• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGUSSYAH PUTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "AGUSSYAH PUTRA"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT INTELIGENSIA DAN TINGKAT PENDIDIKAN PADA PASIEN SKIZOFRENIK TERHADAP

FUNGSI KOGNITIF MENGGUNAKAN MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT-VERSI

INDONESIA (MOCA-INA)

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan untuk Mencapai Keahlian dalam Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa pada Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

AGUSSYAH PUTRA 107106003

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Agussyah Putra

Nomor Induk Mahasiswa : 107106003

Program Studi : Ilmu Kedokteran Jiwa

Judul : Hubungan antara Tingkat Inteligensia dan Tingkat Pendidikan pada Pasien Skizofrenik terhadap Fungsi Kognitif Menggunakan Montreal Cognitive Assessment-Versi Indonesia (MoCA- Ina)

Menyetujui:

Pembimbing I

Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked. (KJ), Sp.KJ (K)

Pembimbing II

dr. Mustafa M. Amin, M.Ked (KJ), M.Sc, SpKJ (K)

Mengetahui / Mengesahkan:

a.n. Ketua Departemen Sekretaris Departemen

Ilmu Kedokteran Jiwa

dr. Vita Camelia, M.Ked. (KJ), Sp.KJ

Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa

Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked. (KJ), Sp.KJ (K)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis mengacu dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2015 Yang menyatakan,

Agussyah Putra

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Penelitian dengan judul Hubungan antara tingkat Inteligensia dan Tingkat Pendidikan pada Pasien Skizofrenik terhadap Fungsi Kognitif Menggunakan Montreal Cognitive Assessment-Versi Indonesia (MoCA-Ina), merupakan salah satu tugas akademik dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Dr. dr.

Elmeida Effendy, M.Ked. (KJ), Sp.KJ (K) selaku pembimbing utama dan dr. Mustafa M. Amin, M.Ked. (KJ), M.Sc., Sp.KJ (K) selaku pembimbing kedua yang telah dengan sabar membimbing, mengarahkan, memberikan masukan dan ilmu serta waktunya dari awal hingga akhir proses penulisan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa di Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada umumnya dan khususnya dalam penyusunan tesis ini, yaitu kepada:

(5)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Ketua Tim Koordinasi Pendidikan Program Pendidikan Dokter Spesialis (TKP-PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU).

2. Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp.KJ (K), selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

3. (Alm) Prof. dr. H. Syamsir BS, SpKJ (K), sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

4. dr. H. Harun Taher Parinduri, Sp.KJ (K), selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

5. Prof. dr. H. M. Joesoef Simbolon, SpKJ (K), AR, selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

(6)

6. dr. Vita Camelia, M.Ked. (KJ) Sp.KJ, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

7. dr. Muhammad Surya Husada, M.Ked. (K.J.) Sp.KJ, selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

8. dr. Dapot Parulian Gultom, Sp.KJ, M.Kes., selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

9. dr. Juskitar, Sp.KJ, selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

10. Mendiang dr. Herlina Ginting, Sp.KJ, selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

(7)

11. dr. Mawar Gloria Tarigan, Sp.KJ, selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

12. dr. Freddy Subastian Nainggolan, Sp.KJ, selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

13. dr. Vera RB. Marpaung, Sp.KJ, selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

14. dr. Machnizar Sentari, Sp.KJ, selaku guru penulis, yang banyak memberikan bimbingan, pengetahuan, dorongan serta pengarahan yang berharga selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa

15. dr. Donald F. Sitompul, Sp.KJ; (alm.) dr. Hj. Sulastri Effendi, Sp.KJ;

dr. Yono Suhoyo, Sp.KJ; dr. Rosminta Girsang, Sp.KJ; dr. Artina Roga Ginting, Sp.KJ; dr. Evawati Siahaan, Sp.KJ; dr. Paskawani Siregar, Sp.KJ; dr. Citra Julita Tarigan, Sp.KJ; dr. Freidrich Lupini, Sp.KJ; dr. Evalina Perangin-angin, Sp.KJ; dr. Victor Eliezer, Sp.KJ;

dr. Siti Nurul Hidayati, Sp.KJ; dr. Lailan Sapinah, Sp.KJ; dr. Silvy Agustina Hasibuan, Sp.KJ; dr. Ira Aini Dania, M.Ked (KJ), Sp.KJ.;

dr. Mila Astari, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dr. Baginda Harahap, M.Ked

(8)

(KJ), Sp.KJ; dr. Ricky Wijaya Tarigan, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dr. Duma Melva Ratnawati, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dr. Dian Budianti Amalina, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dr. Andreas Xaverio Bangun, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dr. Superida Ginting Suka, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dr. Lenni Crisnawati Sihite, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dr. Hanip Fahri, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dr. Nanda Sari Nuralita, M.Ked (KJ), Sp.KJ; dan dr. Wijaya Taufik Tiji, M.Ked (KJ), Sp.KJ, FIAS; sebagai senior yang telah memberikan semangat dan dorongan selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

16. Direktur/Kepala RSJ Profesor dr. Muhammad Ildrem, RSUP H.

Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, RS Haji Medan, Rumkit Putri Hijau, RS Brimob Poldasu dan Puskesmas Sei Agul atas izin, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk belajar dan bekerja selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

17. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU: dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked (KJ); dr. Muhammad Yusuf, M.Ked (KJ); dr. Saulina Dumaria Simanjuntak, M.Ked (KJ);

dr. Ferdinan Leo Sianturi, M.Ked (KJ); dr. Tiodoris Siregar, M.Ked (KJ); dr. Endang Sutry Rahayu, M.Ked (KJ); dr. Nauli Aulia Lubis, M.Ked (KJ); dr. Alfi Syahri Rangkuti, M.Ked (KJ); dr. Rini Gusya Liza, M.Ked (KJ); dr. Gusri Girsang, M.Ked (KJ); dr. Dessi Wahyuni, M.Ked (KJ); dr. Ritha Mariati Sembiring, M.Ked (KJ); dr. Reny Fransiska Barus, M.Ked (KJ); dr. Susiati, M.Ked (KJ); dr. Annisa

(9)

Fransiska, M.Ked (KJ); dr. Dessy Mawar Zalia, M.Ked (KJ); dr.

Nazli Mahdinasari Nasution, M.Ked (KJ); dr. Andi Syahputra Siregar; dr. Nining Gilang Sari, M.Ked (KJ); dr. Rossa Yunilda, M.Ked (KJ); dr. Arsusy Widyastuty; dr. Poltak Jeremias Sirait, M.Ked (KJ); M.Kes.; dr. Manahap CF Pardosi; dr. Muhammad Affandy, dr. Rona Hanani Simamora, M.Ked (KJ); dr. Deasy Hendriati, M.Ked (KJ); dr. Novi Prasanty, M.Ked (KJ); dr. Endah Sri Lestari, M.Ked (KJ); dr. Catherine, M.Ked (KJ); dr. Trisna Marni; dr.

Novita Linda Akbar; dr. Cindy Chias Arthy; dr. Friska Gurning; dr.

Anrew Handi; dan dr. Suniaty D. R. L. Toruan yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi- diskusi kritis dalam berbagai pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan yang membangkitkan semangat kepada penulis dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

18. Para perawat dan pegawai di RSJ Profesor dr. Muhammad ildrem, RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, RS Haji Medan, Rumah Sakit Putri Hijau, RS Brimob Poldasu dan Puskesmas Sei Agul yang telah banyak membantu selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

19. Teman-teman di layanan digital Perpustakaan USU: Evi Yulifinar, S.Sos., dan Yuli Handayani, S.Sos., yang telah membantu dalam

(10)

menyelesaikan tugas-tugas selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

20. Buat kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan cintai:

ayahanda Jalidun Keruas dan ibunda Halimah Harahap, yang telah dengan susah payah membesarkan, mendidik, memberi rasa aman, cinta, dan doa restu kepada penulis selama ini. Demikian juga kepada adik-adik penulis beserta keluarga masing-masing:

Harmensyah, Sesmaya Putri, dan Budi Apriansyah.

21. Buat kedua mertua yang sangat penulis hormati dan cintai:

ayahanda Azwar Zein dan ibunda Animah. Demikian juga kepada abang dan adik-adik ipar: Beny Irawan dan keluarga, Habib Amin dan keluarga, Novia Handayani, dan Febri Halil.

22. Buat istriku tercinta, Aida Warni, terima kasih atas segala doa, dukungan, dorongan, semangat, kesabaran, dan pengorbanan waktu dan material yang telah diberikan selama ini. Demikian pula kepada kedua buah hati penulis yang tersayang: Sharliza Talita Fayha (Kak Za) dan Azka Rafansyah Keruas (Dek Ka). Terima kasih atas pengertian kalian atas hari-hari yang tidak dapat sepenuhnya kita lalui bersama.

23. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kedokteran Jiwa.

(11)

Akhirnya penulis hanya mampu berdoa semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada seluruh pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis, baik secara moril maupun materil.

Medan, Agustus 2015 Penulis

Agussyah Putra

(12)

DAFTAR ISI

Lembar pengesahan ... i

Pernyataan ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xi

Daftar Lampiran ... xii

Abstrak ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Hipotesis ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia ... 7

2.2. Positive And Negative Syndrome Scale (PANSS) ... 12

2.3. Inteligensia ... 13

2.4. Pendidikan ... 14

2.5. Fungsi Kognitif ... 15

2.6. Montreal Cognitive Assessment ... 16

2.7. Kerangka Teori ... 18

2.8. Kerangka Konseptual ... 19

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ... 20

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

3.3. Populasi dan Sampel ... 20

3.4. Cara Pengambilan Sampel dan Perkiraan Besar Sampel ... 21

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 22

3.6. Izin Subyek Penelitian ... 22

3.7. Etika Penelitian ... 23

3.8. Cara Kerja ... 23

3.9. Definisi Operasional ... 25

3.10. Identifikasi Variabel ... 26

3.11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data ... 26

3.12. Kerangka Kerja ... 28

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 29

BAB V. PEMBAHASAN ... 35

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 44 LAMPIRAN

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.1 Wilson Rapid Approximate Intelligence Test (RAIT) Tabel 2.1.1 Klasifikasi inteligensia berdasarkan rentang IQ Tabel 4.1.1 Data Dasar Subyek Penelitian

Tabel 4.1.2 Frekuensi Fungsi Kognitif Normal dan Fungsi Kognitif Tidak Normal pada Pasien Skizofrenik

Tabel 4.1.3 Frekuensi Gangguan Kognitif pada Pemakaian

Antipsikotik Tipikal dan Atipikal pada Pasien Skizofrenik Tabel 4.1.4 Hubungan Antara Tingkat Inteligensia dengan Fungsi

Kognitif pada Pasien Skizofrenik Tabel 4.2.1 Data Dasar Subyek Penelitian

Tabel 4.2.2 Frekuensi Fungsi Kognitif Normal dan Fungsi Kognitif Tidak Normal pada Pasien Skizofrenik

Tabel 4.2.3 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik

Tabel 4.3.1 Hubungan Antara Lama Sakit dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian

Lampiran 2. Surat Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) Lampiran 3. Data Subyek Penelitian

Lampiran 4. Montreal Cognitive Assessment-Versi Indonesia (MoCA-Ina) Lampiran 5. Daftar Subyek Penelitian

Lampiran 6. Surat Persetujuan Komite Etik Lampiran 7. Riwayat Hidup Peneliti

(15)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT INTELIGENSIA DAN TINGKAT PENDIDIKAN PADA PASIEN SKIZOFRENIK TERHADAP

FUNGSI KOGNITIF MENGGUNAKAN MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT VERSI

INDONESIA (MOCA-INA)

Agussyah Putra*, Elmeida Effendy**, Mustafa M. Amin***

ABSTRAK

Latar Belakang: Secara umum didapatkan hendaya kognitif yang bermakna pada pasien skizofrenik sebanyak lebih dari 75%. Hanya terdapat 27% pasien skizofrenik dengan neuropsikopatologik normal. Hal ini menunjukkan bahwa ditemukan hendaya kognitif secara bermakna pada pasien skizofrenik. Kognisi pada pasien skizofrenik secara luas telah diteliti, namun masih terdapat perbedaan hasil mengenai hubungan antara gangguan kognisi dengan tingkat inteligensia, dan tingkat pendidikan.

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara tingkat inteligensia dan tingkat pendidikan pasien skizofrenik terhadap fungsi kognitif dengan menggunakan Montreal Cognitive Assessment-Versi Indonesia (MoCA- Ina).

Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik yang berada dalam fase stabilisasi di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr.

Muhammad Ildrem, Medan yang diperiksa dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015 yang memenuhi kriteria inklusi.

Hasil: Kebanyakan subyek pada penelitian ini memiliki fungsi kognitif tidak normal. Tidak sterdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama sakit dengan fungsi kognitif.

Kesimpulan: Kebanyakan pasien skizofrenik dalam fase stabilisasi yang berobat di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr. Muhammad Ildrem, Medan mengalami hendaya kognitif. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif.

Kata Kunci : Tingkat inteligensia, tingkat pendidikan, Montreal Cognitive Assessment-Versi Indonesia (MoCA-Ina)

* Peserta PPDS-I Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU

** Staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU

*** Staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU

(16)

BAB I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Gangguan skizofrenik umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.1

Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikiatrik kronis dan terdiri dari simtom utama seperti waham dan halusinasi yang diistilahkan sebagai simtom positif.2 Simtom positif yang lain adalah distorsi bahasa dan komunikasi, pembicaraan yang terdisorganisasi, perilaku yang terdisorganisasi, perilaku katatonik, dan agitasi.3 Selain itu, pasien juga bisa memiliki simtom negatif yang terdiri dari hilangnya perasaan terhadap kesenangan, penarikan diri secara sosial, kemiskinan pikiran dan pembicaraan, dan pendataran afek.2 Pada pasien skizofrenik juga terdapat gangguan neurokognitif. Simtom-simtom yang menyertai antara lain defisit dalam atensi dan performa, menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan dalam memori (termasuk spasial dan verbal), dan fungsi eksekutif.4 Secara umum didapatkan hendaya kognitif yang bermakna pada pasien skizofrenik sebanyak lebih dari 75%.2 Hanya 27% pasien skizofrenik diklasifikasikan sebagai pasien dengan neuropsikopatologik “normal”, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hendaya kognitif yang bermakna pada pasien skizofrenik.5 Pada

(17)

penelitian yang dilakukan oleh Arunpongpaisal dan kawan-kawan pada tahun 2013 di Khon Kaen, Thailand didapatkan hasil bahwa prevalensi terjadinya hendaya kognitif pada pasien skizofrenik fase stabilisasi adalah 81,3%.6

Terdapat asumsi umum bahwa skizofrenia adalah suatu gangguan neurokognitif dengan tanda dan simtom yang bervariasi, direfleksikan dengan efek defisit kognitif yang mendasar.7 Defisit kognitif merupakan gambaran inti dari skizofrenia terutama dalam hal memori, proses psikomotor, atensi, pikiran, dan fungsi eksekutif.8

Intelligence Quotients (IQ) sebagai ukuran inteligensia umum telah dipelajari secara luas pada skizofrenia. Rendahnya IQ atau tingkat inteligensia dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk menderita skizofrenia. Meskipun IQ merupakan salah satu faktor untuk menjadi skizofrenia, namun individu dengan kemampuan intelektual yang tinggi juga dapat menderita skizofrenia. Pasien skizofrenik yang kronis diperkirakan memiliki IQ rata-rata pada saat premorbid dan pada saat sekarang, akan tetapi masih dijumpai sejumlah defisit kognitif, terutama pada fungsi eksekutif dan atensi. Aspek fungsi eksekutif-atensi dan motorik dipertahankan pada penderita skizofrenia dengan IQ yang tinggi.9 Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Leeson dan kawan-kawan pada tahun 2008 di London, Inggris didapatkan hasil bahwa kecepatan proses menurun pada skizofrenia awitan dini, berkontribusi secara signifikan terhadap defisit working memory dan episodic memory dan menjadi faktor prognostik yang buruk dalam satu tahun.10

(18)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia didapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik. Pasien dengan IQ yang rendah memiliki fungsi kognitif yang rendah pula. Dalam penelitian tersebut digunakan instrumen Wilson Rapid Approximate Intelligence Test (RAIT) untuk menilai inteligensia dan Mini Mental State Examination (MMSE) untuk menilai tingkat fungsi kognitif.11 Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Ruiz dan kawan- kawan pada tahun 2007 di Valencia, Spanyol didapatkan hasil sebaliknya, di mana tidak didapatkan hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif.12

Kognisi pada skizofrenia secara luas telah diteliti, namun masih terdapat perbedaan opini mengenai hubungan antara gangguan kognisi dan perjalanan penyakit.13 Studi-studi mengenai kognisi pada skizofrenia secara luas telah dilakukan di negara-negara Barat sejak abad ke-20, namun tidak ada laporan mengenai hendaya kognitif pada pasien skizofrenik di negara-negara Asia Tenggara.6 Tes-tes neurokognitif seringkali untuk menilai lebih dari satu domain fungsi dan banyak tes tidak sesuai untuk domain tunggal.14 Meskipun terdapat sejumlah instrumen untuk skrining, namun MMSE adalah instrumen yang paling luas penggunaannya.15 Belum ada studi sebelumnya yang menggunakan Montreal Cognitive Assessment (MoCA) untuk memeriksa hendaya kognitif pada pasien dengan skizofrenia.6 Sensitivitas dan spesifisitas dari

(19)

MoCA lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE untuk mendeteksi adanya hendaya kognitif.5

Adanya perbedaan hasil penelitian antara Catherine dan kawan- kawan dan Ruiz dan kawan-kawan mengenai hubungan antara tingkat inteligensia dan fungsi kognitif di atas menyebabkan penulis merasa tertarik untuk membuat penelitian lain sebagai perbandingan bagi kedua penelitian sebelumnya tersebut. Penulis juga akan mencari hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat fungsi kognitif pada pasien skizofrenik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Craciun dan kawan- kawan pada tahun 2011 di Cluj-Napoca, Romania didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan fungsi kognitif.7 Tingkat kognitif dapat diprediksikan secara statistik oleh faktor-faktor demografik seperti usia dan pendidikan personal.16 Pada penelitian yang dilakukan oleh Arunpongpaisal dan kawan-kawan pada tahun 2013 di Khon Kaen, Thailand ditemukan hasil bahwa tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan adanya hendaya kognitif.6 Dalam penelitian ini akan digunakan instrumen Montreal Cognitive Assessment-Versi Indonesia (MoCA-Ina) untuk menilai fungsi kognitif, mengingat instrumen tersebut belum pernah digunakan untuk memeriksa hendaya kognitif pada pasien skizofrenik di Indonesia.

1. 2. Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

(20)

1. Apakah terdapat hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik?

2. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik?

1. 3. Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik;

2. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.

1. 4. Tujuan Penelitian 1. 4. 1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara tingkat inteligensia dan tingkat pendidikan pasien skizofrenik terhadap fungsi kognitif menggunakan Montreal Cognitive Assessment-Versi Indonesia (MoCA-Ina).

1. 4. 2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui deskripsi karakteristik sosiodemografik dan jenis antipsikotik yang dipakai oleh pasien skizofrenik;

2. Untuk mengetahui fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.

3. Untuk mengetahui hubungan antara lama sakit dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.

(21)

1. 5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang hubungan antara tingkat inteligensia dan tingkat pendidikan pada pasien skizofrenik terhadap fungsi kognitif, serta hubungan antara lama sakit pada pasien skizofrenik dengan fungsi kognitif, di mana fungsi kognitif akan menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi mengenai karakteristik sosiodemografik dan jenis antipsikotik yang dipakai oleh pasien skizofrenik. Hasil penelitian ini juga diharapkapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya tentang penggunaan MoCA-Ina untuk memeriksa hendaya kognitif pada pasien skizofrenik.

(22)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Skizofrenia

Skizofrenia adalah kelompok dari psikosis kronis, yang pada waktu tertentu ditandai oleh serangan intermiten dan dapat berhenti pada setiap tingkatan, namun tidak berakhir dengan kesembuhan sepenuhnya17

Di Amerika Serikat, prevalensi skizofrenia kira-kira 1 persen, ini berarti ada 1 dari 100 orang yang akan berkembang menjadi pasien skizofrenik di sepanjang hidup mereka. Laki-laki lebih mungkin menjadi pasien skizofrenik daripada perempuan. Studi dari daerah dengan latar belakang urban menghasilkan angka insidensi lebih tinggi daripada yang berlatar belakang campuran urban-rural. Angka di antara penduduk migran cenderung meninggi dibandingkan dengan penduduk pribumi.

Usia puncak dari awitan antara 10-25 tahun bagi laki-laki dan 25-35 tahun bagi perempuan.Skizofrenia juga signifikan hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi, prevalensi meningkat pada kelas sosial ekonomi lebih rendah.18-20

Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan mereka berada dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama (bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran penyakit yang “ringan”. Selama periode residual, pasien lebih menarik diri dan “aneh”. Gejala-gejala penyakit biasanya terlihat jelas oleh orang lain. Penampilan kebiasaan- kebiasaan mereka mengalami kemunduran serta afek mereka terlihat

(23)

tumpul. Meskipun mereka dapat mempertahankan inteligensia yang mendekati normal, sebagian besar performa uji kognitifnya buruk.21 Skizofrenia merupakan sindrom klinis yang bervariasi, tapi sangat kacau, psikopatologi skizofrenia meliputi kognisi, emosi, persepsi, dan aspek- aspek lain dari perilaku.18

Meskipun belum dikenal secara formal sebagai bagian dari kriteria diagnostik skizofrenia, beberapa peneliti membuat subkategori dari gejala- gejala penyakit ini ke dalam 5 bagian, yaitu: gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif, gejala agresif/permusuhan dan gejala depresi/ansietas.

Gejala kognitif dari skizofrenia berupa gangguan kefasihan berbicara, masalah pembelajaran yang berlanjut (serial learning) dan gangguan fungsi eksekutif (dalam mempertahankan perhatian, konsentrasi, prioritas dan pengelolaan perilaku dasar dan sosial).22

Diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ III adalah sebagai berikut:1 F20. Skizofrenia

Gangguan skizofrenia berdasarkan PPDGJ III umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang inappropriate atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.1

Walaupun tidak ada gejala-gejala yang patognomonik khusus, dalam praktek ada manfaatnya untuk membagi gejala-gejala tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering terdapat secara bersama-sama, misalnya:1

(24)

a) Thought echo, thought insertion atau withdrawal dan thought broadcasting;

b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity;

c) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh;

d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil;

e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide yang berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme;

g) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor;

h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodoh ( apatis) pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang

(25)

menumpul atau tidak wajar biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dan beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri dan penarikan diri dari sosial.

Pedoman diagnostik

Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus ada sedikitnya satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) dari gejala yang termasuk salah satu dari kelompok gejala (a) sampai (d) tersebut diatas, atau paling sedikit dua gejala dari kelompok (e) sampai (h) yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati maupun tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai gangguan psikotik lir- skizofrenia akut (F23.2) dan baru diklasifikasi ulang kalau gejala-gejala tersebut menetap selama kurun waktu yang lebih lama.1

Diagnosis skizofrenia tidak boleh dibuat bila terdapat secara luas gejala-gejala depresif atau manik kecuali bila memang jelas, bahwa gejala-gejala skizofrenia itu mendahului gangguan afektif tersebut. Bila gejala-gejala skizofrenia dan afektif berkembang bersama-sama secara

(26)

seimbang dan sama banyak maka diagnosis gangguan skizoafektif (F25.) harus di buat, walaupun gejala-gejala skizofrenik itu saja cukup beralasan untuk menegakkan diagnosis skizofrenia. Skizofrenia tidak boleh didiagnosis bila terdapat penyakit otak yang nyata, atau dalam keadaan intoksikasi atau lepas zat ( withdrawal). Gangguan serupa yang timbul pada epilepsi atau penyakit otak lain harus di beri kode F06.2 dan yang di induksi oleh obat-obatan di beri kode F1x.5.1

Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis. Pasien secara berangsur-angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak berfungsi setelah bertahun-tahun. Pasien dapat mempunyai waham dengan tahap yang ringan dan halusinasi yang tidak begitu jelas (samar- samar). Sebagian gejala akut dan gejala yang lebih dramatik hilang dengan berjalannya waktu, tetapi pasien secara kronik membutuhkan perlindungan atau menghabiskan waktunya bertahun-tahun di rumah sakit jiwa.21

Terdapat perbedaan penatalaksanaan farmakologik, tergantung pada fase penyakit pasien. Fase-fase pada skizofrenia adalah:

a. Fase akut. Biasanya dicirikan oleh simptom psikotik yang memerlukan perhatian klinis segera. simtom-simtom ini bisa muncul pada episode psikotik pertama atau lebih umum pada kondisi relaps pada seseorang yang mengalami beberapa episode sebelumnya. Pengobatan selama fase ini difokuskan pada penurunan sebagian besar keparahan simtom-simtom psikotik.

Fase akut ini biasanya berlangsung dari 4 minggu hingga 8 minggu.

(27)

b. Fase stabilisasi

Pasien masuk ke dalam fase stabilisasi setelah simtom-simtom akut terkontrol, namun pasien masih memiliki risiko untuk relaps kalau pengobatannya terputus atau kalau pasien terpajan stres.

Selama fase stabilisasi pengobatan difokuskan pada konsolidasi kemajuan pengobatan, dengan pengobatan yang sama dengan yang digunakan pada fase akut. Fase ini dapat berlangsung selama 6 bulan setelah pemulihan (recovery) dari fase simtom-simtom akut.

c. Fase stabil (maintenance)

Pada fase ini bila penyakit berada dalam tahap remisi relatif atau stabilisasi dalam hal simtom-simtom. Tujuan pengobatan pada fase ini adalah mencegah timbulnya simtom psikotik atau eksaserbasi dan untuk mendampingi pasien dalam hal memperbaiki level fungsi mereka.23

2. 2. Positive And Negative Syndrome Scale (PANSS)

PANSS dikembangkan pada akhir tahun 1980-an yang bertujuan untuk menilai simtom klinis skizofrenia. PANSS memuat 30 butir dalam 3 subskala, 7 butir meliputi simtom positif (misalnya delusi dan halusinasi), 7 butir meliputi simtom negatif (misalnya social withdrawal, afek datar, kurangnya motivasi), dan 16 butir meliputi psikopatologi umum (misalnya ansietas dan depresi). Penilaian dapat diselesaikan dalam waktu 30-40 menit. Realibilitas dan validitasnya sangat baik.24

(28)

Di Indonesia telah dilakukan uji validitas dan reabilitas PANSS.

Dilakukan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia dan penerjemahan ulang ke dalam bahasa Inggris. Hasil terjemahan PANSS ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan PANSS asli dalam bahasa Inggris.25

2. 3. Inteligensia

Inteligensia dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengasimilasi pengetahuan faktual, untuk mengingat peristiwa-peristiwa baru-baru ini, untuk berpikir logis, untuk memanipulasi konsep (baik nomor atau kata-kata), untuk menerjemahkan abstrak, untuk menganalisis, dan membuat sintesis bentuk, dan untuk menangani masalah secara bermakna dan akurat, dan memprioritaskan yang dianggap penting dalam pengaturan tertentu. Inteligensia sangat bervariasi pada setiap orang.18

Salah satu cara untuk menilai inteligensia secara cepat dapat menggunakan suatu tes yang dinamakan Wilson Rapid Approximate Intelligence Test (RAIT). Tes tersebut dimulai dengan mengalikan 2 x 48 sebagai skrining awal. Jika subyek dapat mengalikan ini, maka subyek dinyatakan tidak berada pada borderline atau retardasi. Interpretasi dari tes ini berupa retarded, borderline, dull normal, average, bright normal, dan superior.26

(29)

Tabel 2.1.1 Wilson Rapid Approximate Intelligence Test (RAIT)

Intelligence Best effort IQ (rough estimate)

Retarded 2 x 6 < 70

Borderline 2 x 24 70-80

Dull Normal 2 x 48 80-90

Average 2 x 384 90-110

Bright Normal 2 x 1.536 110-120

Superior 2 x 3.072 120-130

Dikutip dari: Carlat DJ. Psychiatric interview the practical guides in psychiatry. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2005. p. 139

Pada tahun 1905, Alfred Binet memperkenalkan konsep dari usia mental/mental age (MA), yaitu rata-rata tingkat intelektual dari usia tertentu. Intelligence Quotient (IQ) adalah rasio dari MA terhadap usia kronologis/chronological age (CA) dikalikan 100 dengan menghilangkan angka desimal; IQ ditunjukkan melalui rumus sebagai berikut:18

IQ = MA

CA × 100

Tabel 2.1.2 Klasifikasi inteligensia berdasarkan rentang IQ

Klasifikasi Rentang IQ

Profound Mental Retardation (MR) Di bawah 20 atau 25

Severe MR 20 atau 25 hingga 35 atau 40

Moderate MR 35 atau 40 hingga 50 atau 55

Mild MR 50 atau 55 hingga sekitar 70

Borderline 70-79

Dull Normal 80-90

Normal 90-110

Bright Normal 110-120

Superior 120-130

Very Superior ≥130

Dikutip dari: Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan’s synopsis of psychiatry behavioral sciences/clinical psychiatry. 10nd ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p.

179

(30)

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.27

Jenjang atau tingkat pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menegah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.27

2. 5. Fungsi Kognitif

Kognisi (cognition) adalah fungsi intelektual yang terdiri dari unsur- unsur menerima (perceiving), mengingat (remembering), membayangkan (imagining), menyusun (conceiving), memahami (understanding), menilik (judging), dan mempertimbangkan (reasoning).17

(31)

Studi-studi neuropsikologis terhadap pasien skizofrenik menunjukkan bahwa defisit kognitif merupakan gambaran utama dari penyakit.28 Keparahan hendaya neurokognitif itu terutama pada ranah memori, atensi, working memory, problem solving, kecepatan proses, dan kognisi sosial. Banyak variasi defisit neurokognitif pada skizofrenia telah ditunjukkan berkaitan dengan peranan fungsional seperti kesulitan fungsional dalam komunitas, kesulitan dengan keterampilan instrumental dan penyelesaian masalah, menurunkan keberhasilan dalam program rehabilitasi psikososial, dan ketidakmampuan untuk mempertahankan keberhasilan dalam pekerjaan.14

Meskipun hanya sekitar 27% pasien dengan skizofrenia dinilai sebagai “unimpaired” dengan pemeriksaan neuropsikologis klinis, pasien tersebut cenderung memiliki tingkat fungsional premorbid yang lebih tinggi dan memperlihatkan fungsi neurokognitif yang jauh lebih rendah dengan apa yang diperkirakan berdasarkan basis mereka dalam hal tingkat fungsional premorbid dan tingkat pendidikan orang tua mereka.14

Hendaya kognitif akan menyebabkan fungsi sosial yang buruk dan hendaya terhadap kualitas hidup pasien skizofrenik. Fungsi kognitif yang buruk pada pasien skizofrenik berhubungan dengan simtom negatif, jenis dan dosis antipsikotik dan antiparkinson, usia, lamanya sakit, dan riwayat seringnya dihospitalisasi.29

(32)

2. 6. Montreal Cognitive Assessment

Montreal Cognitive Assessment dikembangkan berdasarkan pada institusi klinis oleh Nasreddin dan kawan-kawan dari Quebec, Kanada pada tahun 2005, berdasarkan atas ranah dari hendaya yang secara umum ditemui pada hendaya kognitif ringan dan yang paling baik diadaptasi sebagai tes skrining.15 Di Indonesia, MoCA telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Husein dan kawan-kawan pada tahun 2009, dan disebut sebagai MoCA-Ina.30 Waktu yang diperlukan untuk memeriksa dan mengisi MoCA sekitar 10 menit. Total skor yang mungkin adalah 30 butir, skor 26 atau lebih dianggap normal.15

Untuk memeriksa gangguan kognitif salah satunya adalah dengan menggunakan MoCA. MoCA terdiri dari 30 butir yang akan diujikan dengan menilai beberapa ranah kognitif, yaitu:

a. Fungsi eksekutif. Dinilai dengan trail-making B (1 butir), phonemic fluency test (1 butir), dan two item verbal abstraction (1 butir);

b. Visuospasial. Dinilai dengan clock drawing test (3 butir) dan menggambarkan kubus 3 dimensi (1 butir);

c. Bahasa. Menyebutkan 3 nama binatang, yaitu singa, unta, badak (3 butir), mengulang dua kalimat (2 butir), kelancaran berbahasa (1 butir);

d. Delayed recall. Menyebutkan 5 kata (5 butir), menyebutkan kembali setelah 5 menit (5 butir);

e. Atensi. Menilai kewaspadaan (1 butir), mengurangi berurutan (3 butir), digit fordward dan backward (masing-masing 1 butir);

(33)

f. Abstraksi. Menilai kesamaan suatu benda (2 butir);

g. Orientasi. Menilai menyebutkan tanggal, bulan, hari, tempat dan kota (masing-masing 1 butir).31

(34)

2. 6. Kerangka Teori

Skizofrenia

Penyakit kronis

Pasien

skizofrenik dapat mempertahankan inteligensia yang mendekati

normal, namun sebagian besar performa uji kognitifnya buruk Faktor-faktor yang

mempengaruhi fungsi kognitif pada pasien skizofrenik adalah:

• Usia

• Lama sakit

• Riwayat seringnya hospitalisasi

• Tingkat inteligensia

• Tingkat pendidikan

• Dosis dan jenis antipsikotik dan obat lain yang dipakai

Pada penelitian ini akan dicari hubungan faktor-faktor yang

mempengaruhi fungsi kognitif, yaitu:

• Tingkat inteligensia

• Tingkat pendidikan

• Lama sakit

(35)

2. 7. Kerangka Konseptual

Pasien Skizofrenik

Fungsi Kognitif Tingkat

Inteligensia

Tingkat Pendidikan

(36)

BAB III. METODE PENELITIAN

3. 1. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross- sectional.

3. 2. Tempat dan Waktu Penelitian 3. 2. 1. Tempat penelitian

Tempat penelitian dilakukan di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr. Muhammad Ildrem, Medan.

3. 2. 2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015.

3. 3. Populasi dan Sampel

1. Populasi target adalah pasien skizofrenik yang didiagnosis berdasarkan PPDGJ-III

2. Populasi terjangkau adalah pasien skizofrenik di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr. Muhammad Ildrem, Medan yang diperiksa dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015.

3. Sampel penelitian adalah pasien skizofrenik yang berada dalam fase stabilisasi di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr.

(37)

Muhammad Ildrem, Medan yang diperiksa dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015 yang memenuhi kriteria inklusi.

3. 4. Cara Pengambilan Sampel dan Perkiraan Besar Sampel

Cara pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability sampling jenis penarikan consecutive sampling. Dipakai rumus besar sampel untuk penelitian korelatif. Rumusnya adalah:32

𝓃𝓃 = � 𝑍𝑍𝑍𝑍 + 𝑍𝑍𝑍𝑍 0,5ℓ𝓃𝓃 1 + 𝑟𝑟1 − 𝑟𝑟

2

+ 3

𝓃𝓃 = Besar sampel

𝑍𝑍𝑍𝑍 = Kesalahan tipe I ditetapkan 5%, = 1,64 𝑍𝑍𝑍𝑍 = Kesalahan tipe II ditetapkan 10% = 1,28

𝑟𝑟 = Korelasi minimal yang dianggap bermakna ditetapkan 0,4

𝓃𝓃 = � 1,64 + 1,28 0,5ℓ𝓃𝓃 1 + 0,41 − 0,4

2

+ 3

𝓃𝓃 = � 2,92 0,5ℓ𝓃𝓃 1,40,6

2

+ 3

𝓃𝓃 = � 2,92 0,5ℓ𝓃𝓃(2,33)�

2+ 3

(38)

𝓃𝓃 = �2,92 0,42�

2

+ 3 𝓃𝓃 = 48,30 + 3 𝓃𝓃 = 51,30

Besar sampel minimal adalah 51,30. Besar sampel dibulatkan menjadi 54.

3. 5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3. 5. 1. Kriteria inklusi:

1. Pasien skizofrenik laki-laki dan perempuan 2. Berada dalam fase stabilisasiisasi

3. Berumur 16 hingga 55 tahun

4. Dapat membaca dan menulis bahasa Indonesia

5. Pendidikan terakhir minimal tamat pendidikan tingkat dasar (SMP) 6. Kooperatif

3. 5. 2. Kriteria eksklusi:

Pasien dengan komorbid penyakit fisik berat (misalnya: stroke, diabetes melitus, delirium);

3. 6. Izin Subyek Penelitian

Semua subyek penelitian atau keluarganya diminta untuk menandatanganani surat persetujuan ikut dalam penelitian ini setelah terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan

(39)

3. 7. Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara berdasarkan surat nomor 14/KOMET/FK USU/2015 tanggal 16 Januari 2015.

3. 8. Cara Kerja

• Pasien skizofrenik di instalasi rawat jalan RS Jiwa Profesor dr.

Muhammad Ildrem, Medan yang memenuhi kriteria inklusi akan diwawancarai dan dicatat data pasien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, jenis obat antipsikotik yang dipakai selama 4 minggu terakhir, dan lama sakit.

• Kemudian akan dilakukan penilaian tingkat inteligensia menggunakan instrumen Wilson Rapid Approximate Intelligence (RAIT). Dimulai dengan mengalikan 2 x 48 sebagai skrining awal.

Jika subyek dapat mengalikan ini, maka subyek dinyatakan tidak berada pada borderline atau retardasi dan tes dilanjutkan dengan mengalikan 2 x 384, jika subyek dapat mengalikannya, berturut- turut diteruskan lagi dengan mengalikan 2 x 1.536 dan 2 x 3.072.

Bila subyek tidak dapat mengalikan 2 x 48, maka subyek diminta untuk melakukan perkalian 2 x 24 dan 2 x 6. Interpretasi dari tes RAIT adalah retarded, borderline, dull normal, average, bright normal, dan superior. Tingkat inteligensia akan dibagi menjadi tiga, yaitu tingkat inteligensia rendah (retarded dan borderline), tingkat

(40)

inteligensia normal (dull normal dan average), dan tingkat inteligensia tinggi (bright normal dan superior). Perkalian harus dilakukan secara luar kepala.

• Untuk melihat hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif, untuk masing-masing tingkat inteligensia akan diambil jumlah subyek yang sama banyak.

• Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga, yaitu tingkat pendidikan dasar, tingkat pendidikan menengah, dan tingkat pendidikan tinggi.

• Untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif, untuk masing-masing tingkat pendidikan akan diambil jumlah subyek yang sama banyak.

• Lama sakit dibagi menjadi dua, yaitu subkronik (≤ 2 tahun) dan kronik (> 2 tahun).

• Untuk melihat hubungan antara lama sakit dengan fungsi kognitif, untuk masing-masing kelompok lama sakit akan akan diambil jumlah subyek yang sama banyak.

• Selanjutnya akan diperiksa fungsi kognitif subyek penelitian menggunakan instrumen Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina). Pemeriksaan fungsi kognitif yang terdiri dari 30 butir. Dinilai beberapai ranah kognitif, yaitu: fungsi eksekutif, visuospasial, bahasa, delayed recall, atensi, abstraksi, dan orientasi. Fungsi kognitif akan dibagi menjadi dua, yaitu fungsi kognitif normal (dengan nilai ≥ 26) dan fungsi kognitif tidak normal.

(41)

• Hasil yang didapatkan akan dikumpulkan dan selanjutnya akan dianalisis untuk mencari hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif; tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif;

dan lama sakit dengan fungsi kognitif.

3. 9. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur dan Cara

Ukur

Hasil Ukur Skala 1. Pasien

skizofrenik

Pasien yang ditegakkan diagnosisnya

berdasarkan PPDGJ- III

Wawancara klinis

Pasien

skizofrenik dan bukan pasien skizofrenik

Nominal

2. Umur Lamanya waktu hidup atau ada sejak

dilahirkan

Wawancara • ≤ 20 - < 30 tahun

• 30 - < 40 tahun

• 40 - < 50 tahun

• ≥ 50 tahun

Ordinal

3. Jenis kelamin

Identitas sebagai laki- laki atau perempuan

Observasi Laki-laki dan perempuan

Nominal 4. Tingkat

pendidikan

Jenjang pendidikan formal terakhir

Wawancara • Dasar

• Menengah

• Tinggi

Ordinal

5. Status Perkawina n

Dalam ikatan

perkawinan atau tidak dalam ikatan

perkawinan

Wawancara Kawin dan tidak kawin

Nominal

6. Pekerjaan Kegiatan yang ditujukan untuk mendapatkan uang bagi kebutuhan hidup

Wawancara Bekerja dan tidak bekerja

Nominal

7. Lama Sakit Lama pasien

mengalami skizofrenia sejak awitan pertama

Wawancara • Subkronik (≤ 2 tahun)

• Kronik (> 2 tahun)33

Nominal

8. Jenis Antipsikoik

Jenis obat-obatan yang digunakan untuk mengobati jenis gangguan psikotik

Rekam Medis

• Tipikal

• Atipikal

Nominal

(42)

9. Skizofrenia fase

stabilisasi

Pasien skizofrenia yang telah

mendapatkan terapi antipsikotik dengan dosis yang adekuat, yang telah melewati fase akut (4-6 minggu) dan tidak menunjukkan peningkatan

simtomatologi dan regimen pengobatan tidak berubah dalam 4 minggu terakhir.31

Wawancara, PANSS

Fase stabilisasi:

skor PANSS ≤ 60 dan tidak ada nilai ≥ 3 pada tiap butir

pemeriksaan.34

Rasio

10. RAIT Pemeriksaan tingkat inteligensia melalui perkalian 2 x 48 sebagai skrining awal.24

Wawancara • Rendah

• Normal

• Tinggi

Ordinal

11. MoCA-Ina Pemeriksaan fungsi kognitif yang terdiri dari 30 butir. Dinilai beberapai ranah kognitif, yaitu: fungsi eksekutif, visuospasial, bahasa, delayed recall, atensi, abstraksi, dan orientasi.29

Wawancara Fungsi kognitif normal dan tidak normal

Nominal

3. 10. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas :

− Tingkat inteligensia

− Tingkat pendidikan

2. Variabel tergantung : Fungsi kognitif

3. 11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis hasil penelitian akan dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan program Statistical Package for

(43)

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang akan dicari hubungannya, yaitu tingkat inteligensia (ordinal) dengan fungsi kognitif (nominal); dan tingkat pendidikan (ordinal) dengan fungsi kognitif (nominal). Salah satu variabel, yaitu fungsi kognitif pada penelitian ini merupakan variabel nominal. Dalam penelitian ini variabel tingkat inteligensia dan tingkat pendidikan dianggap sebagai variabel bebas, sedangkan fungsi kognitif sebagai variabel tergantung. Oleh karena karena kedua variabel yang akan diuji kedudukannya tidak setara, maka digunakan uji korelasi Lambda.35

(44)

3. 12. Kerangka Kerja

Inklusi Pasien Skizofrenik Eksklusi

Tingkat Inteligensia:

• Rendah

• Normal

• Tinggi

Tingkat Pendidikan:

• Dasar

• Menengah

• Tinggi

MoCA-Ina

Fungsi Kognitif Normal

Fungsi Kognitif

Tidak Normal

(45)

BAB IV. HASIL PENELITIAN

4.1 Hubungan Antara Tingkat Inteligensia dengan Fungsi Kognitif

Untuk mengetahui hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif diikutsertakan sebanyak 54 orang pasien skizofrenik di unit rawat jalan RS Jiwa Profesor dr. Muhammad Ildrem, Medan. Masing- masing 18 orang dengan tingkat inteligensia rendah, 18 orang dengan tingkat inteligensia normal, dan 18 orang dengan tingkat inteligensia tinggi. Pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability sampling dengan jenis penarikan consecutive sampling. Dilakukan dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015.

Tabel 4.1.1 Data Dasar Subyek Penelitian

n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 40 74,1

Perempuan 14 25,9

Usia

21-25 tahun 7 13,0

26-30 tahun 11 20,4

31-35 tahun 14 25,9

36-40 tahun 7 13,0

41-45 tahun 6 11,1

46-50 tahun 9 16,7

Tingkat Pendidikan

Dasar 19 35,2

Menengah 30 55,6

Tinggi 5 9,2

Pekerjaan

Bekerja 20 37,0

Tidak Bekerja 34 63,0

Status Perkawinan

(46)

Tidak Kawin 44 81,5 Jenis Antipsikotik

Tipikal 12 22,2

Atipikal 42 78,8

Dari tabel 4.1.1 terlihat bahwa jenis kelamin terbanyak pada subyek penelitian adalah laki-laki, yaitu sebanyak 40 orang (74,1%); usia terbanyak adalah kelompok usia 31-35 tahun, yaitu sebanyak 14 orang (25,9%); tingkat pendidikan terbanyak adalah tingkat menengah, yaitu sebanyak 30 orang (55,6%); tidak bekerja merupakan kelompok terbanyak, yaitu sebanyak 34 orang (63,0%); kelompok tidak kawin merupakan yang terbanyak, yaitu sebanyak 44 orang (81,5%); jenis obat antipsikotik terbanyak yang dipakai adalah jenis atipikal, yaitu sebanyak 42 orang (78,8%). Secara deskriptif terlihat terjadinya gangguan kognitif pada pemakaian antipsikotik, baik pada pemakaian antipsikotik tipikal maupun atipikal.

Tabel 4.1.2 Frekuensi Fungsi Kognitif Normal dan Fungsi Kognitif Tidak Normal pada Pasien Skizofrenik

Fungsi Kognitif n %

Normal 19 35,2

Tidak Normal 35 64,8

54 100,0

Dari tabel 4.1.2 terlihat bahwa kebanyakan subyek pada penelitian ini memiliki fungsi kognitif tidak normal, yaitu sebanyak 35 orang (64,8%).

(47)

Tabel 4.1.3 Frekuensi Gangguan Kognitif pada Pemakaian

Antipsikotik Tipikal dan Atipikal pada Pasien Skizofrenik Fungsi Kognitif

Total Normal Tidak Normal

Jenis Antipsikotik

Tipikal 4 8 12

Atipikal 15 27 42

19 35 54

Dari tabel 4.1.3 terlihat bahwa pada pemakaian antipsikotik tipikal terdapat fungsi kognitif tidak normal pada 8 orang (66,7%); sedangkan pada pemakaian antipsikotik atipikal terdapat fungsi kognitif tidak normal pada 27 orang (64,3%).

Tabel 4.1.4 Hubungan Antara Tingkat Inteligensia dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik

Fungsi Kognitif

Total r p

Normal Tidak Normal Tingkat

Inteligensia

Rendah 0 18 18 0,001 0,739

Normal 10 8 18

Tinggi 9 9 18

Total 19 35 54

Uji korelasi Lambda

Dari tabel 4.1.4 didapatkan nilai p > 0,05 dan nilai r = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif.

4.2. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Fungsi Kognitif

Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif diikutsertakan sebanyak 54 orang pasien skizofrenik di unit

(48)

masing 18 orang dengan tingkat pendidikan dasar, 18 orang dengan tingkat pendidikan menengah, dan 18 orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability sampling dengan jenis penarikan consecutive sampling. Dilakukan dari tanggal 17 Januari hingga 4 Maret 2015.

Tabel 4.2.1 Data Dasar Subyek Penelitian

n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 37 68,5

Perempuan 11 31,5

Usia

21-25 tahun 6 11,1

26-30 tahun 10 18,5

31-35 tahun 12 22,2

36-40 tahun 7 13,0

41-45 tahun 6 11,1

46-50 tahun 9 16,7

51-55 tahun 4 7,4

Pekerjaan

Bekerja 16 29,6

Tidak Bekerja 38 70,4

Status Perkawinan

Kawin 14 25,9

Tidak Kawin 40 74,1

Jenis Antipsikotik

Tipikal 12 22,2

Atipikal 42 77,8

Dari tabel 4.2.1 terlihat bahwa jenis kelamin terbanyak pada subyek penelitian adalah laki-laki, yaitu sebanyak 37 orang (68,5%); usia terbanyak adalah kelompok usia 31-35 tahun, yaitu sebanyak 12 orang (22,2%); tidak bekerja merupakan kelompok terbanyak, yaitu sebanyak 38 orang (70,4%); kelompok tidak kawin merupakan yang terbanyak, yaitu

(49)

sebanyak 40 orang (74,1%); jenis obat antipsikotik terbanyak yang dipakai adalah jenis atipikal, yaitu sebanyak 42 orang (77,8%).

Tabel 4.2.2 Frekuensi Fungsi Kognitif Normal dan Fungsi Kognitif Tidak Normal pada Pasien Skizofrenik

Fungsi Kognitif n %

Normal 24 44,4

Tidak Normal 30 55,6

54 100,0

Dari tabel 4.2.2 terlihat bahwa kebanyakan subyek pada penelitian ini memiliki fungsi kognitif tidak normal, yaitu sebanyak 30 orang (55,6%).

Tabel 4.2.3 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik

Fungsi Kognitif

Total r p

Normal Tidak Normal Tingkat

Pendidikan

Dasar 2 16 18 0,001 0,013

Menengah 8 10 18

Tinggi 14 4 18

Total 24 30 54

Uji korelasi Lambda

Dari tabel 4.2.3 didapatkan nilai p < 0,05 dan nilai r = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif.

4.3 Hubungan Antara Lama Sakit dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik

Pada penelitian ini juga dicari hubungan antara lama sakit dengan

(50)

Tabel 4.3.1 Hubungan Antara Lama Sakit dengan Fungsi Kognitif pada Pasien Skizofrenik

Fungsi Kognitif

Total r p

Normal Tidak Normal

Lama Sakit Kronik 8 19 27 0,194 0,847

Subkronik 14 13 27

Total 22 32 54

Uji korelasi lambda

Dari tabel 4.3.1 didapatkan nilai p > 0,05 dan nilai r = 0,194. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama sakit dengan fungsi kognitif.

(51)

BAB V. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan antara tingkat inteligensia dan tingkat pendidikan pasien skizofrenik terhadap fungsi kognitif.

Pada penelitian ini didapatkan kebanyakan pasien skizofrenik memiliki fungsi kognitif tidak normal, yaitu sebanyak 35 orang (64,8%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Talreja dan kawan-kawan pada tahun 2013 di Gujarat, India di mana didapatkan kebanyakan pasien skizofrenik memiliki fungsi kognitif yang tidak normal (84%) dan hanya 16% yang memiliki fungsi kognitif normal.2 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia di mana kebanyakan pasien skizofrenik (66%) mengalami (definite) dan kemungkinan mengalami (probable) hendaya kognitif dan hanya 34%

pasien skizofrenik yang memiliki fungsi kognitif normal.11 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arunpongpaisal dan kawan-kawan pada tahun 2013 di Khon Kaen, Thailand di mana didapatkan hasil prevalensi terjadinya hendaya kognitif pada pasien skizofrenik fase stabil di Thailand adalah 81,3%.6 Hendaya kognitif secara bermakna umum terjadi pada sekitar 75% pasien skizofrenik.2 Hanya 27% pasien skizofrenik yang diklasifikasikan sebagai pasien dengan neuropsikopatologik “normal”, fakta ini menunjukkan

(52)

bahwa terdapatnya hendaya kognitif pada pasien skizofrenik merupakan hal yang umum.5

Pada penelitian ini jenis dan dosis obat yang dipakai oleh pasien skizofrenik diabaikan. Terdapat 12 orang (28,6%) yang mendapatkan antipsikotik tipikal dan 42 orang (77,78%) yang mendapatkan antipsikotik atipikal. Pada pemakaian antipsikotik tipikal terdapat fungsi kognitif tidak normal sebanyak 8 orang (66,7%); sedangkan pada pemakaian antipsikotik atipikal terdapat fungsi kognitif tidak normal sebanyak 27 orang (64,3%). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanaka dan kawan-kawan pada tahun 2012 di Tokushima, Jepang didapatkan hasil bahwa hendaya kognitif pada pasien skizofrenik berhubungan dengan simtom negatif dan obat-obatan yang dapat menginduksi simtom ekstrapiramidal.29

Dari penelitian ini, dengan menggunakan uji korelatif Lambda, dicari hubungan antara variabel tingkat inteligensia (menggunakan RAIT) dengan variabel fungsi kognitif (menggunakan MoCA-Ina) pada pasien skizofrenik dan didapatkan nilai p > 0,05 dan nilai r = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia di mana pada penelitian tersebut didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.11 Pada penelitian yang dilakukan oleh Leeson dan kawan-kawan pada tahun

(53)

2008 di London, Inggris didapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif.10 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruiz dan kawan-pada kawan pada tahun 2007 di Valencia, Spanyol yang mendapatkan hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif.12 Perbedaan hasil ini kemungkinan akibat terdapat perbedaan instrumen yang digunakan untuk memeriksa tingkat inteligensia dan fungsi kognitif. Penelitian ini memakai RAIT untuk memeriksa tingkat inteligensia pada pasien skizofrenik, hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia; namun untuk menilai fungsi kognitif penelitian ini memakai MoCA-Ina, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan-kawan dipakai MMSE. Pada penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Catherine dan kawan- kawan hanya memakai satu instrumen untuk menilai fungsi kognitif pada pasien skizofrenik, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ruiz dan kawan-kawan10 serta penelitian yang dilakukan oleh Leeson dan kawan-kawan dipakai beberapa instrumen untuk menilai fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.8

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mohn dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Oslo, Norwegia didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan ranah-ranah tertentu dari uji fungsi kognitif (tidak pada keseluruhan ranah fungsi kognitif). Dari hasil penelitian Mohn dan kawan-kawan didapatkan hasil

(54)

bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat inteligensia dengan ranah kognisi sosial dari fungsi kognitif. Tingkat inteligensia berhubungan kuat dengan ranah working memory, kecepatan proses, visual, dan verbal.36

Ranah memori dan atensi merupakan simtom utama pada hendaya kognitif pada pasien skizofrenik yang memberikan kontribusi bagi heterogenitas dalam ekspresi dari gejala.5 Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, sehingga tingkat intelektual dan fungsi kognitif premorbid pasien skizofrenik tidak diteliti. Diperkirakan bahwa defisit kognitif telah muncul pada fase prodromal dari penyakit dan terdeteksi pada saat awitan.8 Pasien skizofrenik kronis yang diperkirakan memiliki tingkat intelektual rata-rata pada saat premorbid dan pada saat sekarang, namun masih dapat dijumpai sejumlah defisit kognitif, terutama pada fungsi eksekutif dan atensi.9 Hubungan antara tingkat inteligensia dengan fungsi kognitif telah diteliti dengan baik, namun terdapat kekurangan informasi bagaimana tingkat inteligensia berhubungan dengan performa uji neurokognitif.36

Pada penelitian ini, dengan menggunakan uji korelatif Lambda, dicari hubungan antara variabel tingkat pendidikan dengan variabel fungsi kognitif (menggunakan MoCA-Ina) pada pasien skizofrenik dan didapatkan nilai p < 0,05 dan nilai r = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif.

(55)

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Craciun dan kawan-kawan di mana tingkat pendidikan berhubungan dengan fungsi kognitif.7 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arunpongpaisal dan kawan-kawan di mana ditemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan adanya hendaya kognitif. Arunpongpaisal dan kawan-kawan menggunakan MoCA-Versi Thailand (MoCA-Thai) untuk menilai fungsi kognitif pada pasien skizofrenik.6

Dari literatur diketahui bahwa banyak studi baik di Amerika Utara maupun di Eropa yang menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan performa fungsi kognitif yang lebih baik dan menurunkan risiko bagi terjadinya hendaya kognitif dan demensia pada usia yang lebih lanjut. Terdapat hipotesis active cognitive reserve di mana pendidikan akan meningkatkan proses kognitif dan penggunaan brain network yang lebih efisien, sehingga penurunan kognitif menjadi lebih sedikit, dan secara efektif akan memperlambat proses penurunan kognitif terkait usia.37

Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Zahodne dan kawan- pada tahun 2011 di Victoria, Kanada didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan semua ranah fungsi kognitif.

Penelitian Zahodne dan kawan-kawan dilakukan selama 12 tahun dengan mengikutsertakan sebanyak 1.014 subyek penelitian. Pendidikan berhubungan dengan performa kognitif, tetapi tidak berhubungan dengan penurunan kognitif. Hasil penelitian tersebut mendukung hipotesis passive

(56)

cognitive reserve, di mana individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai fungsi kognitif yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah pada usia yang sama, tetapi laju penurunan fungsi kognitif di antara kedua kelompok adalah sama. Dalam penelitian tersebut Zahodne dan kawan-kawan tidak mengambil pasien skizofrenik sebagai subyek penelitiannya, melainkan individu tanpa gangguan jiwa dan tanpa gangguan kesehatan fisik serius yang berumur antara 54-95 tahun.37

Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan bermakna antara lama sakit dengan fungsi kognitif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiji dan kawan-kawan pada tahun 2014 di Medan, Indonesia yang mendapatkan hasil bahwa tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara lama sakit pasien skizofrenik dengan fungsi kognitif.38

Secara neurobiologi terdapat hipotesis yang menjelaskan tentang terjadinya simtom kognitif pada pasien skizofrenik. Hipotesis tersebut terkait dengan jaras dopaminergik pada skizofrenia yaitu mesocortical dopamine pathway. Cabang dari jaras ini yang menuju ke dorsolateral prefrontal cortex dihipotesiskan meregulasi kognitif dan fungsi eksekutif, cabang yang menuju ke bagian ventromedial dari prefrontal cortex dihipotesiskan meregulasi emosi dan afek. Peran yang sebenarnya dari mesocortical dopamine pathway dalam memediasi simtom pada skizofrenia masih diperdebatkan, tetapi banyak peneliti percaya bahwa fungsi kognitif dan beberapa simtom negatif skizofrenia bisa terjadi akibat

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan Model Pembelajaran Explicit Instruction Berbantuan Media Mock Up untuk Meningkatkan Motivasi Belajar IPA Siswa Kelas V SD Demangan.. Pendidikan Guru Sekolah

cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah.. memperkaya cerita itu

Letakkan bayi tengkurap di dada ibu, luruskan bahu bayi sehingga bayi menempel di perut ibu. Usahakan kepala bayi berada diantara payudara ibu dengan posisi

asuhan kebidanan secara komperhensif pada ibu hamil, bersalin, bayi baru. lahir, nifas dan keluarga berencana terutama pada

Fungsi Pantap Gernas K3 Daerah Tingkat I dan II, adalah menjabarkan petunjuk pelaksanaan Bulan K3 yang ditetapkan oleh l{enteri Tenaga Kerja RI dan rencana. kerja

Kabupaten Padang Pariaman mempunyai 17 Kecamatan, diantaranya 6 Kecamatan berada di wilayah pesisir dan 11 Kecamatan berada di daerah daratan yang

Perbedaan utama dari model jaringan Local Area Network dengan Virtual Local Area Network adalah bentuk jaringan dengan model LAN bergantung pada letak/fisik dari wilayah kerja

Tujuan Penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang penerapan Pendidikan Agama di lingkungan keluarga buruh tani, data tentang pemahaman Agama remaja dan