• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1. Morfologi

2.1.2. Morfologi Struktural

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori linguistik struktural yang memandang bahasa sebagai suatu kesatuan sistem yang memiliki strukur tersendiri. Struktur itu menandai kehadiran suatu bahasa yang membedakan dengan bahasa lain. Setiap struktur bahasa mencakup bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis. Teori struktural memandang bahwa setiap bahasa memiliki strukturnya sendiri, berbeda dengan teori tradisional yang menganggap bahwa semua bahasa harus berciri seperti bahasa Latin dan Yunani kuno seperti yang dikatakan Chaer (1994:346).

Teori ini dipelopori oleh seorang linguis ternama yang bernama Ferdinand de Saussure. Teori yang menyatakan bahasa sebagai sistem komunikasi mempunyai struktur yang dibangun oleh komponen atau perangkat. Perangkat yang dimaksud dimulai dari tata urutan yang paling kecil, yaitu bunyi bahasa sampai pada tata tingkat yang paling besar, yaitu wacana. Tiap-tiap komponen atau perangkat dibidangi oleh

ilmu masing-masing, yaitu fonologi (ilmu bunyi), morfologi (tata bentuk kata), sintaksis (tata kalimat), semantik (makna), dan wacana (teks). Tiap-tiap perangkat ini walaupun dibidangi oleh ilmu yang berbeda, tetap mempunyai hubungan antara satu bidang dan bidang yang lain. Hubungan inilah yang sering disebut dengan struktur. Jadi, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana merupakan bidang struktur bahasa. Selanjutnya, kajian bahasa yang dilakukan dengan pandangan Saussure disebut dengan kajian secara struktural.

Chaer (1994:346) menjelaskan bahwa Saussure dianggap sebagai bapak linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya

Course the linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charless Bally dan Albert Schehay tahun 1915 berdasarkan catatan kuliah selama dia memberi kuliah di Universitas Jenewa tahun 1906-1911. Buku tersebut sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, kedalam bahasa inggis diterjemahkan oleh Wade Baskin (1966) dan kedalam Bahasa Indonesia di terjemahkan oleh Rahayu Hidayat(1988).

Chaer (1994:346-349) menambahkan bahwa Saussure mengungkapkan pandangannya mengenai konsep: (1) telaah sinkronik dan diakronik, (2) perbedaan

langue dan Parole, (3) perbedaan signifiant dan signifie dan (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik banyak berpengaruh dalam perkembangan linguistik dikemudian hari. Saussure membedakan telaah bahasa secara sinkronik dan telaah bahasa secara diakronik. Yang dimaksud dengan telaah bahasa secara sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada sutu kurun waktu tertentu saja. Misalnya, mempelajari bahasa Indonesia yang digunakan pada zaman Jepang atau pada masa tahun 50 an. Sedangkan telaah bahasa secara diakronik adalah telaah bahasa

sepanjang masa, atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh para penuturnya. Jadi, kalau mempelajari bahasa Indonesia secara diakronik, maka harus dimulai sejak jaman Sriwijaya sampai zaman sekarang ini. Dengan demikian bisa dikatakan telaah bahasa secara diakronik jauh lebih sulit dari pada telaah bahasa secara sinkronik. Saussure juga membedakan adanya apa yang disebut la langue dan la parole. Yang dimaksud dengan la langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa yang bersifat abstrak. Sedangkan yang dimaksud dengan la parole adalah pemakaian atau realisasi

langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa yang bersifat konkret karena

parole itu tidak lain dari pada relitasi yang bebeda dari orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam hal ini yang menjadi obyek telaah linguistik adalah langue, yang tentu saja dilakukan melalui parole, karena parole itulah wujud bahasa yang konkret yang dapat diamati dan diteliti. Saussure mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signe atau signe lingustique) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant dan komponen signifie. Yang di maksud signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis yang timbul dalam pikiran kita. Sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Untuk lebih jelas, ada yang menyamakan signe itu sama dengan ‘kata’; signifie

sama dengan ’makna’; dan signifiant sama dengan ‘bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu’. Hubungan antara signifiant dengan signifie sangat erat karena keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Signifie (makna), signe linguistique (kata), significant (Bentuk). Sebagai tanda linguistik, signifiant dan

nyata, sebagai sesuatu yang ditandai oleh signe linguistique itu. Sebagai contoh kita ambil kata bahasa Arab kitab dan dalam bahasa Inggris book yang berarti ’buku’ dan

mengacu pada sebuah acuan, yaitu buku. Saussure membedakan adanya dua macam hubungan, yaitu hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Yang dimaksud dengan hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan dan bersifat linear. Hubungan sintagmatik ini terdapat dalam tataran fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Hubungan sintagmatik pada tataran fonologi tampak pada urutan fonem-fonem dengan urutan /k, i, t, a, b/. Apabila urutannya diubah, maka maknanya akan berubah, atau tidak bermakna sama sekali. Hubungan sintagmatik pada tataran morfologi tampak pada urutan morfem-morfem pada suatu kata, yang juga tidak dapat diubah tanpa merusak makna dari kata tersebut. Ada kemungkinan maknanya berubah, tetapi ada kemungkinan pula tak bermakna sama sekali. Umpamanya kata ‘segiempat’ tidak sama dengan ‘empatsegi;, kata ‘barangkali’ tidak sama dengan ‘kalibarang’, dan kata

‘tertua’ tidak sama dengan ‘tuater’. Hubungan sintagmatik pada tataran sintaksis tampak pada urutan kata-kata yang mungkin dapat diubah, tetapi mungkin juga tidak dapat diubah tanpa mengubah makna kalimat tersebut, atau menyebabkan tidak bermakna sama sekali. Yang dimaksud dengan hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Hubungan paradigmatik dapat dilihat dengan cara subtitusi, baik dalam tataran fonologi, morfologi, maupun tataran sintaksis. Hubungan paradigmatik pada tataran fonologi tampak pada contoh: antara bunyi /r/,

/k/, /b/, /m/, dan /d/ yang terdapat pada kata rata, kata, bata, mata, dan data.

Hubungan paradigmatik pada tataran morfologi tampak pada prefiks me-, di-, pe-, dan te-. Yang terdapat dalam kata merawat, dirawat, perawat, dan terawat.

Sedangkan hubungan paradigmatik pada tataran sintaksis dapat dilihat pada hubungan kata-kata yang menduduki fungsi subjek, predikat, objek.

2.1.2.1. Organisasi Morfologi Struktural

Ba’dulu (2005:16) menjelaskan bahwa organisasi atau model morfologi struktural sebagai berikut:

Model tersebut terdiri atas empat komponen, yaitu, (1) Daftar morfem, (2) Pembentukan kata, (3) Proses Morfofonologis, dan (4) Kamus. Jika melihat bagan tersebut, tugas pertama seorang analis adalah mengidentifikasikan semua morfem, baik morfem bebas maupun morfem terikat dari data morfem yang telah dikumpulkan.

Daftar Morfem

Pembentukan Kata

Proses Morfofonologis

Kemudian morfem-morfem tersebut dimasukkan ke dalam daftar morfem sebagai komponen pertama.

Komponen kedua adalah pembentukan kata, yang menjelaskan bagaimana morfem-morfem suatu bahasa disusun dalam gugus-gugus untuk membentuk kata yang sesungguhnya dalam bahasa itu. Jadi, pembentukan kata harus mampu menghasilkan semua kata yang berterima dalam bahasa itu dan mengeluarkan semua kata yang tidak berterima.

Komponen ketiga adalah proses morfofonologis, yang merupakan suatu mekanisme mengenai proses-proses morfofonologis, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam penggabungan morfem, seperti asimilasi, pelesapan, penambahan, penggantian, dan permutasi. Tidak semua kata dapat diturunkan melalui pembentukan kata, Proses ini dapat membentuk kata-kata secara fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis berterima, tetapi tidak pernah muncul dalam pemakaian bahasa.

Komponen terakhir adalah kamus. Semua kata yang telah melalui komponen ketiga, yaitu proses morfofonologis, membentuk kamus dari bahasa yang bersangkutan.

Sehubungan dengan penelitian ini, teori linguistik struktural digunakan sebagai acuan dalam menentukan bentuk pola akronim dalam bahasa Jepang. Bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah satuan gramatikal bahasa yang bisa berupa morfem, kata, frase, klausa dan kalimat. Ryakugo terbentuk dari penyingkatan kalimat atau kata yang panjang menjadi kata baru yang lebih pendek sehingga mempermudah pengucapan. Pembentukan kata baru ini terstruktur pada bidang

morfologi yang membahas proses morfologis yang didalamnya terdapat abreviasi yang merupakan proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Dari pemendekan kata tersebut akan terbentuk bentuk ryakugo yang merupakan proses menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata. Penulis mengumpulkan data ryakugo yang berupa akronim, singkatan dan penggalan serta mengidentifikasikan berdasarkan jenisnya dan menganalisis proses morfologisnya sehingga membentuk suatu rumusan.

Dokumen terkait