Penegasan dari Jaurès ini, bahkan jika ia berlindung di balik tameng Sorel sekalipun, sesungguhnya meru- pakan semua gagasan yang ia inginkan dari pekerja (ini bahkan bisa dilihat dari penekanannya pada persoalan filosofi metafisik buruh); kecuali penjabarannya tentang realitas ekonomi. Gerangan dalam nilai Kristiani yang manakah Jaurès dapat menemukan pernyataan soal “sifat dan kehendak” pekerja untuk mengerahkan semua energi fisik dan mentalnya, yang sanggup mematahkan lehernya sendiri demi membantu tuan mereka? Bahkan kalau kita mengabaikan segala kondisi absurd, nista, dan memalukan yang dipaksakan dan dibebankan oleh majikan kepada para pekerja?
Di sisi lain, bagaimana bisa “nilai teknis” dan keahlian dari para pekerja yang dibayangkan Jaurès ini akan ter- ancam bahaya; jika di kemudian hari para pekerja sudah menyadari bahwa mereka adalah korban dari ekploitasi tidak manusiawi, sehingga mereka memutuskan untuk berjuang mendobrak belenggu dan bertekad tidak akan lagi memasrahkan otot dan otak mereka dalam kemuakan tanpa batas demi keuntungan mutlak tuan mereka sema- ta? Mengapa pula para pekerja harus menebarkan “nilai dan keahlian teknis sebagai bentuk kekayaan mereka”? Mengapa mereka harus menjadikannya hadiah gratis untuk kapitalis? Tidakkah lebih logis kalau para pekerja, alih-alih mengorbankan diri mereka sendiri seperti domba
di altar persembahan kapitalisme, maka lebih baik bagi mereka untuk berjuang dan melawan, karena itu artinya mereka menghargai “keahlian teknis” mereka dalam nilai paling tinggi yang bisa dimungkinkan, serta memberi jalan bagi “kekayaan sejati” yang mereka miliki ini, entah separuhnya atau semuanya, berada dalam kondisi terbaik untuk bisa diperoleh?
Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, Jaurès tidak men- jawab apapun, karena memang ia tidak mendedah lebih dalam persoalan yang berkelindan di balik pertanyaan- pertanyaan ini. Ia telah membatasi dirinya untuk membuat pernyataan dalam kerangka sentimentil yang terinspirasi oleh moralitas kaum yang justru berperan sebagai pihak yang mengeksploitasi kaum buruh. Pernyataannya ini tak ada bedanya dengan kritik para ekonom borjuis yang menghujat kelas pekerja atas tuntutan dan pemogokan tidak tahu diri yang mereka lakukan dan menuduh mereka sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kondisi genting yang mengancam industri nasional.
Rentetan alasan yang dikemukakan Jaurès sebenarnya bermerek dagang sama dengan pemikiran para teoritikus borjuis. Perbedaannya, alih-alih memberi ceramah de- ngan nada patriotis; ia memilih untuk membangkitkan dan mendorong gengsi, kesombongan, serta ketamakan dari para pekerja yang malas berpikir dan terlalu gampang untuk bersuka cita terlalu berlebihan.
Lebih lanjut, argumen Jaurès ini berperan dalam peno- lakan formal terhadap perjuangan kelas, karena pendapat ini mendorong terhentinya segala pertimbangan lebih lanjut terkait kondisi peperangan konstan yang terjadi antara modal dan buruh.
Bahkan pemikiran sederhana yang paling umum se- kalipun menunjukkan bahwa: karena bos adalah musuh pekerja, maka penyergapan yang dipersiapkan oleh para pekerja untuk melawan pihak yang menganiayanya, tidak- lah bisa disebut sebagai aksi kejahatan atau ketidaksetiaan. Cara-cara ini jelas diakui dalam peperangan manapun, sebagaimana halnya cara-cara ini diperkenankan dalam setiap pertempuran langsung dan terbuka.
Oleh karenanya, tidak ada satu pun argumen yang dipinjam dari moralitas borjuis yang cocok dan kompeten untuk menghakimi SABOTASE, persis karena tidak ada sedikit pun dari argumen-argumen ini yang memiliki bobot dan sanggup menyuarakan penilaian, tindakan, kelakukan, pemikiran, dan aspirasi dari kelas pekerja.
Jika seseorang berniat untuk memberikan landasan alasan terkait persoalan-persoalan ini dengan tepat, maka sudah semestinya ia tidak mengulang-ulang kode etik yang dicomot dari moralitas kapitalis. Ia justru mesti mengin- spirasi diri untuk mendukung dan bersimpati kepada para produsen. Ia mesti beranjak dari moralitas kaum proletar, moralitas yang terukir di dalam keseharian sanubari kelas
pekerja. Inilah moralitas kaum yang ditakdirkan untuk memperbaharui relasi sosial, karena moralitas kaum proletar-lah yang akan membentuk tatanan kehidupan masyarakat masa depan.
Kaum borjuis tentu saja telah merasakan sendiri pu- kulan yang menghujam sanurabarinya akibat SABOTASE; yaitu, pukulan di dompet sekaligus catatan keuangannya. Tanpa bermaksud ofensif, tetap saja perempuan borjuis tua yang baik itu harus mengalah dan membiasakan diri untuk terus-menerus hidup berdampingan dengan SABOTASE. Bahkan akan sangat bijaksana jika perempuan itu turut mewujudkan yang terbaik dari sesuatu yang tidak bisa ia cegah atau ia halang-halangi. Karena ia harus membiasa- kan diri dengan pemikiran bahwa riwayatnya akan tamat (setidaknya riwayatnya sebagai kelas penguasa dan kelas berpunya), maka akan sangat baik pula baginya untuk membiasakan diri dengan SABOTASE, yang dewasa ini telah memiliki memiliki akar yang semakin dalam dan tidak bisa dihancurkan. Akar inilah yang akan terhunus begitu dalam di tubuh masyarakat kapitalistik, hingga makhluk tamak itu pun koyak bergelimang darah sampai titik darah penghabisan.
Semua ini sudah mulai terjadi, dan akan semakin buruk, lebih buruk dari penyakit epidemik berbahaya, bahkan lebih buruk dari penyakit menular mengeri- kan apapun. Semua ini akan merasuki tubuh sosial
kapitalisme lebih kejam dan lebih tidak dapat disembuh- kan daripada kanker dan sifilis bagi tubuh manusia. Pada dasarnya, semua ini adalah luka di tubuh masyarakat jahanam ini, namun luka ini tidak bisa dihindari dan bisa berakibat fatal.
Tidak perlu menjadi nabi besar untuk memprediksi bahwa semakin kita melaju, maka semakin kita harus sabot.
BAB IV