• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya."

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN POLA REPRODUKSI PADA KANCIL

(

Tragulus javanicus

) DALAM MENDUKUNG

PELESTARIANNYA

NAJAMUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Pola

Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) Dalam Mendukung

Pelestariannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2010

(3)

ABSTRACT

NAJAMUDIN. Study of Mouse Deer Reproduction Pattern (Tragulus javanicus) in

Supporting Sustainability. Under the supervision of TUTY L. YUSUF as chairman,

SRIHADI AGUNGPRIYONO and AMROZI as members of the supervisory Committee.

This research aimed to study the reproductive pattern of mouse deer in order to support their conservation. In general, the male and female mouse deer reproductive organs are similar with those of other domestic animals. The duration of standing time of female mouse deer during estrous was significantly longer than the standing time during non-estrous. The vulva of an estrous female was reddened, swollen and loose; in contrast, the vulva of a non-estrous female appeared pale and tight. Another way to detect estrous was by holding the back of the mouse deer; estrous animals elevated their hindquarters, displaying a lordosis reflex. Male mouse deer also displayed flehmen reaction and appeared more active during the female estrous phase.

Behaviours of male when they approached a female in heat included increased activities, flirtation, licking the mammae as well as the back, marking, and mating. Male mouse deer mounted the female by raising both front feet off the ground to be placed on the top of the female hips in order to have a safe mating position. When mounted, non-estrous female mouse deer displayed a slightly lower position to avoid copulation, and ran. Average of first mounting time was 3 minutes (in the range of 1-5 minutes); second mounting attempt had a similar duration. In this study, the average frequency of the male mouse deer mounted the female was 23 times/day (in the range of 11-34 times/day). In this study, it was observed that mouse deer were not monogamous.

The duration of estrous was determined 2-3 days (48-72 hours), based on the vaginal cytology. The estimated length of the estrous cycle was 11.6 days (9-14 days range); this was determined by calculating the duration of time to have a repeated highest percentage of superficial cells on the vaginal cytology. The interluteal phase progesterone concentration was 804.46±165.09-948.76±116.37 ng/g, while the luteal phase concentration was 1887.61±44833-2093.56±513.68 ng/g in female mouse deer. Based on the progesterone profile, the average length of estrous cycle was 12 days (9-15 days range), the length of luteal phase was 7-8 days, the length of interluteal phase was 4-5 days, and the duration of estorus was 2-3 days.

Macroscopic evaluation on semen in this study demonstrated the average volume was 35±12.91 µ l, pH 7.5, and yellow-creamy white in color. Microscopically, the average percentage of sperm motility was 40.0±8.165 %, the average sperm concentration was 366.66±148.08x106 ml-1, the average percentage of alive sperm was 65.00±5.77% and the percentage of sperm with abnormal morphology was 29.18%.

Key words: mouse deer, behaviour, vaginal cytology, estrous cycle, progesterone

(4)

RINGKASAN

NAJAMUDIN. Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam

Mendukung Pelestariannya. Di bawah bimbingan TUTY L. YUSUF sebagai ketua, SRIHADI AGUNGPRIYONO dan AMROZI masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing.

Kancil (Tragulus javanicus) merupakan salah satu satwa langka. Satwa ini hanya ditemukan di hutan tropis bagian selatan Asia, termasuk di pulau pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Populasi hewan ini diduga cenderung menurun karena perusakan dan konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia serta aktivitas-aktivitas perburuan. Untuk mendukung usaha pelestarian kancil diperlukan kemampuan dan keberhasilan dalam perkembangbiakan. Akan tetapi hingga saat ini pengetahuan tentang pola fisiologi reproduksi kancil belum banyak diketahui. Mengingat status reproduksi betina merupakan faktor penting dalam keberhasilan penerapan teknologi reproduksi, maka sebagai langkah awal seperti tingkah laku reproduksi betina dan perubahan sitologis vagina serta pola hormonalnya selama siklus estrus perlu diteliti. Demikian juga pada jantan sangat diperlukan informasi lebih lanjut tentang karakteristik kualitas semen.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola reproduksi kancil (Tragulus javanicus) dalam rangka mendukung pelestariannya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu; (1) mengamati pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran, (2) anatomi dan morfometri organ reproduksi jantan dan betina, (3) mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina, (4) mengamati panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui pengamatan perubahan sitologis sel-sel epitel vagina dan profil metabolit hormon steroid (estrogen dan progesteron) dan (5) mengamati karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan metode elektroejakulator.

(5)

Secara umum bagian-bagian dari organ reproduksi kancil jantan hampir sama dengan organ reproduksi ternak domestik lainnya, yaitu terdiri dari organ kelamin primer (gonad jantan atau testis), kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap (ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan bulbourethralis) dan saluran-saluran yang terdiri dari epididimis, vas deferens dan urethra, serta organ kelamin bagian luar atau organ kopulatoris yang disebut dengan penis. Penis kancil mempunyai fleksura sigmoidea dan termasuk fibroelastis. Panjang testis kancil adalah 12.33±2.89 mm, diameter 8.20±1.92 mm dengan berat 0.81±0.17 gr, panjang vas deferens adalah 113±3.60 mm, ampula kancil 17.33±2.87 mm dengan diameter mm, panjang kelenjar vesikularis pada kancil 18.00±3.46 mm dan tebal 5.7±1.10 mm, panjang kelenjar prostat 17.33±2.52 mm dengan tebal 6.53±0.06 mm, sepasang kelenjar bulbourethralis dengan panjang 8.26±1.02 mm dan tebal 5.47±0.85 mm dengan berat (0.86±0.04 gr). Panjang penis bebas preputium pada kancil (58.33±10.41 mm).

Organ reproduksi kancil betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduct, uterus, cervix dan vagina. Ovarium kanan kancil berukuran lebih panjang 4.8±2.61 mm dan lebar 3.03±1.70 mm di bandidngkan dengan ovarium kiri panjang 4.4±0.61 mm dan lebar 2.83±0.67 mm. Tuba Fallopii kanan memiliki panjang (30.67±2.08 mm) dan yang kiri 29.67±3.21 mm. Cornua uteri kanan juga lebih panjang (32.67±3.05 mm) dibanding Cornua kiri dengan panjang 21.00±1.73 mm. Corpus uteri memiliki panjang 32.67±2.08 mm. Cervix kancil mempunyai panjang 24.33±2.52 mm dengan diameter 5.33±0.58 mm. Pada kancil terlihat cervix relatif lebih panjang dari vagina, dimana berbeda dengan pada ternak mamalia lainnya. Vagina memiliki panjang 20.33±5.57 mm.

(6)

Pola tingkah laku kawin ditandai dengan perubahan sifat pejantan yaitu menjadi lebih aktif, percumbuan (courtship), menjilati dada dan punggung, menggosok-gosokkan intermandibular scent glandnya ke betina dan kopulasi. Pada saat mounting kancil jantan akan menaikkan kaki depannya ke atas pinggul dengan sejajar atau menyilangkan kaki diatas pinggul betina hingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi. Ereksi terjadi saat kaki sudah terfiksir di atas pinggul dan saat tersebut terjadi intromisi. Lama mounting rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Demikian juga waktu yang dibutuhkan dari mounting pertama kali dan waktu mounting yang kedua rata-rata 3 menit (berkisar antara 1-5 menit). Kancil yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai libido yang tinggi dari pengamatan diketahui juga bahwa kancil tidak bersifat monogamus.

Siklus estrus kancil dapat ditentukan dengan melihat perubahan sel-sel epitel vagina. Berdasarkan sitologis vagina, lama estrus adalah 2-3 hari (48-72 jam) dan lama siklus estrus berdasarkan jarak antara titik tertinggi sel-sel superfisial, yaitu 11.6 hari dengan kisaran (9-14 hari). Dari profil progesteron, panjang siklus berdasarkan antara dua titik dimulainya peningkatan konsentrasi progesteron sampai peningkatan konsentrasi progesteron berikutnya (di atas garis

threshold ) pada kancil no 1 adalah 12 hari (9-15 hari) dan pada kancil no 2 adalah 12 hari (12-13 hari). Lama fase luteal pada kancil no 1 adalah adalah 8 hari dan kancil no 2 adalah 7 hari serta lama fese interluteal baik pada kancil no 1 dan no 2 adalah 4-5 hari dengan lama estrus 2-3 hari.

Karakteristik semen yang didapatkan pada penelitian ini secara makroskopis yakni sebesar 35.00±12,91 μl, pH 7.5, berwarna kuning dan konsistensi kental. Secara mikroskopis tidak menunjukkan gerakan massa, konsentrasi spermatozoa (366.66±148.08x106 ml-1), persentase motilitas (40.0±8.165), persentase hidup 65.00±5,77 dan persentase abnormalitas 29.18.

Abnormalitas pada kepala yang ditemukan pada kancil, antara lain adalah

pear shape (0.56%), narrow at the base (kepala mengecil ke bawah) (1.12%),

narrow (tappered head) (1.12%), undeveloped (3.37%), round head ((1.68%),

double heads (1.12%), detached head (2.81%), abaxial (1.12%), microcephalus

(1.12%) dan macrocephalus (1.12%). Sedangkan abnormalitas pada ekor antara lain adalah ekor tanpa kepala (1.12%), coiled under the head (1.13%), simple bent

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KAJIAN POLA REPRODUKSI PADA KANCIL

(

Tragulus javanicus

) DALAM MENDUKUNG

PELESTARIANNYA

NAJAMUDIN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1 Dr. Drh. M. Agus Setiadi

(Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor) 2 Dr. Drh. M. Agil, M.Sc.

(Dosen pada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1 Dr. Ir. Tonny R. Soehartono, M.Sc.

(Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, Departemen Kehutanan RI)

2 Dr. R. Iis Arifiantini, M.S.

(10)

Judul Disertasi : Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya.

Nama : Najamudin

NRP : B361060011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S. Ketua

Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K) Dr. drh. Amrozi

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi/ Dekan Sekolah Pascasarjana

Mayor Biologi Reproduksi

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 20 Januari 2010

(11)

PRAKATA

Alhamdu Lillahi Rabbil Alamin atas segala rahmat dan karunianya yang engkau berikan ya Allah, sehingga Karya Ilmiah “DISERTASI” ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW atas suri tauladan-Nya. Disertasi ini memuat hasil penelitian tentang pola adaptasi kancil pada kondisi penagkaran, tingkah laku reproduksi jantan dan betina, penentuan siklus estrus melalui gambaran sitologis vagina dan profil hormon metabolit dari feses serta karakteristik spermatozoa kancil. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada: Ibu Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS. sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K) dan Bapak Dr. drh. Amrozi, masing-masing sebagai anggota pembimbing, atas arahan dan bimbingannya dimulai dari pembuatan proposal dan pelaksanaan peneltian sampai pada penulisan disertasi sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam disertasi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula pada pimpinan Universitas Tadulako, Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Biologi Reproduksi SPs-IPB, serta Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Laboratorium Rehabilitasi Reproduksi, Laboratorium Riset Anatomi AFF FKH-IPB beserta seluruh staf, atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan selama penulis menenpuh pendidikan sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan baik.

(12)

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan pada Bapak Prof. Dr. drh. Iman Supriatna, Bapak Prof. Ir. Muhammad Salim Saleh, MP, Bapak Dr. Ir. Muh. Nasir Nanne, MS, Bapak drh. R. Kurnia Achyadi, MS, Bapak Dr. drh. Adi Winarto, Ibu Dr. drh. Hera Maheswari, yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan perhargaan pada rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Pascasarjana Biologi Reproduksi, Dr. Ir. Tomas Mattahine, M.Si, Bayu Rosadi, SP, M.Si, Drs. Hurip M.Si, Dr. drh. Enny T, M.Si, drh. Yudi, M.Si, Hary, S.Si, drh. Riadi, Ir. Golib dan teman-teman seangkatan SVT (2006/2007) Dr. drh. I Nyoman Suarsana, M.Si (UDAYANA), Dr. Muharram Saifuloh, MSc, drh. Sutiastuti W. M.Si (BALIVET), drh. Mustafa Sabri (UNSYIAH), Dr. drh. Ketut Karuni N. Natih, M.Si (BPMSOH) dan Dr. drh. Sophia Setiawati, MP (Karantina-Jakarta), dan Ibu Endang, Drh Dedy R. Setiadi, Bondan Ahmadi, SE, AMd atas bantuaan dan kerjasamanya selama penulis menenpuh studi S-3.

Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman Wacana Sulawesi Tengah: Ir. Abd. Kadir Paloloang, MP, Ir. Muh. Nur Sangaji, DEA, Ir. Ivon Iskandar, M.Si, Dr. Nurdin, MP, Ir. Abd. Syakur, M.Si, Ir. Abd. Rosyid, M.Si, Alimudin Laapo, SP, M.Si dan Ir. Nova Rugayah, MES.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Atong Hi. Saing (Alm) dan Ibunda Jubaere dan kakak dan adik-adikku yang senantiasa memberikan doa dan dukungan moril.

Terima kasih dan perhargaan kepada Ulfah, S.Pd (istri) dan Maghfirah Pratiwi Ramadina, Khalisah Rahmah Dinitya dan Syafina Aulia Rahmah (anak-anak) atas doa tulus, pengorbanan, pengertian, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada pernah putus, Mohon maaf selama tiga tahun terakhir tidak dapat memberikan kasih sayang yang utuh kepada kalian semua. Semoga apa yang Bapak lakukan ini menjadi teladan bagi kalian.

Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas dan bernilai ibadah kepada Allah SWT, amin.

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturube, 19 Oktober 1969. Penulis merupakan anak kedua dari 8 bersaudara dari pasangan Atong Hi Saing (Alm) dan Jubaere. Penulis menikah dengan Ulfah, S.Pd pada tanggal 12 April 1999, dan dikaruniai tiga putri yaitu Maghfirah Pratiwi Ramadinah, lahir 02 Januari 2000 (10 tahun), Khalishah Rahmah Dinitya, lahir 14 Juli 2001 (8 tahun) dan Syafina Aulia Rahmah, lahir 02 Juli 2003 (6 tahun).

Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Tirongan Bawah tamat tahun 1981, SMP Negeri Baturube tamat 1984, SMA Muhammadiyah Luwuk pada tamat tahun 1987. Pada tahun 1987, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, lulus tahun 1992. Tahun 1996 penulis menempuh pendidikan pascasarjana pada Program Studi Biologi Reproduksi IPB dan lulus tahun 1998. Sejak tahun 2006, penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor (S3) pada Program Studi Biologi Reproduksi SPs-IPB dengan beasiswa pendidikan dari BPPS DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonensia. Sejak tahu 1994 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...………. xiii

DAFTAR TABEL ………. xv

DAFTAR GAMBAR ...………. xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Kerangka Pemikiran ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Klasifikasi dan Sebaran Kancil ... 8

Karakteristik Umum Kancil ... 9

Pakan Kancil ... ... 12

Habitat ... 13

Faktor-faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Ternak ... 14

Karakteristik Reproduksi Kancil ………. 17

Anatomi Organ Reproduksi Jantan ……… 17

Anatomi Organ Reproduksi Betina ……… 18

Pola Reproduksi Kancil ……….. 18

Tingkah Laku Seksual ………. 20

Mekanisme Kerja Hormonal dalam Siklus Estrus ... 22

Hormon Reproduksi ... 22

Periode Siklus Estrus ... 24

Metode Penentuan Siklus Estrus ……… 26

Sitologi Epitel Vagina ... 26

Profil Metabolit Hormon di dalam Feses dan Urin ... 27

Metabolisme dan Ekskresi Steroid Reproduksi ... 29

Karakteristik Semen Kancil ……… 33

BAHAN DAN METODE ... 35

Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

Hewan Penelitian ... 35

Alat dan Bahan Penelitian ... 35

Metode Penelitian ………..………... 36

Masa Adaptasi Kandang dan Pemeliharaan ……… 36

Anatomi dan Morfometri Organ Reproduksi Kancil Jantan dan Betina 38 Pengukuran dan Penimbangan Organ Reproduksi ……… 39

(15)

xiv

Halaman

Organ Reproduksi Betina ……… 40

Tingkah Laku Seksual pada Kancil ……… 40

Kancil Jantan ... 40

Kancil Betina ... 41

Tingkah Laku Kawin ………... 42

Penentuan Siklus Estrus pada Kancil 42

Gambaran Sitologik Vagina ... 42

Profil Metabolit Hormon Progesteron ... 43

Koleksi Sampel Feses ... 43

Ekstraksi Steroid Feses ... 43

Analisis Hormon Metabolit ... .... 44

Analisis Data ... 44

Koleksi dan Evaluasi Semen ... 45

Koleksi Semen ... 45

Evaluasi semen ………... 45

HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 47

Adaptasi Kandang dan Pemeliharaan ... 47

Anatomi dan Morfometri Organ Reproduksi Kancil Jantan dan Betina ... 53

Organ Reproduksi Jantan ... 52

Organ Reproduksi Betina ... 58

Karakteristik Tingkah Laku Seksual pada Kancil Jantan dan Betina ... 61

Betina ... 61

Jantan ... 64

Tingkah Laku Kawin ... 65

Penentuan Siklus Estrus pada Kancil ………... 70

Gambaran Sitologis Epitel Vagina ………. 70

Profil Metabolit Hormon Pergesteron …………..…... 76

Koleksi dan Evaluasi Semen ……… 84

Koleksi Semen ………... 84

Evaluasi Semen ... 85

Morfologi Spermatozoa ... 88

PEMBAHASAN UMUM ... 94

SIMPULAN DAN SARAN ... 99

Simpulan ... 99

Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(16)

xv DAFTAR TABEL

Halaman

1 Parameter pengamatan estrus ………. 41

2 Kriteria penentuan siklus estrus berdasarkan gambaran perubahan sitologis epitel vagina ... 43

3 Morfometri organ reproduksi pada kancil jantan ... 54

4 Morfometri organ reproduksi pada kancil betina ... 59

5 Karakteristik tingkah laku estrus kancil betina ... 61

6 Karakteristik tingkah laku seksual jantan ... 65

7 Karakteristik sel epitel vagina kancil pada siklus estrus ……… 70

8 Panjang siklus estrus berdasarkan titik puncak sel-sel superfisial dan parabasal pada kancil ... 75

9 Rataan konsentrasi metabolit progesteron di feses selama 2 siklus estrus ... 77

10 Karakteristik semen kancil ………. 86

(17)

xvi DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kerangka pemikiran ... 7

2 Peta penyebaran kancil (Tragulus javanicus) di beberapa pulau dan negara …... 9

3 Perbandingan ukuran antara Tragulus napu dan Tragulus javanicus ... 10

4 Kancil dewasa mempunyai gigi taring ..………... 10

5 Metabolisme estrogen ... 30

6 Metabolisme progesteron ... ... 31

7 Skema jalur ekskresi hormon steroid ... 32

8 Bagan alur penelitian anatomi dan morfometri kancil jantan dan betina ... 38

9 Model kandang penelitian ... 49

10 Kancil yang mengalami luka pada muka, dada dan lutut ………... 49

11 Luka yang sudah mengering ……….. 49

12 Kancil yang sudah beradaptasi (keadaan relaks dalam kandang) …………... 50

13 Kancil yang sudah jinak ………. 51

14 Pakan kancil: wortel, kacang panjang dan kangkung dalam potongan kecil 52 15 Anatomi organ reproduksi jantan ………... 53

16 Perbandingan morfologi kelenjar asesoris pada ternak ………... 56

17 Perbandingan morfologi glans penis ……….. 57

18 Organ reproduksi kancil betina ………... 58

19 Keadaan vulva pada kancil ………... 62

20 Respon kancil pada saat dipegang daerah belakang ……… 64

21 Tingkah laku kancil menjelang perkawinana .………... 66

22 Jantan mencium menjilat urin kancil betina ………... 66

23 Tngkah laku menandai pada kancil betina oleh kancil jantan .………... 67

24 Posisi kancil saat kawin ……….. 68

25 Sikap kancil betina saat tidak estrus ………... 69

26 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase proestrus ………... 71

27 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase estrus ……… 71

28 Morfologi sel epitel vagina kancil pada fase diestrus ……… 73

29 Uji paralisme contoh feses untuk hormon progesteron ………... 77

(18)

xvii

Halaman

31 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no 1 ……… 81

32 Perubahan sel-sel epitel vagina pada betina no 2 ……… 82

33 Proses elektroejakulasi diawali dengan pemasukkan probe ke dalam rektum ... 84

34 Semen hasil ejakulat ... 85

35 Spermatozoa kancil dengan pewarnaan eosin 2% ... 88

36 Morfologi spematozoa abnormal pada kepala ... 91

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kekayaan alam hayati beraneka ragam flora maupun fauna, sebagian besar dari fauna yang ada belum dimanfaatkan secara optimal dan hidup liar di hutan. Secara ekologis, satwa liar memberikan keseimbangan dalam menjaga rantai makanan. Namun demikian, keberadaan mereka terancam karena menjadi sasaran perburuan baik untuk kepentingan hobi, hewan model atau hewan kesayangan. Salah satu satwa liar tersebut adalah kancil (Tragulus javanicus). Penyebarannya di Indonesia terbatas pada daerah-daerah tertentu, yaitu: Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan jumlah populasi yang belum diketahui secara tepat.

Kancil merupakan satwa liar yang statusnya termasuk dilindungi (Dephut 1978). Populasi satwa ini diduga cenderung menurun akibat perburuan dan konversi habitatnya menjadi lahan olahan manusia. Ancaman lain adalah predator yang bisa memangsanya, seperti harimau, kucing hutan dan garangan, burung besar dan reptil besar. Mengingat kancil bukan hanya merupakan kekayaan keanekaragaman fauna Indonesia tetapi juga dunia, maka perlu dilakukan usaha konservasi spesies ini, baik dari sisi perlindungan habitat maupun dari sisi satwa itu sendiri.

Telah diketahui bahwa kancil memiliki komposisi protein tinggi (21.42%), lemak (0.51%) dan kolesterol rendah (50%) (Rosyidi 2005). Dengan demikian kancil dapat dijadikan satwa harapan. Namun demikian, pembiakan kancil secara alami di penangkaran belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Ada kemungkinan faktor penyebab kurang berhasilnya pembiakan kancil di penangkaran disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan tentang biologi reproduksinya. Strawder (2004) melaporkan di habitatnya kancil hidup secara soliter dan monogami. Saat ditangkarkan kancil tidak stabil dan agresif, libidonya rendah dan tidak mampu untuk mounting (Kudo et al. 1995 dalam Haron et al.

(20)

2 Sistem reproduksi jantan dan betina merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan teknologi reproduksi pembiakan satwa, maka sebagai langkah awal dalam penelitian ini akan melihat anatomi organ reproduksi, tingkah laku seksual dan siklus estrus. Pengetahuan siklus estrus pada kancil betina, terutama lama periode estrus dan waktu ovulasi merupakan informasi yang sangat penting dalam menentukan tingkat keberhasilan perkawinan. Pada hewan betina, penentuan siklus estrus dapat dilakukan melalui pengamatan tingkah laku seksual. Namun belum memberikan informasi yang tepat dalam menentukan waktu perkawinan. Metode lain dalam pengamatan siklus estrus diantaranya dengan mempelajari gambaran perubahan sel epitel vagina dan melihat profil hormon, baik yang diperoleh secara invasif dalam plasma darah maupun non invasif dalam urin dan feses.

Pengaturan siklus estrus dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron melalui aktifitas ovarium. Hormon estrogen disekresikan oleh sel-sel granulosa dari folikel ovarium karena pengaruh Follicle Stimulating Hormone

(FSH). Pada saat progesteron rendah, peningkatan konsentrasi estrogen akan menyebabkan umpan balik positif dengan meningkatnya sekresi Luteinizing Hormone (LH) dari hipofisa anterior ke dalam peredaran darah dan menyebabkan ovulasi folikel. Setelah ovulasi terbentuk corpus luteum (CL) yang mensekresikan progesteron. Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh prostaglandin F2α (PGF2α). Dengan menurunnya

progesteron maka terjadi umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisa sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus estrus yang baru.

(21)

3 digunakan untuk menentukan waktu optimum melakukan inseminasi buatan (IB) atau kawin alam.

Di dalam proses metabolismenya, hormon steroid akan dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah terkonjugasi tersebut selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan diekskresikan melalui urin atau melewati membran kanakuli hati ke empedu, selanjutnya akan memasuki sirkulasi enterohepatik dan diekskresikan melalui feses (O‟Maley & Strott 1999). Adanya hormon yang diekskresikan tersebut dapat digunakan untuk melakukan pengukuran konsentrasi hormon reproduksi satwa liar termasuk kancil. Metode pengamatan hormon yang non invasive ini sangat bermanfaat karena dapat meniadakan pengaruh cekaman.

Analisis profil metabolit hormon dari urin dan feses telah digunakan beberapa peneliti terdahulu dan hasilnya dapat merefleksikan kondisi reproduksi satwa (Brown & Wildt 1997; Kusuda et al. 2007a). Kusuda et al. (2007a) melaporkan bahwa siklus estrus pada okapi dapat diamati berdasarkan pada perubahan konsentrasi pregnanediol glukoronide (PdG) dalam urin dan feses. Deteksi kebuntingan dengan menganalisa konsentrasi estrogen dari feses sudah dilakukan pada berbagai ungulata, seperti kerbau, zebra dan bison (Schwarzenberger et al. 1996). Namun sampai saat ini, penelitian serupa pada kancil betina belum pernah dilaporkan.

(22)

4 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pola reproduksi kancil dalam rangka peningkatan populasi untuk mendukung pelestariaannya.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1 Mempelajari pola adaptasi kancil pada kondisi penangkaran

2 Mempelajari anatomi dan morfometri organ reproduksi kancil jantan dan betina

3 Mengamati pola dan tingkah laku seksual kancil jantan dan betina 4 Mengetahui panjang siklus estrus dan lama periode estrus kancil melalui pengamatan perubahan sitologi sel-sel epitel vagina dan profil metabolit hormon steroid (progesteron)

5 Mengetahui karakteristik dan kualitas semen kancil yang dikoleksi dengan metode elekroejakulator.

Manfaat Penelitian

1. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai data dasar dalam upaya pelestarian dan konservasi satwa kancil baik secara in-situ maupun ex-situ. 2. Dalam aplikasi reproduksi, hasil penelitian dapat menentukan waktu optimal

(23)

5 Kerangka Pemikiran

Pengaturan estrus dipengaruhi oleh hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH dimana akan menyebabkan perkembangan folikel dan pembentukan CL. Folikel yang matang akan mensekresikan estrogen yang bertangungjawab untuk proliferasi endometrium, meningkatkan ukuran dan cairan dinding uterus melalui hiperplasia dan hipertrofi sel-sel mukosa, meningkatkan volume dan ukuran pembuluh darah ke uterus sehingga darah mengalir ke dan dari uterus dengan bebas serta berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi. Estrogen juga mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus, pada uterus merubah aktivitas metabolismenya, kesemuanya itu dimaksudkan guna mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan spermatozoa.

Gejala estrus yang diperlihatkan karena efek estrogen pada poros hipotalamus-hipofisa meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah, sehingga menyebabkan ovulasi. Hormon progesteron yang dihasilkan CL mulai meningkat setelah ovulasi, dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase luteal. Hormon progesteron akan bertahan beberapa waktu, dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase luteal. Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh PGF2α.

Dengan menurunnya progesteron maka terjadi pelepasan gonadotropin oleh adenohipofisa, sehingga terjadilah pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus estrus yang baru.

(24)

6 dimana hewan tidak estrus terdapat sel parabasal, sedangkan memasuki fase estrus sel epitel berubah menjadi sel superfisial dan sel tanduk yang menandakan hewan dalam keadaan puncak estrus.

Setelah disekresikan dari organ endokrin, sebagian besar hormon akan berada di dalam aliran darah dalam keadaan terikat dengan protein dan sisanya merupakan hormon yang bebas. Di dalam proses metabolismenya, hormon akan dikonjugasikan dengan glukuronida atau sulfat. Metabolit hormon yang telah terkonjugasi tersebut selanjutnya akan kembali ke sirkulasi sistemik dan diekskresikan via urin atau akan melewati membran kanakuli hati ke empedu, Hormon yang disekresikan ke dalam empedu akan diserap kembali ke dalam sirkulasi enterohepatik dan selanjutnya diekskresikan melalui feses.

Mengingat profil hormon reproduksi yang diperoleh dari analisa darah, sulit diterapkan bagi satwa liar terutama yang mudah tercekam, sehingga pendekatan non invasif yaitu melalui urin dan feses merupakan suatu alternatif. Kancil merupakan salah satu satwa yang sangat rentan terhadap stres, sehingga pengambilan sampel non invasif tidak mengalami stres akibat penanganan sehingga hasil yang diperoleh benar-benar mencerminkan kondisi yang sebenarnya.

(25)

7

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran

Siklus estrus

Analisis progesteron

feses Gambaran

sitologis vagina

Koleksi dan evaluasi semen

makroskopis & mikroskopis

-Tingkah laku seksual

S e m e n

Masa adaptasi -Kandang -Pakan

Waktu optimum kawin

Kancil jantan

Kancil betina

Tingkat kesuburan

pejantan

Keberhasilan perkawinan Anatomi dan morfometri

(26)

8

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Sebaran Kancil

Klasifikasi kancil adalah sebagai berikut: kelas

ordo subbordo infra ordo famili genus spesies

: : : : : : : : :

Mamalia Artiodactyla Ruminantia

Tragulina (chevrotain) Tragulidae (mouse deer) Tragulus

T. javanicus (osbeck 1965) T. meminna (Erxleben 1777) T. napu (Cuvier 1822)

Meijaard dan Goves (2004) membagi Tragulus menjadi enam spesies dan 24 subspesies berdasarkan morfometri dan daerah sebaran dimana kancil ditemukan. Enam spesies ini, yakni : Tragulus napu (ada 8 subspesies), Tragulus nigican, Tragulus versicolor, Tragulus javanicus, Tragulus kanchil (ada 16 subspesies) dan Tragulus williamsoni. Smit-van Dort (1969) diacu dalam Meijaard dan Goves (2004) membedakan dua spesies Tragulus dengan menggunakan karakter dari skeleton, yaitu Tragulus napu (selain lebih besar juga memiliki kaki yang lebar dan kuat) dan Tragulus javanicus.

Osbec adalah orang yang pertama kali memproklamirkan nama ilmiah

Tragulus javanicus untuk kancil pada abad ke 18 (Hoogerwerf 1970). Dari nama tersebut diketahui bahwa hewan kancil pada mulanya ditemukan di Pulau Jawa, karena contoh yang dipakai sebagai dasar penamaan ditemukan di kampung Jungkulan yang terletak di muara Cikuja, Jawa Barat (Suyanto 1983). Hal ini bukan berarti kancil hanya terdapat di Pulau Jawa karena pada kenyataannya kancil menyebar di beberapa tempat baik di dalam maupun di luar negeri.

(27)

9 sekunder, juga Pulau Langkawi, Penang, Singapura dan Redang (Medway 1978) (Gambar 2).

Gambar 2 Peta penyebaran kancil (Tragulus javanicus) di beberapa pulau dan negara (warna hijau) (Robin 1990, diacu dalam Huffman 2004)

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa Tragulus javanicus

populasinya banyak terdapat di Pulau Jawa dan berasal dari Pulau Jawa, sedangkan Tragulus napu banyak terdapat di Pulau Sumatera dan Tragulus meminna hanya terdapat di India (Walker 1968).

Karakteristik Umum Kancil

Kancil bentuknya menyerupai kijang tetapi badannya kecil dan tidak bertanduk. Kancil secara eksterior mempunyai kemiripan dengan rusa, karena itu hewan ini dikenal dengan nama mouse deer. Menurut Dubost (1986) ada dua jenis

(28)

10 Kancil tergolong dalam ruminansia terkecil di dunia (Medway 1978; Nowak 1991), dan merupakan hewan ungulata yang paling primitif yang masih ada (Whittow et al. 1977). Kancil dapat bertahan hidup di penangkaran lebih dari 16 tahun (Jones 1993). Kancil jantan mempunyai badan yang lebih besar dibandingkan betina.

Gambar 3 Perbandingan besar tumbuh kancil jantan dewasa, Tragulus napu lebih besar dibandingkan Tragulus javanicus (Lekagul & McNeely 1977).

Kancil memiliki kaki depan lebih pendek dari kaki belakang dan langsing (Hoogerweff 1970). Beberapa ciri menunjukkan kemiripan dengan babi, yaitu tidak mempunyai tanduk tetapi yang jantan mempunyai gigi taring atas yang subur sampai mencuat keluar sepanjang 3 cm, sedangkan gigi taring bawah kurang berkembang (Gambar 4).

Gambar 4 Kancil jantan dewasa mempunyai gigi taring

(29)

11 Kancil mempunyai kepala segitiga dan badannya mengalami peninggian pada bagian belakang serta mempunyai kaki yang kecil dan langsing dengan diameter kira-kira sebesar pensil (Strawder 2004). Bulunya berwarna coklat kemerah-merahan dengan warna putih pada bagian dagu sampai bagian ventral tubuh (Anderson & Jones 1967; Baker 2004). Pada Tragulus javanicus rambut putih tersebut membentuk tiga garis yang jelas (Smit-van Dort 1989, diacu dalam Meijaard & Goves 2004).

Kancil merupakan hewan malam yang memiliki sifat hidup soliter dan berpasangan pada musim kawin (Young 1981), penakut, senang bersembunyi dari pada melarikan diri, larinya cepat tapi mudah capek, mudah gugup dengan lingkungan baru (Kudo et al. 1997). Oleh karena itu sebaiknya dalam tahapan penangkaran perlu terlebih dahulu ditutupi dengan kain yang gelap dan membiarkannya dalam keadaan gelap, tetapi apabila terlampau gelap hewan ini akan menjadi gugup. Apabila tahapan proses penangkaran dilakukan dengan baik hewan kancil bisa menjadi jinak seperti halnya hewan peliharaan lainnya, tetapi kancil betina cenderung lebih cepat jinak dibandingkan kancil jantan.

Kancil mempunyai mata yang besar, daun telinga yang relatif kecil dan lidah yang relatif panjang serta kaki yang ramping dan kuku yang tajam (Gzimek 1975; Anonim 1978). Mempunyai 34 buah gigi, dimana gigi taring bagian atas akan tumbuh terutama pada jantan. Susunan gigi seri dan geraham pada kancil sama dengan sapi (Slijper 1954).

Kancil bersifat ”pemalu” dan selalu berusaha untuk tidak terlihat. Dalam

kedaan ketakutan dan tidak nyaman, kancil akan ”menangis” dengan mengeluarkan suara melengking (Medway 1969; Strawder 2004). Kancil hidup dalam kelompok, beberapa soliter dan bersifat monogami, kancil berpasangan ditemui pada saat musim kawin. Jantan bersifat teritorial yang akan menandai daerah teritorialnya dengan sekresi dari kelenjar intermandibular dan disertai dengan urinasi dan defekasi (Strawder 2004).

(30)

12 menyayat/melukai musuhnya dengan menggunakan gigi taringnya ini (Strawder 2004).

Kancil diketahui bersifat nokturnal, namun penelitian yang dilakukan oleh Matsubayashi et al. (2002) yang dipasang radiotracking pada habitatnya di hutan Kabili-Sepilok, Sabah (Malaysia), menunjukkan bahwa individu akan aktif makan dan bergerak sepanjang hari dan inaktif/istirahat pada malam hari.

Ukuran tubuh kancil kecil dan eritrosit dengan ukuran yang kecil dan dalam jumlah yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan tingkat metabolisme yang tinggi (Snyder & Weathers 1977), dimana hemoglobin yang tinggi diperlukan karena kancil merupakan hewan yang gesit degan aktifitas otot yang banyak (Vidyadaran et al. 1979). Kancil tidak mempunyai lambung yang kompleks seperti pada artiodactyla pada umumnya dimana kancil hanya memiliki retikulum, rumen dan abomasum, namun tidak memiliki omasum (Richardson et al. 1988; Agungpriyono et al. 1992).

Pakan Kancil

(31)

13 mentah serta ditambahkan pakan pellet berupa mixed gain, crushed monkey pellet, rollet oats dan alfalfa hay.

Darlis et al. (1999) melaporkan bahwa kancil di Malaysia menyukai kangkung, kacang panjang, kacang perancis (bean french) sebagai roughages dan sumber protein; ubi (sweet potato), wortel (carrot) sebagai sumber karbohidrat dan pellet kelinci komersial sebagai pakan komplit.

Waktu pemberian pakan sebaiknya dilakukan tiga kali sehari semalam dengan waktu pagi sekitar pukul 06.00-07.00 WIB, siang pada pukul 13.00-14.00 WIB dan malam pukul 18.00-19.00 WIB. Cara pemberian pakan sebaiknnya diberikan dalam wadah dan dalam kondisi segar, karena bila pakan sudah dalam keadaan layu dan kotor, maka kancil enggan memakannya. Kancil menyukai pakan yang segar dan kandungan air tinggi dan memiliki daya cerna tinggi serta kandungan serat kasarnya rendah (Rosyidi 2005).

Habitat

Habitat adalah tempat dimana suatu mahluk hidup melangsungkan kehidupannya. Alikodra (1979) manyatakan bahwa habitat adalah kompleksitas berbagai komponen antara lain iklim, fisiogafi, vegetasi dengan kualitasnya dan merupakan tempat hidup organisme. Sedangkan Djuwantoko (1986) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air dan naugan (shelter). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat dipengaruhi oleh lingkungan biotik maupun non-biotik.

(32)

14 syarat bagi kelangsungan hidup satwa harus memiliki empat komponen dasar yaitu: pakan, pelindung, air dan ruang.

Kancil menyukai tinggal di hutan primer dan sekunder, di tanah kering yang tidak jauh dengan sungai-sungai dengan vegetasi rapat, baik didataran rendah maupun tinggi (1.200 m dpl), kaki-kaki bukit. Tempat persembunyiannya di rongga-rongga pohon, celah-celah batu, gua-gua maupun di semak-semak. Usia yang dapat dicapai pada habitat aslinya adalah 12-14 tahun (Strawder 2004).

Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Ternak

Peningkatan produksi dan produktifitas ternak, di mana saja, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor tersebut dapat ditinjau dari aspek pakan, aspek ternak sendri dan aspek manusia dalam menempatkan, menilai dan memanfaatkan ternak tersebut. Hewan tidak dapat memisahkan diri dengan lingkungannya, karena antara duanya telah terbentuk suatu sistem yang saling berinteraksi antara satu sama lain. Kemampuan hewan untuk beradaptasi dalam lingkungan dapat dilihat dari beberapa parameter, seperti tingkat harapan hidup dan kemampuan berkembang biak atau prestasi reproduksi (Krimbas 1984).

Kendala dalam memelihara kancil adalah karena hewan ini termasuk satwa liar dan memilki sifat berbeda dengan hewan domestikasi. Salah satu fenomena yang unik pada satwa liar termasuk kancil adalah cekaman (stres) yang mudah muncul. Sajuthi dan Lelana (2000) menyatakan penyebab cekaman (stressor) pada satwa liar setidaknya ada empat faktor, yaitu:

1 Somatic stressor, seperti suara, bau, perubahan temperatur, zat kimia dan obat-obatan, sentuhan-sentuhan yang tidak diduga maupun peregangan otot dan tendon yang tidak normal.

2 Psychological stressor, seperti beberapa aspek yang berkaitan dengan pola adaptasi dan praktek restrain.

(33)

15 4 Miscellaneus stressor, seperti malnutrisi, zat-zat toksik, agen penyakit,

parasit, kebakaran, serta perlakuan medis yang kurang legeartis.

Apabila ternak dipindahkan ke lingkungan yang tidak dikenal, ternak tersebut dapat menjadi gelisah, lelah kepanasan atau kedinginan. Semua kondisi tersebut akibat dari respon dalam tubuh ternak yang disebabkan oleh berbagai faktor dalam lingkungan baru. Bila ternak dalam kondisi seperti itu, sering dinyatakan bahwa ternak tersebut mengalami cekaman (stres). Istilah stres itu sendiri adalah suatu gambaran umum yang merujuk pada penyesuaian fisiologis, seperti perubahan detak jantung, laju pernafasan, temperatur tubuh dan tekanan darah yang terjadi selama ternak dibiarkan terhadap kondisi yang merugikan. Hal ini terjadi selama lingkungan menjadi tidak nyaman atau berbahaya bagi ternak. Gejala stres terlihat sebagai gangguan psikologis, emosional maupun kegelisahan (Smith & French 1997). Berdasarkan waktunya, stres terbagi menjadi:1) stres jangka pendek yang ditandai dengan peningkatan denyut jantung, ketegangan otot dan laju pernapasan yang dangkal; 2) stres jangka panjang dengan gejala kurangnya nafsu makan, gangguan pencernaan dan kulit serta penurunan libido; dan 3) stres internal dengan gejala ketakutan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, murung atau justru emosi yang meledak-ledak. Menurut Fowler (1999), stres yang berlangsung secara terus-menerus dan berlangsung lama berimplikasi pada penurunan imun, reproduksi, sistem syaraf dan sistem endokrin dalam tubuh. Respon endokrin terhadap stres muncul ketika impuls syaraf simpatik menstimulir kelenjar medula adrenal. Kelenjar endokrin segera melepasakan katekolamin (epineprin/adrenalin dan noradrenalin) ke dalam aliran darah. Selanjutnya, hipotalamus menstimulir hipofisa anterior untuk melepaskan

Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) sampai terjadi peningkatan glukocortikoid untuk membantu peningkatan suplai energi terutama ketika dalam keadaan bahaya (Ackerman 1996; Guytom & Hall, 1996).

(34)

16 pengaruhnya, karena respons yang akan dihasilkan dari kondisi lingkungan bergantung pada spesies, bobot, umur, jenis kelamin, daya tahan stres bawaan dan status emosional dari ternak.

Temperatur. Lingkungan merupakan faktor utama penyebab stres.

Apabila faktor lingkungan menjadi lebih dingin dari pada temperatur tempat asal ternak, maka ternak tersebut mulai memanfaatkan proses-proses tambahan untuk menghasilkan dan mempertahankan panas tubuh. Keadaan menggigil dapat menyebabkan suatu pengurangan dalam tingkat glikogen otot, karena tipe kontraksi ini diiringi dengan suatu peningkatan aliran darah dalam otot dan tidak menghasilkan asam laktat. Dilain pihak, temperatur tinggi yang tidak wajar meningkatkan permintaan terhadap mekanisme pendinginan terhadap ternak. Sering kali temperatur otot akan meningkat karena tubuh ternak tidak mampu membuang panasnya dengan cukup cepat. Ternak yang berkemampuan jelek dalam menghilangkan panas dari tubuhnya dapat mengembangkan temperatur otot sampai 42-43oC. Temperatur tinggi seperti ini dapat mempercepat reaksi metabolisme seperti pemutusan adenosin triphosphat (ATP) dan glikolisis, yang berlangsung ketika stres dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian ternak.

Kelembaban. Jumlah air dalam udara (kelembaban) dapat mempengaruhi

kedahsyatan pengaruh temperatur yang baru saja dijelaskan. Kenyataannya, terdapat interaksi dari kedua unsur lingkungan ini sebagian besar menentukan pada kenyamanan ternak. Umumnya kelembaban tinggi meningkatkan ketidak nyamanan ternak yang dibiarkan terhadap temperatur dingin atau panas dalam periode pendek. Apabila ternak memerlukan pendinginan, uap air dan udara lebih menyulitkan dalam menghilangkan panas melalui pernapasan. Pada lingkungan dingin, kadar air udara meningkatkan kecepatan menghilangkan panas lingkungan dari tubuh.

Cahaya, Suara dan Ruang. Perilaku ternak seringkali dipengaruhi oleh

(35)

17 ternak yang nokturnal. Sebagian ternak merasa tak nyaman apabila diikat atau dibatasi dalam ruang yang tidak memungkinkan pergerakan bebas.

Suara-suara yang tak dikenal juga menimbulkan penuh cekaman bagi banyak ternak. Sebagian ternak menjadi ketakutan pada lingkungan tidak dikenalnya, sementara ternak lainnya menjadi bermusuhan. Perbedaan dalam bersikap ini mungkin berkaitan dengan banyak faktor dalam ternak, seperti: keseimbangan hormon, kelembaban atau pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu muncul respon-respon emosional yang tidak dapat diduga (Forrest et al. 1975).

Karakteristik Reproduksi Kancil

Anatomi Organ Reproduksi Jantan

Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa) dan hormon kelamin jantan (testoteron). Anatomi organ reproduksi jantan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis, orchyd atau didymous, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin yang terdiri dari epididimis, vas deferens, ampula vas deferens dan urethra; kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes (Toelihere 1993).

(36)

18 Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis ruminansia umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas dari tipe penis

fibroelastis (Hafez 2000).

Anatomi Organ Reproduksi Betina

Secara umum anatomi organ reproduksi kancil betina memiliki susunan yang sama dengan hewan ruminansia lainnya, terdiri atas satu pasang gonad (ovarium), satu pasang tuba Fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus uteri, cervix, vagina dan vulva (Hamny 2006).

Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai penghasil sel-sel kelamin betina, yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon kelamin betina adalah estrogen yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan progesteron dengan fungsi utama memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi betina dimulai dari vulva, vagina (alat kopulasi), cervix (tempat seleksi spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh luar), uterus (tempat berkembangnya fetus) dan tuba Fallopii (tempat terjadinya fertilisasi).

Pola Reproduksi Kancil

Data tentang pola reproduksi kancil masih sangat terbatas. Belum diperoleh informasi yang jelas terhadap pola reproduksi atau perkembangbiakan kancil di kawasan in-situ maupun ex-situ. Strawder (2004) melaporkan bahwa kancil mengalami kematangan seksual (sexual maturity) pada umur 5-6 bulan

(spesies yang ada di Asia) dan 10 bulan (spesies yang ada di Afrika). Kudo et al. (1995) melaporkan bahwa baik umur dewasa kelamin maupun lama

kebuntingan sangat bervariasi bergantung pada lokasi dan pemeliharaan kancil, terutama manajemen pemberian pakannya.

(37)

19 Anderson dan Jones (1967) menyatakan bahwa secara alami musim kawin berlangsung pada Juni dan Juli, sedangkan lama kebuntingan berkisar antara 152-172 hari (Medway 1969). Bila mengacu kepada pernyataan tersebut dapat diperkirakan bahwa anak yang dilahirkan kemungkinan besar akan terjadi pada Nopember atau Desember. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Rosyidi (2005) dalam penelitiannya diperoleh 5 ekor bunting dari 8 ekor pasang kancil yang diamati, didapatkan 5 ekor anak yang dilahirkan pada akhir Januari (1 ekor), akhir April (2 ekor), awal Mei (1 ekor), dan akhir Juli (1 ekor). Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara musim kawin dengan kejadian betina bunting dan waktu beranak. Data tersebut menunjukkan bahwa pola perkembangbiakan kancil terjadi sepanjang tahun, sama dengan yang dilaporkan oleh Nowak (1991). Hasil ini juga sama dengan hasil penelitian Arifin (2004), pada Tragulus napu mampu beranak sepanjang tahun yang ditandai dengan jumlah induk beranak pada bulan-bulan basah tidak berbeda dibandingkan dengan bulan-bulan kering (P 0.05).

Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa, meskipun di lingkungan terbatas, ternyata kancil mampu berkembang biak dan bahkan mampu beranak lebih dari satu kali dalam setahun. Hal itu berarti kancil mampu beradaptasi dengan baik meskipun berada pada lingkungan terbatas.

Pada betina kelenjar mamae mempunyai empat puting. Induk betina mengasuh anaknya selama 2-3 minggu dengan masa sapih 8-12 minggu (OIA 1991). Kadang induk mengeluarkan suara mencicit (squaking) seperti jantan dan anaknya akan menjawabnya dengan suara yang sama (Ralls et al. 1975).

Hoogerwerf (1970) melaporkan bahwa kancil beranak 2 kali setahun atau setiap 5 bulan sekali dan kadang-kadang 2 ekor setiap kelahiran. Kudo et al. (1997) melaporkan berat lahir anak mencapai 120-190 g atau 10% dari berat badan induknya dan bentuk plasenta kancil adalah difusa dan villous (Anderson & Jones 1967), bentuk difusa, seperti halnya plasenta unta (Young 1981).

(38)

20

al. 1975). Hal ini didukung oleh Kudo et al. (1997), yang mengamati bahwa kancil betina dapat melakukan perkawinan 30 menit setelah beranak. Selanjutnya Medway (1978) melaporkan kancil betina melakukan perkawinan 48 jam setelah melahirkan dan anak sudah berkembang dengan dapat berdiri dalam waktu 30 menit setelah dilahirkan, induk menyusui anaknya sambil berdiri dengan tiga kakinya.

Tingkah Laku Seksual

Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya menghasilkan keturunan. Sedangkan Austine dan Short (1985) menyatakan bahwa pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin meluas tidak hanya fisiologik dan mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari ternak untuk melakukan perkawinan pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual tidak hanya menyangkut pada saat kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke saluran reproduksi betina tetapi juga bagaimana membawa hewan jantan dan betina tersebut untuk bertemu, melakukan percumbuan serta menentukan perkawinan pada waktu yang optimal (Austine &Short 1985).

Fenomena tingkah laku (behaviour) muncul akibat adanya rangsangan (stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine & Short 1985). Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi tingkah laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan penciuman (olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual).

Rangsangan olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang dilepaskan oleh betina yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk mendekati hewan betina (Becker et al. 1992).

(39)

21 Betina estrus juga sering memperlihatkan perilaku berdiri di belakang betina lainnya sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus bersamaan, kadang-kadang mereka saling menaiki. Becker et al. (1992) membagi tingkah laku seksual pada betina menjadi tiga bagian, yaitu aktraktif, tingkah laku proreceptive

(menerima dicumbu) dan receptivity (menerima untuk koitus). Nalley (2006) melaporkan pada rusa timor betina terdapat tujuh gejala estrus setelah pencabutan implan CIDR-G, yaitu: (1) tidak menolak saat didekati oleh keeper, (2) sering mengeluarkan suara, (3) gelisah, (4) vulva terlihat merah, agak bengkak dan basah, (5) tidak menolak jika punggung dipegang, (6) nafsu makan berkurang dan (7) tidak menolak pada saat vulva dipegang.

Selama masa estrus seekor rusa betina biasa dinaiki tiga sampai empat kali selamakurang lebih dua jam oleh seekor pejantan sebelum terjadi ejakulasi, bahkan kadang-kadang seekor rusa betina estrus bersedia menerima lebih dari satu pejantan. Kelakuan ini biasa berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Sering terjadi perkelahian antar pejantan memperebutkan betina estrus (Nalley 2006).

Penelitian mekanisme fisiologik yang berperan dalam tingkah laku seksual pada betina lebih sering difokuskan pada refleks kopulasi, penerimaan seksual yang disebut lordosis. Lordosis ditandai dengan tidak bergeraknya tubuh betina, posisi membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan membentuk lengkungan, pada spesies yang mempunyai ekor yang panjang; kopulasi biasanya ditandai dengan diangkatnya ekor ke salah satu sisinya. Postur lordosis akan mucul akibat adanya kontak dengan pejantan, pada spesies tertentu lordosis dapat juga terjadi akibat stimulasi manual pada punggung betina.

(40)

22 laku kawin yang terdiri atas (1) keinginan (libido) untuk mencari pasangan dan (2) kemampuan untuk kawin atau kopulasi.

Pada jantan tahapan proses tingkah laku kawin terdiri atas daya tarik seksual (sexual arousal), percumbuan (courtship), ereksi, menaiki (mounting), intromisi, ejakulasi, dan turun (dismounting) kembali.

Kancil jantan sering menjilat sampai minum urin dari kancil betina, kadang kancil betina juga menjilat urin kancil jantan. Kancil jantan sering menggosok-gosokkan kelenjar intermandibularisnya pada betina untuk menandai kancil betina (Ralls et al. 1975), kancil jantan akan mendekati betina dari belakang dan menggosokkan kelenjarnya di bagian tengah atau belakang kancil betina dari beberapa sisi dan menandai betina dimana saja seperti bagian dorsal, belakang atau leher. Ekor kancil jantan terlihat lurus ”tail-flashes” ketika mengikuti betina (Ralls et al. 1975).

Ketika menandai dan mendekati betina, kancil jantan mengeluarkan suara mencicit. Pada saat kancil jantan menaiki betina, umumnya kancil betina

menaikkan pantatnya hingga posisi ”lordosis” dan tidak bergerak sehingga

memudahkan kancil jantan untuk menaiki betina. Jantan akan menaikkan kaki depan ke punggung betina sehingga posisinya aman untuk terjadinya kopulasi.

Mekanisme Kerja Hormonal dalam Siklus Estrus

Hormon Reproduksi

(41)

23 Pada ternak betina estrogen mempunyai banyak fungsi, diantaranya: (1) merubah sifat sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior, (2) mempengaruhi pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi, (3) mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus dan (4) merubah aktivitas metabolisme pada uterus, kesemuanya itu dimaksudkan guna mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan spermatozoa (Reeves 1987).

Estrogen yang diproduksi dari aktifitas gelombang folikel selama fase siklus luteal, menginisiasi luteolisis. Hal ini dimediasi dari pembentukan reseptor oksitosin di dalam endometrium ternak yang sudah dikondisikan dahulu oleh progesteron. Efek estrogen pada poros hipotalamus dan hipofisadapat bersifat positif dan negatif. Efek negatif dapat bervariasi bergantung pada musim, pubertas, menyusui dan nutrisi. Kehadiran progesteron pada fase luteal siklus estrus, meningkatkan efek negatif pada estrogen dalam pelepasan LH dan FSH sehingga pematangan folikel dan ovulasi terhambat (InterAg 1996). Umpan balik positif dengan peningkatan produksi estrogen dalam ketidak hadiran progesteron meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah. Selanjutnya di bawah pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisa anterior terjadilah ovulasi.

Progesteron merupakan hormon yang dihasilkan oleh CL, plasenta dan kelenjar adrenal. Progesteron mempunyai peranan mempersiapkan lingkungan uterus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi kelenjar endometrium dan menghambat motilitas miometrium (Toelihere 1993). Selain itu progesteron menghambat sel-sel limfosit yang dapat menolak jaringan dan merupakan immuno supresif alami yang mencegah penolakan maternal terhadap fetus (Hansen & Liu 1996). Lebih lanjut Hansen (1997) melaporkan bahwa progesteron memainkan peranan utama dalam pengaturan respons kekebalan uterus dimana induksi progesteron menghasilkan uterine milk protein

(42)

24 Menurut InterAg (1996) pada sapi level basal progesteron dalam peredaran darah lebih <1 ng/ml. Setelah perkembangan CL pada awal fase luteal siklus, konsentrasi progesteron plasma meningkat sampai 7 ng/ml dan selama kebuntingan konsentrasi progesteron plasma dapat mencapai 20 ng/ml atau lebih. Tingginya konsentrasi progesteron plasma pada fase luteal siklus, menekan pelepasan LH yang berhubungan dengan pematangan folikel dominan.

Jika folikel dominan matang mencapai ukuran lebih besar dari sembilan mm, sementara konsentrasi progesteron plasma >4 ng/ml, maka folikel dominan berangsur-angsur hilang (atresia) dan terbentuk folikel baru. Ketika konsentrasi progesteron plasma turun ke level sub-luteal (<2 ng/ml), LH meningkat dan cukup untuk memelihara pertumbuhan folikel dominan. Jika konsentrasi progesteron plasma di antara dua dan empat ng/ml, folikel dominan tetap bertahan tanpa ovulasi dan mencegah inisiasi gelombang folikuler baru (InterAg, 1996).

Bila ovum tidak dibuahi dan hewan tidak bunting, proses perkembangan folikel, ovulasi dan pembetukan CL akan terjadi secara teratur. Umur CL dibatasi oleh uterus yang pada hari-hari terakhir siklus pada hewan tidak bunting memproduksi PGF2 secara pulsasi ke dalam vena uterus, lalu ditransfer ke arteri

ovari melalui mekanisme arus berlawanan. Di bawah pengaruh PGF2 CL

mengalami regesi dan produksi progesteron terhenti. Selain itu PGF2 akan

mengalami perubahan kimiawi dan fisik yang akan berakibat langsung dalam pengurangan sintesis steroid yang berakhir dengan terjadinya luteolisis dan akan mulai siklus estrus baru.

Periode Siklus Estrus

(43)

25 hormonal. Estrus dan siklus estrus merupakan suatu kejadian fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin. Hormon pada hewan betina selalu dihubungkan dengan ovulasi, pendekatan jantan, courtship dan terjadinya kopulasi. Partodihardjo (1992) menyatakan, bahwa estrus ternak ditandai sebagai periode dimana akan menerima dan diam untuk dikawini. Kejadian estrus dapat dijadikan dasar yang lebih baik dalam menerangkan fisiologi kelamin dan dapat digunakan sebagai titik permulaan dari satu siklus estrus. Estrus pada betina merupakan fase yang sangat penting yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Ovulasi terjadi pada fase ini, CL mulai terbentuk pada saat LH dari hipofisis anterior meningkat dan FSH menurun. Apabila hewan betina menolak untuk kopulasi walaupun gejala-gejala estrus terlihat dengan jelas, maka penolakan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat.

Metestrus adalah periode awal sejak berakhirnya estrus atau fase setelah ovulasi. Utamanya pada periode ini pembentukan CL (corpora lutea pada ternak

multiovulator) (McDonald 1989). Corpus luteum dipertahankan oleh LTH

(Luteotropic Hormone) atau prolaktin dari hipofise anterior. Metestrus ditandai dengan terhentinya estrus dan rongga folikel segera berangsur mengecil dan pengeluaran lendir terhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan sebagian sel-sel barunya yang terbentuk. Lamanya periode ini bergantung pada lamanya waktu hipofisis anterior mengsekresikan LTH.

(44)

26 Periode proestrus berawal ketika terjadi regesi CL dan konsentrasi hormon progesteron turun dan berakhir sampai muncul estrus. Hal pokok yang terjadi dalam proestrus adalah berlangsungnya pertumbuhan folikel yang cepat. Akhir periode ini, dapat dilihat pengaruh hormon estrogen pada sistim saluran reproduksi dan tingkah laku gejala-gejala akan terjadinya estrus.

Metode Penentuan Siklus Estrus

Sitologi Epitel Vagina

Pengamatan aktivitas siklus estrus dalam sistem reproduksi melalui perubahan sitologik epitel vagina telah banyak dilakukan pada berbagai jenis hewan. Cara tersebut adalah dengan membuat preparat ulas vagina dan melihat bentuk sel dari selaput lendir (mucosa) cervix (Dugweker et al. 1978; Bishnoi et al. 1982) yang bertujuan untuk mengetahui relaksasi saluran cervix dan tonus uterus, atau untuk mengetahui perkembangan folikel dan CL. Pengamatan ini juga telah dilakukan pada satwa lain seperti pada Macaca fasicularis, anjing, rodensia dan beruang matahari (sun bear).

Sel epitel vagina dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu sel parabasal, intermediate dan superfisial (Bourne 1990; Anonim 2002). Proses pertumbuhan sel dari epitel vagina fase siklus estrus dapat diurutkan sebagai berikut: sel-sel parabasal dijumpai pada fase proestrus dan pada fase akhir diestrus, sel-sel intermediet dijumpai pada fase proestrus akhir dan metestrus awal, dan sel-sel superfisial dan sel-sel squamous tanpa inti dijumpai pada fase estrus. Sel parabasal adalah sel epitel kecil yang khas ditemukan pada ulasan vagina, bentuknya bulat atau membulat dan mempunyai inti yang relatif besar dibandingkan dengan sitoplasma. Sel-sel parabasal umumnya ditemukan pada saat diestrus dan anestrus dan tidak umum ditemukan awal proestrus serta tidak terdapat selama masa estrus.

(45)

27 dua golongan, yaitu sel intermediate yang kecil dan sel intermediate yang besar. Sel intermediate ditemukan pada semua stadia siklus, kecuali pada saat estrus.

Sel superfisial adalah sel besar yang terdapat pada usapan vagina, bentuknya poligonal dan pipih, kadang-kadang tidak memiliki inti piknotik (sangat kecil dan gelap). Sel superfisial yang tidak berinti sering disebut dengan sel tanduk. Sel superfisial tidak umum ditemukan pada saat anestrus, tetapi ditemukan secara bertahap pada saat proestrus. Jika superfisial ini ditemukan dalam jumlah banyak, menandakan ternak berada dalam kondisi estrus (McDonald 1989; Anonim 2002).

McDonald (1980) menyatakan bahwa lapisan epitel vagina pada anjing mengalami perubahan di bawah pengaruh hormon estrogen, terutama pada waktu estrus. Epitel vagina terdiri atas sel-sel yang pipih, tetapi pada pertengahan siklus beberapa sel epitel berbentuk kubus yang rendah. Pada fase proestrus epitel vagina mempunyai inti yang besar dan terletak berkelompok. Pada fase estrus sel-sel epitel vagina menjadi lebar dan tak berinti serta mengalami kornifikasi. Pada ulasan vagina sapi yang diambil tiga sampai lima hari sesudah estrus memperlihatkan jumlah sel-sel yang mengalami kornifikasi bertambah (Salisbury

et al. 1978). Hansel et al. (1949) menyatakan kornifikasi juga terjadi oleh pengaruh progesteron pada lapisan mukosa antara hari ke-9 dan ke-16 dari siklus estrus.

Profil Metabolit Hormon di dalam Feses dan Urin

(46)

28 dapat mempengaruhi hasil. Selanjutnya dikatakan bahwa dibandingkan urine, penggunaan feses dipandang lebih menguntungkan karena sampel masih memungkinkan dikoleksi meskipun satwa diletakkan di dalam kandang kelompok, sampel feses harus diambil secara keseluruhan karena kandungan metabolit hormon pada bagian luar maupun dalam berbeda konsentrasinya.

Lama penyimpanan setelah sampel dapat mempengaruhi konsentrasi metabolit hormon. Lynch et al. (2003) menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas tentang lama penyimpanan sampel feses karena setiap hormon mempunyai ciri tersendiri. Meskipun demikian, pada prinsipnya level steroid akan berubah dalam waktu beberapa jam setelah defekasi apabila tidak segera dilakukan preservasi (Möhle et al. 2002). Disamping waktu penyimpanan, kandungan steroid pada feses bagian luar dan dalam berbeda. Dengan demikian dianjurkan bahwa sebelum disimpan di dalam almari pendingin seluruh feses (dalam sekali defekasi) diambil secara keseluruhan, dicampur kemudian diambil dalam jumlah tertentu (Hau et al. 2004).

Semua proses reproduksi bergantung pada kerja hormon, untuk itu analisa hormon adalah metoda yang sangat tepat digunakan untuk menentukan status reproduksi pada suatu spesies secara tidak langsung (Hodges & Heisterman 2002). Pemeriksaan hormon yang berperan mengatur proses reproduksi pada hewan betina, estrogen dan progesteron dalam urin dan feses sekarang sangat luas digunakan untuk memonitor status reproduksi satwa liar (Agil 2006).

(47)

29 Metabolisme dan Ekskresi Steroid Reproduksi

Menurut Agil (2006) jenis metabolit steroid yang dapat dianalisa dalam feses dan urin berbeda untuk satu spesies dengan spesies yang lain, walaupun ada beberapa spesies memiliki kesamaan jenis metabolismenya. Hal tersebut menandakan bahwa untuk aplikasi metoda analisa hormon dalam feses dan urin untuk setiap spesies baru harus dilakukan validasi terhadap analisa hormon yang digunakan apakah sesuai atau tidak (hormone assay sesuai jenis metabolit hormon yang terdapat dalam sampel feses atau urin yang akan dianalisa). Pengetahuan jenis metabolit pada setiap spesies sangat penting untuk mendapatkan informasi yang tepat dan dapat dipercaya. Kesalahan dalam penggunaan analisa hormon yang tidak sesuai dengan jenis metabolit yang dianalisa akan mengakibatkan kekeliruan dalam interpretasi hasil dan validitas data yang diperoleh. Demikian juga dalam proses ekskresi hormon steroid juga terdapat perbedaan waktu ekskresi metabolit dari sejak hormon tersebut diekskresikan dari kelenjar endokrin ke dalam pembuluh darah, yang disebut time lag of excretion. Hormon setelah disekresikan akan mengalami proses metabolisme dan proses ekskresi yang berbeda-beda. Perbedaan waktu ekskresi sangat bergantung pada rute ekskresi, jenis hormon dan spesiesnya. Ekskresi hormon lebih cepat mencapai puncak ekskresinya apabila diekskresikan dalam urin dibandingkan dalam feses (Agil 1995).

Gambar

  Gambaran sitologis
Gambar 3 Perbandingan besar tumbuh kancil jantan dewasa, Tragulus napu lebih besar dibandingkan Tragulus javanicus (Lekagul & McNeely 1977)
Gambar 8   Bagan alur penelitian anatomi dan morfometri kancil jantan dan betina
Tabel 2  Kriteria penentuan siklus estrus berdasarkan gambaran perubahan             sitologis epitel vagina
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang ditawarkan oleh badan usaha.. 2) Attributes related to service , yaitu atribut yang berkaitan terhadap jasa, meliputi Guarantee or warranty, merupakan jaminan yang diberikan

Pelaksanaan kegiatan KK Dampingan KKN PPM UNUD ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapi oleh keluarga dampingan sehingga,

variabel- variabel penelitian yang dimaksud adalah Kelas Sosial (X1), Gaya Hidup (X2), Kelompok Referensi (X3), Motivasi (X4), dan Keputusan Pembelian Produk Starbucks coffee

Peserta didik mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknya dari berbagai sumber, dan mengajukan pertanyaan pada peserta didik lain dalam kelompok untuk berpikir tentang jawaban

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU WANITA USIA SUBUR DALAM MELAKUKAN DETEKSI DINI.. KANKER PAYUDARA METODE SADARI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson maka diperoleh hasil nilai koefisien korelasi (r) sebesar

Memberikan pedamanlpetunjuk bagi Pejabat Pembina Kepegawaian dalam menindaklanjuti perubahan batas uda penstun Pegawai Negeri Sipil dan bwi Kantor Pelayanan

Selama penulis mengajar dengan melalui media lagu anak ada beberapa kendala diantaranya tidak tersedianya sarana IT disekolah sehingga penulis yang menyiapkan