai bahan bakar biodiesel (Ozgul, 1993).
Banyak senyawa ester yang terdapat di alam memiliki aroma, seperti metal
butanoat yang merupakan minyak dalam buah nanas dan isopentil asetat yang terdapat
dalam buah pisang. Senyawa ester sintetis dalam industri digunakan untuk berbagai
macam produk, seperti dialkil ftalat sebagai plastizer (menjadikan plastic rapuh),
2.4 Gliserol
Gliserol merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas 3 atom karbon. Jadi tiap
atom karbon mempunyai gugus-OH. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua,
tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserida, digliserida
dan trigliserida.
Sifat fisik dari gliserol :
Merupakan cairan tidak berwarna
Tidak berbau
Cairan kental dengan rasa yang manis
Densitas 1,261
Gliserol dengan bentuk gunting Gliserol dengan bentuk sisir
Gambar 2.2 Struktur Gliserol
Gliserol merupakan senyawa yang telah banyak digunakan di berbagai
industri, baik industri pangan ataupun non pangan seperti industri kosmetik. Gliserol
saat ini sering digunakan sebagai pelarut, pemanis, sabun cair, bahkan sebagai bahan
tambahan industri bahan peledak. Gliserol juga dapat digunakan sebagai komponen
anti beku atau lazim disebut cryoprotectan dan sumber nutrisi pada kultur fermentasi dalam produksi antibiotika (Lindsay, 1985). Pada industri oleokimia dapat
ditransformasi melalui interesterifikasi membentuk monogliserida dan digliserida
2.5 Monogliserida dan Digliserida
Sintesis monogliserida dan digliserida dapat dilakukan dengan beberapa metode,
diantaranya adalah esterifikasi langsung, reaksi gliserolisis dan dapat dilakukan secara
enzimatis.
Monogliserida adalah mono ester gliserol dengan asam lemak yang
merupakan gliserida sederhana, karena hanya satu gugus hidroksi pada gliserol yang
diganti oleh asam lemak. Berdasarkan posisi asam lemak yang diikatnya
monogliserida terdiri dari α-monogliserida dan β-monogliserida. Sedangkan
berdasarkan asam lemak yang diikatnya monogliserida dapat terdiri dari beberapa
jenis misalnya gliseril monostearat, gliseril monooleat dan lain-lain. Monogliserida
mudah sekali berisomerisasi yaitu perubahan bentuk dari β-monogliserida menjadi α
-monogliserida. α-monogliserida mudah berubah menjadi β-monogliserida dalam
suasana asam, basa atau panas menjadi bentuk α-monogliserida yang lebih stabil
(Martin, 1953).
O
OH
OH OH
O
OH C
O
R
C O
R
ά monogliserida β monogliserida
Gambar 2.3 Struktur ά dan β Monogliserida.
Monogliserida sangat banyak ditemukan dalam ekstrak sel dan merupakan
monoester asam lemak dari gliserol. Monogliserida pertama kali disintesis pada tahun
1853 dan baru pada tahun 1960 monogliserida dibuat dalam skala industi melalui
reaksi gliserolisis trigliserida. Berdasarkan jenis substratnya, pembentukan
monogliserida dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu reaksi esterifikasi langsung
gliserol, melalui transesterifikasi metil ester asam lemak dengan gliserol, melalui
reaksi hidrolisis trigliserida atau lemak dan melalui reaksi kondensasi asam lemak
dengan gliserol atau dengan senyawa-senyawa turunannya (Awang, 2004).
Monogliserida merupakan komponen yang tersusun oleh satu rantai asam
lemak yang diesterifikasi ke rantai gliserol, sehingga monogliserida bagian gugus
hidroksil bebas, yang merupakan hidrofilik dan gugus ester asam lemak yang
merupakan gugus hidrofobik. Karena sifat afinitas gandanya atau sering disebut
amphifilik tersebut, monogliserida dapat digunakan sebagai emulsifier. Monogliserida
dengan satu gugus asam lemak dan dua gugus hidroksil bebas pada gliserol
membuatnya bersifat seperti lemak dan air (Potter, 1986). Monogliserida dapat
disentesis melalui beberapa metode yaitu hidrolisis selektif terhadap trigliserida,
esterifikasi asam lemak atau ester asam lemak dengan gliserol dan gliserol dengan
lemak /minyak (Bornscheuer, 1995).
Monogliserida dapat diperoleh secara alami dan sintesis. Secara alami
monogliserida hanya dalam jumlah kecil saja yaitu hasil hidrolisa lemak atau minyak
oleh enzim lipase selama penyimpanan.Dalam industri, monogliserida biasanya dibuat
dengan dua cara, yaitu dengan cara gliserolisis (reaksi antara gliserol dengan
lemak/minyak) dan reaksi esterifikasi langsung antara asam lemak dengan gliserol.
Esterifikasi langsung dapat menggunakan katalis, misalnya NaOH dan dapat juga
menggunakan protective group, misalnya asetonasi menggunakan aseton sebagai
protective group (Brahmana, 1989).
Digliserida atau diasilgliserida (DAG) adalah ester dari gliserol, dimana dua
gugus hidroksil gliserol teresterifikasi oleh asam lemak. Digliserida terdapat secara
alami pada beberapa minyak dan lemak dengan jumlah berkisar ± 5%.
Diasilgliserida telah luas digunakan sebagai pengemulsi pada pembuatan
makanan. Metode tradisional untuk memproduksi digliserida adalah melalui reaksi
interesterifikasi trigliserida dengan gliserol menggunakan katalis alkali seperti
natrium/kalium hidroksida, natrium metoksida atau kalium asetat. Diasilgliserida juga
(Flickinger dan Matuso, 2005). Sintesis 1,3-diasilgliserida dengan hasil cukup besar
menggunakan enzim lipase yang spesifik bekerja pada posisi 1 dan 3 gliserol telah
dapat dilakukan. Enzim lipase yang digunakan berasal dari Chromobacterium viscosum, Rhizopus delemar dan Rhizomucor miehei dengan donor aslinya berasal dari asam lemak bebas, alkil ester asam lemak dan vinil ester. Keseluruhan reaksi
dilakukan dalam pelarut n-heksan, dietil eter atau t-BuOMe (Maki, et al , 2002)
2.6 Epoksida
Epoksida ialah eter siklik dengan cincin beranggota tiga yang mengandung satu atom
oksigen (Hart,2003). Epoksida ini mudah terkena serangan nukleofilik karena
elektronegativitas oksigen yang menyebabkan terpolarisasinya ikatan C-O (Bresnick,
2002). Penamaan epoksida disebut dengan oksirana. Senyawa oksida pada sintesa
organik merupakan zat antara yang potensial dimanfaatkan untuk beragam bentuk
senyawa dengan berbagai keperluan sehingga penelitian tentang epoksidasi baik
kondisi reaksi, keberlanjutan hasil reaksi maupun manfaat hasil reaksi terus
dikembangkan (Wisewan, 1983).
Epoksidasi terhadap ikatan rangkap adalah salah satu modifikasi kimia
terhadap berbagai senyawa yang memiliki ikatan π. Berdasarkan pada kereaktifan
yang tinggi dari cincin oksiran epoksida dapat dipakai sebagai zat antara untuk
menghasilkan berbagai senyawa kimia, yakni alkohol, alkanol amin, senyawa
karbanil, ester, dan bahan polimer.
Senyawa epoksidasi mengandung gugus oksiran yang dibentuk melalui
reaksi epoksidasi antara asam peroksi dengan olefinat atau senyawa aromatik tidak
jenuh. Reaksi epoksidasi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pembentukan asam
peroksi yang selanjutya digunakan untuk reaksi epoksidasi dan reaksi epoksidasi
secara in-situ. Proses epoksidasi yang dilakukan secara in-situ lebih aman jika
dibandingkan dengan reaksi epoksidasi melalui pembentukan asam peroksi. Selain itu
juga pada reaksi epoksidasi dengan cara tersebut akan dihasilkan dua fase dalam
asam peroksi mengoksidasi ikatan rangkap, sehingga terjadi pemutusan ikatan
rangkap dan pembentukan gugus oksiran (Nasution, 2006).
Minyak nabati yang memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh merupakan
sumber menarik untuk diperbaharui dalam menghasilkan produk baru yang berguna
tetapi kereaktifannya perlu ditingkatkan melalui penambahan gugus fungsi kedalam
molekul asam lemaknya, dengan demikian dengan berbagai reaksi kimia dan biokimia
telah dilakukan berbagai cara pengubahan menjadi produk yang lebih berharga.
Sejalan dengan reaksi tersebut, epoksida memegang peranan penting karena minyak
maupun ester asam lemak yang terepoksidasi dapat digunakan untuk membuat
senyawa-senyawa yang berbeda fungsinya dalam industri seperti plastizer, stabilizer,
resin, PVC, polyester, poliuretan, resin epoksi, dan pelapisan permukaan (Carlson dan
Chang, 1985).
Metode yang umum digunakan untuk mensintesis epoksida adalah reaksi
alkena dengan asam peroksida dan prosesnya dinamakan epoksidasi. Peroksida
merupakan sumber elektrofilik oksigen dan bereaksi dengan nukleofilik ikatan dari
alkena (Riswiyanto, 2002).
Ada empat teknik yang dapat digunakan untuk menghasilkan epoksida dari
molekul olefin, yaitu :
1. Epoksida dengan asam perkarboksilat yang sering digunakan dalam industri dan
dapat dipercepat dengan bantuan katalis atau enzim.
2. Epoksida dengan peroksida organik dan anorganik, termasuk epoksidasi alkali
dengan hidrogen peroksida nitril dan epoksida yang dikatalisis logam transisi.
3. Epoksida dengan halohidrin, menggunakan asam hipohalogen, dengan garamnya
sebagai reagen dan epoksida olefin dengan defisiensi elektron ikatan rangkap.
4. Epoksida dengan menggunakan molekul oksigen, untuk minyak nabati jarang
digunakan, karena dapat menyebabkan degradasi dari minyak menjadi senyawa
Epoksidasi dari minyak nabati merupakan hal yang penting dan sangat
berguna terutama dalam hal sebagai stabilisator dan plastisasi bahan polimer.
Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi dari cincin oksiran, epoksida juga dapat
dipakai untuk berbagai jenis bahan kimia yaitu alkohol, glikol, alkanolamin, senyawa
karbonil, senyawa olefin, dan polimer seperti poliester, poliuretan (Goud, et al, 2006)
Adapun reaksinya adalah sebagai berikut :
O O
R – C – OH + H2O2 R – C – O – OH + H2
asam peroksida asam peroksida air
O
karboksilat
O H H O
R – C – O – OH + -- C = C -- -- C – C -- + R – C – OH
H H O
asam peroksida olefin epoksida
Gambar 2.4 Reaksi Epoksidasi Terhadap Gugus Olefin Pada Senyawa Alkena
2.7 Poliol
Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari satu.
Dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi maupun
aditif. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam, seperti amilum, selulosa,
sukrosa dan lignin.
Gugus hidroksi pada senyawa organik dapat meningkatkan sifat hidrofil
karena disamping gugus fungsi yang aktif bereaksi dengan berbagai pereaksi untuk
menghasilkan senyawa baru, juga dapat berinteraksi baik melalui dipol-dipol yang
terbentuk maupun melalui ikatan hidrogen dengan gugus hidrofil dari senyawa lain.
hidroksil yang terikat baik sebagai ester, eter dapat mengubah senyawa tersebut
menjadi lipofil. Adanya sifat hidrofil dan lipofil menyebabkan senyawa poliol banyak
digunakan sebagai surfaktan dalam makanan, kosmetik maupun keperluan farmasi,
seperti obat-obatan (Jung, et al, 1998).
Beberapa minyak nabati diupayakan dalam pembuatan poliol dengan
memanfaatkan asam lemak tidak jenuh terutama oleat, linoleat maupun linolenat.
Seperti halnya pembuatan poliol dari minyak kacang kedelai melalui proses ozonolisis
katalitik dan dihasilkan komposisi gliserida yang baru, yang mana komponen
utamanya adalah rantai 2-hidroksi nonanoat dari gugus hidroksil yang baru. Senyawa
yang terbentuk berupa campuran mono, di dan trigliserida yang memiliki gugus
hidroksi.
Kebutuhan poliol yang cukup meningkat dikembangkan dalam industri
oleokimia. Pada awalnya telah dimanfaatkan risinoleat dari minyak jarak sebagai
sumber poliol dalam bentuk trigliserida yang komposisi utamanya adalah gliserol
tririsinoleat. Bahan poliol dari sumber minyak nabati dikembangkan melalui
transformasi ikatan π pada asam lemak tidak jenuh, baik sebagai trigliserida maupun
bentuk asam lemak dan juga alkil asam lemak, melalui proses kimia seperti ozonolisis,
epoksidasi, hidroformulasi dan metathesis (Goud, et al, 2002).
2.8 Katalis
Katalis adalah suatu zat yang mengakibatkan reaksi lebih cepat mencapai
kesetimbangan. Katalis berpengaruh untuk mengubah kecepatan konversi
(pengubahan) substrat menjadi produk dalam suatu reaksi. Katalis tidak akan
mengubah nilai ketetapan kesetimbangan, dan tidak mengalami perubahan apapun.
Menurut teori kecepatan reaksi absolute, peranan katalis adalah menurunkan energi
aktivasi (Cotton dan Wilkinson, 1989)
Berdasarkan sifat campuran reaksi maka katalis dapat dibagi menjadi 2 jenis,
pada fasa yang sama disebut katalis homogen, dan bila katalis berada pada fasa yang
berbeda dari reaktannya dikatakan sebagai katalis heterogen.
Pada pembuatan monogliserida secara gliserolisis, jumlah gliserol yang
dicampurkan pada minyak berkisar 25-40% dan ditambah katalis sebesar 0,05-0,2%.
Katalis yang banyak digunakan adalah NaOH, tapi disamping itu, dapat juga
digunakan KOH (Stirton, 1964)
Pada proses esterifikasi langsung, gliserol direaksikan dengan asam-asam
lemak seperti asam oleat, linoleat, stearat, laurat dan lain-lain dalam suasana vakum
pada suhu 180°C katalis yang digunakan adalah NaOH. Reaksi terjadi dalam dua
tingkatan. Pertama molekul asam lemak menyebar secara acak antara ketiga gugus
OH dari gliserol yang menghasilkan trigliserida, dan tingkatan kedua adalah campuran
antara gliserolisis dan esterifikasi. Kesetimbangan reaksi dicapai setelah pemanasan
berlangsung selama 1-4 jam. Pada akhir kesetimbangan reaksi, baik secara gliserolisis
maupun esterifikasi langsung, campuran yang dihasilkan tidak seluruhnya merupakan
monogliserida, tetapi terdiri dari campuran digliserida dan trigliserida
(Choudhury,1962).
2.9 Emulsifier
Emulsifier adalah bahan yang berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan
diantara dua fase yang tidak saling bercampur, sehingga dapat bersatu dan berbentuk
emulsi (Dziezak, 1988). Emulsifier biasanya berupa ester yang memiliki gugus
hidrofilik dan lipofilik.
Emulsifier terbagi menjadi tiga yaitu emulsifier ionik, nonionik dan
ampoterik. Emulsifier ionik ini merupakan emulsifier yang mempunyai muatan yang
dibagi menjadi dua bagian yaitu emulsifier kationik dan anionik. Emulsifier ampoterik
merupakan emulsifier yang memiliki baik gugus anoin maupun kation sehingga
tergantung pada pH. Sedangkan emulsifier nonionik yaitu emulsifier yang tidak
segmen lipofilik dan hidrofilik seperti monogliserida dan digliserida. Cara kerja
emulsifier ini dengan menurunkan tegangan permukaan antara dua fase kemudian
akan menstabilkan produk ( Kamel, 1991).
Emulsifier dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai HLB. Nilai tersebut
menunjukkan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilik (menyukai air atau
polar) dan gugus lipofilik (menyukai minyak atau non polar) dari dua fase yang
diemulsikan. Emulsifier yang mempunyai nilai HLB rendah biasanya diaplikasikan ke
dalam produk emulsi water in oil (w/o), sedangkan emulsifier dengan nilai HLB tinggi sering digunakan dalam produk emulsi oil in water.
Klasifikasi emulsifier berdasarkan nilai HLBnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.3 Nilai HLB dan Aplikasinya
Nilai HLB Aplikasi
3-6 Emulsifier w/o
7-9 Wetting agent
8-18 Emulsifier o/w
13-15 Detergen
15-18 Stabilizer
Sumber : Becker (1983)
2.10 Kromatografi Gas
Kromatografi gas merupakan suatu metode analisis yang didasarkan pemisahan fisik
zat organik atau anorganik yang stabil pada pemanasan dan mudah diatsirikan. Pada
kromatografi gas sampel diuapkan di dalam gerbang suntik dan selanjutnya
mengalami pemisahaan fisik di dalam kolom setelah dielusi dengan gas pembawa
yang lembam ( Mulja, 1995). Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas
dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara
fase bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah
Dikenal dua macam metode kromatografi gas yaitu :
1. Kromatografi Gas Padat (KGP)
Dimana sebagai fase diam adalah butiran-butiran adsorben padat dan fase
gerak adalah gas. Mekanisme pemisahan komponen sampel adalah perbedaan
sifat fisik adsorbs oleh fase diam. Ada beberapa kelemahan pada KGP yaitu
adsorbs fase diam terhadap komponen-komponen sampel bersifat
semipermanen terutama terhadap molekul yang aktif atau molekul yang polar.
Disamping itu KGP seringkali memberikan bentuk kromatogram yang berekor
dan efektivitas pemisahaan komponen sangat dipengaruhi bobot molekul. KGP
lebih efektif untuk pemisahaan komponen-komponen dengan massa molekul
relatif rendah.
2. Kromatografi Gas Cair (KGC)
Pada KGC sebagai fase gerak adalah gas yang lembam dan fase diam adalah
cairan yang disalutkan tipis pada permukaan butiran padat sebagai pendukung.
Mekanisme pemisahannya adalah perbedaan partisi komponen-komponen
sampel di antara fase gas dan fase cair ( Mulja, 1995).
Kromatografi gas (KG) merupakan metode pilihan untuk pemisahaan dan
analisis kuantitatif asam-asam lemak. Untuk meningkatkan volatilitasnya dan untuk
meningkatkan efesiensi pemisahan, asam-asam lemak pada umumnya diderivatisasi
sebelum dilakukan analisis secara KG. Metilasi merupakan metode derivatisasi yang
paling sering digunakan karena sederhana dan biayanya murah. Kolom kapiler lebih
dipilih untuk analisis asam-asam lemak ini karena mempunyai kapasitas pemisahaan
yang lebih tinggi. Metilasi dilakukan dengan BF3 10 % dalam metanol. Kolom kapiler
silica lebur ( CP Sil 88,50 x 0,25 mm i.d; ketebalan lapisan 0,20 mikron) digunakan
untuk pemisahaan secara isothermal. Suhu kolom bervariasi antara 155oC – 185oC;
suhu lubang injeksi dan suhu detector dipertahankan pada suhu 250oC. Helium
digunakan sebagai gas pembawa (tekanan inlet 120 kPa). Urutan retensi metal ester asam lemak tergantung pada suhu kolom (Rohman, 2008).
Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk
memisahkan campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beragam.
tambat), yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang
menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom. Kekurangan alat ini
adalah tidak mudah memisahkan campuran dalam jumlah yang besar (Mc Nair, 1988).
Waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di kolom disebut
waktu tambat, yang diukur mulai saat penyuntikan sampai terjadi elusi (Gritter, 1991).
Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot molekul rendah sampai
tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya dengan beberapa metode
kromatografi. Sifat- sifat yang harus dimiliki cuplikan agar dapat dipisahkan dengan
kromatografi, antara lain :
1. Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
2. Kecenderungan molekul untuk melarut pada permukaan serbuk halus
(adsorpsi)
3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap
(keatsirian) (Willet, 1987)
2.11 Spektroskopi Inframerah
Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah vibrasi molekul
yang dideteksi dan diukur pada spektrofotometer inframerah. Spektra di daerah merah
dapat dipergunakan untik mempelajari sifat-sifat bahan. Perubahan struktur yang
sedikit saja, dapat memberikan perubahan yang dapat diamati pada spektogram
panjang gelombang vs transmitansi. Perubahan ini sangat spesifik dan merupakan
sidik jari suatu molekul, dengan membandingkan spektogram yang dihasilkan oleh
bahan yang diuji terhadap bahan yang sudah diketahui secara kualitatif.
Penerapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan fungsi
peak (% transmitan) pada panjang gelombang terkait yang dihasilkan oleh zat-zat
yang diuji dan zat standart. Spekrta inframerah terutama ditujukan untuk senyawa
Spektra inframerah biasanya merupakan spektrofotometer berkas ganda dan
terdiri dari empat bagian utama, yaitu sumber cahaya, monokromator, kisi difraksi dan
detektor.
1. Sumber cahaya
Sumber cahaya berfungsi untuk memberikan panjang gelombang yang
dibutuhkan untuk analisa. Berbagai tipe sumber inframerah digunakan sesuai
dengan kebutuhannya.
2. Monokromator
Monokromator berfungsi untuk mengurangi spektrum sinar menjadi berbagai
spektra sesuai dengan urutan panjang gelombang yang dianalisa, yang diperoleh
melalui sebuah slit (celah) panjang gelombang.
3. Sampel ditempatkan pada sebuah sel yang dibuat khusus. Syarat umum dari sel
untuk sampel ini adalah transparan terhadap panjang gelombang yang
digunakan. Berarti sel untuk inframerah harus transparan terhadap sinar
inframerah. Umumnya sel ini terbuat dari NaCl yang memiliki sifat kekerasan
yang mudah larut dalam air.
4. Detektor
Detektor yang digunakan juga bermacam-macam sesuai dengan tipe
instrumennya. Untuk spektrofotometer infra double beam, data pengukuran transmitans dari sampel diolah dan ditampilkan dalam bentuk spektogram
(grafik) yang menggambarkan hubungan antara frekuensi dan persen (%)
transmitans. Spektogram ini berguna untuk identifikasi secara kualitatif.
Alat-alat yang modernkebanyakan menggunakan detektor “thermopile”. Dasar kerja
thermopile adalah sebagai berikut : Jika 2 kawat logam yang berbeda
dihubungkan antara ujung kepala dan ekor, akan menyebabkan adanya arus yang
mengalir dalam kawat. Arus yang mengalir akan sebanding dengan intensitas