MORAL ORANG KAYA DAN KEBEJATAN ORANG MISKIN. DIKTUM JAURÈS LOGIKA PEKERJA. DEKLARASI SENTIMENTAL. SANUBARI KAUM BORJUIS ADALAH BRANKASNYA. MAKIN KITA MELAJU, MAKIN KITA SABOT. PENGGULINGAN KEKUASAAN TERAKHIR.
Tentu bisa dipahami, sebagaimana sudah ditunjukkan, bahwa terdapat perbedaan radikal antara kelas pekerja dan kelas kapitalis. Dan perbedaan ini sesungguhnya bersum- ber secara alamiah dari nilai-nilai moralitas yang berbeda. Justru menjadi sangat aneh, kalau dikatakan bah- wa: tidak ada satu pun kesamaan antara kaum pekerja yang membanting tulang dan kaum kapitalis, kecuali moral mereka. Apa?! Bagaimana bisa seseorang berkata bahwa tindakan dan perilaku dari seorang pekerja yang
dieksploitasi bisa dihakimi dan diberi penilaian menu- rut kriteria yang dianut oleh musuh dari kelasnya yang selama ini telah mengeksploitasinya? Hal ini jelas-jelas sangat absurd!
Yang benar adalah, karena terdapat dua kelas yang eksis di masyarakat, maka akan terdapat pula dua moralitas yang eksis di masyarakat, yaitu moralitas kaum borjuis dan moralitas kaum proletar.
“Moralitas alamiah atau zoologi,” tulis Max Nordau, “menegaskan bahwa makhluk yang tersisa adalah yang terkuat dan paling berkuasa. Moralitas alamiah ini tidak menyebut bekerja sebagai sesuatu yang mulia dan mem- bahagiakan, kecuali jika pekerjaan ini merupakan sesuatu yang teramat diperlukan bagi eksistensi materialnya.”
Namun pihak yang mengeksplotasi tidaklah men- dapatkan keuntungan apapun dari moralitas semacam ini. Kepentingan mereka saja jelas-jelas menuntut massa untuk membanting tulang lebih giat dari seharusnya dan memproduksi lebih banyak dari yang mereka butuhkan, persis karena pihak yang mengeksploitasi ingin merebut dan menguasai keuntungan lebih lanjut dari produk yang berlebih ini.
Demi kepentingan ini, maka mereka pun menying- kirkan moralitas alamiah semacam ini dan menciptakan moralitas baru yang dikembangkan oleh para filsuf mereka,
dikumandangkan dan dielu-elukan oleh pemimpin rakyat yang paling jago bermulut manis, dilantunkan oleh para penyair mereka. Inilah moralitas yang menyatakan bahwa kemalasan adalah akar dari setiap kebejatan, dan bahwa setiap tenaga kerja yang rajin adalah suatu kebajikan, kebajikan terindah dari semua kebajikan…
Tidak perlu susah-susah melakukan pengamatan untuk mengetahui bahwa moralitas ini sesungguhnya diproduksi khusus untuk perburuhan kaum proletar, dan orang-orang kaya yang menopangnya sangatlah berhati- hati untuk tidak ikut-ikutan moralitas ini. Kemalasan bukanlah sebuah kebejatan, kecuali bagi orang miskin. Atas nama dikte dan mandat dari moralitas istimewa ini, maka mereka pun mesti mengucurkan keringat tanpa hen- ti, tanpa ada waktu istirahat, demi kepuasan tuan mereka. Tindakan apapun yang memperlambat upaya produksi dan perilaku apapun yang berpotensi mengurangi keuntungan dan laba yang bisa diperoleh pihak yang mengeksploitasi mereka, akan dengan segera dikualifikasikan sebagai se- suatu yang tidak bermoral.
Sebaliknya, segala kerja keras dari para pekerja yang ujung-ujungnya memberikan keuntungan kepada bos ini, akan disanjung dengan suara lantang. Meski demi- kian, tidak akan pernah ada kata-kata pujian yang cukup untuk ketekunan kaum buruh yang bekerja begitu keras dan dibayar begitu murah, serta untuk setiap keberatan
sederhana yang disampaikan oleh seorang pekerja sebagai bentuk kejujurannya. Dengan kata lain, tidak akan pernah ada kata-kata penyemangat apapun untuk semua ikatan idealis dan sentimental yang memasung pekerja pada ke- reta perang kapitalisme, selain belenggu rantai besi yang begitu kuat dan kokoh.
Lagipula, untuk menyelesaikan urusan kerja dalam sistem perbudakan yang mereka lakukan, dengan lantang mereka mengimbau dalam tata cara yang benar-benar me- nunjukkan kesombongan manusia. Semua kualitas budak yang baik diagung-agungkan dan dibesar-besarkan; mere- ka bahkan sudah mempatenkan sebentuk bingkisan moral, yaitu medali dan ijazah bagi buruh, bagi para pekerja yang mati-matian membanting tulang dengan riang gembira, bagi para pekerja yang bisa begitu mudah dibedakan de- ngan manusia lainnya karena memiliki tulang belakang yang begitu lentur, dan karena memiliki roh Kristiani dalam kepasrahan dan kesetiaan mereka pada “bos”.
Moralitas bajingan semacam inilah yang menyerang kelas pekerja.
Sejak hari ia lahir hingga hari kematiannya, kaum proletar dicemari dengan moralitas ini. Ia menghisap- nya, layaknya menghisap susu tercemar dari botol dot, yang terlalu sering menggantikan susu ASI dari sang ibu. Setelah itu, kebejatan dari moralitas yang sama di- suntikkan kepadanya dalam dosis yang teramat cermat.
Lalu tubuhnya pun menyerap moralitas busuk ini dalam ribuan kali proses. Sampai akhirnya, ia pun dikuburkan di pemakaman umum. Kaum proletar tertidur selamanya dalam tidur abadi.
Racun yang dikandung moralitas ini kerap kali terlampau kental dan pekat, serta begitu gigih menyu- sup, sehingga sangat banyak orang yang berakal tajam dengan penalaran yang jeli dan jernih sekalipun bisa terkontaminasi.
Berikut adalah kasus Deputi Jaurès18, yang telah terin- feksi etika buatan kaum kapitalis ini, yang telah mengutuk SABOTASE dengan penuh semangat. Sepanjang diskusi soal Sindikalisme yang diikuti oleh Perlemen Perancis, pada tanggal 11 Mei 1907, ia menyatakan:
“Jika yang dipersoalkan adalah propaganda SABOTASE yang sistematis dan metodis, yang bertu- juan agar kaum konservatif menyetujuinya, maka aku percaya perdebatan ini tidak akan beranjak terlalu jauh. SABOTASE jelas melecehkan sifat dan kehendak kelas pekerja.”
18 Jean Jaurès (1859 – 1914) adalah aktivis kiri penting Perancis
dan salah satu tokoh awal pendukung demokrasi sosial. Seorang pasifis dan anti-militer, pendiri majalah sosialis l’Humanité ini terpilih sebagai anggota La Chambre des Députés (setara DPRD) Perancis tanpa afiliasi politik apapun. Terinspirasi Marx, namun bukan seorang Marxis. Menurutnya, Marxisme tidak memberi porsi adil terhadap keniscayaan material sejarah.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa,
“SABOTASE jelas menghina keahlian teknis dari seorang pekerja, padahal keahlian itu mencerminkan kekayaan sejati yang dimiliki oleh seorang pekerja. Itulah mengapa Sorel19, seorang teoritis dan filsuf metafisika Sindikalisme,20 menyatakan bahwa ketika Sindikalisme dianugerahi dengan setiap kemungkinan cara yang ada, bahkan tetap ada satu hal yang mesti dicegah. Hal yang satu itu, adalah hal yang bisa menjatuhkan harga diri dan mempermalukan nilai-nilai profesional yang dianut oleh seorang pekerja; nilai yang tidak hanya merupakan keka- yaan krusial yang dimiliki dari seorang pekerja hari ini, namun juga sekaligus krusial bagi gelar dan kedudukannya dari kedaulatan yang akan ia genggam di masa mendatang.”
19 Georges Eugène Sorel (1847–1922) adalah filsuf, sosialis, dan
teoritikus sindikalisme revolusioner Perancis. Seorang moralis tradisi- onal abad ke-19 yang mendukung kekerasan, namun terbatas untuk kekerasan heroik sebagaimana gagasan dari perang kelas Marxis. Intelektual independen ini percaya, revolusi sosial untuk mengguling- kan kapitalisme dan borjuasi bisa dicapai melalui pemogokan umum dan aksi langsung sembari menggerakkan peran mitos. Teorinya tentang kuasa mitos ini, dalam perkembangannya, menginspirasi banyak kaum Marxis dan Fasis.
20 Metafisika secara sederhana adalah cabang ilmu filsafat yang
berusaha mendedah sifat mendasar dari realitas dan alasan “menjadi” (being) dari segala sesuatu. Kajian ini berminat untuk mengungkap pemikiran dan subjek abstrak di luar pengalaman objektif, serta me- mahami esensi dari suatu eksistensi.