• Tidak ada hasil yang ditemukan

MOTIF MEDIATED VOYEURISM MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI FISIP UNS SURAKARTA ANGKATAN 2010-2012

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa setiap narasumber memiliki motif tersendiri yang mendorongnya melakukan praktik mediated voyeurism dan ingin memperoleh informasi atau pengetahuan lebih terhadap orang lain yang menjadi target melalui media sosial Path.

Berikut kemungkinan kebutuhan sosial dan motif dari praktik mediated voyeurism.1

a. Social Idenity

Social Identity bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam satu kelompok sosial dengan mencari konten media yang orang lain lihat dan berperilaku seperti mereka dan siapa saja yang satu kelompok dengannya. Setelah melakukan pengawasan terhadap apa yang diunggah oleh target pada media sosial Path, Narasumber dapat mengidentifikasi di kelompok mana yang sesuai dengannya dan di mana dia ingin berada dengan mengamati moment yang diunggah target.

Berdasarkan apa yang diunggah oleh target, yang mana narasumber tidak hanya mengamati satu akun media sosial Path saja, narasumber dapat mengidentifikasi dirinya berada pada kelas sosial yang mana.

Social Identity mengacu pada sejauh mana seseorang mendefinisikan diri mereka dan dilihat oleh orang lain sebagai anggota kategori sosial tertentu. Seseorang yang terindikasi kuat dengan kelompok sosial mereka, mereka mungkin terdorong untuk bertindak sebagai anggota kelompok. Misalnya, narasumber yang melakukan praktik mediated voyeurism dengan melakukan pengamatan terhadap akum media sosial Path target karena terdorong atas informasi yang diberikan oleh anggota kelompoknya (geng) ataupun narasumber memberikan informasi mengenai apa yang dia ketahui setelah mengunjungi laman akun Path target kepada anggota kelompok yang lain. Tindakan tersebut dapat berupa screenshot moment yang diunggah oleh target untuk selanjutnya didiskusikan (rasan-rasan) dengan anggota kelompoknya.

Menurut salah satu narasumber, Paulina, alasannya stalking juga karena adanya faktor sosial dari teman-teman sekelompoknya yang mendorongnya stalking. Adanya obrolan grup yang menginformasikan tentang seseorang membuat Paulina men-stalking akun tersebut apabila dia memiliki akun tersebut.

“Kalo temen iseng mbak. Itu juga karena dikasih tau temen-temen di grup kan ngasih tau misal si A abis update, atau abis dikirimin screenshoot nya kan terus aku buka Path, kalo aku punya Pathnya aku stalking akunnya.” Paulina (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 8 September 2015.

Lebih lanjut, menurut narasumber, setiap moment yang diunggah oleh target dan menjadi objek rasan-rasan bagi narasumber dan

kelompoknya, menjadikan pembelajaran baginya untuk tidak melakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan oleh target. Misalnya, terlalu terbuka tentang kehidupan percintaan pada media sosial dan terlalu gamblang menceritakan masalah pribadi pada media sosial.

“Kalo orang jawa bilang itu rasan-rasan, Nggit, itu pasti lah wajar lah, Nggit. Nanti dibahas sama temen-temen lain yang kebetulan aku kan punya temen deket atau gengku kumpul lah git nanti dibahas lah itu, dan aku yo dadi punya pembelajaran aku jangan sampe kaya gitu. Dan aku kalo stalking kadang kan bertanya-tanya kenapa dia kaya gitu kaya yang aku terangin tadi Nggit, jadi aku bakal cari tau di Path postingan dia sebelum-sebelumnya dia itu kenapa atau hal apa yang buat dia kaya gitu. Jadi pertanyaan dan penasarannya terbayar.” Lukas (23), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2010 wawancara pada 7 September 2015.

b. Social comparison

Social comparsion mengacu pada membandingkan kehidupan sosial pribadi denga kehidupan sosial orang lain. dalam penelitian ini, perbandingan dilakukan pada media sosial Path berdasarkan moment yang diunggah oleh orang lain.

Melalui moment yang diunggah oleh target, seperti status, foto, video, film, lagu, lokasi berserta caption dan bersama siapa target, menumbulkan dugaan dan persepsi tersendiri bagi narasumber yang membaca unggahan tersebut. Narasumber dapat menilai orang tersebut alay, lebay, temperamental, narasumber dapat menduga target sedang sedih karena mengunggah lagu yang memiliki lirik yang sedih atau patah hati,

sedang memiliki masalah ataupun sedang marah berdasarkan apa yang target unggah berupa kata-kata dengan nada tinggi maupun umpatan-umpatan.

Menurut Lukas, apa yang diunggah seseorang pada media sosial dapat mencerminkan bagaimana orang tersebut.

“O iya setelah stalking itu biasanya bisa menduga-duga kan ternyata si itu gitu to si ini gini to orangnya. Jadi kaya punya penilaian sendiri sama orang yang aku stalking. Ya mungkin menghakimi, karena kadang sikap dan sifat orang kan bisa tercermin dari apa yang dia posting atau apa yang dia uangkapkan di medsos. Jadi menurutku, tiap kita posting sesuatu tetep ada filternya, Nggit.” Lukas (23), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2010 wawancara pada 7 September 2015.

Gambar III. 31 tentang moment yang diunggah oleh target Lukas yang menilai unggahan orang tersebut kurang difilter dan menurut Lukas moment tersebut menunjukkan dia seseorang yang drama karena lika-liku kehidupan pribadi terlalu diunggah di media sosial. Berdasarkan unggahan lokasi-lokasi yang mewah atau hits dan barang-barang mahal tidak jarang narasumber memberikan labeling orang

tersebut memiliki gaya hidup yang high class dan memiliki kelas sosial yang tinggi. Narasumber membandingkan kehidupan sosial orang lain yang sering mengunggah lokasi-lokasi atau moment lain yang dapat menunjukkan dia pada kelas sosial yang tinggi (high class) dibandingkan dengan moment yang diunggah oleh narasumber.

“Emm.. paling yang nge-Path dia check in di tempat-tempat yang katakanlah hits gitu kan Nggit. Yang gaya hidupnya sedang wow. Terus sama ada temen yang kalo update di Path itu bahsannya tentang pacarannya dia sama pacarnya yang menurutku bukan tempatnya dia share di medsos gitu. Kalo aku ya menurutku, Nggit. Tiap orang kan punya gaya hidupnya sendiri tp ada orang kalo check in atau update yang high-high banget gitu tertarik sih buat stalking.” Lukas (23), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2010 wawancara pada 7 September 2015.

Selain Lukas, Iis secara tidak langsung melakukan labeling terhadap orang tersebut dikehidupan sehari-hari.

“Kalo aku pribadi pengaruh sih mbak, aku jadi lebih nge-label-in seseorang tapi diem-diem mbak buat aku sendiri sih. Soalnya aku ada nih mbak punya temen kan di Path dia suka upload foto gitu kan dengan caption yang panjang-panjang dengan kata-kata mutiara gitu mbak dan dia juga suka dengerin lagu terus captionnya tuh dikasih kata-kata mutiara gitu mbak, aku jadi ngelabelin dia yang galau lah, alay lah, yang baper-an mbak bawa perasaan gitu. Tapi kalo ketemu aku di kehidupan nyata tuh dia enggak baper-an mbak. Jadi, aku cenderng melabeli seseorang dari apa yang dia posting di Path. dia posting di tempat-tempat hits biar di kira dia anak hits” Iis (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 8 September 2015.

Gambar III. 32 Gambar III. 33

Namun, tidak selalu labeling berupa hal negatif. Bagi seorang narasumber memberikan label kepada seseorang dapat berupa label positif. Misalnya, seseorang yang memberikan inspirasi bagi orang lain melalui apa yang dia unggah ke media sosial dengan konten yang berbobot.

“Tp labeling ga selalu negatif ya mbak. Bisa aja labeling positif. Misalnya labeling orang sbg orang yg cerdas karena postingannya berbobot terus… Mungkin pengaruh yg lain bisa juga inspiring. Misalnya aku sering stalking Strategic Planner nya Leo Burnett, aku jd kepengen bisa kerja jd SP di LB gitu. Jadi menurutku stalking bisa berpengaruh positif atau negatif. Tinggal gimana niat awalnya aja sih, mbak.” Daniel (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara ada 3 September 2015.

Social comparison juga dapat dilihat dari narasumber yang secara tidak langsung membandingkan kehidupan pribadinya dengan target yang diunggah pada media sosial Path. misalnya, narasumber yang telah melakukan pengamatan terhadap moment yang diunggah oleh target, membandingkan dengan kehidupannya sendiri. Sehingga narasumber dapat menilai bahwa target terlalu berlebihan, terlalu drama dalam masalah percintaan dan mengunggah sesuatu ke media sosial Path. Hal tersebut membuat narasumber dan mungkin juga para viewer yang lain menilai apa yang dilakukan oleh target tidak sesuai bahkan tidak dilakukan oleh narasumber (mengunggah hal-hal yang terlalu pribadi ke media sosial dimana banyak orang melihat dan mengetahui hal tersebut. Oleh karena itu, narasumber membandingkan kehidupan sosial dan pribadi target dengan narasumber.

Narasumber memiliki kecenderungan akan mengetahui bagaimana cerminan sikap dan sifat target pada media sosial sehingga narasumber dapat memiliki penilaian tersendiri terhadap target dan narasumber dapat menentukan sikap selanjutnya kepada target, baik berupa sikap yang menujukkan kesukaan maupun ketidaksukaannya terhadapt target berdasarkan moment yang diunggah oleh target.

c. Surveillance

Fokus pada detail pribadi dengan tujuan mempengaruhi, melindungi dan manajemen kontrol. Pada media sosial lebih mudah melakukan pengawasan terhadap orang lain, mengumpulkan informasi dan memonitor kegiatan. Narasumber menggunakan media sosial Path untuk mengawasi target yaitu pacar, mantan pacar dan teman. Narasumber mengawasi akun target untuk mengetahui moment terbaru apa yang diunggah oleh target. Sehingga tidak terlewat satu moment pun.

Seperti yang diungkapkan oleh Iis (21) bahwa dengan stalking dapat membuat bersosial media menjadi lebih seru dan tidak ketinggalan moment orang lain.

“Ada mbak. Kalo nggak stalking tuh timeline kan gitu-gitu doang kan ya. Jadi kan kalo stalking kan jadi seru, jadi nggak ketinggalan berita tentang dia, mbak. haha. Soalnya aku jadi ingin tau ingin tau mbak orangya, biar seru dan gak bosen.” Iis (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 8 September 2015.

Narasumber lain mengungkapkan, pengawasan lebih mudah dilakukan melalui media sosial Path dikarenakan Path lebih aman dibandingkan bertanya langsung pada orang yang bersangkutan. Hal tersebut memicu perasaan malu bagi narasumber apabila target memberikan penolakan dan narasumber merasa hal tersebut tidak perlu diketahui oleh target.

“Iya lah mbak. Kan lebih privat, lebih terbuka, lebih keseharian jadi lebih masuk aja kalo stalking di Path. Dan aku kan kalo stalking mungkin orang lain juga gitu kan, aku tuh gengsi kalo sampai keliatan banget stalkingnya. Dengan nggak adanya notif visit ya sangat berpengaruh sekali mbak buat stalking. Dan lebih berani.” Hilma (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 8 September 2015.

Menurut Anta, praktik mediated voyeurism pada media sosial Path lebih mudah dan aman. Jika narasumber bertanya kepada teman, kecenderungannya orang tersebut akan melaporkannya kepada target.

““Jadi nggak ketauan mbak. kan kalo misalnya kita kepo-kepo ke orang kan bisa aja orang itu cerita ke orang yang kita kepoin kan mbak. Malu kalo sampai dianya tau. Hehe. Kalai di medsos apalagi Path kan tinggal buka akun dia kan udah langsung tau segala sesuatu yang di lakukan, dimana, sama siapa aja, dan lebih pribadi mbak, karena Cuma kita, Path dan Tuhan yang tau. Hahaha. Jadi dengan ada nya medsos Path itu memudahkan kita buat stalking kehidupan sosial orang lain. Terima kasih, Path. Hahaha.” Anta (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 10 September 2015.

Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, narasumber merasa bahwa target akan lebih terbuka dan pasti akan mengunggah moment tertentu pada laman akun media sosial Path. Sehingga

untuk mengetahui kegiatan tersbut, narasumber melakukan pengawasan terhadap akun Path target. Misal, target tidak memberitahukan keberadaannya, pemikirannya dan bersama siapa dia berada kepada narasumber dengan alasan tertentu dan menggunggah kegiatannya ke media sosial Path miliknya. Maka, narasumber secara otomatis mengawasi pergerakan target pada media sosialnya.

“Terus kalo di Facebook dan Twitter kan kalo nggak berteman pun bisa lihat to kalo di Path kan harus add dulu baru bs liat timeline nya dia. Kan kalo kaya gitu kan kita jadi lebih terbuka kalo mau posting di Path soalnya itu bener-bener temen deket banget. Jadi lebih bebas, kan Path juga kaya diary gitu aktivitas sehari-hari…Ditambah lagi, orang cenderung lebih terbuka di medsos kan mbak.” Anta (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 10 September 2015.

d. Uses and Gratifications

Pada Uses and gratification, pengguna media berusaha mencari sumber media paling tepat di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Narasumber memilih Pah sebagai media untuk melakukan praktik mediated voyeurism berdasarkan kelebihan yang dimiliki oleh media sosial Path.

Adapun kelebihlan Path yang menurut narasumber Path memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh media sosial lain. Narasumber menyebutkan Path sebagai media sosial yang privat dan ekslusif. Dikatakan privat yaitu hanya pengguna yang sudah dikonfirmasi pertemanannya yang dapat mengakses halaman akun Path seeorang. Path, media sosial yang eksklusif karena ada pembatasan pertemanan ada media sosial Path pada

awal munculnya hanya 150 pertemanan dan seiring dengan kepopuleran Path, pertemanan Path bertambah hingga 500 pertemanan. Menurut CEO Path sendiri, David Morin penambahan pertemanan tersebut tidak bertolak belakang dari tujuan awal diciptakan Path dan para penggunanya akan lebih selektif lagi dalam memilih siapa saja temannya.

“Kalo aku privasinya mbak. Dulu kan jumlah temennya dibatasi 150 orang kan. Meskipun sekarang jadi 500 orang kan kita bener-bener cari yang close friend kita mbak. Terus kalo di Facebook dan Twitter kan kalo nggak berteman pun bisa lihat to kalo di Path kan harus add dulu baru bs liat timeline nya dia.”Anta (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 10 September 2015.

Hal serupa juga disampaikan oleh Chandra (22) Mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2011, menurut Chandra (22), salah satu kelebihan Path adalah pada privasi dan ekslusifitas yang dimilikinya.

“Kelebihannya menurutku, privat sih. Soalnya kan waktu Path awal-awal kan jumlah temennya dibatasi itu jadi aku nge-add temen-temen yang bener-bener kenal, sampai sekarang juga gitu. Di Path itu orang-orang yang bener aku kenal tok.” Chandra (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 11 September 2015.

“Emm.. dulu kan awal sebelum booming kan aku udah pakai Path. Itu aku tau dari temen. Terus aku bikin duluan jarang pakai. Abis udah booming dan temennya juga dulu dibatasi 150 orang kan. Dan Path itu menurut aku emang bener-bener temen-temen deket kan jadi lebih intim, lebih privat mbak.” Daniel (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 3 September 2015.

Daniel (22) menilai, dengan adanya Path yang privat dan ekslusif, hanya orang-orang terdekat yang berteman di Path yang dapat membuka

akun orang lain. tidak seperti media sosial lain seperti Twitter dan Facebook yang tidak berteman pun dapat membuka akun orang lain.

Paulina (21), mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2012, mengungkapkan bahwa ia tertarik menggunakan Path karena menurutnya Path lebih privat dibanding media sosial yang lain dan berisi teman-teman terdekatmya saja.

“O iya sama lebih privat juga kan soalnya isinya bener-bener temen deket aja mbak. Nggak kayak Facebook dan Twitter terlalu luas terus nggak berteman pun bisa buka-buka profil kita kan mbak.” Paulina (21) (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 8 September 2015.

Seiring sejalan dengan Wandha (21), Angkatan 2012 ini mengungkapkan privasi dan ekslusifitas sebagai kelebihan Path. Menurutnya, jumlah pertemanan di Path tidak terlalu banyak seperti di Facebook, sehingga lebih privat.

“Terus lebih privat karena nggak kebanyakan orang yang jadi temen di Path. Terus abis itu kalo di Facebook banyak yang alay jadi pindah ke Path. Banyak iklan juga kalo di Facebook. Terus kalo di Path itu lebih deket sama temen yang lain. soalnya kalo nggak berteman kan gak bisa buka akunnya juga. Lebih bersih aja.” Wandha (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 10 September 2015..

Dan, menurut Hilma (22), Path berisi teman-teman dekat sehingga berbagi apapun di sana menjadi lebih nyaman karena Path adalah media sosial yang privat.

“Iya lah mbak. Kan lebih privat, lebih terbuka, lebih keseharian jadi lebih masuk aja kalo stalking di Path…Dan lebih berani. Dan prinsipku kalo di Path kalo nggak kenal-kenal banget enggak aku

add dan enggak aku accept kalo yang add aku. Hehe.” Hilma (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 8 September 2015.

Fitur Path yang variatif dan lengkap seperti profil, sticker shop, mengunggah moment berupa ststus, foto, video, musik, film, acara televisi, buku, lokasi, sleep and awake, dan dapat pula mencantumkan teman dalam moment yang diunggah, mengirim pesan obrolan, memberikan komentar dan like, selain itu narasumber dapat memilih inner circle dan privat moment serta setiap moment yang diunggah dapat disinkronkan pada media sosial lainnya seperti Facebook, Twitter, Tumblr, Wordpress dan Foursquare.

Daniel (22), sebagai pengguna Path yang aktif merasa sangat praktis sekali menggunakan Path karena didukung dengan banyaknya fitur yang tersedia dalam satu media sosial.

“Dan dari fitur udah banyak maksudnya path kaya diary bisa share status, lagi dimana, sama siapa, dengerin apa, nonton apa, check in dimana , ya bener-bener daily activity banget mbak.” Daniel (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 3 September 2015.

Menurut Daniel (22), fitur synchronize pada Path juga membantu apa bila dirinya atau ungkin pengguna lainnya masih ingin terlihat aktif di media sosial lainnya. Sehingga dari satu media sosial dapat terkoneksi dengan media sosial yang lain.

“Dan bisa disinkronkan ke medsos lain. kalau masih mau keliatan aktif di Twitter atau Facebook kan dari Path bisa di share juga di medsos itu.” Daniel (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 3 September 2015.

Selain itu, Gigih (23) mengetakan jika fitur-fitur pada Path lebih menyenangkan dan ditambah dengan emotikon yang menarik, lucu dan mudah di-download. Path juga dapat disinkronkan ke berbagai media sosial lain dalam satu klik, seperti Twitter dan Facebook.

“Mungkin fitur-fiture kali ya, Nggit. Fiture lebih menyenangkan. Haha. Terus emoticone lebih menarik menyenangkan. Isoh di download dan lucu. Sekali update Path isoh nge-link ke berbagai medsos. Jadi penak. Tinggal satu klik bisa ke sinkron ke Twitter, Facebook.” Gigih (23), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2010 wawancara pada 7 September 2015.

Liliana (Iis (21)) juga mengungkapkan hal serupa mengenai fitur-fitur dalam media sosial Path.

“Kan di Path ada nonton apa, dengerin apa, sama siapa, fitur-fiturnya kan banyak, misalnya kayak ala-ala Foursquare gitu check in dimana.” Iis (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 8 September 2015.

Sama seperti narasumber-narasumber sebelumnya, Paulina (21) juga sependapat dengan daya tarik fitir-fitur pada Path menjadi kelebihan bagi Path yang membuat mereka tertarik menggunakan Path. Menurutnya, fitur yang lengkap dan praktis digunakan karena dapat disinkronkan ke berbagai media sosial lain dalam satu wadah dan dalam satu klik saja.

“Karena jadi satu sih jadi bisa update dari satu medsos aja kan mbak. bisa disinkronkan di Facebook di Twitter. Misalnya lagi dimana, lagi dengerin lagu apa, atau lagi nonton film apa, bisa upload foto dan video juga dalam satu media sosial jadi lebih praktis mbak. Ya kan bisa bikin status bisa add location bisa tag temen juga, foto, video, lagu, sama film dalam satu wadah kan lebih

praktis aja.” Paulina (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 8 September 2015.

Menurut Wandha (21), “Komplit. Di Path bisa share moment, dari status, foto, video, lagu, film, tempat, ada with nya juga.” Wandha (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 10 September 2015.

Ditambah lagi tidak adanya notifikasi apabila narasumber mem-visit akun orang lain sehingga mereka lebih berani untuk melihat apa saja yang diunggah, apa saja aktivitas orang tersebut. Narasumber merasa diuntungkan dengan dihilangkannya notifikasi visit apabila narasumber mengunjungi laman akun orang lain.

“ … Dengan nggak adanya notif visit ya sangat berpengaruh sekali mbak buat stalking. Dan lebih berani. Dan prinsipku kalo di Path kalo nggak kenal-kenal banget enggak aku add dan enggak aku accept kalo yang add aku. Hehe.” Hilma (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 8 September 2015.

“Kan sekarang juga gak ada notif kalo abis visit kan jadi enak kalo visit-visit.” Rere (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 11 September 2015.

“Dulu kan kalo visit orang ada notif tapi kalo aku biasa wae mbak. visit yo visit lah. Santai wae. Hahaha.” Chandra (22), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 wawancara pada 11 September 2015.

“…Kan sekarang udah gak ada notif nya mbak, jadi lebih enak aja kalo mau visit. Jadi makin sering. Hehe…” Iis (21), Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2012 wawancara pada 8 September 2015.

Menurut narasumber, Path adalah media sosial yang tidak terdapat iklan atau promosi didalamnya, sehingga menurut mereka tampilan Path menjadi lebih bersih dan tidak terganggu dengan adanya iklan. Path lebih

Dokumen terkait