BAB II
TINJAUAN TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, SETTING
NOVEL, PANDANGAN GORIN (5 ETIKA) DALAM MASYARAKAT
JEPANG, DAN RIWAYAT HIDUP NATSUO KIRINO
2.1 Definisi Novel
Menurut Ensiklopedia Indonesia, novel yang sama artinya dengan roman
adalah jenis prosa rekaan yang cukup panjang tanpa meyangkut pautkan
pengisahan tokohnya apakah sejak lahir sampai mati ataukah hanya satu episode
saja dari kehidupannya. Panuti Sudjiman dalam (Rustapa, 1990:4) menyatakan
bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang dan menyuguhkan tokoh-tokoh
yang menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Kedua sumber
itu tidak bertentangan maksudnya. Keduanya menyatakan bahwa novel adalah
prosa rekaan yang panjang dan menyuguhkan tokoh tanpa menyebutkan apakah
tokoh yang tampil itu dikisahkan sejak lahir sampai mati atau tidak. Hanya di
dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa roman itu sama dengan novel
Di dalam novel dapat diperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan manusia. Maksudnya, novel memberi gambaran
tentang tokoh-tokoh, peristiwa, dan latarnya secara fisik, seolah-olah dapat dilihat,
diraba, serta didengar. Novel juga menghadirkan pengetahuan tentang hal-hal
yang tidak dapat dilihat, dipegang, atau didengar, melainkan dirasakan oleh batin
yang semua itu diperoleh secara tersirat dari gambaran tokohnya, dari
peristiwanya, dari tempat yang dilukiskan atau waktu yang disebutkan.
Dari sekian banyak bentuk sastra seperti essai, puisi, cerita pandek, dan
sebagainya, novel-lah yang paling diminati. Novel merupakan karya yang paling
popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar karena daya
komunikasinya yang luas pada masyarakat.
Sebuah novel mengisahkan tokoh-tokoh, melukiskan latar (tempat dan
waktu) tokoh itu bergerak, menampilkan serangkaian peristiwa yang terjadi
berkaitan erat dengan perkembangan tokoh pelakunya. Di samping itu, novel
berisi rekaan yang sering kali mirip gambaran dunia nyata, sehingga pembaca
novel dapat mengerti dan dapat menerima apa yang dilukiskan dalam novel itu
berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata. Membandingkan dunia rekaan
Ada yang berpendapat bahwa novel merupakan cermin masyarakat.
Pendapat ini ada benarnya dan ada pula tidak benarnya. Yang membenarkan
pendapat ini berasumsi bahwa novel atau cerita rekaan itu memberikan bayangan
tentang apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu zaman walaupun
tokoh-tokohnya bukan tokoh yang sesungguhnya. Misalnya Siti Nurbaya karya
Marah Rusli. Dalam kenyataan peristiwa itu memang ada, tetapi peristiwa dalam
cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah
memperkaya cerita itu dengan imajinasinya. Jika sama benar yang diceritakan
pengarang cerita dengan peristiwa yang disampaikannya, maka tulisan itu bukan
cerita lagi melainkan laporan peristiwa. Sebaliknya, orang yang berpendapat
bahwa novel atau cerita rekaan bukan cermin masyarakat berasumsi bahwa cerita
itu semata-mata berisi imajinasi pengarang. Jadi, apa yang diceritakan pengarang
sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia nyata (Rustapa, 1990:7).
Novel dapat memberi dampak positif bagi pembacanya karena novel itu
memberikan manfaat pendidikan dan hiburan. Akan tetapi, tidak sedikit novel
yang memberikan dampak negatif, misalnya novel yang di dalamnya terdapat
adegan-adegan yang kasar atau adegan yang dapat menimbulkan dorongan
2.1.1 Unsur Intrinsik Novel
Dalam sebuah novel terkandung unsur-unsur struktur yang membentuk
novel tersebut. Unsur-unsur struktur novel tersebut adalah tema, penokohan, alur,
latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.
A. Tema
Bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya, sudah tentu ada
sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Sesuatu yang menjadi
persoalan atau pemikirannya itulah yang disebut tema.
Tema ibarat dasar pada sebuah bangunan. Tema merupakan dasar segala
penggambaran tokoh, penyusunan alur, dan penentuan latar. Tema tidak dituliskan
secara eksplisit. Kita dapat menentukan tema novel setelah kita membaca
kedeluruhan cerita. Jadi tema tidak dapat dilihat secara konkret, tetapi harus
dipikirkan dan dirasakan, baru dapat disimpulkan (Rustapa, 1990:11). Tema
merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel.
Biasanya dalam menyampaikan tema, pengarang tidak berhenti pada
pokok persoalannya saja. Akan tetapi, disertakan pula pemecahannya atau jalan
keluar menghadapi persoalan tersebut. Hal ini tentu sangat bergantung pada
B. Penokohan
Yang dimaksud penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan
tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana perilaku tokoh-tokoh tersebut. Ini
berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik
penyampaian, sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian
tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh
tersebut secara wajar. Apabila penggambaran tokoh kurang selaras dengan watak
yang dimilikinya atau bahkan sama sekali tidak mendukung watak tokoh yang
digambarkan, jelas akan mengurangi bobot ceritanya (Suroto, 1989:92-93).
Dalam melukiskan atau menggambarkan watak para tokoh dalam cerita
dikenal tiga macam cara, yaitu:
1. Secara analitik, pengarang menjelaskan atau menceritakan secara terinci
watak tokoh-tokohnya. Misalnya, A adalah seorang yang kikir dan dengki.
Hampir setiap hari bertengkar dengan tetangga dan istrinya hanya karena
masalah uang. Ia mudah sekali marah.
2. Secara dramatik, pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak
a. Melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh.
b. Pengarang mengemukakan atau menampilkan dialog antara tokoh yang
satu dengan tokoh yang lain.
c. Pengarang menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi tokoh
terhadap suatu kejadian.
3. Gabungan cara analitik dan dramatik, disini antara penjelasan dan dramatik
harus saling melengkapi.
C. Alur
Dalam sebuah novel ada rangkaian peristiwa yang saling berhubungan
secara erat dan dasar hubungan itu adalah sebab akibat dan hubungan itu sangat
logis. Rangkaian peristiwa yang demikian itu disebut alur (Rustapa, 1990:20)
Secara tradisional plot cerita prosa disusun berdasarkan urutan sebagai
berikut:
1. Perkenalan
2. Pertikaian
3. Perumitan
4. Klimaks
Pada dasarnya, alur dapat digolongkan berdasarkan susunan atau
urutannya, kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan susunan atau urutannya, alur
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Alur maju
Yaitu, alur yang peristiwanya disusun secara kronologis. Dimulai dari perkenalan,
kemudian peristiwa itu bergerak, keadaan mulai memuncak, diikuti dengan
klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian
2. Alur Mundur
Yaitu, alur yang urutan peristiwanya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian
kembali pertama, peristiwa kedua, dan seterusnya sampai kembali lagi ke
peristiwa terakhir tadi. Dalam susunan alur yang demikian biasanya pengarang
mulai dengan menampilkan peristiwa sekarang, kemudian pengarang
menceritakan masa lampau tokoh utama yang mengakibatkan sang tokoh terlibat
dalam peristiwa yang sekarang terjadi.
Sedangkan berdasarkan kualitatif, alur dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Alur rapat, yaitu: alur yang terbentuk apabila alur pembantu mendukung atau
2. Alur longgar, yaitu: alur yang terbentuk apabila alur pembantu tidak
mendukung alur pokok.
Alur rapat dan alur longgar hanya mungkin terjadi pada roman atau novel.
Sebab hanya dalam kedua jenis prosa itulah pengarang memiliki kebebasan untuk
mengembangkan peristiwa-peristiwa sampingan yang membentuk alur sendiri
(Suroto, 1989:90)
Sedangkan berdasarkan kuantitatif, alur dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Alur Tunggal, yaitu: alur yang hanya terjadi pada sebuah cerita yang memiliki
sebuah jalan cerita saja. Disini pengarang tidak membentuk alur lain yang
berasal dari peristiwa sampingan. Jadi yang diceritakan peristiwa pokoknya
saja.
2. Alur Ganda, yaitu: alur yang terjadi pada cerita yang memiliki alur lebih dari
satu.
D. Latar
Yang dimaksud dengan latar atau setting adalah penggambaran situasi
tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Sudah tentu latar yang
dikemukakan, yang berhubungan dengan sang tokoh atau beberapa tokoh (Suroto,
Latar berfungsi sebagai pendukung alur atau perwatakan. Gambaran
situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang
dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat, pengarang harus
mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan
digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung, buku,
atau informasi dari orang lain.
E. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah unsure lain yang terpenting dalam karya sastra. Di
dalam sebuah cerita, seorang pengarang tentu berharap agar buah pikirannya dapat
dipahami dan dinikmati pembacanya. Oleh karena itu, melalui imajinasinya
pengarang berupaya memilih kata-kata yang ditata dalam rangkaian kalimat yang
sederhana. Ia memadukan kata demi kata sehingga tercipta bahasa yang indah dan
dapat menarik minat pembaca. Dengan kata lain, seorang pengarang
menggunakan gaya bahasa tersendiri di dalam menyusun karyanya (Rustapa,
1990:49)
F. Sudut Pandang
Unsur berikutnya yang harus mendapat perhatian adalah pusat
ceritanya supaya dapat meyakinkan pembaca. Apakah ia berada di luar cerita atau
terlibat di dalamnya. Masalah ini sebenarnya menyangkut cara pengisahan cerita
oleh pengarang. Dari sudut pandang mana cerita itu dikemukakan (Rustapa,
1990:42)
2.1.2Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu
sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa unsur ekstrinsik adalah
unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur
tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan
hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan
sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain (Suroto, 1989:138).
Unsur ekstrinsik untuk tiap bentuk karya sastra sama. Unsur ini mencakup
berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang
penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu
mempelajari segala macam persoalan hidup manusia. Hal ini berkaitan dengan
misi seorang pengarang yang selalu berhubungan dengan manusia dan
menyelami kehidupan manusia dan keunikannya hanya akan menghasilkan
sebuah karya yang hambar dan janggal.
Pengetahuan yang tidak kalah penting bagi seorang pengarang adalah ilmu
jiwa. Dengan ilmu jiwa yang cukup memadai maka ia akan mampu menampilkan
perwatakan yang pas. Dengan pengetahuan ilmu jiwa, pengarang akan
menggambarkan gerak dan tingkah laku yang cocok dengan jiwa dan batinnya.
Tidak hanya itu saja yang perlu diketahui, pengetahuan sosial budaya suatu
masyarakat, seluk-beluk kehidupan masyarakat modern pun perlu dipelajari.
Kesimpulannya, semua aspek kehidupan manusia dimana saja dan kapan saja
perlu diketahui guna menunjang keberhasilan sebuah cerita.
Selain unsur-unsur yang datangnya dari luar diri pengarang, hal-hal yang
sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarang pun cukup besar pengaruhnya
terhadap terciptanya suatu karya sastra (Suroto, 1989:139).
2.2 Defenisi Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal
dari kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan
logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya
ilmu. Jadi, sosiologis berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan
antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra
dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk
dan instruksi. Akhiran kata tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan
alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata
sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan,
artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2).
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra
adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan
menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu
yang mampu merefleksikan zamannya (Endaswara, 2008:77).
Secara institusional obyek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam
masyarakat, sedangkan obyek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam.
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan
masyarakat melalui analisis ilmiah dan obyektif, sastrawan mengungkapkannya
melalui emosi, secara subyektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran,
intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, menurut
Damono (1978:6-8), apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian
terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya
cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai
masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat
sosiologi adalah obyektifitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang
masing-masing pengarang. Karya sastra yang sama dianggap plagiat.
Karya sastra bukan semata-mata kualitas itonom atau dokumen sosial,
melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan obyektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik
bersama. Di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih
dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang
diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model,
Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel misalnya, tidak diukur atas dasar
persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh
masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang
diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwi arah, yaitu antara
kenyataan dengan rekaan (Teew, 1984:224-249).
Sastra merupakan refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu
tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau
merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya
sastra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih
banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan
sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana
lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra
dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi
tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek
kehidupan sosial akan memantul penuh ke dalam karya sastra.
Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror).
Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati
Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra
bukan sekedar copy-an kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan.
Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus
dan estetis.
Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang:
a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif.
b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.
c. Stusi proses sosial. Yaitu, bagaimana masyarakat mungkin, dan
bagaimana mereka melangsungkan hidupnya.
Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra
terhadap struktur sosial. Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra
tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yaitu:
a. Konsep stabilitas sosial.
b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda.
c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya.
d. Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat.
e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke
Pandangan yang amat popular dalam studi sosiologi sastra adalah
pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi
cermin bagi zamannya. Dalam pandangan Lowenthal (Laurenson dan
Swingewood, 1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan perasaaan, akan
merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda
dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan
dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang
tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan
langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real
memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa perlu banyak
diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat,
mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya
pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus
sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.
2.2.1 Masalah Sosial
Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang
gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau norma
dan nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga
dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan
kerugian baik fisik maupun non fisik (Soetomo, 1995:10).
Parillo dalam Soetomo (1995:4) menyatakan bahwa untuk dapat
memahami pengertian masalah sosial perlu memperhatikan 4 komponen, yaitu:
1. Masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu.
2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada
individu maupun masyarakat.
3. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari suatu atau
beberapa sendi kehidupan masyarakat.
4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan
Sementara itu tidak semua masalah dalam kehidupan manusia
merupakan masalah sosial. Masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang
terjadi dalam antar hubungan warga masyarakat. Dengan demikian menyangkut
aturan dalam hubungan bersama baik formal maupun informal. Masalah sosial
1. Banyak terjadi hubungan antar warga masyarakat yang menghambat
pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat.
2. Organisasi sosial menghadapi ancaman serius oleh ketidakmampuan mengatur
hubungan antar warga.
2.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial
Masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi
yang terjadi setelah berlangsungnya suatu aktifitas pembangunan masyarakat.
Mengingat bahwa gejala social merupakan fenomena yang saling berkaitan, maka
tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa
aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya
perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah
yang kemudian dikategorikan ke dalam masalah sosial (Soetomo, 1995:165).
Masalah sosial yang timbul itu bukan merupakan hal yang ikut
direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek samping
dari pembangunan masyarakat. Efek samping yang terjadi dapat bersumber dari
pembangunan masyarakat, dan dapat pula bersumber dari dimensi sosial maupun
masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai pengikat norma-norma sosial sehingga
menimbulkan bentuk perilaku menyimpang serta ketergantungan masyarakat
terhadap pihak lain sebagai akibat system intervensi pembangunan yang kurang
proporsional.
Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek samping dari proses
pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan
kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek
akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, keberhasilan, dana terutama
pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh
terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi
melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat
dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan sesegera mungkin.
Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga akan menyebabkan
perubahan lingkungan.
2.3 Latar/Setting Novel
Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau
waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar
tidak harus berbentuk realitas yang bersifat objektif, tetapi dapat juga berbentuk
realitas yang bersifat imajinatif.
Latar di dalam Novel “Grotesque” karya Natsuo Kirino meliputi setting
tempat dan setting waktu. Latar tempat yang dimaksud adalah Tokyo yang
merupakan ibukota Jepang, sedangkan latar waktunya adalah sekitar tahun 2002.
Selain itu, terdapat latar tempat yang lainnya, yaitu sebuah Perguruan Q, disanalah
kedua tokoh ini menimba ilmu, dan mendapatkan perlakuan yang berbeda sebagai
kelompok ‘orang luar’ yang menjadi awal timbulnya permasalahan.
2.4 Pandangan Gorin (5 etika) dalam Masyarakat Jepang
Dalam masyarakat Jepang pada umumnya tidak mempercayai satu
ajaran agama. Melainkan mempercayai banyak Tuhan, tetapi semuanya bersifat
dasar, (Anezaki dalam Situmorang, 2009:105). Tetapi di dalamnya yang paling
dominan adalah pengaruh budhist dan ajaran Konfusius dan Shintois.
Sifat Jepang yang menonjol adalah peranan kelompok dalam kehidupan
masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat
sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena pada umumnya
Akan tetapi di Jepang wujudnya lebih kuat dan nyata. Dalam bermasyarakat,
bangsa Jepang lebih memberatkan pada berkelompok daripada individu.
Dr. Nakane Chie dalam bukunya Japanese Society, membedakan antara
kerangka (frame) dengan attribut dalam posisi individu di dalam masyarakat.
Yang dimaksud dengan “kerangka” di sini adalah lingkungan dimana itu berada
atau dalam kelompoknya, sedangkan attribut adalah tempat individu berada. Di
Jepang, kerangka lebih penting daripada attribut. Peranan kelompok yang lebih
tinggi daripada individu, tidak hanya berlaku untuk anggota kelompok,tetapi juga
pimpinan kelompok. Bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada
dalam kelompok. Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah satu penderitaan
besar, ibarat sikap seekor gajah solitaire yang ditinggalkan oleh gerombolannya.
Sebab itu, seorang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai
anggota kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok.
Hubungan antar anggota dalam kelompok adalah berdasarkan senioritas.
Hubungan antara kohai (yunior) dengan senpai (senior) amat penting. Di samping
itu ada dōryō yaitu anggota dengan senioritas yang sama. Penentuan status ini
amat penting dalam masyarakat Jepang hingga sekarang. Di satu pihak bisa
keragu-raguan dan menjamin keadaan yang tertib tanpa banyak gejolak. Setiap
orang tahu dimana posisinya terhadap orang lain, dan kapan ia akan meningkat
dalam tingkatan kelompok. Sebab sistem senioritas ini tidak berarti bahwa yang di
atas tetap memegang pimpinan, walaupun ia yang tertua. Pada saatnya ia harus
meninggalkan tempatnya sebagai pimpinan untuk memberikan tempat kepada
yang lebih muda dan yang berangsur-angsur akan menjadi tua. Kemudian ia
sendiri beralih dari status pimpinan menjadi penasehat.
2.5 Riwayat Hidup Natsuo Kirino dan Karya-Karyanya
Natsuo Kirino memiliki nama asli Hasioka Mariko lahir 7 Oktober 1951
di
Karena memiliki ayah seorang arsitek, Kirino dan keluarganya pernah tinggal di
beberapa kota di Jepang. Kirino menghabiskan masa remajanya di Sendai,
Sapporo, kemudian akhirrnya menetap di Tokyo.
Setelah menyelesaikan studi hukumnya, Kirino bekerja di berbagai
bidang sebelum menjadi penulis novel fiksi, termasuk bekerja sebagai pembuat
jadwal film yang akan tayang di bioskop, sebagai editor sekaligus penulis untuk
mulai bekerja sebagai penulis professional setelah melahirkan seorang putri di
usianya yang sudah mencapai 30 tahun. Kirino memulai karirnya pada tahun 1984
sebagai novelis roman, kemudian berputar haluan dan mengukuhkan diri sebagai
penulis novel misteri pada tahun 90-an, dan membuat debutnya di usia 40 tahun.
Dia dengan cepat membangun reputasi di negaranya sebagai penulis
kisah misteri dengan bakat yang langka, yang karya-karyanya berbeda dari genre
kisah kriminal yang biasanya. Ini terbukti saat dia memenangkan tidak hanya
penghargaan Grand Prix untuk Fiksi Kriminal di Jepang-untuk novel Out pada
tahun 1998-tapi juga salah satu penghargaan sastra tertinggi di negeri itu. Out
adalah novel pertama Natsuo Kirino yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Natsuo Kirino membuat gebrakan baru dalam dunia kesusastraan Jepang dengan
Out, novel literary mystery-nya yang kini telah memenangkan beberapa
penghargaan dan ditulis dengan realisme plot yang tajam dan penuh ketegangan.
Selain itu, tahun 1993 Natsuo Kirino menerima penghargaan tahun untuk
karya fiksi Novel misteKao ni Furikakeru Ame. Sejauh ini, tiga dari
novelnya
Inggris. Novel keempat, What Remains, sebuah kisah kekerasan pelecehan anak
Bagaimanapun, Natsuo Kirio telah menghapuskan keraguan akan
karyanya, yang juga dapat beredar dan laku di pasar AS. Kirino juga telah menulis
sebuah serial dalam
yang diterbitkan pada tahun 2009. Sebuah novel berikutnya, dijadwalkan untuk
publikasi pada tahun 2013.
2.6 Sinopsis Cerita Novel Grotesque
Kazue dan Yuriko adalah dua orang siswa Perguruan Q, yaitu sebuah
sekolah elite dan bergengsi. Di perguruan Q mereka dihadapkan dengan
pembagian kelompok. Kelompok pertama disebut “kelompok orang dalam”, yaitu
kelompok yang masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q melalui sistim
perguruan Q, yaitu mereka adalah siswa menengah perguruan Q dan otomatis bisa
melanjut ke sekolah lanjutan atas perguruan Q tanpa harus mengikuti ujian seleksi.
Sedangkan kelompok lain adalah kelompok “orang luar”, yaitu mereka yang
masuk dengan cara lulus ujian seleksi.
Kazue Sato adalah seorang wanita yang sangat taat kepada peraturan
ayahnya. Semua yang dia lakukan sesuai dengan perintah ayahnya. Dia
untuk bisa masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q yang sangat terkenal. Saat
dia akhirnya masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q dia dihadapkan pada
pembagian kelompok siswa. Kelompok pertama disebut kelompok “orang dalam”
sedangkan kelompok yang lain disebut kelompok “orang luar”. Kazue Sato
termasuk ke dalam kelompok “orang luar”.
Perbedaan kelompok “orang dalam” dan kelompok “orang luar” sangat
jelas terlihat, kelompok “orang dalam” adalah siswa-siswa yang berasal dari
keluarga kaya dan sangat berpengaruh di sekolah itu. Sedangkan kelompok “orang
luar” adalah siswa yang baru masuk ke perguruan Q dengan seleksi dan mayoritas
berasal dari keluarga yang biasa saja. Kelompok “orang dalam” memiliki
kekuasan dan kebebasan di sekolah, berbeda dengan siswa kelompok “orang luar”
mereka sering mendapat diskriminasi. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh siswa
kelompok “orang dalam” mereka sering bertindak sesuka hati dan
memperlakukan siswa kelompok “orang luar” dengan semena-mena.
Kazue Sato yang berasal dari keluarga yang biasa selalu ingin menjadi
nomor satu dan menjadi yang terbaik. Oleh karena itu, dia tidak setuju kalau
dirinya ditempatkan di kelompok “orang luar” yang merupakan kelompok yang
mendapatkan hak yang sama seperti kelompok “orang dalam”. Bahkan dia rela
rebut-ribut untuk diperbolahkan masuk ke dalam klub olahraga, tetapi malah
selalu dicela oleh senior dan kawan-kawannya.
Berbeda dengan Yuriko yang kecantikannya boleh dikatakan sempurna
seperti “monster” menurut penuturan kakaknya. Menginjak remaja Yuriko
mencapai pengertian bahwa ia bisa mendapatkan apa saja dengan memanfaatkan
kecantikannya. Hal itu terlihat dari awal dia masuk sekolah, seharusnya Yuriko
tidak dapat lulus seleksi, karena hasil ujiannya sangat buruk. Tapi berkat
kecantikannya yang membuat gurunya terpikat, akhirnya Yuriko diluluskan. Tidak
hanya itu, berlanjut ke masa-masa sekolah, kecantikannya membuat murid-murid
lain terpesona dan menjadikan dia sebagai pusat perhatian. Bahkan seniornya
tidak segan-segan untuk memintanya bergabung dalam klub mereka.
Di dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino dapat dilihat bahwa tokoh
menampilkan masalah, yaitu adanya sikap diskriminasi sosial di perguruan Q
membuat mereka mengambil tindakan yang berbeda, dengan hasil yang berbeda