• Tidak ada hasil yang ditemukan

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kekayaan alam hayati beraneka ragam flora maupun fauna, sebagian besar dari fauna yang ada belum dimanfaatkan secara optimal dan hidup liar di hutan. Secara ekologis, satwa liar memberikan keseimbangan dalam menjaga rantai makanan. Namun demikian, keberadaan mereka terancam karena menjadi sasaran perburuan baik untuk kepentingan hobi, hewan model atau hewan kesayangan. Salah satu satwa liar tersebut adalah kancil (Tragulus javanicus). Penyebarannya di Indonesia terbatas pada daerah-daerah tertentu, yaitu: Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan jumlah populasi yang belum diketahui secara tepat.

Kancil merupakan satwa liar yang statusnya termasuk dilindungi (Dephut 1978). Populasi satwa ini diduga cenderung menurun akibat perburuan dan konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia. Ancaman lain adalah predator yang bisa memangsanya, seperti harimau, kucing hutan dan garangan, burung besar dan reptil besar. Mengingat kancil bukan hanya merupakan kekayaan keanekaragaman fauna Indonesia tetapi juga dunia, maka perlu dilakukan usaha konservasi spesies ini, baik dari sisi perlindungan habitat maupun dari sisi satwa itu sendiri.

Telah diketahui bahwa kancil memiliki komposisi protein tinggi (21.42%), lemak (0.51%) dan kolesterol rendah (50%) (Rosyidi 2005). Dengan demikian kancil dapat dijadikan satwa harapan. Namun demikian, pembiakan kancil secara alami di penangkaran belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Ada kemungkinan faktor penyebab kurang berhasilnya pembiakan kancil di penangkaran disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan tentang biologi reproduksinya. Strawder (2004) melaporkan di habitatnya kancil hidup secara soliter dan monogami. Saat ditangkarkan kancil tidak stabil dan agresif, libidonya rendah dan tidak mampu untuk mounting (Kudo et al. 1995 dalam Haron et al.

2000). Faktor tersebut menyebabkan upaya perkembangbiakan kancil mengalami kesulitan.

2 Sistem reproduksi jantan dan betina merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan teknologi reproduksi pembiakan satwa, maka sebagai langkah awal dalam penelitian ini akan melihat anatomi organ reproduksi, tingkah laku seksual dan siklus estrus. Pengetahuan siklus estrus pada kancil betina, terutama lama periode estrus dan waktu ovulasi merupakan informasi yang sangat penting dalam menentukan tingkat keberhasilan perkawinan. Pada hewan betina, penentuan siklus estrus dapat dilakukan melalui pengamatan tingkah laku seksual. Namun belum memberikan informasi yang tepat dalam menentukan waktu perkawinan. Metode lain dalam pengamatan siklus estrus diantaranya dengan mempelajari gambaran perubahan sel epitel vagina dan melihat profil hormon, baik yang diperoleh secara invasif dalam plasma darah maupun non invasif dalam urin dan feses.

Pengaturan siklus estrus dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron melalui aktifitas ovarium. Hormon estrogen disekresikan oleh sel-sel granulosa dari folikel ovarium karena pengaruh Follicle Stimulating Hormone

(FSH). Pada saat progesteron rendah, peningkatan konsentrasi estrogen akan menyebabkan umpan balik positif dengan meningkatnya sekresi Luteinizing Hormone (LH) dari hipofisa anterior ke dalam peredaran darah dan menyebabkan ovulasi folikel. Setelah ovulasi terbentuk corpus luteum (CL) yang mensekresikan progesteron. Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh prostaglandin F2α (PGF2α). Dengan menurunnya progesteron maka terjadi umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisa sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus estrus yang baru.

Perubahan fisiologis yang menyertai siklus estrus tersebut juga berpengaruh terhadap gambaran sitologi sel epitel vagina. Pada fase luteal dimana hewan tidak estrus sebagian besar sel epitel vagina merupakan sel parabasal, sedangkan ketika memasuki fase estrus sel epitel berubah menjadi sel intermediet, superfisial dan sel tanduk (kornifikasi) yang menandakan hewan dalam keadaan puncak estrus. Dengan demikian, keberadaan sel superfisial dan sel tanduk dapat

3 digunakan untuk menentukan waktu optimum melakukan inseminasi buatan (IB) atau kawin alam.

Di dalam proses metabolismenya, hormon steroid akan dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah terkonjugasi tersebut selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan diekskresikan melalui urin atau melewati membran kanakuli hati ke empedu, selanjutnya akan memasuki sirkulasi enterohepatik dan diekskresikan melalui feses (O‟Maley & Strott 1999). Adanya hormon yang diekskresikan tersebut dapat digunakan untuk melakukan pengukuran konsentrasi hormon reproduksi satwa liar termasuk kancil. Metode pengamatan hormon yang non invasive ini sangat bermanfaat karena dapat meniadakan pengaruh cekaman.

Analisis profil metabolit hormon dari urin dan feses telah digunakan beberapa peneliti terdahulu dan hasilnya dapat merefleksikan kondisi reproduksi satwa (Brown & Wildt 1997; Kusuda et al. 2007a). Kusuda et al. (2007a) melaporkan bahwa siklus estrus pada okapi dapat diamati berdasarkan pada perubahan konsentrasi pregnanediol glukoronide (PdG) dalam urin dan feses. Deteksi kebuntingan dengan menganalisa konsentrasi estrogen dari feses sudah dilakukan pada berbagai ungulata, seperti kerbau, zebra dan bison (Schwarzenberger et al. 1996). Namun sampai saat ini, penelitian serupa pada kancil betina belum pernah dilaporkan.

Dengan demikian biologi reproduksi kacil perlu dikaji untuk meningkatkan populasinya. Hal tersebut dapat didekati dengan pengkajian tingkah laku berahi, gambaran sitologi epitel vagina dan pola hormon pada betina. Sehingga diketahui siklus estrus, panjang masa estrus dan perkiraan waktu ovulasi yang menentukan ketepatan waktu kawin. Kajian tersebut harus juga melibatkan pemeriksaan karakteristik dan kualitas semen. Pengetahuan tentang karakteristik semen tersebut dapat digunakan dalam menentukan kesuburan atau kemungkinan pembuatan semen cair atau beku.

4 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola reproduksi kancil dalam rangka peningkatan populasi untuk mendukung pelestariaannya.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1 Mempelajari pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran

2 Mempelajari anatomi dan morfometri organ reproduksi kancil jantan dan betina

3 Mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina 4 Mengetahui panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui pengamatan perubahan sitologi sel-sel epitel vagina dan profil metabolit hormon steroid (progesteron)

5 Mengetahui karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan metode elekroejakulator.

Manfaat Penelitian

1. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai data dasar dalam upaya pelestarian dan konservasi satwa kancil baik secara in-situ maupun ex-situ. 2. Dalam aplikasi reproduksi, hasil penelitian dapat menentukan waktu optimal

kawin pada betina dan pada jantan sebagai dasar pengembangan pengolahan semen.

5 Kerangka Pemikiran

Pengaturan estrus dipengaruhi oleh hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH dimana akan menyebabkan perkembangan folikel dan pembentukan CL. Folikel yang matang akan mensekresikan estrogen yang bertangungjawab untuk proliferasi endometrium, meningkatkan ukuran dan cairan dinding uterus melalui hiperplasia dan hipertrofi sel-sel mukosa, meningkatkan volume dan ukuran pembuluh darah ke uterus sehingga darah mengalir ke dan dari uterus dengan bebas serta berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi. Estrogen juga mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus, pada uterus merubah aktivitas metabolismenya, kesemuanya itu dimaksudkan guna mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan spermatozoa.

Gejala estrus yang diperlihatkan karena efek estrogen pada poros hipotalamus-hipofisa meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah, sehingga menyebabkan ovulasi. Hormon progesteron yang dihasilkan CL mulai meningkat setelah ovulasi, dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase luteal. Hormon progesteron akan bertahan beberapa waktu, dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase luteal. Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh PGF2α. Dengan menurunnya progesteron maka terjadi pelepasan gonadotropin oleh adenohipofisa, sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus estrus yang baru.

Fluktuasi hormon estrogen dan progesteron tersebut, akan berpengaruh terhadap gambaran sel epitel vagina. Proses perubahan sel-sel parabasal menuju sel intermediet kemudian sel-sel superfisial dan sel-sel anucleate sebagai berikut: (1) bentuk bundar atau oval perlahan-perlahan akan berubah menjadi bentuk poligonal atau bentuk tidak beraturan, (2) ukuran inti yang besar secara perlahan-lahan akan mengecil, pada beberapa kasus inti mengalami kematian atau rusak secara bersamaan, (3) ukuran sitoplasma akan lebih tipis daripada semula. Proses perubahan di atas merupakan salah satu proses pada siklus estrus. Pada fase luteal

6 dimana hewan tidak estrus terdapat sel parabasal, sedangkan memasuki fase estrus sel epitel berubah menjadi sel superfisial dan sel tanduk yang menandakan hewan dalam keadaan puncak estrus.

Setelah disekresikan dari organ endokrin, sebagian besar hormon akan berada di dalam aliran darah dalam keadaan terikat dengan protein dan sisanya merupakan hormon yang bebas. Di dalam proses metabolismenya, hormon akan dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah terkonjugasi tersebut selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan diekskresikan via urin atau akan melewati membran kanakuli hati ke empedu, Hormon yang disekresikan ke dalam empedu akan diserap kembali ke dalam sirkulasi enterohepatik dan selanjutnya diekskresikan melalui feses.

Mengingat profil hormon reproduksi yang diperoleh dari analisa darah, sulit diterapkan bagi satwa liar terutama yang mudah tercekam, sehingga pendekatan non invasif yaitu melalui urin dan feses merupakan suatu alternatif. Kancil merupakan salah satu satwa yang sangat rentan terhadap stres, sehingga pengambilan sampel non invasif tidak mengalami stres akibat penanganan sehingga hasil yang diperoleh benar-benar mencerminkan kondisi yang sebenarnya.

Informasi tentang karakteristik semen sebagai penentu fertilitas jantan dilakukan koleksi semen dengan teknik elektroejakulator. Pemeriksaan konsentrasi, motilitas dan abnormalitas merupakan faktor penting yang dapat menentukan fertilitas jantan.

7

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran

Siklus estrus Analisis progesteron feses Gambaran sitologis vagina Koleksi dan evaluasi semen makroskopis & mikroskopis

-Tingkah laku seksual

S e m e n Masa adaptasi -Kandang -Pakan Waktu optimum kawin Kancil jantan Kancil betina Tingkat kesuburan pejantan Keberhasilan perkawinan Anatomi dan morfometri

8

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Sebaran Kancil Klasifikasi kancil adalah sebagai berikut:

kelas ordo subbordo infra ordo famili genus spesies : : : : : : : : : Mamalia Artiodactyla Ruminantia Tragulina (chevrotain) Tragulidae (mouse deer) Tragulus

T. javanicus (osbeck 1965) T. meminna (Erxleben 1777) T. napu (Cuvier 1822)

Meijaard dan Goves (2004) membagi Tragulus menjadi enam spesies dan 24 subspesies berdasarkan morfometri dan daerah sebaran dimana kancil ditemukan. Enam spesies ini, yakni : Tragulus napu (ada 8 subspesies), Tragulus nigican, Tragulus versicolor, Tragulus javanicus, Tragulus kanchil (ada 16 subspesies) dan Tragulus williamsoni. Smit-van Dort (1969) diacu dalam Meijaard dan Goves (2004) membedakan dua spesies Tragulus dengan menggunakan karakter dari skeleton, yaitu Tragulus napu (selain lebih besar juga memiliki kaki yang lebar dan kuat) dan Tragulus javanicus.

Osbec adalah orang yang pertama kali memproklamirkan nama ilmiah

Tragulus javanicus untuk kancil pada abad ke 18 (Hoogerwerf 1970). Dari nama tersebut diketahui bahwa hewan kancil pada mulanya ditemukan di Pulau Jawa, karena contoh yang dipakai sebagai dasar penamaan ditemukan di kampung Jungkulan yang terletak di muara Cikuja, Jawa Barat (Suyanto 1983). Hal ini bukan berarti kancil hanya terdapat di Pulau Jawa karena pada kenyataannya kancil menyebar di beberapa tempat baik di dalam maupun di luar negeri.

Kancil dapat dijumpai di Thailand, Myanmar, Kamboja, beberapa pulau di wilayah Indonesia seperti: Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Pulau Melayu tersebar luas di dataran rendah dan kaki gunung dengan hutan primer dan

9 sekunder, juga Pulau Langkawi, Penang, Singapura dan Redang (Medway 1978) (Gambar 2).

Gambar 2 Peta penyebaran kancil (Tragulus javanicus) di beberapa pulau dan negara (warna hijau) (Robin 1990, diacu dalam Huffman 2004)

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa Tragulus javanicus

populasinya banyak terdapat di Pulau Jawa dan berasal dari Pulau Jawa, sedangkan Tragulus napu banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Tragulus meminna hanya terdapat di India (Walker 1968).

Karakteristik Umum Kancil

Kancil bentuknya menyerupai kijang tetapi badannya kecil dan tidak bertanduk. Kancil secara eksterior mempunyai kemiripan dengan rusa, karena itu hewan ini dikenal dengan nama mouse deer. Menurut Dubost (1986) ada dua jenis

mouse deer, yaitu Tragulus napu dan Tragulus javanicus. Perbedaan yang menyolok dari kedua jenis ini adalah bahwa Tragulus napu mempunyai bobot badan antara 4-6 kg, sedangkan Tragulus javanicus mempunyai bobot badan 1.3-1.8 kg (Gambar 3). Karena bobot badannya yang rendah, beberapa peneliti menyarankan bahwa kancil memiliki potensi untuk digunakan sebagai ternak model untuk mempelajari ruminansia (Fukuta et al. 1991).

10 Kancil tergolong dalam ruminansia terkecil di dunia (Medway 1978; Nowak 1991), dan merupakan hewan ungulata yang paling primitif yang masih ada (Whittow et al. 1977). Kancil dapat bertahan hidup di penangkaran lebih dari 16 tahun (Jones 1993). Kancil jantan mempunyai badan yang lebih besar dibandingkan betina.

Gambar 3 Perbandingan besar tumbuh kancil jantan dewasa, Tragulus napu lebih besar dibandingkan Tragulus javanicus (Lekagul & McNeely 1977).

Kancil memiliki kaki depan lebih pendek dari kaki belakang dan langsing (Hoogerweff 1970). Beberapa ciri menunjukkan kemiripan dengan babi, yaitu tidak mempunyai tanduk tetapi yang jantan mempunyai gigi taring atas yang subur sampai mencuat keluar sepanjang 3 cm, sedangkan gigi taring bawah kurang berkembang (Gambar 4).

Gambar 4 Kancil jantan dewasa mempunyai gigi taring

11 Kancil mempunyai kepala segitiga dan badannya mengalami peninggian pada bagian belakang serta mempunyai kaki yang kecil dan langsing dengan diameter kira-kira sebesar pensil (Strawder 2004). Bulunya berwarna coklat kemerah-merahan dengan warna putih pada bagian dagu sampai bagian ventral tubuh (Anderson & Jones 1967; Baker 2004). Pada Tragulus javanicus rambut putih tersebut membentuk tiga garis yang jelas (Smit-van Dort 1989, diacu dalam Meijaard & Goves 2004).

Kancil merupakan hewan malam yang memiliki sifat hidup soliter dan berpasangan pada musim kawin (Young 1981), penakut, senang bersembunyi dari pada melarikan diri, larinya cepat tapi mudah capek, mudah gugup dengan lingkungan baru (Kudo et al. 1997). Oleh karena itu sebaiknya dalam tahapan penangkaran perlu terlebih dahulu ditutupi dengan kain yang gelap dan membiarkannya dalam keadaan gelap, tetapi apabila terlampau gelap hewan ini akan menjadi gugup. Apabila tahapan proses penangkaran dilakukan dengan baik hewan kancil bisa menjadi jinak seperti halnya hewan peliharaan lainnya, tetapi kancil betina cenderung lebih cepat jinak dibandingkan kancil jantan.

Kancil mempunyai mata yang besar, daun telinga yang relatif kecil dan lidah yang relatif panjang serta kaki yang ramping dan kuku yang tajam (Gzimek 1975; Anonim 1978). Mempunyai 34 buah gigi, dimana gigi taring bagian atas akan tumbuh terutama pada jantan. Susunan gigi seri dan geraham pada kancil sama dengan sapi (Slijper 1954).

Kancil bersifat ”pemalu” dan selalu berusaha untuk tidak terlihat. Dalam

kedaan ketakutan dan tidak nyaman, kancil akan ”menangis” dengan mengeluarkan suara melengking (Medway 1969; Strawder 2004). Kancil hidup dalam kelompok, beberapa soliter dan bersifat monogami, kancil berpasangan ditemui pada saat musim kawin. Jantan bersifat teritorial yang akan menandai daerah teritorialnya dengan sekresi dari kelenjar intermandibular dan disertai dengan urinasi dan defekasi (Strawder 2004).

Kancil tidak mempunyai tanduk namun pada jantan dewasa terdapat gigi taring yang memanjang keluar (Anderson & Jones 1967). Kancil jantan akan melindungi dirinya serta pasangannya dengan mengejar/menghalau serta

12 menyayat/melukai musuhnya dengan menggunakan gigi taringnya ini (Strawder 2004).

Kancil diketahui bersifat nokturnal, namun penelitian yang dilakukan oleh Matsubayashi et al. (2002) yang dipasang radiotracking pada habitatnya di hutan Kabili-Sepilok, Sabah (Malaysia), menunjukkan bahwa individu akan aktif makan dan bergerak sepanjang hari dan inaktif/istirahat pada malam hari.

Ukuran tubuh kancil kecil dan eritrosit dengan ukuran yang kecil dan dalam jumlah yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan tingkat metabolisme yang tinggi (Snyder & Weathers 1977), dimana hemoglobin yang tinggi diperlukan karena kancil merupakan hewan yang gesit degan aktifitas otot yang banyak (Vidyadaran et al. 1979). Kancil tidak mempunyai lambung yang kompleks seperti pada artiodactyla pada umumnya dimana kancil hanya memiliki retikulum, rumen dan abomasum, namun tidak memiliki omasum (Richardson et al. 1988; Agungpriyono et al. 1992).

Pakan Kancil

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan kancil. Oleh karena itu suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa walaupun secara alamiah kancil tergolong hewan ruminansia, tetapi perlu diingat bahwa kancil termasuk hewan yang memiliki alat pencernaan sederhana (hanya memiliki rumen, retikulum dan abomasum tidak memiliki omasum), tidak mampu mencerna bahan makanan yang serat kasarnya tinggi, maka perlu diberikan makanan yang serat kasarnya rendah dan kandungan energi cukup tinggi. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa di alam, kancil menyukai makan buah-buahan hutan yang sudah jatuh ke tanah seperti kayu besi (Eusideroxylojn zwarger) dan buah-buahan ceplukan (Physalis maxima). Kancil di tempat pemeliharaan sangat menyukai:1) bahan makanan yang banyak mengandung karbohidrat tinggi sebagai sumber energi misalnya ubi rambat (Ipomea batatas), 2) bahan makanan sebagai sumber protein, misalnya kangkung (Ipomea aquatica), 3) sedikit rumput (Suyanto, 1983). Medway (1978) melaporkan bahwa di kebun binatang New York, pasangan kancil berkembang biak dengan pakan berupa potongan apel, pisang, wortel dan ubi

13 mentah serta ditambahkan pakan pellet berupa mixed gain, crushed monkey pellet, rollet oats dan alfalfa hay.

Darlis et al. (1999) melaporkan bahwa kancil di Malaysia menyukai kangkung, kacang panjang, kacang perancis (bean french) sebagai roughages dan sumber protein; ubi (sweet potato), wortel (carrot) sebagai sumber karbohidrat dan pellet kelinci komersial sebagai pakan komplit.

Waktu pemberian pakan sebaiknya dilakukan tiga kali sehari semalam dengan waktu pagi sekitar pukul 06.00-07.00 WIB, siang pada pukul 13.00-14.00 WIB dan malam pukul 18.00-19.00 WIB. Cara pemberian pakan sebaiknnya diberikan dalam wadah dan dalam kondisi segar, karena bila pakan sudah dalam keadaan layu dan kotor, maka kancil enggan memakannya. Kancil menyukai pakan yang segar dan kandungan air tinggi dan memiliki daya cerna tinggi serta kandungan serat kasarnya rendah (Rosyidi 2005).

Habitat

Habitat adalah tempat dimana suatu mahluk hidup melangsungkan kehidupannya. Alikodra (1979) manyatakan bahwa habitat adalah kompleksitas berbagai komponen antara lain iklim, fisiogafi, vegetasi dengan kualitasnya dan merupakan tempat hidup organisme. Sedangkan Djuwantoko (1986) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air dan naugan (shelter). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat dipengaruhi oleh lingkungan biotik maupun non-biotik.

Habitat satwa sering secara sederhana ditafsirkan sebagai tipe vegetasi karena umumnya syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi (Dashman 1981). Krebs dan Davies (1981) menyatakan habitat mencerminkan tipe vegetasi yang tidak terbatas luasnya. Vegetasi diartikan sebagai kumpulan tumbuhan, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat dan didalamnya terdapat interaksi yang erat baik antara individu itu sendiri maupun dengan binatang yang hidup bersamanya sehingga merupakan suatu ekosistem yang hidup dan dinamis (Marsono 1977). Habitat yang memenuhi

14 syarat bagi kelangsungan hidup satwa harus memiliki empat komponen dasar yaitu: pakan, pelindung, air dan ruang.

Kancil menyukai tinggal di hutan primer dan sekunder, di tanah kering yang tidak jauh dengan sungai-sungai dengan vegetasi rapat, baik didataran rendah maupun tinggi (1.200 m dpl), kaki-kaki bukit. Tempat persembunyiannya di rongga-rongga pohon, celah-celah batu, gua-gua maupun di semak-semak. Usia yang dapat dicapai pada habitat aslinya adalah 12-14 tahun (Strawder 2004).

Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Ternak

Peningkatan produksi dan produktifitas ternak, di mana saja, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor tersebut dapat ditinjau dari aspek pakan, aspek ternak sendri dan aspek manusia dalam menempatkan, menilai dan memanfaatkan ternak tersebut. Hewan tidak dapat memisahkan diri dengan lingkungannya, karena antara duanya telah terbentuk suatu sistem yang saling berinteraksi antara satu sama lain. Kemampuan hewan untuk beradaptasi dalam lingkungan dapat dilihat dari beberapa parameter, seperti tingkat harapan hidup dan kemampuan berkembang biak atau prestasi reproduksi (Krimbas 1984).

Kendala dalam memelihara kancil adalah karena hewan ini termasuk satwa liar dan memilki sifat berbeda dengan hewan domestikasi. Salah satu fenomena yang unik pada satwa liar termasuk kancil adalah cekaman (stres) yang mudah muncul. Sajuthi dan Lelana (2000) menyatakan penyebab cekaman (stressor) pada satwa liar setidaknya ada empat faktor, yaitu:

1 Somatic stressor, seperti suara, bau, perubahan temperatur, zat kimia dan obat-obatan, sentuhan-sentuhan yang tidak diduga maupun peregangan otot dan tendon yang tidak normal.

2 Psychological stressor, seperti beberapa aspek yang berkaitan dengan pola adaptasi dan praktek restrain.

3 Behavior stressor, seperti lingkungan yang asing, terlalu padat, ruangan terlalu sempit, perubahan ritme biologis, kehilangan teritorial, hirarki sosial, kontak sosial maupun makanan yang biasa dikonsumsi

15 4 Miscellaneus stressor, seperti malnutrisi, zat-zat toksik, agen penyakit,

parasit, kebakaran, serta perlakuan medis yang kurang legeartis.

Apabila ternak dipindahkan ke lingkungan yang tidak dikenal, ternak tersebut dapat menjadi gelisah, lelah kepanasan atau kedinginan. Semua kondisi tersebut akibat dari respon dalam tubuh ternak yang disebabkan oleh berbagai faktor dalam lingkungan baru. Bila ternak dalam kondisi seperti itu, sering dinyatakan bahwa ternak tersebut mengalami cekaman (stres). Istilah stres itu sendiri adalah suatu gambaran umum yang merujuk pada penyesuaian fisiologis, seperti perubahan detak jantung, laju pernafasan, temperatur tubuh dan tekanan darah yang terjadi selama ternak dibiarkan terhadap kondisi yang merugikan. Hal ini terjadi selama lingkungan menjadi tidak nyaman atau berbahaya bagi ternak. Gejala stres terlihat sebagai gangguan psikologis, emosional maupun kegelisahan (Smith & French 1997). Berdasarkan waktunya, stres terbagi menjadi:1) stres jangka pendek yang ditandai dengan peningkatan denyut jantung, ketegangan otot dan laju pernapasan yang dangkal; 2) stres jangka panjang dengan gejala

Dokumen terkait