• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Gliseril 9,10-Dihidroksi Stearat Dari Mono Gliserida Oleat Campuran Yang Diperoleh Melalui Reaksi Esterifikasi Dengan Menggunakan Katalis NaOH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sintesis Gliseril 9,10-Dihidroksi Stearat Dari Mono Gliserida Oleat Campuran Yang Diperoleh Melalui Reaksi Esterifikasi Dengan Menggunakan Katalis NaOH"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS GLISERIL 9,10-DIHIDROKSI STEARAT DARI MONO

GLISERIDA OLEAT CAMPURAN YANG DIPEROLEH

MELALUI REAKSI ESTERIFIKASI DENGAN

MENGGUNAKAN KATALIS NaOH

SKRIPSI

DEWI PRATIWI

070802036

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SINTESIS GLISERIL 9,10-DIHIDROKSI STEARAT DARI MONO

GLISERIDA OLEAT CAMPURAN YANG DIPEROLEH

MELALUI REAKSI ESTERIFIKASI DENGAN

MENGGUNAKAN KATALIS NaOH

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

DEWI PRATIWI

070802036

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : SINTESIS GLISERIL 9,10-DIHIDROKSI STEARAT DARI MONOGLISERIDA OLEAT CAMPURAN YANG DIPEROLEH MELALUI REAKSI

ESTERIFIKASI DENGAN MENGGUNAKAN KATALIS NaOH

Kategori : SKRIPSI

Nama : DEWI PRATIWI

No Induk Mahasiswa : 070802036

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Januari 2013

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II, Pembimbing I,

Drs. Darwis Surbakti, MS

NIP. 195307071983031001 NIP. 195307041980031002 Dr. Adil Ginting, M.Sc

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia F.MIPA USU Ketua,

(4)

PERNYATAAN

SINTESIS GLISERIL 9,10-DIHIDROKSI STEARAT DARI

MONOGLISERIDA OLEAT CAMPURAN YANG DIPEROLEH MELALUI REAKSI ESTERIFIKASI DENGAN MENGGUNAKAN KATALIS NaOH

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2013

(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan penyertaanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini sesuai dengan rencana dan kehendakNya. Banyak hal sebagai pembelajaran dan pembentukan diri yang penulis rasakan setiap waktu, sehingga semakin melihat dan merasakan kebaikan dan kebesaranNya.

Dengan rasa hormat penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Adil Ginting, M.Sc selaku pembimbing I serta bapak Drs. Darwis Surbakti, MS selaku pembimbing II yang telah memberikan arahan serta dukungan selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terimakasih kepada ibu Dr. Rumondang Bulan, MS dan bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku ketua dan sekretaris Departemen Kimia FMIPA-USU Medan. Kepada seluruh staf ahli Laboratorium Kimia Organik/Proses Kimia F.MIPA USU, bapak Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc , bapak Dr. Mimpin Ginting, MS , ibu Dra. Herlince Sihotang, M.Si , ibu Dr. Juliati Tarigan, M.Si , ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra, M.Si dan ibu Helmina Sembiring M.Si yang telah banyak membantu dan memberikan arahan selama melakukan penelitian, serta kepada seluruh staf dan dosen FMIPA-USU yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda dan ibunda tercinta, Drs. Lasman Purba dan Erli Kristina br Ginting yang selalu memberikan dukungan doa, kasih sayang dan materil, kepada adik tersayang Theo Sam Joseph Purba dan kepada yang terkasih Roy Marananndo atas dukungan dan perhatiannya. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih untuk para sahabat, Silorida br Tarigan, Stephanus Pasaribu, Ira Flora Purba, Bahtiar Lubis, Cristy Halomoan, Nova Maria, William Singarimbun, Pahala Simbolon, Sarwedi Situngkir dan Best Avesta yang selalu memberikan bantuan dan semangat, juga kepada seluruh asisten Laboratorium Kimia Organik : Samuel, Deny, Sion, Mutiara, Bayu, Egi, Rimenda, Despita, Naomi, Sophia, Dian dan Yabes, serta kepada seluruh teman seangkatan 2007 dan adik-adik stambuk 2008, 2009 dan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penelitian dan kemajuan Ilmu Pengetahuan Alam demi pengembangan Bangsa dan Negara.

Medan, Januari 2013 Penulis

(6)

ABSTRAK

Senyawa polihidroksi dari turunan asam lemak telah banyak dimanfaatkan sebagai

bahan surfaktan untuk formulasi dalam makanan, kosmetik maupun obat-obatan.

Dalam penelitian ini, dilakukan sintesis gliseril 9,10-dihidroksi stearat dari epoksidasi,

diikuti hidolisis monogliserida campuran dengan katalis NaOH. Esterifikasi asam

oleat dengan gliserol menggunakan katalis NaOH yang berlangsung dalam suasana

nitrogen pada temperatur 200°C menghasilkan campuran monogliserida dan

digliserida yang telah dianalisis dengan kromatografi gas. Epoksidasi terhadap hasil

esterifikasi menggunakan asam performat yang direfluks pada suhu 40-45°C selama 2

jam dilanjutkan dengan hidrolisis menghasilkan senyawa gliseril 9,10-dihidroksi

stearat. Konformasi struktur senyawa gliseril 9,10- dihidroksi stearat yang diperoleh,

diuji melalui analisa spektroskopi FT-IR dan melalui metode titrasi dengan

menentukan harga bilangan asam dan bilangan penyabunan diperoleh harga HLB

(7)

ABSTRACT

Polyhydroxy compounds of fatty acid derivatives have been widely used as surfactants

for the formulation ingredients in foods, cosmetics and medicines. In this study,

carried out the synthesis of glyceryl mono stearate 9.10 dihydroxy epoxidation

followed by a mixture of monoglycerides with NaOH as a catalyst. Esterification of

oleic acid using NaOH catalyst that took place in an atmosphere of nitrogen at a

temperature of 200 ° C produces gliserolat consisting of a mixture of monoglycerides,

diglycerides and esters which have been analyzed completely by gas chromatography.

Epoxidation use performat the refluxed acid at a temperature of 40-45 ° C for 2 h

followed by hydrolysis produces polyol compounds from a mixture of

monoglycerides. Conformational structure of the polyol is derived from the reaction

products were tested by analysis of FT-IR spectroscopy and by titration method to

determine the cost of acid number and saponification numbers obtained HLB price of

(8)

DAFTAR ISI

1.2. Permasalahan 3

1.3. Pembatasan Masalah 3

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.5. Manfaat Penelitian 3

1.6. Lokasi Penelitian 4

1.7. Metodologi Penelitian 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oleokimia 5

2.2. Asam Lemak 6

2.2.1 Asam Oleat 8

2.3. Esterifikasi 10

2.3.1Ester Asam Lemak 12

2.4. Gliserol 14

2.5. Monogliserida dan Digliserida 15

2.6. Epoksida 17

2.7. Poliol 19

2.8. Katalis 20

2.9. Emulsifier 21

2.10. Kromatograsi Gas 22

2.11. Spektroskopi Inframerah 24

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Alat 26

3.2. Bahan 27

3.3. Prosedur Penelitian 28

(9)

3.3.1.1 Pembuatan Larutan KOH-Alkohol 0,5N 28

3.3.1.2 Pembuatan Larutan KOH 0,5N 28

3.3.1.3 Pembuatan Larutan HCl 0,1N 28

3.3.1.4 Pembuatan Larutan H2C2O4

3.3.1.5 Pembuatan Larutan Indikator Fenolptalein 1% 28

0,1N 28

3.3.1.6 Pembuatan Alkohol Netral 29

3.3.1.7 Pembuatan Larutan KI 10% 29

3.3.1.8 Pembuatan Larutan Na2S2O3

3.3.1.9 Pembuatan Larutan KOH 0,1N 29

0,1N 29

3.3.1.4 Pembuatan Larutan Asam Sitrat 10% 29 3.3.2. Pembuatan Monogliserida oleat campuran 30 3.3.3. Pembuatan Gliseril 9,10 dihidroksi stearat 30

3.3.4. Prosedur Analisis 31

3.3.4.1 Analisis Bilangan Penyabunan 31

3.3.4.2 Analisis Bilangan Asam 31

3.3.4.3 Penentuan Harga HLB 32

3.3.4.4 Analisis Bilangan Iodin 32

3.4. Bagan Penelitian 33

3.4.1. Pembuatan Monogliserida oleat campuran 33 3.4.2. Pembuatan Gliseril 9,10 dihidroksi stearat 34

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil 35

4.1.1. Pembuatan Monogliserida oleat campuran 35 4.1.2. Pembuatan Gliseril 9,10 dihidroksi stearat 37

4.2. Pembahasan 38

4.2.1. Pembuatan Monogliserida oleat campuran 38 4.2.2. Pembuatan Gliseril 9,10 dihidroksi stearat 40

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 42

5.2. Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Diagram alur oleokimia 6

Tabel 2.2. Kondisi optimum katalis dalam proses esterifikasi kimia 11

Tabel 2.3. Nilai HLB dan aplikasinya 22

Tabel 4.1. Persen komposisi hasil reaksi esterifikasiasam oleat dengan 37

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur trans dan cis asam oleat 8

Gambar 2.2 Struktur gliserol 14

Gambar 2.3 Struktur ά dan β monogliserida 15

Gambar 2.4 Reaksi epoksidasi terhadap gugus olein pada senyawa alkena 19

Gambar 4.1. Kromatogram hasil esterifikasi asam oleat dengan katalis 36

NaOH

Gambar 4.2. Spektrum FT-IR hasil esterifikasi asam oleat dengan katalis 36

NaOH

Gambar 4.3. Spektrum FT-IR senyawa gliseril 9,10 dihidroksi stearat 38

Gambar 4.4. Reaksi esterifikasi asam oleat menggunakan katalis NaOH 40

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Standar Kromatografi Total 49

Lampiran B. Kromatogram hasil esterifikasi asam oleat

menggunakan katalis NaOH 50

Lampiran C. Spektrum FT-IR Asam Oleat 51

Lampiran D. Spektrum FT-IR hasil esterifikasi asam oleat

menggunakan Katalis NaOH 52

Lampiran F. Spektrum FT-IR hasil epoksidasi dan hidrolisis

monogliserida campuran 53

Lampiran F. Data penentuan bilangan iodin 54

(13)

ABSTRAK

Senyawa polihidroksi dari turunan asam lemak telah banyak dimanfaatkan sebagai

bahan surfaktan untuk formulasi dalam makanan, kosmetik maupun obat-obatan.

Dalam penelitian ini, dilakukan sintesis gliseril 9,10-dihidroksi stearat dari epoksidasi,

diikuti hidolisis monogliserida campuran dengan katalis NaOH. Esterifikasi asam

oleat dengan gliserol menggunakan katalis NaOH yang berlangsung dalam suasana

nitrogen pada temperatur 200°C menghasilkan campuran monogliserida dan

digliserida yang telah dianalisis dengan kromatografi gas. Epoksidasi terhadap hasil

esterifikasi menggunakan asam performat yang direfluks pada suhu 40-45°C selama 2

jam dilanjutkan dengan hidrolisis menghasilkan senyawa gliseril 9,10-dihidroksi

stearat. Konformasi struktur senyawa gliseril 9,10- dihidroksi stearat yang diperoleh,

diuji melalui analisa spektroskopi FT-IR dan melalui metode titrasi dengan

menentukan harga bilangan asam dan bilangan penyabunan diperoleh harga HLB

(14)

ABSTRACT

Polyhydroxy compounds of fatty acid derivatives have been widely used as surfactants

for the formulation ingredients in foods, cosmetics and medicines. In this study,

carried out the synthesis of glyceryl mono stearate 9.10 dihydroxy epoxidation

followed by a mixture of monoglycerides with NaOH as a catalyst. Esterification of

oleic acid using NaOH catalyst that took place in an atmosphere of nitrogen at a

temperature of 200 ° C produces gliserolat consisting of a mixture of monoglycerides,

diglycerides and esters which have been analyzed completely by gas chromatography.

Epoxidation use performat the refluxed acid at a temperature of 40-45 ° C for 2 h

followed by hydrolysis produces polyol compounds from a mixture of

monoglycerides. Conformational structure of the polyol is derived from the reaction

products were tested by analysis of FT-IR spectroscopy and by titration method to

determine the cost of acid number and saponification numbers obtained HLB price of

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Monogliserida dan digliserida mempunyai sifat hidrofilik karena gugus hidroksil

bebas yang dimilikinya dan bersifat hidrofobik karena adanya residu asam lemak.

Monogliserida dan digliserida larut parsial dalam air dan dalam lemak, sehingga

monogliserida dan digliserida merupakan zat pengemulsi yang baik. Monogliserida

dan digliserida biasanya ditambahkan sebagai shorterning dan pengelmulsi dalam

beberapa produk makanan (Potter, 1986).

Untuk memperoleh senyawa monogliserida telah dilakukan melalui reaksi

gliserolisis terhadap lemak maupun metil ester asam lemak, baik secara kimiawi

maupun secara enzimatis. Suarti (2008) telah membuat senyawa monogliserida

melalui reaksi gliserolisis campuran minyak inti sawit dan stearin untuk pembuatan

shortening dengan menggunakan katalis natrium metoksida.

Noureddini (2004) mengatakan bahwa monogliserida dan digliserida dapat

dibuat dari semua senyawa gliserida baik yang berasal dari lemak maupun minyak.

Senyawa gliserida tersebut direaksikan dengan gliserol dan menggunakan katalis

natrium / kalium gliserolat yang dibuat dari NaOH / KOH dan gliserol. Reaksi

dilakukan pada suhu 220-250oC dalam tekanan atmosfir.

Epoksidasi terhadap ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh dari beberapa

minyak nabati telah dilakukan dan juga telah diterapkan dalam skala industri. Saat ini

(16)

minyak nabati yang memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh tinggi (Goud,et al,

2006).

Salah satu produk epoksida yang dapat dihasilkan menggunakan minyak

nabati sebagai bahan bakunya adalah senyawa polihidroksi trigliserida. Polihidroksi

trigliserida merupakan senyawa turunan dari minyak atau lemak yang memiliki gugus

hidroksil lebih dari dua. Senyawa polihidroksi trigliserida ini banyak digunakan

sebagai bahan pembuatan poliuretan, bahan aditif untuk plastik, pelumas, surfaktan

dan lain-lain sehingga kebutuhan akan senyawa ini menjadi sangat tinggi.

Senyawa polihidroksi trigliserida ini dihasilkan melalui reaksi hidroksilasi.

Reaksi hidroksilasi meliputi dua tahap reaksi, yaitu reaksi epoksidasi pembentukan

cincin epoksida (oksiran) dan diikuti reaksi pembentukan cincin oksiran. Senyawa

trigliserida tidak jenuh yang terkandung dalam minyak nabati ini diepoksidasi

menggunakan asam peroksi, yang terbuat dari asam karboksilat dan hidrogen

peroksida (Gan, 1992).

Adanya ikatan π pada senyawa organik seperti halnya asam lemak tidak jenuh

melalui reaksi epoksidasi dilanjutkan dengan hidrolisis akan menghasilkan senyawa

poliol (Fessenden,,R.J,1994).

Ikatan π pada metil resinoleat dari minyak jarak juga telah berhasil

diepoksidasi dan dilanjutkan dengan alkoksilasi untuk menghasilkan senyawa metil

[9-(2,3-dihidroksipropoksi)-10,12-dihidroksioktadekanoat] (Ocha,2009).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk menghasilkan poliol

gliseril 9,10 dihidroksi stearat campuran yang berasal dari monogliserida campuran

yang diperoleh dari reaksi esterifikasi antara gliserol dengan asam oleat menggunakan

katalis NaOH. Dimana gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran yang dihasilkan

(17)

1.2 Permasalahan

1. Apakah senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran dapat dihasilkan

melalui hidrolisis terhadap epoksida dari monogliserida oleat campuran.

2. Berapakah nilai HLB dari hasil yang diperoleh.

1.3 Pembatasan Masalah

Permasalahan dibatasi pada :

1. Monogliserida oleat campuran yang digunakan diperoleh melalui reaksi

esterifikasi antara asam oleat dengan gliserol menggunakan katalis NaOH.

2. Epoksidasi terhadap monogliserida campuran dilakukan dengan menggunakan

asam performat dan katalis H2SO4

3. Analisis hasil dilakukan dengan menggunakan GC, IR, Bilangan Iodin dan

HLB

(p).

4. Penentuan harga HLB dilakukan dengan metode titrasi dengan menentukan

harga bilangan asam dan bilangan penyabunan.

5. Penentuan harga bilangan iodin dilakukan dengan metode Wijs.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk menghasilkan senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran melalui

hidrolisis senyawa epoksida dari monogliserida oleat campuran.

(18)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi salah satu

pemanfaatan asam oleat bagi industri oleokimia dalam menghasilkan gliseril

9,10-dihidroksi stearat sebagai bahan untuk surfaktan.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik F.MIPA-USU Medan, analisa

kandungan gliserida dengan kromatografi gas dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa

Sawit (PPKS), analisa FT-IR dilakukan di Laboratorium Bea Cukai Belawan dan

analisa bilangan iodin dilakukan di salah satu laboratorium kimia Perusahaan Swasta

di Medan.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium, dimana bahan-bahan yang

digunakan dalam penelitian ini merupakan produk-produk dari E’Merck, seperti :

asam oleat, NaOH pellet, dietil eter, asam formiat, n-heksan, dan asam sulfat. Gliserol

yang digunakan diperoleh dari PT SOCI, pabrik pengolahan minyak nabati. Pada

penelitian dilakukan sintesis gliseril 9,10-dihidroksi stearat dari hidolisis epoksida

monogliserida oleat campuran. Epoksida monogliserida oleat campuran diperoleh

melalui reaksi esterifikasi antara asam oleat dengan gliserol menggunakan katalis

NaOH yang dilanjutkan epoksidasi dengan asam performat dan katalis H2SO4 (p) pada kondisi refluks 40-45°C selama 2 jam. Hasil yang diperoleh ditentukan harga

HLB, bilangan iodin dan selanjutnya konformasi struktur diuji melalui analisa

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Oleokimia

Oleokimia merupakan bagian dari ilmu kimia yang mempelajari tentang proses

pengolahan asam lemak dan gliserol serta derivatnya, baik yang dihasilkan dari

minyak atau lemak maupun hasil sintesis dari produksi etilena dan propilena secara

industri petrokimia.

Oleokimia mencakup pengertian sebagai proses pembuatan asam lemak dan

turunannya serta proses pengolahannya dari berbagai reaksi sintesis kimia, sehingga

menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk kebutuhan manusia (Richtler, et al

, 1984).

Oleokimia alami merupakan senyawa kimia yang berasal dari minyak dan

lemak tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dengan cara saponifikasi diikuti hidrolisis

sehingga menghasilkan asam lemakbebas dan gliserol. Dari asam lemak ini, dapat

dibuat turunan asam lemak seperti alkohol asam lemak, amina asam lemak dan

lain-lain. Sedangkan oleokimia sintesis berasal dari petrokimia, misalnya pembuatan

alkohol asam lemak dari etilena serta gliserol dari propilena (Austin, 1985).

Bahan oleokimia yang dihasilkan dari produk petrokimia yang diolah dari

hasil minyak bumi dan gas alam merupakan bahan yang tidak dapat diperbaharui,

sehingga diperkirakan tidak dapat bersaing dengan bahan yang berasal dari hasil

pertanian yang dapat diperbaharui. Hingga saat ini, umumnya sebagian produk

oleokimia digunakan sebagai surfaktan pada produk-produk kosmetika, obat-obatan,

(20)

Diagram alir dari oleokimia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Diagram alur Oleokimia

Bahan Dasar

Bahan Dasar Oleokimia Turunan Oleokimia

Minyak/

Asam lemak adalah asam organik yang terdapat sebagai ester trigliserida

atau lemak, baik berasal dari hewan maupun tumbuhan. Asam ini adalah asam

karboksilat yang mempunyai rantai karbon panjang, dengan rumus umum :

O

R – C – OH

dimana R adalah rantai rantai karbon yang jenuh atau yang tidak jenuh, dan terdiri atas

4 sampai 24 buah atom karbon. Rantai karbon yang jenuh ialah rantai karbon yang

tidak mengandung ikatan rangkap, sedangkan yang mengandung ikatan rangkap

(21)

leburnya. Apabila dibandingkan dengan asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh

mempunyai titik lebur lebih rendah. Asam oleat mempunyai rantai karbon yang sama

panjang dengan asam stearat, akan tetapi suhu kamar asam oleat berupa zat cair. Di

samping itu, makin banyak jumlah ikatan rangkap, makin rendah titik leburnya. Hal

ini tampak pada titik lebur asam linoleat yang lebih rendah dari titik lebur asam oleat

(Poedjiadi, 2006).

Asam lemak dapat dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak

jenuh. Asam lemak jenuh hanya mempunyai ikatan tunggal di antara atom-atom

karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu

ikatan rangkap di antara satu atom-atom penyusunnya (Tambun, 2006).

Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan

rangkapnya dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul

keseluruhannya. Asam lemak tidak jenuh biasanya terdapat dalam bentuk cis,

walaupun sebagian kecil dalam bentuk trans. Asam lemak bentuk cis mempunyai titik

cair yang lebih rendah dibandingkan dengan bentuk trans dengan panjang rantai yang

sama. Panjang rantai karbon juga mempengaruhi titik cair. Pada asam lemak jenuh,

titik cair akan semakin meningkat dengan semakin panjangnya rantai karbon. Pada

asam lemak tidak jenuh, titik cair akan semakin menurun dengan bertambahnya

iakatan rangkap, sehingga asam lemak jenuh mempunyai titik cair yang lebih tinggi

dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah atom karbon yang sama.

Posisi asam lemak pada molekul trigliserida juga mempengaruhi titik cair minyak dan

lemak. Posisi asam lemak yang simetris dalam molekul trigliserida mempunyai titik

cair yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi yang tidak simetris (Seager dan

Slabough, 1994).

Asam lemak dengan jumlah atom C lebih dari 12 tidak larut dalam air dingin

maupun air panas, tetapi dengan jumlah rantai atom karbon yang pendek bersifat larut

dalam air. Demikian juga sifat kelarutan garam dari asam lemak yang mempunyai

berat molekul rendah dan tak jenuh lebih mudah larut dalam alkohol dari pada garam

(22)

Sifat fisik dan fisiologi asam lemak ditentukan oleh panjang rantai dan

derajat ketidakjenuhan. Semakin panjang rantai atom karbon, maka titik cair asam

lemak semakin tinggi. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan asam lemak, maka titik

cairnya semakin rendah , serta asam lemak yang berstruktur trans mempunyai titik cair

yang lebih tinggi daripada yang berstruktur cis (Ketaren, 2006).

Keberadaan ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh menjadikannya

memiliki dua bentuk, yaitu cis dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya

memiliki bentuk cis. Asam lemak trans hanya diproduksi oleh sisa metabolisme

hewan atau dibuat secara sintetis. Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis memiliki

rantai yang melengkung. Asam lemak trans karena atom H-nya berseberangan, tidak

mengalami efek polarisasi yang kuat dan rantainya tetap relatif lurus (Tambun, 2006).

2.2.1 Asam Oleat

Asam oleat atau asam heptadekana-8,1-karboksilat merupakan penyusun dari

lemak-lemak tanaman atau hewan. Asam oleat dapat dipisahkan dari zat tersebut dengan cara

hidrolisis. Sebagian asam oleat berada bersama-sama dengan asam stearat dan asam

palmitat. Sruktur asam oleat adalah CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH. Asam oleat membentuk cis karena mempunyai titik lebur yang rendah dan mempunyai panas

pembakaran yang lebih tinggi (Sastrohamidjojo, 2005).

(23)

Asam oleat dapat dihasilkan dari fraksinasi asam lemak yang diperoleh dari

proses pengubahan minyak menjadi asam lemak. Dalam hal ini proses yang digunakan

adalah proses hidrolisa. Asam Oleat dapat juga dihasilkan dari fraksinasi asam lemak

yang diperoleh dari hidrolisis lemak. Dalam industri asam oleat banyak digunakan

sebagai surface active, emulsifier, dan dalam produk-produk kosmetika.

Sifat-sifat fisika dan kimia asam oleat adalah sebagai berikut :

a. Sifat Kimia :

larut dalam pelarut organik seperti alkohol

bersifat hidrolisis

tidak stabil pada suhu kamar

Asam lemak bebas 2,5-2,4 %

b. Sifat Fisika :

berat molekul : 280,45 (kg/mol)

titik leleh : 16,3 0C

titik didih : 285 0C

indeks bias : 1,4565

spesifik gravity : 0,917-0,919 (25 0C)

densitas : 0,8910 gr/ml

tidak larut dalam air

mudah terhidrogenasi

merupakan asam lemak tak jenuh

Asam oleat, asam linoleat dan linolenat biasanya terdapat bersama dengan

asam lemak lain seperti asam laurat, asam miristat, asam palmitat, asam stearat dan

asam lemak lainnya. Asam lemak tidak jenuh tersebut dapat diubah ke berbagai

bentuk turunannya antara lain dalam pembentukan ester asam lemak dengan poliol

seperti sorbitol, manitol dan sebagainya untuk membentuk surfaktan. Ester asam

lemak dengan poliol tersebut memiliki sifat surfaktan karena disamping memiliki

gugus ester juga masih memiliki gugus hidroksil sehingga terjadi keseimbangan antara

(24)

Penelitian tentang asam oleat telah banyak dikembangkan, misalnya dalam

pembuatan bahan bakar alternatif (biodiesel). Asam oleat dikonversi menjadi produk

biodiesel di unit reaksi penambahan alkohol dan katalis, kemudian dimurnikan di unit

pemisahan (Kusmiyati, 2008).

2.3 Esterifikasi

Esterifikasi adalah suatu reaksi ionik yang merupakan gabungan dari reaksi adisi dan

reaksi penataan ulang eliminasi. Esterifikasi juga dapat didefenisikan sebagai reaksi

antara asam karboksilat dan alkohol. Esterifikasi dapat dilakukan dengan

menggunakan katalis enzim (lipase) dan asam anorganik (asam sulfat dan asam

klorida), dengan berbagai variasi alkohol biasanya methanol, etanol, propanol,

1-butanol, amyl alkohol dan lain-lain. Asam anorganik yang digunakan sebagai katalis

akan menyebabkan asam karboksilat mengalami konjugasi, sehingga asam konjugat

dari asam karboksilat tersebutlah yang aan berperan sebagai substrat (Ozgulsun,

2008).

Cara lain dalam pembuatan ester adalah dengan melewatkan HCl ke dalam

campuran reaksi tersebut dan direfluks. Cara ini dikenal dengan nama metode

Fischer-Speier. Esterifikasi tanpa katalis dapat juga dilakukan dengan satu molekul asam

karboksilat dan satu pereaksi secara berlebih. Pertambahan hasil juga dipengaruhi oleh

dehidrasi yang artinya menarik air yang terbentuk sebagai hasil samping reaksi. Air

dapat dipisahkan dengan cara menambahkan pelarut yang bersifat non polar seperti

misalnya benzene dan kloroform, sehingga air yang terbentuk akan segera terikat pada

pelarut yang digunakan atau dengan menambahkan molecular sieves (Yan, 2001).

Esterifikasi asam karboksilat dengan alkohol merupakan reaksi reversibel. Bila

asam karboksilat diesterkan, digunakan alkohol berlebih. Untuk membuat reaksi

kebalikannya, yakni hidrolisis berkataliskan asam dari ester menjadi asam karboksilat

digunakan air berlebihan. Kelebihan air ini akan menggeser kesetimbangan kea rah

(25)

Reaksi esterifikasi ini dapat terjadi secara acak ataupun terarah. Secara

umum reaksi esterifikasi dapat terjadi secara batch, semi continuously atau

continuously. Reaksi ini akan berjalan dengan empat tahapan, yaitu : perlakuan

minyak awal, penambahan katalis, terjadi reaksi dan deaktivasi enzim. Reaksi terjadi

acak mengikuti hukum kemungkinan hingga komposisi yang terbentuk seimbang.

Reaksi ini dapat terjadi pada suhu tinggi ataupun rendah. Secara komersial, reaksi ini

berlangsung pada suhu tinggi 249°C tanpa katalis, atau pada suhu rendah dengan

penambahan katalis metal alkali. Proses esterifikasi umumnya dipengaruhi beberapa

faktor, yaitu : suhu, lama pengadukan, jenis substrat, konsentrasi katalis dan

perbandingan metanol dan asam lemak (Hui,1996).

Tabel 2.2 Kondisi Optimum Katalis Dalam Proses Esterifikasi Kimia.

Katalis untuk

(26)

Penggunaan katalis dalam reaksi esterifikasi akan berpengaruh terhadap

peningkatan laju reaksi yang terjadi. Katalis yang digunakan dalam reaksi esterifikasi

dapat berupa katalis kimia maupun katalis enzimatis. Kedua jenis katalis ini memiliki

kelebihan dan kekurangan. Penggunaan katalis kimia saat ini lebih banyak digunakan

dikarenakan katalis kimia memiliki kelebihan antara lain mudah penanganannya,

harganya yang murah, mudah dipisahkan dan dapat digunakan dalam konsentrasi

relatif rendah. Walaupun begitu penggunaan katalis kimia memiliki beberapa

kekurangan, antara lain terjadinya variasi produk yang beragam karena gugus asil

terdistribusi dengan acak. Selain itu diketahui juga bahwa produk hasil sintesis secara

kimiawi memiliki rendemen yang rendah, warna yang gelap dan flavour yang kurang

baik (Bornscheuer, 1995).

2.3.1 Ester Asam Lemak

Ester asam lemak di alam terdapat dalam bentuk ester antara gliserol dengan asam

lemak ataupun terkadang ada gugus hidroksilnya yang teresterkan tidak dengan asam

lemak tetapi denga phospat seperti pada phospolipida. Ester asam lemak sering

dimodifikasi baik untuk bahan makanan maupun untuk bahan oleokimia seperti

surfaktan, aditif, dan deterjen (Endo, et al, 1997). Ester asam lemak yang paling

sederhana adalah ester antara metanol dengan asam lemak yang dikenal luas sebagai

metil ester asam lemak pada industri oleokimia. Metil ester asam lemak ini dapat

dihasilkan melalui transesterifikasi secara metanolisis terhadap ester asam lemak

dengan gliserol (Manurung, 2008).

Ester asam lemak sering dimodifikasi, baik untuk bahan makanan maupun

untuk surfaktan, aditif dan detergen. Senyawa ester dapat dibentuk beberapa cara,

(27)

c. Alkoholisis

O O

R-C-OR’ + R”-OH R-C-OR” + R’-OH

d. Asidolisis

O O O O

R-C-OR’ + R”-C-OH R”-C-OR’ + R-C-OH

(Gandhi, 1997)

Ester merupakan turunan dari asam karboksiat, dimana dapat dibentuk melalui

reaksi langsung antara suatu asam karboksilat dengan alkohol, yang disebut dengan

reaksi esterifikasi (Shreve, 1956)

Yang dikelompokkan sebagai ester asam lemak meliputi :

a. Ester karboksilat tunggal dengan panjang rantai karbon mulai dari C6 sampai C20

b. Ester asam lemak yang hanya mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. .

Ester asam lemak sering dimodifikasi untuk digunakan sebagai bahan

makanan, surfaktan, polimer, sintesis, zat aditif, bahan kosmetik dan kebutuhan lain.

Metil ester asam lemak yang merupakan bagian dari pada ester asam lemak mono

alkohol merupakan zat antara dalam industri oleokimia, di samping dapat digunakan

sebagai bahan bakar biodiesel (Ozgul, 1993).

Banyak senyawa ester yang terdapat di alam memiliki aroma, seperti metal

butanoat yang merupakan minyak dalam buah nanas dan isopentil asetat yang terdapat

dalam buah pisang. Senyawa ester sintetis dalam industri digunakan untuk berbagai

macam produk, seperti dialkil ftalat sebagai plastizer (menjadikan plastic rapuh),

(28)

2.4 Gliserol

Gliserol merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas 3 atom karbon. Jadi tiap

atom karbon mempunyai gugus-OH. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua,

tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserida, digliserida

dan trigliserida.

Sifat fisik dari gliserol :

Merupakan cairan tidak berwarna

Tidak berbau

Cairan kental dengan rasa yang manis

Densitas 1,261

Gliserol dengan bentuk gunting Gliserol dengan bentuk sisir

Gambar 2.2 Struktur Gliserol

Gliserol merupakan senyawa yang telah banyak digunakan di berbagai

industri, baik industri pangan ataupun non pangan seperti industri kosmetik. Gliserol

saat ini sering digunakan sebagai pelarut, pemanis, sabun cair, bahkan sebagai bahan

tambahan industri bahan peledak. Gliserol juga dapat digunakan sebagai komponen

anti beku atau lazim disebut cryoprotectan dan sumber nutrisi pada kultur fermentasi

dalam produksi antibiotika (Lindsay, 1985). Pada industri oleokimia dapat

ditransformasi melalui interesterifikasi membentuk monogliserida dan digliserida

(29)

2.5 Monogliserida dan Digliserida

Sintesis monogliserida dan digliserida dapat dilakukan dengan beberapa metode,

diantaranya adalah esterifikasi langsung, reaksi gliserolisis dan dapat dilakukan secara

enzimatis.

Monogliserida adalah mono ester gliserol dengan asam lemak yang

merupakan gliserida sederhana, karena hanya satu gugus hidroksi pada gliserol yang

diganti oleh asam lemak. Berdasarkan posisi asam lemak yang diikatnya

monogliserida terdiri dari α-monogliserida dan β-monogliserida. Sedangkan berdasarkan asam lemak yang diikatnya monogliserida dapat terdiri dari beberapa

jenis misalnya gliseril monostearat, gliseril monooleat dan lain-lain. Monogliserida

mudah sekali berisomerisasi yaitu perubahan bentuk dari β-monogliserida menjadi α

-monogliserida. α-monogliserida mudah berubah menjadi β-monogliserida dalam

suasana asam, basa atau panas menjadi bentuk α-monogliserida yang lebih stabil (Martin, 1953).

Gambar 2.3 Struktur ά dan β Monogliserida.

Monogliserida sangat banyak ditemukan dalam ekstrak sel dan merupakan

monoester asam lemak dari gliserol. Monogliserida pertama kali disintesis pada tahun

1853 dan baru pada tahun 1960 monogliserida dibuat dalam skala industi melalui

reaksi gliserolisis trigliserida. Berdasarkan jenis substratnya, pembentukan

monogliserida dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu reaksi esterifikasi langsung

(30)

gliserol, melalui transesterifikasi metil ester asam lemak dengan gliserol, melalui

reaksi hidrolisis trigliserida atau lemak dan melalui reaksi kondensasi asam lemak

dengan gliserol atau dengan senyawa-senyawa turunannya (Awang, 2004).

Monogliserida merupakan komponen yang tersusun oleh satu rantai asam

lemak yang diesterifikasi ke rantai gliserol, sehingga monogliserida bagian gugus

hidroksil bebas, yang merupakan hidrofilik dan gugus ester asam lemak yang

merupakan gugus hidrofobik. Karena sifat afinitas gandanya atau sering disebut

amphifilik tersebut, monogliserida dapat digunakan sebagai emulsifier. Monogliserida

dengan satu gugus asam lemak dan dua gugus hidroksil bebas pada gliserol

membuatnya bersifat seperti lemak dan air (Potter, 1986). Monogliserida dapat

disentesis melalui beberapa metode yaitu hidrolisis selektif terhadap trigliserida,

esterifikasi asam lemak atau ester asam lemak dengan gliserol dan gliserol dengan

lemak /minyak (Bornscheuer, 1995).

Monogliserida dapat diperoleh secara alami dan sintesis. Secara alami

monogliserida hanya dalam jumlah kecil saja yaitu hasil hidrolisa lemak atau minyak

oleh enzim lipase selama penyimpanan.Dalam industri, monogliserida biasanya dibuat

dengan dua cara, yaitu dengan cara gliserolisis (reaksi antara gliserol dengan

lemak/minyak) dan reaksi esterifikasi langsung antara asam lemak dengan gliserol.

Esterifikasi langsung dapat menggunakan katalis, misalnya NaOH dan dapat juga

menggunakan protective group, misalnya asetonasi menggunakan aseton sebagai

protective group (Brahmana, 1989).

Digliserida atau diasilgliserida (DAG) adalah ester dari gliserol, dimana dua

gugus hidroksil gliserol teresterifikasi oleh asam lemak. Digliserida terdapat secara

alami pada beberapa minyak dan lemak dengan jumlah berkisar ± 5%.

Diasilgliserida telah luas digunakan sebagai pengemulsi pada pembuatan

makanan. Metode tradisional untuk memproduksi digliserida adalah melalui reaksi

interesterifikasi trigliserida dengan gliserol menggunakan katalis alkali seperti

natrium/kalium hidroksida, natrium metoksida atau kalium asetat. Diasilgliserida juga

(31)

(Flickinger dan Matuso, 2005). Sintesis 1,3-diasilgliserida dengan hasil cukup besar

menggunakan enzim lipase yang spesifik bekerja pada posisi 1 dan 3 gliserol telah

dapat dilakukan. Enzim lipase yang digunakan berasal dari Chromobacterium

viscosum, Rhizopus delemar dan Rhizomucor miehei dengan donor aslinya berasal

dari asam lemak bebas, alkil ester asam lemak dan vinil ester. Keseluruhan reaksi

dilakukan dalam pelarut n-heksan, dietil eter atau t-BuOMe (Maki, et al , 2002)

2.6 Epoksida

Epoksida ialah eter siklik dengan cincin beranggota tiga yang mengandung satu atom

oksigen (Hart,2003). Epoksida ini mudah terkena serangan nukleofilik karena

elektronegativitas oksigen yang menyebabkan terpolarisasinya ikatan C-O (Bresnick,

2002). Penamaan epoksida disebut dengan oksirana. Senyawa oksida pada sintesa

organik merupakan zat antara yang potensial dimanfaatkan untuk beragam bentuk

senyawa dengan berbagai keperluan sehingga penelitian tentang epoksidasi baik

kondisi reaksi, keberlanjutan hasil reaksi maupun manfaat hasil reaksi terus

dikembangkan (Wisewan, 1983).

Epoksidasi terhadap ikatan rangkap adalah salah satu modifikasi kimia

terhadap berbagai senyawa yang memiliki ikatan π. Berdasarkan pada kereaktifan

yang tinggi dari cincin oksiran epoksida dapat dipakai sebagai zat antara untuk

menghasilkan berbagai senyawa kimia, yakni alkohol, alkanol amin, senyawa

karbanil, ester, dan bahan polimer.

Senyawa epoksidasi mengandung gugus oksiran yang dibentuk melalui

reaksi epoksidasi antara asam peroksi dengan olefinat atau senyawa aromatik tidak

jenuh. Reaksi epoksidasi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pembentukan asam

peroksi yang selanjutya digunakan untuk reaksi epoksidasi dan reaksi epoksidasi

secara in-situ. Proses epoksidasi yang dilakukan secara in-situ lebih aman jika

dibandingkan dengan reaksi epoksidasi melalui pembentukan asam peroksi. Selain itu

juga pada reaksi epoksidasi dengan cara tersebut akan dihasilkan dua fase dalam

(32)

asam peroksi mengoksidasi ikatan rangkap, sehingga terjadi pemutusan ikatan

rangkap dan pembentukan gugus oksiran (Nasution, 2006).

Minyak nabati yang memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh merupakan

sumber menarik untuk diperbaharui dalam menghasilkan produk baru yang berguna

tetapi kereaktifannya perlu ditingkatkan melalui penambahan gugus fungsi kedalam

molekul asam lemaknya, dengan demikian dengan berbagai reaksi kimia dan biokimia

telah dilakukan berbagai cara pengubahan menjadi produk yang lebih berharga.

Sejalan dengan reaksi tersebut, epoksida memegang peranan penting karena minyak

maupun ester asam lemak yang terepoksidasi dapat digunakan untuk membuat

senyawa-senyawa yang berbeda fungsinya dalam industri seperti plastizer, stabilizer,

resin, PVC, polyester, poliuretan, resin epoksi, dan pelapisan permukaan (Carlson dan

Chang, 1985).

Metode yang umum digunakan untuk mensintesis epoksida adalah reaksi

alkena dengan asam peroksida dan prosesnya dinamakan epoksidasi. Peroksida

merupakan sumber elektrofilik oksigen dan bereaksi dengan nukleofilik ikatan dari

alkena (Riswiyanto, 2002).

Ada empat teknik yang dapat digunakan untuk menghasilkan epoksida dari

molekul olefin, yaitu :

1. Epoksida dengan asam perkarboksilat yang sering digunakan dalam industri dan

dapat dipercepat dengan bantuan katalis atau enzim.

2. Epoksida dengan peroksida organik dan anorganik, termasuk epoksidasi alkali

dengan hidrogen peroksida nitril dan epoksida yang dikatalisis logam transisi.

3. Epoksida dengan halohidrin, menggunakan asam hipohalogen, dengan garamnya

sebagai reagen dan epoksida olefin dengan defisiensi elektron ikatan rangkap.

4. Epoksida dengan menggunakan molekul oksigen, untuk minyak nabati jarang

digunakan, karena dapat menyebabkan degradasi dari minyak menjadi senyawa

(33)

Epoksidasi dari minyak nabati merupakan hal yang penting dan sangat

berguna terutama dalam hal sebagai stabilisator dan plastisasi bahan polimer.

Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi dari cincin oksiran, epoksida juga dapat

dipakai untuk berbagai jenis bahan kimia yaitu alkohol, glikol, alkanolamin, senyawa

karbonil, senyawa olefin, dan polimer seperti poliester, poliuretan (Goud, et al, 2006)

Adapun reaksinya adalah sebagai berikut :

O O

Gambar 2.4 Reaksi Epoksidasi Terhadap Gugus Olefin Pada Senyawa Alkena

2.7 Poliol

Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari satu.

Dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi maupun

aditif. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam, seperti amilum, selulosa,

sukrosa dan lignin.

Gugus hidroksi pada senyawa organik dapat meningkatkan sifat hidrofil

karena disamping gugus fungsi yang aktif bereaksi dengan berbagai pereaksi untuk

menghasilkan senyawa baru, juga dapat berinteraksi baik melalui dipol-dipol yang

terbentuk maupun melalui ikatan hidrogen dengan gugus hidrofil dari senyawa lain.

(34)

hidroksil yang terikat baik sebagai ester, eter dapat mengubah senyawa tersebut

menjadi lipofil. Adanya sifat hidrofil dan lipofil menyebabkan senyawa poliol banyak

digunakan sebagai surfaktan dalam makanan, kosmetik maupun keperluan farmasi,

seperti obat-obatan (Jung, et al, 1998).

Beberapa minyak nabati diupayakan dalam pembuatan poliol dengan

memanfaatkan asam lemak tidak jenuh terutama oleat, linoleat maupun linolenat.

Seperti halnya pembuatan poliol dari minyak kacang kedelai melalui proses ozonolisis

katalitik dan dihasilkan komposisi gliserida yang baru, yang mana komponen

utamanya adalah rantai 2-hidroksi nonanoat dari gugus hidroksil yang baru. Senyawa

yang terbentuk berupa campuran mono, di dan trigliserida yang memiliki gugus

hidroksi.

Kebutuhan poliol yang cukup meningkat dikembangkan dalam industri

oleokimia. Pada awalnya telah dimanfaatkan risinoleat dari minyak jarak sebagai

sumber poliol dalam bentuk trigliserida yang komposisi utamanya adalah gliserol

tririsinoleat. Bahan poliol dari sumber minyak nabati dikembangkan melalui

transformasi ikatan π pada asam lemak tidak jenuh, baik sebagai trigliserida maupun

bentuk asam lemak dan juga alkil asam lemak, melalui proses kimia seperti ozonolisis,

epoksidasi, hidroformulasi dan metathesis (Goud, et al, 2002).

2.8 Katalis

Katalis adalah suatu zat yang mengakibatkan reaksi lebih cepat mencapai

kesetimbangan. Katalis berpengaruh untuk mengubah kecepatan konversi

(pengubahan) substrat menjadi produk dalam suatu reaksi. Katalis tidak akan

mengubah nilai ketetapan kesetimbangan, dan tidak mengalami perubahan apapun.

Menurut teori kecepatan reaksi absolute, peranan katalis adalah menurunkan energi

aktivasi (Cotton dan Wilkinson, 1989)

Berdasarkan sifat campuran reaksi maka katalis dapat dibagi menjadi 2 jenis,

(35)

pada fasa yang sama disebut katalis homogen, dan bila katalis berada pada fasa yang

berbeda dari reaktannya dikatakan sebagai katalis heterogen.

Pada pembuatan monogliserida secara gliserolisis, jumlah gliserol yang

dicampurkan pada minyak berkisar 25-40% dan ditambah katalis sebesar 0,05-0,2%.

Katalis yang banyak digunakan adalah NaOH, tapi disamping itu, dapat juga

digunakan KOH (Stirton, 1964)

Pada proses esterifikasi langsung, gliserol direaksikan dengan asam-asam

lemak seperti asam oleat, linoleat, stearat, laurat dan lain-lain dalam suasana vakum

pada suhu 180°C katalis yang digunakan adalah NaOH. Reaksi terjadi dalam dua

tingkatan. Pertama molekul asam lemak menyebar secara acak antara ketiga gugus

OH dari gliserol yang menghasilkan trigliserida, dan tingkatan kedua adalah campuran

antara gliserolisis dan esterifikasi. Kesetimbangan reaksi dicapai setelah pemanasan

berlangsung selama 1-4 jam. Pada akhir kesetimbangan reaksi, baik secara gliserolisis

maupun esterifikasi langsung, campuran yang dihasilkan tidak seluruhnya merupakan

monogliserida, tetapi terdiri dari campuran digliserida dan trigliserida

(Choudhury,1962).

2.9 Emulsifier

Emulsifier adalah bahan yang berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan

diantara dua fase yang tidak saling bercampur, sehingga dapat bersatu dan berbentuk

emulsi (Dziezak, 1988). Emulsifier biasanya berupa ester yang memiliki gugus

hidrofilik dan lipofilik.

Emulsifier terbagi menjadi tiga yaitu emulsifier ionik, nonionik dan

ampoterik. Emulsifier ionik ini merupakan emulsifier yang mempunyai muatan yang

dibagi menjadi dua bagian yaitu emulsifier kationik dan anionik. Emulsifier ampoterik

merupakan emulsifier yang memiliki baik gugus anoin maupun kation sehingga

tergantung pada pH. Sedangkan emulsifier nonionik yaitu emulsifier yang tidak

(36)

segmen lipofilik dan hidrofilik seperti monogliserida dan digliserida. Cara kerja

emulsifier ini dengan menurunkan tegangan permukaan antara dua fase kemudian

akan menstabilkan produk ( Kamel, 1991).

Emulsifier dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai HLB. Nilai tersebut

menunjukkan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilik (menyukai air atau

polar) dan gugus lipofilik (menyukai minyak atau non polar) dari dua fase yang

diemulsikan. Emulsifier yang mempunyai nilai HLB rendah biasanya diaplikasikan ke

dalam produk emulsi water in oil (w/o), sedangkan emulsifier dengan nilai HLB

tinggi sering digunakan dalam produk emulsi oil in water.

Klasifikasi emulsifier berdasarkan nilai HLBnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.3 Nilai HLB dan Aplikasinya

Nilai HLB Aplikasi

3-6 Emulsifier w/o

7-9 Wetting agent

8-18 Emulsifier o/w

13-15 Detergen

15-18 Stabilizer

Sumber : Becker (1983)

2.10 Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan suatu metode analisis yang didasarkan pemisahan fisik

zat organik atau anorganik yang stabil pada pemanasan dan mudah diatsirikan. Pada

kromatografi gas sampel diuapkan di dalam gerbang suntik dan selanjutnya

mengalami pemisahaan fisik di dalam kolom setelah dielusi dengan gas pembawa

yang lembam ( Mulja, 1995). Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas

dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara

fase bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah

(37)

Dikenal dua macam metode kromatografi gas yaitu :

1. Kromatografi Gas Padat (KGP)

Dimana sebagai fase diam adalah butiran-butiran adsorben padat dan fase

gerak adalah gas. Mekanisme pemisahan komponen sampel adalah perbedaan

sifat fisik adsorbs oleh fase diam. Ada beberapa kelemahan pada KGP yaitu

adsorbs fase diam terhadap komponen-komponen sampel bersifat

semipermanen terutama terhadap molekul yang aktif atau molekul yang polar.

Disamping itu KGP seringkali memberikan bentuk kromatogram yang berekor

dan efektivitas pemisahaan komponen sangat dipengaruhi bobot molekul. KGP

lebih efektif untuk pemisahaan komponen-komponen dengan massa molekul

relatif rendah.

2. Kromatografi Gas Cair (KGC)

Pada KGC sebagai fase gerak adalah gas yang lembam dan fase diam adalah

cairan yang disalutkan tipis pada permukaan butiran padat sebagai pendukung.

Mekanisme pemisahannya adalah perbedaan partisi komponen-komponen

sampel di antara fase gas dan fase cair ( Mulja, 1995).

Kromatografi gas (KG) merupakan metode pilihan untuk pemisahaan dan

analisis kuantitatif asam-asam lemak. Untuk meningkatkan volatilitasnya dan untuk

meningkatkan efesiensi pemisahan, asam-asam lemak pada umumnya diderivatisasi

sebelum dilakukan analisis secara KG. Metilasi merupakan metode derivatisasi yang

paling sering digunakan karena sederhana dan biayanya murah. Kolom kapiler lebih

dipilih untuk analisis asam-asam lemak ini karena mempunyai kapasitas pemisahaan

yang lebih tinggi. Metilasi dilakukan dengan BF3 10 % dalam metanol. Kolom kapiler silica lebur ( CP Sil 88,50 x 0,25 mm i.d; ketebalan lapisan 0,20 mikron) digunakan

untuk pemisahaan secara isothermal. Suhu kolom bervariasi antara 155oC – 185oC; suhu lubang injeksi dan suhu detector dipertahankan pada suhu 250oC. Helium digunakan sebagai gas pembawa (tekanan inlet 120 kPa). Urutan retensi metal ester

asam lemak tergantung pada suhu kolom (Rohman, 2008).

Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk

memisahkan campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beragam.

(38)

tambat), yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang

menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom. Kekurangan alat ini

adalah tidak mudah memisahkan campuran dalam jumlah yang besar (Mc Nair, 1988).

Waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di kolom disebut

waktu tambat, yang diukur mulai saat penyuntikan sampai terjadi elusi (Gritter, 1991).

Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot molekul rendah sampai

tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya dengan beberapa metode

kromatografi. Sifat- sifat yang harus dimiliki cuplikan agar dapat dipisahkan dengan

kromatografi, antara lain :

1. Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)

2. Kecenderungan molekul untuk melarut pada permukaan serbuk halus

(adsorpsi)

3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap

(keatsirian) (Willet, 1987)

2.11 Spektroskopi Inframerah

Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah vibrasi molekul

yang dideteksi dan diukur pada spektrofotometer inframerah. Spektra di daerah merah

dapat dipergunakan untik mempelajari sifat-sifat bahan. Perubahan struktur yang

sedikit saja, dapat memberikan perubahan yang dapat diamati pada spektogram

panjang gelombang vs transmitansi. Perubahan ini sangat spesifik dan merupakan

sidik jari suatu molekul, dengan membandingkan spektogram yang dihasilkan oleh

bahan yang diuji terhadap bahan yang sudah diketahui secara kualitatif.

Penerapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan fungsi

peak (% transmitan) pada panjang gelombang terkait yang dihasilkan oleh zat-zat

yang diuji dan zat standart. Spekrta inframerah terutama ditujukan untuk senyawa

(39)

Spektra inframerah biasanya merupakan spektrofotometer berkas ganda dan

terdiri dari empat bagian utama, yaitu sumber cahaya, monokromator, kisi difraksi dan

detektor.

1. Sumber cahaya

Sumber cahaya berfungsi untuk memberikan panjang gelombang yang

dibutuhkan untuk analisa. Berbagai tipe sumber inframerah digunakan sesuai

dengan kebutuhannya.

2. Monokromator

Monokromator berfungsi untuk mengurangi spektrum sinar menjadi berbagai

spektra sesuai dengan urutan panjang gelombang yang dianalisa, yang diperoleh

melalui sebuah slit (celah) panjang gelombang.

3. Sampel ditempatkan pada sebuah sel yang dibuat khusus. Syarat umum dari sel

untuk sampel ini adalah transparan terhadap panjang gelombang yang

digunakan. Berarti sel untuk inframerah harus transparan terhadap sinar

inframerah. Umumnya sel ini terbuat dari NaCl yang memiliki sifat kekerasan

yang mudah larut dalam air.

4. Detektor

Detektor yang digunakan juga bermacam-macam sesuai dengan tipe

instrumennya. Untuk spektrofotometer infra double beam, data pengukuran

transmitans dari sampel diolah dan ditampilkan dalam bentuk spektogram

(grafik) yang menggambarkan hubungan antara frekuensi dan persen (%)

transmitans. Spektogram ini berguna untuk identifikasi secara kualitatif.

Alat-alat yang modernkebanyakan menggunakan detektor “thermopile”. Dasar kerja

thermopile adalah sebagai berikut : Jika 2 kawat logam yang berbeda

dihubungkan antara ujung kepala dan ekor, akan menyebabkan adanya arus yang

mengalir dalam kawat. Arus yang mengalir akan sebanding dengan intensitas

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

Nama Alat Ukuran Merck

Alat Vakum Fisons

Beaker Glass 100 ml Pyrex

Hotplate stirrer Thermolyne

Kertas Saring

Kondensor Pyrex

Labu leher dua 250 ml Pyrex

Labu takar 250 ml Pyrex

Neraca Analitis Mettler PM 480

Pengaduk magnetic Thermolyne

Rotarievaporator Heidolph

Statif dan Klem

Tabung CaCl2 Pyrex

Tabung Iodine

(41)

3.2Bahan

Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

Akuades -

Amilum p.a E’Merck

Asam Formiat 90% p.a E’Merck

Asam Klorida 37% p.a E’Merck

Asam Oksalat (s) p.a E’Merck

Asam Oleat p.a E’Merck

Asam Sitrat (s) p.a E’Merck

Asam Sulfat 98% p.a E’Merck

CaCl2 Anhidrat p.a E’Merck

Dietil eter p.a E’Merck

Gliserol PT SOCI

Hidrogen Peroksida 30% p.a E’Merck

Iodin p.a E’Merck

Kalium Hidroksida (pellet) p.a E’Merck

Kalium Iodida p.a E’Merck

Metanol

n-heksana p.a E’Merck

Natrium Hidroksida (pellet) p.a E’Merck

Natrium Sulfat Anhidrat p.a E’Merck

Natrium Tiosulfat p.a E’Merck

Nitrogen PT Aneka Gas

(42)

3.3Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Reagen dan Standarisasi

3.3.1.1Pembuatan Larutan KOH-Alkohol 0,5N

Ditimbang KOH sebanyak 7,0125 gram dan dilarutkan dengan alkohol dalam labu

takar 250 mL sampai garis batas dan distandarisasi dengan menggunakan larutan

H2C2O4 0,5N dan indikator fenolftalein.

3.3.1.2 Pembuatan Larutan KOH 0,5N

Ditimbang KOH sebanyak 4,5 gram dan dilarutkan dengan akuades dalam labu takar

250 mL sampai garis batas dan distandarisasi dengan menggunakan larutan H2C2O4 0,5N dan indikator fenolftalein.

3.3.1.3Pembuatan Larutan HCl 0,1N

Diukur sebanyak 2,07 mL larutan HCl 37% lalu diencerkan dengan akuades dalam

labu takar 250 mL sampai garis batas dan distandarisasi dengan menggunakan larutan

Na2CO3 0,1N.

3.3.1.4Pembuatan Larutan H2C2O4 0,1N

Ditimbang 1,575 gram H2C2O4.2H2O lalu dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml dan diencerkan dengan akuades sampai garis tanda.

3.3.1.5Pembuatan Larutan Indikator Fenolftalein 1%

Ditimbang 1 gram fenolptalein dan dilarutkan dengan alkohol dalam labu takar 100

(43)

3.3.1.6Pembuatan Alkohol Netral

Ke dalam 200 mL alkohol 96% ditambahkan 4 tetes indikator fenolftalein dan ditetesi

dengan larutan KOH 0,1N hingga menjadi larutan merah muda.

3.3.1.7Pembuatan Larutan KI 10%

Ditimbang 10 gram Kristal KI, dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 100 ml

sampai garis batas.

3.3.1.8Pembuatan Larutan Na2S2O3 0,1N

Ditimbang 6,25 gram Kristal Na2S2O3.5H2O, dilarutkan dengan akuades dan diencerkan dalam labu takar 250 ml sampai garais batas. Distandarisasi dengan

larutan K2Cr2O7 0,1N menggunakan indikator amilum mengikuti titrasi secara iodometri.

3.3.1.9Pembuatan Larutan KOH 0,1N

Dipipet 50 ml larutan KOH 0,5N kemudian diencerkan dengan akuades dalam labu

takar 250 ml sampai garis batas. Distandarisasi dengan larutan H2C2O4 0,1N menggunakan indikator fenolftalein.

3.3.1.10 Pembuatan Larutan Asam Sitrat 10%

Ditimbang kristal sebanyak 10 gram dan dilarutkan dengan akuades dalam labu takar

(44)

3.3.2 Pembuatan Monogliserida Oleat Campuran

Ke dalam labu leher dua dimasukkan 120 ml gliserol dan 1 gram NaOH pellet.

Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2. Kemudian dipanaskan sampai pada suhu 120oC sambil diaduk selanjutnya melalui corong penetes ditesteskan sebanyak 50 ml asam oleat secara perlahan- lahan. Direfluks pada suhu

200oC dalam keadaan vakum dengan gas N2 selama 5 jam. Hasil reaksi didinginkan pada suhu kamar, kemudian dimasukkan kedalam corong pisah dan diekstraksi dengan

75 ml dietil eter. Fase dietil eter ditambahkan dengan larutan asam sitrat 10%

sebanyak 20 mL dan dicuci dengan akuades sebanyak 2 kali masing- masing sebanyak

10 ml. Kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotarievaporator. Hasil

yang diperoleh dianalisis melalui analisis spektroskopi FT-IR, dilanjutkan analisis

KGC, bilangan iodine dan harga HLB.

3.3.3 Pembuatan Senyawa Gliseril 9,10- Dihidroksi Stearat

Ke dalam labu leher dua dimasukkan 30 ml HCOOH 90% dan 15 mL H2O2 30% sambil diaduk. Dirangkai alat refluks yang dilengkapi dengan tabung CaCl2. Kemudian ditambahkan 1 mL H2SO4 (p) secara perlahan-lahan melalui corong penetes dan diaduk selama 1 jam pada suhu 40-45°C. Setelah itu ditambahkan 30 mL

monogliserida campuran melalui corong penetes dan direfluks kembali selama 2 jam

pada suhu 40-45°C. Hasil refluks dimasukkan ke dalam corong pisah dan diamkan

selama 1 malam. Lapisan atas diekstraksi dengan 50 mL dietil eter, kemudian dicuci

dengan NaOH 2N dan akuades sebanyak 2 kali masing- masing sebanyak 10 ml.

Lapisan eter dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat dan disaring. Filtrat yang diperoleh dirotarievaporasi dan selanjutnya, hasil yang diperoleh dianalisis melalui analisis

(45)

3.3.4 Prosedur Analisis

3.3.4.1 Analisis Bilangan Penyabunan

Analisis ini dilakukan terhadap monogliserida oleat campuran dan gliseril

9,10-dihidroksi stearat.

Ditimbang ± 0,3 gram sampel dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Ditambahkan 25

mL larutan KOH-alkohol 0,5N kemudian dipanaskan hingga mendidih. Didinginkan

dan ditambah 3 tetes indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan larutan HCl

0,1N hingga warna merah muda hilang.

Dicatat volume HCl 0,1N yang terpakai dan dihitung bilangan penyabunan dengan

rumus :

(Vblanko – Vsampel) x N HCl x 56,1

Bil.Penyabunan =

Massa sampel (gr)

3.3.4.2 Analisis Bilangan Asam

Analisis ini dilakukan terhadap monogliserida oleat campuran dan gliseril

9,10-dihidroksi stearat.

Ditimbang ± 0,3 gram sampel dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Ditambahkan 10

mL larutan isopropil alkohol. Erlenmeyer tersebut ditutup dengan plastik dan

dipanaskan sampai mendidih. Larutan tersebut didinginkan dan ditambahkan 3 tetes

indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0,1N sampai terbentuk

warna merah muda.

Dicatat volume KOH 0,1N yang terpakai dan dihitung bilangan asam dengan rumus :

V KOH x N KOH x 56,1

Bil.Asam =

(46)

3.3.4.3Penentuan Harga HLB

Analisis ini dilakukan terhadap monogliserida oleat campuran dan gliseril

9,10-dihidroksi stearat.

Harga HLB dapat diperoleh dari bilangan asam dan bilangan penyabunan dari

senyawa ester dengan menggunakan rumus :

S

HLB = 20 1 –

A

Dimana : S = Bilangan penyabunan

A = Bilangan asam

3.3.4.4Analisis Bilangan Iodin

Analisis ini dilakukan terhadap monogliserida oleat campuran dan gliseril

9,10-dihidroksi stearat.

Ditimbang sampel sebanyak ± 0,3 gram ke dalam Erlenmeyer 250 ml yang bertutup,

lalu ditambahkan 20 ml sikloheksana, kemudian dikocok/diguncang untuk

memastikan sampel telah benar-benar larut. Ditambahkan 25 ml larutan Wijs ke

dalamnya, kemudian ditutup dan dikocok agar campuran benar-benar bercampur.

Disimpan bahan tersebut dalam ruang gelap selama ± 30 menit. Diambil bahan

tersebut dari tempat penyimpanan dan ditambahkan 25 ml larutan KI10% dan 150 ml

air. Dititrasi dengan larutan Na2S2O4

Dicatat volume Na

0,1N sampai warna kuning hampir hilang

(kuning pucat). Ditambahkan 1-2 ml indikator amilum ke dalamnya dan dititrasi

kembali sampai warna biru hilang.

2S2O4

(Vblanko – Vsampel) x N Na

0,1N yang terpakai dan dihitung bilangan iodin dengan

rumus :

2S2O4 Bil.Iodin =

x 12,69

(47)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Monogliserida Oleat Campuran

120 mL gliserol

dimasukkan ke dalam labu leher dua

ditambahkan 1 gr NaOH pellet

dirangkai alat refluks dilengkapi dengan tabung CaCl2 anhidrous

dipanaskan sampai suhu 120oC sambil diaduk

dengan magnetik stirer

ditambahkan 50 mL asam oleat melalui corong penetes

direfluks kembali pada suhu 200oC dalam keadaan vakum dengan gas N2 selama 5 jam

campuran

didinginkan pada suhu kamar

dimasukkan ke dalam corong pisah

diekstraksi dengan 75 mL dietil eter

lapisan atas lapisan bawah

ditambahkan asam sitrat 10% sebanyak 20 mL

dicuci dengan aquadest sebanyak 2 kali masing-masing 10 mL

lapisan atas lapisan bawah

diuapkan dengan rotarievaporator pada suhu 33oC

hasil destilat

(48)

3.4.2 Pembuatan Gliseril 9,10-dihidroksi Stearat

30 mL HCOOH 90%

dimasukkan ke dalam labu leher dua

ditambah 15 mL H2O2 30% setetes demi setetes

ditambahkan 1 mL H2SO4 (p) setets demi setetes melalui corong penetes sambil diaduk

diaduk pada suhu 40-45oC selama 1 jam dirangkai alat refluks dilengkapi dengan tabung CaCl2 anhidrous

ditambahkan 30 mL monogliserida oleat campuran

campuran

diaduk pada suhu 40-45oC selama 2 jam

didiamkan selama 1 malam

lapisan atas

dimasukkan ke dalam corong pisah

lapisan bawah

ditambah 50 mL dietil eter

dicuci dengan 10 mL NaOH 2N

dicuci dengan aquadest sebanyak 2 kali masing-masing 10 mL

lapisan atas lapisan bawah

dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous

disaring

filtrat residu

dirotarievaporasi

hasil

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Pembuatan Monogliserida Oleat Campuran

Esterifikasi asam oleat dengan katalis NaOH, dengan waktu reaksi selama 5 jam

dalam temperatur 200°C menghasilkan monogliserida dan digliserida. Hasil analisis

melalui Kromatografi Gas Cair detektor FID (Flame Ionization Detector), kolom

DB-5HT (15m x 0,25m) dengan gas pembawa He, suhu injektor dan detektor 380°C

diperoleh kromatogram (Gambar 4.1) dengan komposisi seperti pada Tabel 4.1

Hasil analisis FT-IR dari produk gliserolisis asam oleat dengan katalis NaOH

diperoleh spektrum dengan puncak-puncak vibrasi pada daerah bilangan gelombang

(50)

Gambar 4.1 Kromatogram hasil esterifikasi asam oleat dengan katalis NaOH

(51)

Tabel 4.1 Persen komposisi hasil reaksi esterifikasi asam oleat dengan katalis NaOH

Komponen Kadar (%)

Gliserol 1,1531

Ester 61,8124

Monogliserida 21,6774

Digliserida 11,972

4.1.2 Pembuatan Senyawa Gliseril 9,10-dihidroksi stearat

Pembuatan senyawa gliseril 9,10 dihidroksi stearat campuran diperoleh melalui

epoksidasi monogliserida campuran dengan asam performat yang dilanjutkan dengan

hidrolisis. Asam performat yang digunakan diperoleh dari reaksi antara HCOOH 90%

dengan H2O2 30% menggunakan katalis H2SO4 (p) yang selanjutnya diikuti penambahan hasil gliserolisis yang direfluks pada suhu 40-45°C. Dalam hal ini, ikatan

π dari monogliserida campuran yang tidak jenuh akan membentuk cincin epoksida dan

selanjutnya diikuti hidrolisis menghasilkan senyawa gliseril 9,10 dihidroksi stearat.

Hasil analisis FT-IR dari produk gliseril 9,10 dihidroksi stearat campuran diperoleh

(52)

Gambar 4.3 Spektrum FT-IR senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pembuatan Monogliserida Oleat Campuran

Esterifikasi terhadap asam oleat dengan menggunakan katalis NaOH pada suhu 200°C

menghasilkan campuran monogliserida dan digliserida. Hasil esterifikasi yang

dihasilkan dianalisa dengan spektroskopi FT-IR dan dilanjutkan analisis KGC untuk

menghitung kadar dari monogliserida dan digliserida yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil analisis FT-IR terhadap hasil gliserolisis asam lemak

menggunakan katalis NaOH diperoleh spektrum (Gambar 4.2) dengan puncak

serapan pada bilangan gelombang 3371 cm-1 sampai 3356 cm-1 menunjukkan vibrasi stretching O-H pada monogliserida dan digliserida maupun gliserol yang tidak habis

(53)

menunjukkan vibrasi stretching =C-H (alkena) yang didukung oleh puncak serapan

C=C pada bilangan gelombang 1651 cm-1. Pada bilangan gelombang 2924 cm-1 dan 2854 cm-1 menunjukkan vibrasi stretching C-H sp3 asimetrik dan simetrik untuk -CH2- yang didukung oleh vibrasi bending C-H sp3 pada bilangan gelombang 1458 cm-1 dan 1361 cm-1. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1735 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O dari ester yang didukung oleh puncak serapan C-(C=O)-C pada bilangan

gelombang 1172 cm-1. Puncak serapan pada bilangan gelombang 725 cm-1 menunjukkan adanya alkil rantai panjang –(CH2)n dimana (n≥4).

Harga bilangan iodin dari senyawa monogliserida oleat campuran yang diperoleh

sebesar 79,01 (lampiran F). Hasil penentuan harga HLB monogliserida oleat

campuran adalah sebesar 9,08 (lampiran G)

Adapun reaksi dari pembuatan mono dan digliserida oleat adalah sebagai berikut :

(54)

2H3C-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C

Gambar 4.4 Reaksi esterifikasi asam oleat menggunakan katalis NaOH

4.2.2 Pembuatan senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat.

Monogliserida campuran yang diperoleh selanjutnya diepoksidasi dengan asam

performat, kemudian dilanjutkan dengan reaksi hidrolisis sehingga dihasilkan senyawa

gliseril 9,10-dihidroksi stearat.

Asam formiat dan hidrogen peroksida direaksikan membentuk senyawa

performat dengan bantuan katalis H2SO4 (p), selanjutnya diikuti penambahan monogliserida oleat campuran dan direfluks pada suhu 40-45°C selama 2 jam. Dalam

hal ini, ikatan π dari monogliserida oleat campuran yang tidak jenuh pada atom C9,10 akan membentuk cincin epoksida dan selanjutnya dihidrolisis menghasilkan senyawa

(55)

Berdasarkan hasil FT-IR terhadap hasil epoksidasi dan hidrolisis dari

monogliserida campuran diperoleh spektrum (Gambar 4.3) dengan puncak serapan

pada bilangan gelombang 3431 cm-1 yang merupakan serapan khas gugus OH. Pada daerah ini, sebelum diepoksidasi belum ditemui puncak serapan tersebut dan yang

ditemui adalah pada daerah 3091 cm-1 (C-H sp2) serta pada daerah 1651 cm-1 (C=C) yang menunjukkan bahwa masing-masing ikatan π pada monogliserida oleat

campuran telah dioksidasi dan berubah menjadi bentuk diol. Pada bilangan gelombang

2924 - 2852cm-1 dan menunjukkan serapan khas dari vibrasi stretching C-H sp3 yang didukung oleh puncak vibrasi pada daerah bilangan gelombang 1459 – 1415 cm-1 yang menunjukkan serapan khas dari vibrasi bending C-H sp3. Pada bilangan gelombang 1735 cm-1 menunjukkan serapan khas gugus karbonil (C=O) dan bilangan gelombang pada daerah 1173 cm-1 menunjukkan serapan khas gugus C-O-C yang menunjukkan adanya ester.

Senyawa gliseril 9,10 dihidroksi stearat memiliki bilangan iodin sebesar 30,74.

Penurunan bilangan iodin ini menunjukkan adanya penurunan ikatan rangkap dan

terjadi reaksi oksidasi terhadap ikatan rangkap atom C9,10 pada senyawa gliseril oleat, serta didukung oleh kenaikan harga HLB dari senyawa gliseril 9,10 dihidroksi stearat

(56)

Adapun reaksi dari pembuatan gliseril 9,10-dihidroksi stearat adalah sebagai berikut :

(57)

2.

Gliseril di 9,10 dihidroksi stearat H2O

(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran dapat disintesis dari asam

oleat melalui reaksi esterifikasi, epoksidasi yang diikuti dengan hidrolisis.

2. Harga HLB dari senyawa gliseril 9,10-dihidroksi stearat campuran adalah

sebesar 11,02 dan dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi o/w.

5.2 Saran

1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar memisahkan monogliserida dan

digliserida yang diperoleh.

2. Diharapkan kepada peneliti berikutnya untuk melakukan sintesis poliol dengan

Gambar

Tabel 2.1 Diagram alur Oleokimia
Gambar 2.1 Struktur trans dan cis asam oleat
Tabel 2.2 Kondisi Optimum Katalis Dalam Proses Esterifikasi Kimia.
Gambar 2.4 Reaksi Epoksidasi Terhadap Gugus Olefin Pada Senyawa Alkena
+6

Referensi

Dokumen terkait

Indosat IM3 perlu meningkatkan dan menjaga retensi pelanggan mereka dengan melihat pengaruh yang diberikan variabel independen yaitu kepuasan pelanggan, kepercayaan

1) Tingkat loyalitas yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal sama sekali dan tidak tertarik pada merek tersebut. 2) Tingkat loyalitas yang kedua adalah para pembeli yang

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi apa yang dihilangkan (Loss) dan yang ditambahkan (Gain), (2) Menunjukkan faktor penyebab terjadinya Loss dan

Berdasarkan hasil wawancara dari informan tersebut menjelaskan bahwa program Sistem Informasi Jejaring Rujukan Expanding Maternal and Newborn Survival (Si Jari Emas) adalah

Untuk merealisasikan strategi pencapaian visi dan misi daerah tadi, secara fungsional Kecamatan Maron dituntut untuk mampu menterjemahkannya kedalam berbagai bentuk

In the present research, like many others, uses GA for optimal water allocation to farms considering crop water requirement and in deficit irrigation

Tugas, Fungsi dan Strusktur Kecamatan Maron sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Probolinggo Nomor 39 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas dan Fungsi Kecamatan

We restricted data-driven modelling to areas with dense data and we just used the dense data related to lower floors, using dense parts of data caused to derivate vivid