BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.6. Montreal Cognitive Assessment
Montreal Cognitive Assessment dikembangkan berdasarkan pada institusi klinis oleh Nasreddin dan kawan-kawan dari Quebec, Kanada pada tahun 2005, berdasarkan atas ranah dari hendaya yang secara umum ditemui pada hendaya kognitif ringan dan yang paling baik diadaptasi sebagai tes skrining.15 Di Indonesia, MoCA telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Husein dan kawan-kawan pada tahun 2009, dan disebut sebagai MoCA-Ina.30 Waktu yang diperlukan untuk memeriksa dan mengisi MoCA sekitar 10 menit. Total skor yang mungkin adalah 30 butir, skor 26 atau lebih dianggap normal.15
Untuk memeriksa gangguan kognitif salah satunya adalah dengan menggunakan MoCA. MoCA terdiri dari 30 butir yang akan diujikan dengan menilai beberapa ranah kognitif, yaitu:
a. Fungsi eksekutif. Dinilai dengan trail-making B (1 butir), phonemic fluency test (1 butir), dan two item verbal abstraction (1 butir);
b. Visuospasial. Dinilai dengan clock drawing test (3 butir) dan menggambarkan kubus 3 dimensi (1 butir);
c. Bahasa. Menyebutkan 3 nama binatang, yaitu singa, unta, badak (3 butir), mengulang dua kalimat (2 butir), kelancaran berbahasa (1 butir);
d. Delayed recall. Menyebutkan 5 kata (5 butir), menyebutkan kembali setelah 5 menit (5 butir);
e. Atensi. Menilai kewaspadaan (1 butir), mengurangi berurutan (3 butir), digit fordward dan backward (masing-masing 1 butir);
f. Abstraksi. Menilai kesamaan suatu benda (2 butir);
g. Orientasi. Menilai menyebutkan tanggal, bulan, hari, tempat dan kota (masing-masing 1 butir).31
2. 6. Kerangka Teori
Pada penelitian ini akan dicari hubungan faktor-faktor yang
mempengaruhi fungsi kognitif, yaitu:
β’ Tingkat inteligensia
β’ Tingkat pendidikan
β’ Lama sakit
2. 7. Kerangka Konseptual
Pasien Skizofrenik
Fungsi Kognitif Tingkat
Inteligensia
Tingkat Pendidikan
BAB III. METODE PENELITIAN
3. 1. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional.
3. 2. Tempat dan Waktu Penelitian 3. 2. 1. Tempat penelitian
Tempat penelitian dilakukan di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr. Muhammad Ildrem, Medan.
3. 2. 2. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015.
3. 3. Populasi dan Sampel
1. Populasi target adalah pasien skizofrenik yang didiagnosis berdasarkan PPDGJ-III
2. Populasi terjangkau adalah pasien skizofrenik di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr. Muhammad Ildrem, Medan yang diperiksa dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015.
3. Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik yang berada dalam fase stabilisasi di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr.
Muhammad Ildrem, Medan yang diperiksa dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015 yang memenuhi kriteria inklusi.
3. 4. Cara Pengambilan Sampel dan Perkiraan Besar Sampel
Cara pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability sampling jenis penarikan consecutive sampling. Dipakai rumus besar sampel untuk penelitian korelatif. Rumusnya adalah:32
ππ = οΏ½ ππππ + ππππ 0,5βππ 1 + ππ1 β ππ
οΏ½
2
+ 3
ππ = Besar sampel
ππππ = Kesalahan tipe I ditetapkan 5%, = 1,64 ππππ = Kesalahan tipe II ditetapkan 10% = 1,28
ππ = Korelasi minimal yang dianggap bermakna ditetapkan 0,4
ππ = οΏ½ 1,64 + 1,28 0,5βππ 1 + 0,41 β 0,4
οΏ½
2
+ 3
ππ = οΏ½ 2,92 0,5βππ 1,40,6
οΏ½
2
+ 3
ππ = οΏ½ 2,92 0,5βππ(2,33)οΏ½
2+ 3
ππ = οΏ½2,92 0,42οΏ½
2
+ 3 ππ = 48,30 + 3 ππ = 51,30
Besar sampel minimal adalah 51,30. Besar sampel dibulatkan menjadi 54.
3. 5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3. 5. 1. Kriteria inklusi:
1. Pasien skizofrenik laki-laki dan perempuan 2. Berada dalam fase stabilisasiisasi
3. Berumur 16 hingga 55 tahun
4. Dapat membaca dan menulis bahasa Indonesia
5. Pendidikan terakhir minimal tamat pendidikan tingkat dasar (SMP) 6. Kooperatif
3. 5. 2. Kriteria eksklusi:
Pasien dengan komorbid penyakit fisik berat (misalnya: stroke, diabetes melitus, delirium);
3. 6. Izin Subyek Penelitian
Semua subyek penelitian atau keluarganya diminta untuk menandatanganani surat persetujuan ikut dalam penelitian ini setelah terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan
3. 7. Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara berdasarkan surat nomor 14/KOMET/FK USU/2015 tanggal 16 Januari 2015.
3. 8. Cara Kerja
β’ Pasien skizofrenik di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr.
Muhammad Ildrem, Medan yang memenuhi kriteria inklusi akan diwawancarai dan dicatat data pasien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, jenis obat antipsikotik yang dipakai selama 4 minggu terakhir, dan lama sakit.
β’ Kemudian akan dilakukan penilaian tingkat inteligensia menggunakan instrumen Wilson Rapid Approximate Intelligence (RAIT). Dimulai dengan mengalikan 2 x 48 sebagai skrining awal.
Jika subyek dapat mengalikan ini, maka subyek dinyatakan tidak berada pada borderline atau retardasi dan tes dilanjutkan dengan mengalikan 2 x 384, jika subyek dapat mengalikannya, berturut-turut diteruskan lagi dengan mengalikan 2 x 1.536 dan 2 x 3.072.
Bila subyek tidak dapat mengalikan 2 x 48, maka subyek diminta untuk melakukan perkalian 2 x 24 dan 2 x 6. Interpretasi dari tes RAIT adalah retarded, borderline, dull normal, average, bright normal, dan superior. Tingkat inteligensia akan dibagi menjadi tiga, yaitu tingkat inteligensia rendah (retarded dan borderline), tingkat
inteligensia normal (dull normal dan average), dan tingkat inteligensia tinggi (bright normal dan superior). Perkalian harus dilakukan secara luar kepala.
β’ Untuk melihat hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif, untuk masing-masing tingkat inteligensia akan diambil jumlah subyek yang sama banyak.
β’ Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga, yaitu tingkat pendidikan dasar, tingkat pendidikan menengah, dan tingkat pendidikan tinggi.
β’ Untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif, untuk masing-masing tingkat pendidikan akan diambil jumlah subyek yang sama banyak.
β’ Lama sakit dibagi menjadi dua, yaitu subkronik (β€ 2 tahun) dan kronik (> 2 tahun).
β’ Untuk melihat hubungan antara lama sakit dengan fungsi kognitif, untuk masing-masing kelompok lama sakit akan akan diambil jumlah subyek yang sama banyak.
β’ Selanjutnya akan diperiksa fungsi kognitif subyek penelitian menggunakan instrumen Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina). Pemeriksaan fungsi kognitif yang terdiri dari 30 butir. Dinilai beberapai ranah kognitif, yaitu: fungsi eksekutif, visuospasial, bahasa, delayed recall, atensi, abstraksi, dan orientasi. Fungsi kognitif akan dibagi menjadi dua, yaitu fungsi kognitif normal (dengan nilai β₯ 26) dan fungsi kognitif tidak normal.
β’ Hasil yang didapatkan akan dikumpulkan dan selanjutnya akan dianalisis untuk mencari hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif; tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif;
dan lama sakit dengan fungsi kognitif.
3. 9. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional
Alat Ukur
Observasi Laki-laki dan perempuan
Wawancara Kawin dan tidak kawin
Nominal
6. Pekerjaan Kegiatan yang ditujukan untuk mendapatkan uang bagi kebutuhan hidup
Wawancara Bekerja dan tidak bekerja
9. Skizofrenia fase akut (4-6 minggu) dan tidak menunjukkan peningkatan
simtomatologi dan regimen pengobatan tidak berubah dalam 4 minggu terakhir.31
10. RAIT Pemeriksaan tingkat inteligensia melalui perkalian 2 x 48 sebagai skrining awal.24
Wawancara β’ Rendah
β’ Normal
β’ Tinggi
Ordinal
11. MoCA-Ina Pemeriksaan fungsi kognitif yang terdiri dari 30 butir. Dinilai beberapai ranah
Wawancara Fungsi kognitif normal dan tidak normal
Nominal
3. 10. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas :
β Tingkat inteligensia
β Tingkat pendidikan
2. Variabel tergantung : Fungsi kognitif
3. 11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis hasil penelitian akan dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan program Statistical Package for
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang akan dicari hubungannya, yaitu tingkat inteligensia (ordinal) dengan fungsi kognitif (nominal); dan tingkat pendidikan (ordinal) dengan fungsi kognitif (nominal). Salah satu variabel, yaitu fungsi kognitif pada penelitian ini merupakan variabel nominal. Dalam penelitian ini variabel tingkat inteligensia dan tingkat pendidikan dianggap sebagai variabel bebas, sedangkan fungsi kognitif sebagai variabel tergantung. Oleh karena karena kedua variabel yang akan diuji kedudukannya tidak setara, maka digunakan uji korelasi Lambda.35
3. 12. Kerangka Kerja
Inklusi Pasien Skizofrenik Eksklusi
Tingkat Inteligensia:
β’ Rendah
β’ Normal
β’ Tinggi
Tingkat Pendidikan:
β’ Dasar
β’ Menengah
β’ Tinggi
MoCA-Ina
Fungsi Kognitif Normal
Fungsi Kognitif
Tidak Normal
BAB IV. HASIL PENELITIAN
4.1 Hubungan Antara Tingkat Inteligensia dengan Fungsi Kognitif
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif diikutsertakan sebanyak 54 orang pasien skizofrenik di unit rawat jalan RS Jiwa Profesor dr. Muhammad Ildrem, Medan. Masing-masing 18 orang dengan tingkat inteligensia rendah, 18 orang dengan tingkat inteligensia normal, dan 18 orang dengan tingkat inteligensia tinggi. Pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability sampling dengan jenis penarikan consecutive sampling. Dilakukan dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015.
Tabel 4.1.1 Data Dasar Subyek Penelitian
n %
Tidak Kawin 44 81,5 Jenis Antipsikotik
Tipikal 12 22,2
Atipikal 42 78,8
Dari tabel 4.1.1 terlihat bahwa jenis kelamin terbanyak pada subyek penelitian adalah laki-laki, yaitu sebanyak 40 orang (74,1%); usia terbanyak adalah kelompok usia 31-35 tahun, yaitu sebanyak 14 orang (25,9%); tingkat pendidikan terbanyak adalah tingkat menengah, yaitu sebanyak 30 orang (55,6%); tidak bekerja merupakan kelompok terbanyak, yaitu sebanyak 34 orang (63,0%); kelompok tidak kawin merupakan yang terbanyak, yaitu sebanyak 44 orang (81,5%); jenis obat antipsikotik terbanyak yang dipakai adalah jenis atipikal, yaitu sebanyak 42 orang (78,8%). Secara deskriptif terlihat terjadinya gangguan kognitif pada pemakaian antipsikotik, baik pada pemakaian antipsikotik tipikal maupun atipikal.
Tabel 4.1.2 Frekuensi Fungsi Kognitif Normal dan Fungsi Kognitif Tidak Normal pada Pasien Skizofrenik
Fungsi Kognitif n %
Normal 19 35,2
Tidak Normal 35 64,8
54 100,0
Dari tabel 4.1.2 terlihat bahwa kebanyakan subyek pada penelitian ini memiliki fungsi kognitif tidak normal, yaitu sebanyak 35 orang (64,8%).
Tabel 4.1.3 Frekuensi Gangguan Kognitif pada Pemakaian
Antipsikotik Tipikal dan Atipikal pada Pasien Skizofrenik Fungsi Kognitif
Total Normal Tidak Normal
Jenis Antipsikotik
Tipikal 4 8 12
Atipikal 15 27 42
19 35 54
Dari tabel 4.1.3 terlihat bahwa pada pemakaian antipsikotik tipikal terdapat fungsi kognitif tidak normal pada 8 orang (66,7%); sedangkan pada pemakaian antipsikotik atipikal terdapat fungsi kognitif tidak normal pada 27 orang (64,3%).
Tabel 4.1.4 Hubungan Antara Tingkat Inteligensia dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik
Fungsi Kognitif
Dari tabel 4.1.4 didapatkan nilai p > 0,05 dan nilai r = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif.
4.2. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Fungsi Kognitif
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif diikutsertakan sebanyak 54 orang pasien skizofrenik di unit
masing 18 orang dengan tingkat pendidikan dasar, 18 orang dengan tingkat pendidikan menengah, dan 18 orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability sampling dengan jenis penarikan consecutive sampling. Dilakukan dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015.
Tabel 4.2.1 Data Dasar Subyek Penelitian
n %
Dari tabel 4.2.1 terlihat bahwa jenis kelamin terbanyak pada subyek penelitian adalah laki-laki, yaitu sebanyak 37 orang (68,5%); usia terbanyak adalah kelompok usia 31-35 tahun, yaitu sebanyak 12 orang (22,2%); tidak bekerja merupakan kelompok terbanyak, yaitu sebanyak 38 orang (70,4%); kelompok tidak kawin merupakan yang terbanyak, yaitu
sebanyak 40 orang (74,1%); jenis obat antipsikotik terbanyak yang dipakai adalah jenis atipikal, yaitu sebanyak 42 orang (77,8%).
Tabel 4.2.2 Frekuensi Fungsi Kognitif Normal dan Fungsi Kognitif Tidak Normal pada Pasien Skizofrenik
Fungsi Kognitif n %
Normal 24 44,4
Tidak Normal 30 55,6
54 100,0
Dari tabel 4.2.2 terlihat bahwa kebanyakan subyek pada penelitian ini memiliki fungsi kognitif tidak normal, yaitu sebanyak 30 orang (55,6%).
Tabel 4.2.3 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik
Fungsi Kognitif
Dari tabel 4.2.3 didapatkan nilai p < 0,05 dan nilai r = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif.
4.3 Hubungan Antara Lama Sakit dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik
Pada penelitian ini juga dicari hubungan antara lama sakit dengan
Tabel 4.3.1 Hubungan Antara Lama Sakit dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik
Fungsi Kognitif
Total r p
Normal Tidak Normal
Lama Sakit Kronik 8 19 27 0,194 0,847
Subkronik 14 13 27
Total 22 32 54
Uji korelasi lambda
Dari tabel 4.3.1 didapatkan nilai p > 0,05 dan nilai r = 0,194. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama sakit dengan fungsi kognitif.
BAB V. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan antara tingkat inteligensia dan tingkat pendidikan pasien skizofrenik terhadap fungsi kognitif.
Pada penelitian ini didapatkan kebanyakan pasien skizofrenik memiliki fungsi kognitif tidak normal, yaitu sebanyak 35 orang (64,8%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Talreja dan kawan-kawan pada tahun 2013 di Gujarat, India di mana didapatkan kebanyakan pasien skizofrenik memiliki fungsi kognitif yang tidak normal (84%) dan hanya 16% yang memiliki fungsi kognitif normal.2 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia di mana kebanyakan pasien skizofrenik (66%) mengalami (definite) dan kemungkinan mengalami (probable) hendaya kognitif dan hanya 34%
pasien skizofrenik yang memiliki fungsi kognitif normal.11 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arunpongpaisal dan kawan-kawan pada tahun 2013 di Khon Kaen, Thailand di mana didapatkan hasil prevalensi terjadinya hendaya kognitif pada pasien skizofrenik fase stabil di Thailand adalah 81,3%.6 Hendaya kognitif secara bermakna umum terjadi pada sekitar 75% pasien skizofrenik.2 Hanya 27% pasien skizofrenik yang diklasifikasikan sebagai pasien dengan neuropsikopatologik βnormalβ, fakta ini menunjukkan
bahwa terdapatnya hendaya kognitif pada pasien skizofrenik merupakan hal yang umum.5
Pada penelitian ini jenis dan dosis obat yang dipakai oleh pasien skizofrenik diabaikan. Terdapat 12 orang (28,6%) yang mendapatkan antipsikotik tipikal dan 42 orang (77,78%) yang mendapatkan antipsikotik atipikal. Pada pemakaian antipsikotik tipikal terdapat fungsi kognitif tidak normal sebanyak 8 orang (66,7%); sedangkan pada pemakaian antipsikotik atipikal terdapat fungsi kognitif tidak normal sebanyak 27 orang (64,3%). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanaka dan kawan-kawan pada tahun 2012 di Tokushima, Jepang didapatkan hasil bahwa hendaya kognitif pada pasien skizofrenik berhubungan dengan simtom negatif dan obat-obatan yang dapat menginduksi simtom ekstrapiramidal.29
Dari penelitian ini, dengan menggunakan uji korelatif Lambda, dicari hubungan antara variabel tingkat inteligensia (menggunakan RAIT) dengan variabel fungsi kognitif (menggunakan MoCA-Ina) pada pasien skizofrenik dan didapatkan nilai p > 0,05 dan nilai r = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia di mana pada penelitian tersebut didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.11 Pada penelitian yang dilakukan oleh Leeson dan kawan-kawan pada tahun
2008 di London, Inggris didapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif.10 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruiz dan kawan-pada kawan pada tahun 2007 di Valencia, Spanyol yang mendapatkan hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif.12 Perbedaan hasil ini kemungkinan akibat terdapat perbedaan instrumen yang digunakan untuk memeriksa tingkat inteligensia dan fungsi kognitif. Penelitian ini memakai RAIT untuk memeriksa tingkat inteligensia pada pasien skizofrenik, hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia; namun untuk menilai fungsi kognitif penelitian ini memakai MoCA-Ina, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan dipakai MMSE. Pada penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan hanya memakai satu instrumen untuk menilai fungsi kognitif pada pasien skizofrenik, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ruiz dan kawan-kawan10 serta penelitian yang dilakukan oleh Leeson dan kawan-kawan dipakai beberapa instrumen untuk menilai fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.8
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mohn dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Oslo, Norwegia didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan ranah-ranah tertentu dari uji fungsi kognitif (tidak pada keseluruhan ranah fungsi kognitif). Dari hasil penelitian Mohn dan kawan-kawan didapatkan hasil
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan ranah kognisi sosial dari fungsi kognitif. Tingkat inteligensia berhubungan kuat dengan ranah working memory, kecepatan proses, visual, dan verbal.36
Ranah memori dan atensi merupakan simtom utama pada hendaya kognitif pada pasien skizofrenik yang memberikan kontribusi bagi heterogenitas dalam ekspresi dari gejala.5 Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, sehingga tingkat intelektual dan fungsi kognitif premorbid pasien skizofrenik tidak diteliti. Diperkirakan bahwa defisit kognitif telah muncul pada fase prodromal dari penyakit dan terdeteksi pada saat awitan.8 Pasien skizofrenik kronis yang diperkirakan memiliki tingkat intelektual rata-rata pada saat premorbid dan pada saat sekarang, namun masih dapat dijumpai sejumlah defisit kognitif, terutama pada fungsi eksekutif dan atensi.9 Hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif telah diteliti dengan baik, namun terdapat kekurangan informasi bagaimana tingkat inteligensia berhubungan dengan performa uji neurokognitif.36
Pada penelitian ini, dengan menggunakan uji korelatif Lambda, dicari hubungan antara variabel tingkat pendidikan dengan variabel fungsi kognitif (menggunakan MoCA-Ina) pada pasien skizofrenik dan didapatkan nilai p < 0,05 dan nilai r = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Craciun dan kawan-kawan di mana tingkat pendidikan berhubungan dengan fungsi kognitif.7 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arunpongpaisal dan kawan-kawan di mana ditemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan adanya hendaya kognitif. Arunpongpaisal dan kawan-kawan menggunakan MoCA-Versi Thailand (MoCA-Thai) untuk menilai fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.6
Dari literatur diketahui bahwa banyak studi baik di Amerika Utara maupun di Eropa yang menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan performa fungsi kognitif yang lebih baik dan menurunkan risiko bagi terjadinya hendaya kognitif dan demensia pada usia yang lebih lanjut. Terdapat hipotesis active cognitive reserve di mana pendidikan akan meningkatkan proses kognitif dan penggunaan brain network yang lebih efisien, sehingga penurunan kognitif menjadi lebih sedikit, dan secara efektif akan memperlambat proses penurunan kognitif terkait usia.37
Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Zahodne dan kawan-pada tahun 2011 di Victoria, Kanada didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan semua ranah fungsi kognitif.
Penelitian Zahodne dan kawan-kawan dilakukan selama 12 tahun dengan mengikutsertakan sebanyak 1.014 subyek penelitian. Pendidikan berhubungan dengan performa kognitif, tetapi tidak berhubungan dengan penurunan kognitif. Hasil penelitian tersebut mendukung hipotesis passive
cognitive reserve, di mana individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai fungsi kognitif yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah pada usia yang sama, tetapi laju penurunan fungsi kognitif di antara kedua kelompok adalah sama. Dalam penelitian tersebut Zahodne dan kawan-kawan tidak mengambil pasien skizofrenik sebagai subyek penelitiannya, melainkan individu tanpa gangguan jiwa dan tanpa gangguan kesehatan fisik serius yang berumur antara 54-95 tahun.37
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan bermakna antara lama sakit dengan fungsi kognitif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiji dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia yang mendapatkan hasil bahwa tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara lama sakit pasien skizofrenik dengan fungsi kognitif.38
Secara neurobiologi terdapat hipotesis yang menjelaskan tentang terjadinya simtom kognitif pada pasien skizofrenik. Hipotesis tersebut terkait dengan jaras dopaminergik pada skizofrenia yaitu mesocortical dopamine pathway. Cabang dari jaras ini yang menuju ke dorsolateral prefrontal cortex dihipotesiskan meregulasi kognitif dan fungsi eksekutif, cabang yang menuju ke bagian ventromedial dari prefrontal cortex dihipotesiskan meregulasi emosi dan afek. Peran yang sebenarnya dari mesocortical dopamine pathway dalam memediasi simtom pada skizofrenia masih diperdebatkan, tetapi banyak peneliti percaya bahwa fungsi kognitif dan beberapa simtom negatif skizofrenia bisa terjadi akibat
defisit aktivitas dopamin pada proyeksi mesocortical menuju dorsolateral prefrontal cortex. Sedangkan simtom afektif dan simtom negatif yang lainnya bisa jadi akibat defisit aktivitas dopamin pada mesocortical yang diproyeksikan ke ventromedial prefrontal cortex.39
Keadaan defisit perilaku yang disebabkan oleh simtom negatif pasti berimplikasi aktivitas yang menurun atau bahkan βburnoutβ dari sistem neuronal. Hal ini dapat berhubungan dengan konsekuensi dari overaktivitas eksitotoksisitas dari sistem glutamat sebelumnya. Proses degeneratif yang terus berlangsung pada mesocortical dopamine pathway dapat menjelaskan perburukan yang progresif dari simtom dan bahkan peningkatan status defisit pada beberapa pasien skizofrenik. Defisit dopamin pada proyeksi mesocortical ini juga dapat sebagai konsekuensi dari abnormalitas pada neurodevelopmental pada sistem N-methyl-d-aspartate (NMDA) glutamate. Apapun penyebabnya, kesimpulan pada asal dari hipotesis dopamin pada skizofrenia mencakup teori untuk simtom kognitif, negatif dan afektif dan lebih tepat dipola sebagai βmesocortical dopamine hypothesisβ dari simtom kognitif, negatif, dan afektif skizofrenia"
sejak dipercayainya aktivitas yang lebih rendah terutama proyeksi mesocortical ke prefrontal cortex memediasi simtom kognitif, negatif dan afektif skizofrenia.39
Keterbatasan dari penelitian ini adalah: (1) Pada penelitian ini jenis dan dosis obat yang dipakai oleh pasien skizofrenik diabaikan; (2) Tidak ada data dasar tentang tingkat inteligensia dan fungsi kognitif subyek
penelitian pada saat terjadi awitan pertama; (3) Tidak ada perbandingan dengan kelompok kontrol.
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1. Kesimpulan
Dari penelitian ini didapatkan bahwa kebanyakan pasien skizofrenik dalam fase stabilisasi yang berobat di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr. Muhammad Ildrem, Medan mengalami hendaya kognitif.
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama sakit dengan fungsi kognitif.
6. 2. Saran
1. Terhadap pasien skizofrenik di rumah sakit-rumah sakit pendidikan.
yang mengalami gangguan fungsi kognitif secepatnya diberikan obat-obatan untuk memperbaiki fungsi kognitif.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mencari faktor-faktor lain yang mungkin memiliki hubungan dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik, seperti jenis dan dosis obat antipsikotik dan obat lain yang digunakan, mengingat fungsi kognitif akan menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
DAFTAR RUJUKAN
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman