BAB II. INTERNET DAN SEKS
B. Hakekat Seksuaitas
5. Moral Seksualitas Manusia
Moral berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores”yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain; akhlak
budi pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani;
bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya. Moral secara etimologi
diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku
pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan kata lain ajaran tentang azas
dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistimatika dalam etika. Dalam
bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah yang berarti norma, aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam hubungannya dengan tindakan
manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak manusia.
kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana
sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk
Sedangkan dalam bab II sudah sedikit dibahas mengenai seksualitas yaitu
keseluruhan kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian dan sikap seseorang yang
berkatitan perilaku serta orientasi seksual. Jadi penulis dapat menyimpulkan yang
dimaksud moral seksual di sini adalah ajaran tentang hal yang baik atau yang
buruk tentang sikap seseorang terhadap perilaku dan orientasi seksual. Mengingat
bahwa kita adalah orang yang beriman maka moral seksualitas ini akan dibahas
sesuai dengan iman Kristiani.
Allah menciptakan manusia dengan seksualitasnya yaitu pria dan wanita
untuk menjadi gambar-Nya. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka” (Kej.1:27). Hal ini menunjukkan bahwa baik wanita maupun pria adalah serupa dengan Allah. Mereka semua sama, tidak ada yang
lebih baik dan tidak ada yang lebih buruk. Justru dalam perbedaan Allah
menghendaki supaya manusia, sebagai pria dan wanita menjaga keluhuran
martabatnya sebagai Citra Allah. Pria dan wanita memiliki martabat yang sama
jadi tidak seharusnya mereka saling menguasai satu sama lain. Sebaliknya justru
dalam perbedaan mereka saling melengkapi, saling kerjasama dan saling
membantu satu sama lain demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik seperti
yang diharapkan Allah sendiri. Hal tersebut juga ditegaskan dalam kitab kejadian
sebagai berikut:
Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyanyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawanya kepada
manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu “inilah dia, tulang dari tulangku
dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki (Kej.2:21-23)
Teks ini jelas mau menunjukkan bahwa wanita adalah bagian dari pria,
begitu juga sebaliknya karena mereka berasal dari satu tubuh. Jadi apabila ada
seorang pria merendahkan, melecehkan dan menyakiti seorang wanita maka
sebetulnya ia juga merendahkan dan melecehkan dirinya sendiri, begitu juga
sebaliknya bagi wanita. Sebagai satu tubuh pria dan wanita hendaknya saling
menjaga agar tidak disakiti, tidak dihina dan tidak direndahkan. Tetapi justru
sebaliknya yaitu saling menjaga dan saling kerjasama sehingga kehidupan yang
dibina benar-benar kehidupan yang penuh kasih sesuai dengan citra Allah.
Dalam perintah yang ke enam dari sepuluh perintah Allah berbunyi
“jangan berzinah” kata ini mengandung banyak arti dalam hidup sehari-hari. Berzinah jika digunakan untuk orang yang sudah berkeluarga artinya bahwa tidak
boleh mengingini suami/istri orang lain. Artinya bahwa orang yang sudah terikat
perkawinan tidak boleh berpindah atau menyeleweng dari pasangannya.
Sepuluh Perintah Allah adalah hukum untuk semua orang yang percaya
pada Allah. Berarti semua orang harus menaati hukum itu. Lalu bagaimana
penerapan hukum ke enam untuk yang belum nikah? Mengenai hal ini Yesus
menegaskan dengan berkata “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta
menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”(Mat.5:27-28). Berzinah dalam hal ini tidak hanya diartikan dalam kontak fisik. Ketika kita
berfikir dan menginginkan tubuh orang lain sebetulnya kita sudah berzinah dalam
diri kita. Bagi kita yang belum menikah kata berzinah bisa diartikan sebagai
menyalah gunakan fungsi seks dalam hidup hanya untuk kepuasan dan
kesenangan diri semata. Karena sesungguhnya Allah menciptakan seks bukan
hanya untuk kenikmatan dan kesenangan saja melainka ada karya Allah yang
lebih besar yaitu terciptanya manusia baru.
Banyak orang muda yang sedang jatuh cinta atau pacaran,
mengungkapkan rasa cintanya dengan berbagai tindakan seksual misalnya ciuman
atau bahkan sampai hubungan badan. Padahal ungkapan cinta itu tidak hanya
dengan tindakan seksual tapi dengan banyak cara, misalnya perhatian, pujian dan
ungkapan-ungkapan peneguhan. Untuk itu supaya remaja bisa menghayati cinta
dalam konteks pacaran yang sehat dan bertanggung jawab maka perlu mengetahui
dan menghayati 4 hal sebagaimana yang diungkapkan oleh Pratiwi (2004:82):
a. Sehat secara fisik:
Sehat secara fisik artinya adalah masing-masing pasangan hendaknya
saling menjaga dan saling mengingatkan kesehatan satu sama lain, misalnya
dengan berolah raga bersama, makan-makanan bergizi. Mencintai berarti saling
menghargai dan menjaga, tidak saling menyakiti secara fisik antar pasangan,
misalnya tidak menyebabkan kehamilan, terkena HIV/AIDS, terkena PMS
(Penyakit Menular Seksual), tidak saling memukul, dsb.
b. Sehat secara psikologis:
Pasangan hendaknya bisa saling mendukung dan memotivasi serta
meneguhkan satu sama lain untuk perkembangan dan kemajuan baik diri sendiri
maupun pasangan bukan malah sebaliknya, misalnya tidak mengekang
c. Sehat secara sosial:
Pasangan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, lingkungan
keluarga dan masyarakat. Artinya bahwa pasangan tersebut mampu menjalin
relasi yang baik dengan orang tua masing-masing pasangan maupun dengan
masyarakat di mana pasangan tersebut tinggal.
d. Sehat secara moral:
Pasangan saling menjaga dan mengendalikan diri untuk senantiasa
berjalan dan berhubungan sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku. Bukan
malah sebaliknya yaitu justru menjerumuskan hasrat ingin mesra yang dapat