• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2.1. Definisi Motivasi Kerja

Seorang manajer harus memiliki teknik-teknik untuk dapat memelihara prestasi dan kepuasan kerja, antara lain dengan memberikan motivasi kepada bawahan agar dapat melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Motivasi adalah proses mempengaruhi atau mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok kerja agar mereka mau melaksanakan sesuatu yang diterapkan. Motivasi atau dorongan

(driving force) dimaksudkan sebagai desakan yang alami untuk memuaskan dan mempertahankan kehidupan. Menurut Liang Gie, motivasi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh manajer dalam memberikan inspirasi, semangat dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini karyawannya untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu. Pemberian dorongan ini bertujuan untuk menggiatkan orang-orang atau karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil yang dikehendaki oleh orang-orang tersebut. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja antara lain atasan, kolega, sarana fisik,

16 kebijaksanaan, peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan tantangan. Motivasi individu untuk bekerja dipengaruhi pula oleh kepentingan pribadi dan kebutuhannya masing-masing (Samsudin, 2006, 281-282).

2.2.2 Teori-teori Motivasi

Teori Motivasi Abraham H. Maslow seperti yang dikutip oleh Samsudin (2006, 283-284) dan Siagian (2006, 287-289) setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hierarki dari tingkat yang paling mendasar sampai tingkat yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkat yang paling rendah telah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi. Pada tingkat yang paling bawah, dicantumkan berbagai kebutuhan yang bersifat biologis. Pada tingkat yang lebih tinggi dicantumkan berbagai kebutuhan yang bersifat sosial dan pada tingkat yang paling tinggi dicantumkan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.

Dalam suatu organisasi atau perusahaan, kebutuhan-kebutuhan tersebut diterjemahkan sebagai berikut :

1) Kebutuhan fisiologis dasar, seperti makanan, pakaian, perumahan dan fasilitas-fasilitas dasar lainnya yang berguna untuk kelangsungan hidup pekerja.

2) Kebutuhan akan rasa aman, seperti lingkungan kerja yang bebas dari segala bentuk ancaman, keamanan jabatan atau

17 posisi, status kerja yang jelas dan keamanan alat yang dipergunakan.

3) Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, seperti interaksi dengan rekan kerja, kebebasan melakukan aktivitas sosial dan kesempatan yang diberikan untuk menjalin hubungan yang akrab dengan orang lain.

4) Kebutuhan untuk dihargai, seperti pemberian penghargaan

(reward) dan mengakui hasil karya individu.

5) Kebutuhan aktualisasi diri, seperti kesempatan dan kebebasan untuk merealisasikan cita-cita atau harapan individu, kebebasan untuk mengembangkan bakat dan talenta yang dimiliki.

Kemampuan untuk menyatukan aspek-aspek manusia menjadi kesulitan tersendiri dalam suatu organisasi dan seorang pimpinan harus membuat bawahan agar mempunyai motivasi yang tinggi untuk bekerja demi mencapai tujuan organisasi. Pimpinan dapat memotivasi bawahan dengan berbagai cara, diantaranya menurut Allen seperti yang dikutip Siagian (2006, 251) adalah :

1) Menginspirasi, yaitu dengan memasukkan semangat ke dalam diri orang lain untuk berbuat dengan efektif. Orang diinspirasi melalui kepribadian pemimpin, keteladanannya dan pekerjaan yang dilakukannya secara sadar atau tidak sadar.

18 2) Mendorong, yaitu merangsang orang untuk melakukan apa

yang harus dilakukan melalui pujian, persetujuan dan bantuan.

3) Mendesak, yaitu membuat orang merasa harus melakukan apa yang harus dilakukan dengan sesuatu cara yang perlu termasuk paksaan, kekerasan dan ancaman jika perlu.

Diantara berbagai cara memotivasi bawahan tersebut diatas, yang lebih tepat digunakan adalah cara memberikan inspirasi yang merupakan pola kepemimpinan kharismatik. Disamping itu, pimpinan juga dapat memberikan dorongan kepada bawahan agar mereka semakin termotivasi dalam bekerja.

Sedangkan motivasi pegawai jenis paksaan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan bersifat negatif, karena pegawai pegawai bekerja dengan paksaan tanpa ada motif dari diri sendiri. Dalam tata pengelolaan pemerintahan yang baik (good

governance), penerapan model motivasi inspirasi mampu maksimal memberikan dampaknya, Dalam hal ini proses internalisasi nilai-nilai disiplin, ketekunan, ketelitian, semangat perlu mendapat tekanan khusus. Pimpinan hendaknya mampu memberikan inspirasi melalui keteladanan yang baik, misalnya perilaku serius dalam bekerja, semangat dalam usaha. berperilaku efektif, perilaku yang konsisten, komitmen kerja yang tinggi. Hal ini dapat memiliki mutiplier effect terhadap motivasi pegawai.

19 Memotivasi bawahan yang paling efektif dilakukan adalah dengan motivasi diri. Pimpinan dapat membuat bawahan mau bekerja karena keinginan dari dalam dirinya sendiri dan bukan karena paksaan. Motivasi jenis ini merupakan motivasi yang paling efektif dan dapat bertahan lama. Dalam kenyataannya, memotivasi seseorang tidaklah mudah sebab masing-masing individu mempunyai latar belakang, harapan, keinginan, ambisi yang berbeda-beda. Begitupula dengan pekerjaan yang dilakukan di dalam organiasasi akan berkaitan dengan kondisi pekerja sebagai individu, yang pada akhirnya suasana batin sebagai individu akan berpengaruh terhadap hasil kerja. Dengan kata lain, motivasi menjadi faktor penting agar pekerja bersedia melaksanakan pekerjaannya dengan semangat, gairah dan dengan dedikasi tinggi.

Disamping teori Maslow, terdapat beberapa teori motivasi yang cukup terkenal antara lain Teori Clayton Alderfer. Teori ini dikenal dengan akronim “ERG (Exixtence, Relatedness and Growth)”.

Secara konseptual terdapat persamaan antara teori dan model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer, karena

“Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dari teori Maslow; “Relatedness” senada dengan hierarki ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth”

20 menurut Maslow. Teori Alderfer juga menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer dalam Siagian (2006, 289-290) disimak lebih lanjut akan terlihat bahwa :

1) Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya.

2) Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan.

3) Sebaliknya semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih besar.

Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi para karyawan adalah Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “Model dua faktor” dari motivasi yaitu faktor motivasional dan faktor higienis (pemeliharaan).

Menurut teori Herzberg, yang dimaksud dengan faktor motivasional adalah hal-hal pendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor higienis (pemeliharaan) adalah faktor-faktor yang bersifat ekstrinsik yang berarti bersumber dari

21 luar diri seseorang, misalnya dari organisasi, tetapi turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan kekaryaannya. Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional

antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karir dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor higienis (pemeliharaan) mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang karyawan dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijaksanaan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.

Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan kerja seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.

Teori Keadilan, Siagian (2006, 291-292) menjelaskan bahwa inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dan imbalan yang diterima. Artinya apabila seorang karyawan mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi yaitu : 1) Seseorang dapat berusaha memperoleh imbalan yang lebih

22 2) Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam pelaksanaan

tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang karyawan biasanya menggunakan empat hal sebagai pembandingnya yaitu : 1) Harapannya tentang imbalan yang dianggapnya layak

diterima berdasarkan kualifikasi diri pribadi seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;

2) Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;

3) Imbalan yang diterima oleh karyawan lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;

4) Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para karyawan.

Pemeliharaan hubungan dengan karyawan dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidak-adilan timbul, apalagi meluas di kalangan para karyawan. Apabila sampai terjadi akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi seperti ketidak-puasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya

23 kecelakaan kerja, seringnya karyawan berbuat kesalahan dalam pelaksanaan kerjanya, pemogokan atau bahkan perpindahan karyawan ke organisasi lain

Teori Harapan, Victor H. Vroom dalam bukunya yang berjudul

“Work and Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat dari suatu hasil yang ingin dicapai oleh seseorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang didinginkannya. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu maka jalan nampaknya terbuka untuk memperolehnya, dan yang bersangkutan akan berupaya untuk mendapatkannya.

Dinyatakan dengan cara sangat sederhana teori harapan menyatakan bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya. Sebaliknya, jika harapan untuk memperoleh hal diinginkannya tipis, motivasinyapun untuk berupaya akan menjadi rendah. Di kalangan para ilmuwan dan praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri, karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para karyawan dalam menentukan hal-hal

24 yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para karyawan tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja.

Menurut John dalam Winardi (2002:2) menjelaskan motivasi untuk bekerja merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang perilaku keorganisasian (Organizational Behavior = OB), guna menerangkan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang menjadi penyebab timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam hal bekerja”. Dengan demikian analisis mengenai motivasi akan bersinggungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi. Ditegaskan Atkinson dalam Winardi (2002:4) bahwa analisis motivasi perlu memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang menimbulkan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas seseorang.

Menurut Chung & Megginson dalam Gomes (2001:180)

menjelaskan, motivasi melibatkan (1) faktor-faktor individual dan (2) faktor-faktor organisasional. Faktor-faktor individual meliputi kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan-tujuan (goals), sikap

25 (attitude), dan kemampuan-kemampuan (abilities). Faktor-faktor organisasional meliputi pembayaran atau gaji (pay), keamanan pekerjaan (job security), sesama pekerja (co-workers), pengawasan (supervision), pujian (praise), dan pekerjaan itu sendiri (job itself).

2.3 Kinerja Pegawai 2.3.1. Definisi

Pengertian kinerja secara umum dapat dikatakan sebagai besarnya kontribusi atau hasil yang dicapai akan diberikan pegawai terhadap kemajuan dan perkembangan atau sasaran-sasaran organisasi atau organisasi dimana ia bekerja.

Kinerja dalam organisasi merupakan tanggung jawab utama seorang pimpinan, dimana pimpinan membantu pegawainya agar berprestasi lebih baik. Penilaian kinerja dilakukan untuk memberi tahu pegawai apa yang diharapkan manajemen untuk membangun pemahaman yang lebih baik satu sama lain. Penilaian harus mengenali prestasi serta membuat rencana untuk meningkatkan kinerja pegawai. Suyadi Prawirosentono (1999, 2) dalam bukunya Kebijakan Kinerja Karyawan: Kiat Membangun Organisasi Menjelang Perdagangan Bebas Dunia mengemukakan bahwa “Performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat diciptakan

26 oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan perusahaan yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika”.

Dengan demikian dapat ditarik pokok-pokok pemikiran bahwa kinerja adalah keseluruhan unsur dan proses yang terpadu dalam suatu organisasi, yang didalamnya terkandung kekhasan masing-masing individu, perilaku pegawai dalam organisasi atau pola kerja secara keseluruhan, proses kerja serta hasil kerja atau tercapainya tujuan tertentu.

Dalam hal ini sebenarnya terdapat hubungan erat antara kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinerja organisasi

(corporate performance). Dengan kata lain bila kinerja pegawai baik, maka kemungkinan besar kinerja organisasi juga baik. Kinerja seseorang akan baik bila dia mempunyai keahlian (skill)

yang tinggi, bersedia karena diberi gaji atau upah sesuai dengan perjanjian, mempunyai harapan (expectation) masa depan yang lebih baik.

27 Mengenai gaji dan adanya harapan (expectation) merupakan hal

yang menciptakan motivasi seorang pegawai yang bersedia melaksanakan kegiatan kerja dengan kinerja yang lebih baik. Bila sekelompok pegawai dan atasannya mempunyai kinerja yang baik, maka akan berdampak pada kinerja pegawai yang lain pula.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai adalah hasil kerja yang diciptakan pegawai untuk organisasi berdasarkan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab serta motivasi yang dimiliki. Atau dengan kata lain kinerja adalah hasil kerja pegawai yang terukur atau perbandingan antara output dengan input.

Sementara menurut Bernadin dan Russel dalam Sianipar (2000, 94) bahwa kinerja atau prestasi kerja adalah hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama suatu periode tertentu. Pendapat diatas mengindikasikan bahwa kinerja merupakan hasil pengelolaan seluruh sumber daya fisik pada aktivitas kerja seseorang maupun organisasi. Sumber daya fisik terdiri dari peralatan, bahan baku, bahan pembantu dan SDM. Sedangkan sumber daya non fisik berupa kekuatan psikis atau mental yang dimiliki oleh SDM diantaranya kemampuan, kecerdasan,

28 kesehatan, disiplin, hubungan kerja, peraturan perundang-undangan, manajemen, organisasi dan lain-lain.

2.3.2. Kedudukan Kinerja Dalam Sistem Perilaku Organisasi Selanjutnya Nestrom dan Davis dalam Supartini (2007, 31-32) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang jelas antar kinerja (performance), kemampuan (ability) dan motivasi (motivation) Bahwa peran yang dimainkan oleh perilaku organisasi sangatlah penting.

Sumber : Nestrom dan Davis dalam Supartini (2007, 31-32)

Gambar 2. Kedudukan Kinerja Dalam Sistem Perilaku Organisasi

Managements Phillosopy, Value, Vision, Mission, Gosis

Organization Culture

Leadership, Communication Group Dyanamic

Quality of Work Life (QWL)

Motivation

Outcome * Performance

* Employee satisfaction * Personal Growth and Development Social Environme Formal Organizatio Information Organization

29 Peran tersebut pada dasarnya terdiri dari dua faktor yaitu :

(1) kemampuan, yang merupakan hasil interaksi dari pengetahuan dan keterampilan; dan (2) motivasi, yang merupakan hasil interaksi dari sikap dan keadaan kerja. Interaksi antara kemampuan dan motivasi merupakan potensi seseorang untuk berbuat dan potensi seseorang yang berintegrasi dengan sumber daya merupakan kinerja (lihat Gambar 2).

Miller J.M seperti yang dikutip oleh Supartini (2007, 33) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mendukung pencapaian kinerja yakni lingkungan kerja (environment) dan karakteristik pegawai (personal characteristics). Unsur-unsur lingkungan kerja adalah kesesuaian peran (role), sumber daya

(resources), bimbingan (guidance) dan pelatihan (training). Sedangkan karakteristik pegawai meliputi kemampuan (ability),

pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill).

2.3.3. Dimensi Kinerja.

Merupakan tolak ukur setiap pegawai dalam menentukan kualitas maupun kuantitas kinerja. Adapun ukuran ukuran-ukuran dimensi kerja menurut Supartini (2007, 35-36) menjelaskan bahwa ukuran dimensi kerja baik kualitas. kuantitas kerja, waktu dan kerjasama meliputi :

1) Quality of work

30 b) Kebutuhan terhadap instruksi dalam pelaksanaan tugas

c) Kemampuan dalam menemukan dan memecahkan masalah

d) Ketelitian dalam pelaksanaan tugas

e) Efisiensi waktu, tenaga dan biaya dalam pelaksanaan tugas

f) Ketekunan dan kedisiplinan dalam pelaksanaan tugas g) Inisiatif

h) Sikap terhadap tugas

i) Kemampuan dalam bekerja sendiri

j) Tanggung jawab dalam melaksanakan tugas k) Kepemimpinan

m) Kecakapan dalam menggunakan peralatan kerja n) Kemampuan dalam memperbaiki peralatan yang

mengalami kerusakan. 2) Quantity of work

a) Kemampuan menyelesaikan seluruh pekerjaan yang ditugaskan

b) Kemampuan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan melebihi dari apa yang ditugaskan.

3) Time of work

a) Ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas b) Ketepatan waktu dalam kehadiran

31 c) Ketepatan waktu dalam istirahat dan pulang kantor

2.3.3.3.4tingkat kehadiran dalam pekerjaan 4) Cooperation with other’s work

a) Kemampuan bekerja sama dengan karyawan lain dalam kelompok kerja

b) Kemampuan bekerja dengan karyawan lain diluar kelompok kerjanya

c) Kemampuan menjalin komunikasi dengan atasan

d) Kemampuan memberikan bimbingan dan penjelasan pada karyawan lain.

2.3.4. Aspek-aspek yang Menentukan Kinerja

Aspek-aspek yang menentukan kinerja menurut Mangkunegara (2005:17) mengemukakan bahwa aspek-aspek yang dinilai dalam menentukan kinerja mencakup kesetiaan, hasil kerja, kejujuran, kedisiplinan, kreativitas, kerjasama, kepemimpinan, kepribadian, prakarsa, kecakapam dan tanggung jawab.

Menurut Husein Umar (1997:266) bahwa aspek-aspek yang menentukan kinerja yaitu : Mutu pekerjaan, Kejujuran Karyawan, Inisiatif, Kehadiran, Sikap, Kerjasama, Keandalan Pengetahuan tentang pekerjaan, tanggung jawab dan pemanfaatan aspek kerja. Adapun aspek-aspek standar pekerjaan terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitataif. Aspek kuantitatif meliputi :

32 1) Proses kerja dan kondisi pekerjaan

2) Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan

3) Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan 4) Jumah dan jenis pemberian pelayanan dalam pekerjaan, Sedangkan aspek kualitatif meliputi :

1) Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan 2) Tingkat kemampuan dalam bekerja

3) Kemampuan menganalisis data/informasi, kemampuan /kegagalan menggunakan mesin/peralatan dan

4) Kemampuan mengevaluasi (keluahan/keberatan konsumen)

2.3.5. Metode Penilaian Kinerja Pegawai

Metoda penilaian prestasi kerja pada umumnya dikelompokkan menjadi 2 macam, yakni metoda penilaian yang berorientasikan waktu yang lalu dan metoda penilaian yang berorientasi pada waktu yang akan datang.

1) Metoda penilaian yang berorientasikan waktu lalu

Penilaian prestasi kerja pada umumnya berorientasi pada masa lalu, artinya penilaian prestasi kerja seorang karyawan itu dinilai berdasarkan hasil yang telah dicapai oleh karyawan selama ini. Metoda yang berorientasi masa lalu ini mempunyai kelebihan dalam hal perlakuan terhadap kerja yang telah terjadi, dan sampai

33 derajat tertentu dapat diukur. Namun demikian metoda ini juga mempunyai kelemahan, yakni prestasi kerja pada waktu yang lalu tidak dapat diubah. Tetapi dengan mengevaluasi prestasi kerja yang lalu para karyawan memperoleh umpan balik terhadap pekerjaan mereka. Selanjutnya umpan balik tersebut dapat dimanfaatkan untuk perbaikan-perbaikan prestasi mereka. Menurut Soekidjo dalam Supartini (2007, 34-35) bahwa teknik - teknik yang digunakan dalam penilaian ini antara lain mencakup :

a) Skala tertentu

Dalam hal ini penilai melakukan penilaian subyektif terhadap prestasi kerja karyawan dengan skala tertentu dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Penilai memberikan tanda pada skala yang sudah ada tersebut dengan cara membandingkan antara hasil pekerjaan karyawan dengan kriteria yang telah ditentukan tersebut berdasarkan justifikasi penilai yang bersangkutan.

b) Checklist

Dalam metoda checklist penilai hanya memilih pernyataan-pernyataan yang sudah tersedia, yang menggambarkan prestasi kerja dan karakteristik-karakteristik karyawan (yang dinilai). Cara ini dapat memberi gambaran prestasi kerja yang akurat, apabila pernyataan-pernyataan dalam instrumen penilaian itu

34 disusun secara cermat, dan diuji terlebih dahulu tentang vadilitas dan reliabilitasnya. Penilaian secara checklist ini juga dapat dikuantifikasikan, apabila pernyataan-pernyataan itu sebelumnya diberi nilai yang mencerminkan bobotnya. Metoda ini mudah digunakan dan mudah mengadministrasikan, dan sangat ekonomis. Sedangkan kelemahan metoda ini tidak memungkinkan adanya relatifitas penilaian. Faktor sikap karyawan yang dinilai tidak tercermin. Misalnya : dua orang karyawan hasil pekerjaannya sama, oleh sebab itu mereka mempunyai nilai yang sama. Padahal proses penyelesaian pekerjaan tersebut berbeda, yang satu mengerjakan dengan kasar (sikap negatif), sedangkan yang satu mengerjakan dengan sikap yang baik.

c) Metoda peristiwa kritis :

Metoda penilaian ini didasarkan kepada catatan – catatan dari pimpinan atau penilai karyawan yang bersangkutan. Pimpinan membuat catatan–catatan tentang pekerjaan atau tugas – tugas dari karyawan yang akan dinilai. Catatan–catatan itu tidak hanya mencakup hal yang negatif tentang pelaksanaan tugas saja, tetapi juga hal-hal positif. Kemudian berdasarkan catatan-catatan peristiwa kritis tersebut penilai atau pimpinan

35 membuat penilaian terhadap karyawan yang bersangkutan.

d) Metoda peninjauan lapangan :

Metode penilaian dilakukan dengan cara para penilai atau pimpinan langsung kelapangan untuk menilai prestasi kerja karyawan. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara :

1) Dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan supervisi. Dalam supervisi, para penilai atau pimpinan dapat melakukan penilaian terhadap kerja para karyawan.

2) Secara sengaja dan terencana para penilai mendatangi tempat kerja para karyawan untuk melakukan penilaian prestasi kerja yang bersangkutan.

e) Tes prestasi kerja

Metoda penilaian ini dilakukan dengan mengadakan tes tertulis kepada karyawan yang akan dinilai. Karena apa yang ditanyakan (tes) dan jawaban ini dalam bentuk tertulis, dan tidak mencerminkan langsung prestasi seseorang, maka metoda ini termasuk tidak langsung.

36 2) Metoda Penilaian Prestasi Kerja Berorientasi waktu yang

akan datang.

Metoda peniaian prestasi kerja yang berorientasi waktu yang akan datang memusatkan prestasi kerja karyawan saat ini serta penetapan-penetapan sasaran – sasaran prestasi kerja di masa yang akan datang. Teknik – teknik yang dapat digunakan antara lain, sebagai berikut :

a) Penilaian diri (self appraisals) Metoda penilaian ini menekankan bahwa penilaian prestasi kerja karyawan dinilai oleh karyawan itu sendiri. Tujuan penilaian ini adalah untuk pengembangkan diri karyawan dalam rangka pengembangan organisasi.

b) Pendekatan “Management by Objective (MBO)”

Metode penilaian ini ditentukan bersama-sama antara penilai atau pimpinan dengan karyawan yang akan dinilai. Mereka bersama-sama menentukan tujuan- tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja di waktu yang akan datang, kemudian dengan menggunakan sasaran-sasaran tersebut penilaian prestasi kerja dilakukan

Dokumen terkait