• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbeda dengan Rozin, Haidt, dan McCauley, menurut Tybur, Lieberman, dan Griskevicius (2009), disgust dibagi menjadi tiga domain, yaitu pathogen disgust (menghindarkan diri dari zat-zat yang dapat menimbulkan penyakit), sexual

disgust (menghindarkan diri dari perilaku-perilaku yang mengurangi kemampuan

reproduksi) dan moral disgust (menghindarkan diri dari perilaku yang menimbulkan resiko sosial).

Tabel 2.4

Domain Emosi Kejijikan

CORE DISGUST ANIMAL DISGUST INTER- PERSONAL DISGUST MORAL DISGUST FUNGSI Melindungi tubuh dari penyakit Melindungi tubuh dan jiwa, menghindari kematian

Melindungi tubuh, jiwa, dan aturan sosial Melindungi aturan sosial PEMICU Makanan, binatang, atau produk dari tubuh Seks, kematian, kebersihan Kontak langsung atau tidak langsung dengan orang asing atau orang yang tidak diinginkan Pelanggaran terhadap nilai-nilai moral tertentu

Uraian di atas tampak bahwa kejijikan moral merupakan salah satu domain dari emosi kejijikan. Disebutkan oleh Haidt, Roller, dan Dias (1993) bahwa kejijikan merupakan komponen moralitas yang sifatnya umum. Dalam berbagai kultur, termasuk dalam masyarakat global sekalipun, terdapat perilaku-perilaku yang jika dilakukan akan menimbulkan kejijikan. Looy (2004) menggambarkan bahwa kejijikan moral merupakan reaksi alamiah yang berakar dalam tubuh-

embodied morality (Looy, 2004). Karena berakar dalam tubuh, maka setiap orang

mempunyai potensi untuk mengalami kejijikan moral ketika dihadapkan pada perilaku yang melanggar prinsip kesucian.

Kejijikan moral adalah pengalaman mengalami kejijikan sebagai respon ketika dihadapkan pada suatu pelanggaran moral (Jones & Fitness, 2008). Setiap orang memiliki kepekaan yang berbeda ketika dihadapkan pada stimulus yang dianggap menjijikan (Rozin, Lowery, & Haidt, & Imada, 1999). Ketika dihadapkan pada suatu pelanggaran terhadap etika kesucian, orang yang peka terhadap kejijikan moral akan mudah mengalami emosi kejijikan dibanding orang yang kurang peka. De Jong dan Merckelbach (1998) mendefinisikan kepekaan terhadap kejijikan moral sebagai “suatu kecenderungan untuk mengalami kejijikan sebagai respon terhadap stimulus-stimulus yang tidak mengenakkan”

Hubungan antara kejijikan moral dan perilaku moral bisa dijelaskan dengan beberapa cara. Pertama, kejijikan moral dipandang sebagai mekanisme alamiah yang berfungsi menghindarkan diri dari tindakan yang melanggar prinsip kesucian. Ibarat alarm, kejijikan moral menginformasikan bahwa terdapat sesuatu yang dapat mengotori kesucian moral, dan harus menghindarinya (Olatunji, David, & Ciesielski, 2012). Dalam hal ini, kejijikan moral berfungsi menjaga dan menghindarkan tubuh dan jiwa dari hal-hal yang membahayakan atau “gurdian of

the temple of the body” (Haidt, Rozin, McCauley, & Imada, 1997. hal. 114). Jadi,

orang yang memiliki kepekaan terhadap kejijikan moral yang tinggi, ia akan mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menghindari karakter atau perilaku yang bertentangan dengan prinsip kesucian.

Kedua, kejijikan moral juga dipandang sebagai reaksi emosi ketika suatu prinsip kesucian dilanggar (Horbeg, Oveis , Keltner, & Cohen, 2009). Orang yang melanggar atau menyaksikan pelanggaran terhadap prinsip kesucian akan

mengalami kejijikan moral. Jika pelanggaran tersebut dilakukan oleh diri sendiri maka akan muncul kejijikan moral terhadap dirinya sendiri (self-disgust), dan jika pelanggaran terhadap prinsip kesucian tersebut dilakukan oleh orang lain, maka akan muncul kejijikan moral terhadapnya.

Ketiga, kejijikan moral berpengaruh terhadap perilaku moral melalui penilaian moral. Looy (2004) mengatakan bahwa kejijikan merupakan “emosi moral yang fungsi khususnya adalah memfasilitasi evaluasi baik dan buruk, benar atau salah, dan sekaligus menyatakan keterikatan”. Hal itu dibuktikan oleh beberapa penelitian yang memastikan bahwa kejijikan moral berpengaruh pada penilaian moral. Penelitian Wheatley dan Haidt (2005) menyimpulkan bahwa partisipan penelitian yang mengalami emosi jijik melalui hipnosa cenderung memberikan penilaian moral yang lebih buruk terhadap suatu pelanggaran moral dibanding partisipan yang tidak mengalami emosi jijik. Dalam penelitian Wheatley dan Haidt (2005), partisipan yang dalam keadaan terhipnosis diberi sugesti untuk merasakan kejijikan ketika membaca kata-kata tertentu, seperti kata “often” dan “take”. Partisipan kemudian diminta untuk merating suatu pelanggaran moral yang tercantum dalam enam vignettes. Partisipan diminta untuk merating sejauhmana pelanggaran moral tersebut secara moral salah dan sejauhmana pelanggaran moral menjijikan bagi mereka.

Penelitian Inbar, Pizarro, Knobe, dan Cohen (2009) juga menyimpulkan bahwa kejijikan moral dapat meramalkan ketidaksetujuan terhadap gay. Dalam penelitiannya, Pizarro, Knobe, dan Cohen (2009) meminta sebagian partisipan untuk membaca skenario yang bertemakan “gay kissing”. Pada skenario tersebut, digambarkan seorang direktor membuat suatu video musik yang seolah

mendorong French kissing pada sesama gay di ruang publik. Sebagian partisipan diminta untuk membaca suatu skenario tentang seorang direktor yang membuat suatu video musik yang seolah mendorong French kissing antarpasangan di ruang publik. Setelah itu, semua partisipan diminta untuk melakukan penilaian (skala 7) terhadap tiga pertanyaan berikut : “apakah si direktor secara sengaja mendorong pasangan gay untuk melakukan French kissing di ruang publik?”; “apa salah pasangan gay melakukan French kissing di ruang publik?”; dan “apa yang salah dari direktur yang membuat video musik yang memungkinnya mendorong French

kissing pada pasangan gay di ruang publik?” (Pizarro, Knobe, & Cohen, 2009,

hal. 436)

Berdasarkan uraian di atas, menurut peneliti, kejijikan moral dapat menurunkan kecenderungan seseorang untuk munafik. Kejijikan moral sebagai salah satu dari emosi moral mempunyai kemampuan untuk mendorong dan mengarahkan seseorang pada suatu perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral (Huebner, Dwyer, & Hauser, 2008; Kroll & Egan, 2004), termasuk menghindari kemunafikan.

Kemunafikan sebagai sesuatu yang menjijikan (Rozin, McCauley & Imada, 1997) tentu akan menstimulasi kejijikan moral. Orang yang peka terhadap kejijikan moral akan mudah merasakan kejijikan moral ketika dihadapkan pada kemunafikan. Tubuhnya akan memberikan alarm bahwa terdapat sesuatu yang dapat merusak prinsip kesucian. Ia akan mengambil jarak dari stimulus yang menimbulkan kejijikan moral tersebut, dan disertai dengan reaksi fisiologis, ekspresif, dan perasaan (Rozin, Haidt, & McCauley, 2008) yang tidak mengenakkan sehingga mendorongnya untuk menghindari stimulus tersebut. Selain itu, orang yang mengalami kejijikan moral akan memberikan penilaian moral yang lebih buruk terhadap kemunafikan daripada orang yang tidak mengalami kejijikan moral sehingga ia akan cenderung menjauhi kemunafikan berdasarkan penilaian moralnya tersebut.

Gambar 2.5 Skema Pengaruh Kejijikan Moral terhadap Kemunafikan

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh emosi moral terhadap kemunafikan sudah dilakukan oleh Naso (2007), Tong dan Yang (2011), dan Polman dan Ruttan (2012). Naso meneliti hubungan emosi malu dengan kemunafikan. Penelitian Tong dan Yang (2011) menyimpulkan bahwa

partisipan yang suasana hatinya netral memiliki kecenderungan untuk munafik yang relatif sama dibanding partisipan yang mengalami emosi bangga (pride), sedangkan partisipan yang mengalami emosi syukur (gratitude) didapati

memiliki kecenderungan untuk munafik yang lebih rendah dibanding partisipan dengan suasana hati netral. Polman dan Ruttan (2012) meneliti pengaruh marah, rasa bersalah dan cemburu terhadap kemunafikan. Hasil penelitian Polman dan Ruttan (2012) menunjukkan bahwa rasa bersalah dapat menurunkan

kemunafikan, rasa cemburu dapat membalikkan kemunafikan, sedangkan rasa marah dapat meningkatkan kemunafikan.

BAB III