• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah pengembangan tentang motivasi dapat ditelusuri lewat tulisan para filosof Yunani kuno. Lebih dari 23 abad lalu, mereka menyumbangkan suatu pemikiran hedonisme sebagai suatu upaya untuk menjelaskan mengenai motivasi. Konsep hedonisme ini menyatakan bahwa seseorang itu mempunyai kecenderungan mencari keenakan dan kesenangan namun menghindari kesusahan dan ketidakpuasan.

Beberapa abad kemudian hedonisme masih merupakan asumsi dasar untuk mengatasi masalah-masalah social dan ekonomi. Filosof-filosof terkenal dalam hal ini seperti Adam Smith, Jeremy Bentham, dan John Stuart Mill telah mencoba memaparkan makna motivasi dalam hubungannya dengan upaya orang untuk memaksimalkan kesenangan dan menekan kesulitan.

Para pemikir psikologi pada mulanya terpengaruhi dengan ide hedonisme ini, namun pada tahun 1800-an mereka telah menduga bahwa manusia ini sadar secara rasional untuk mencapai kepuasan yang hedonistic dan menghindari kesulitan. William James mngenalkan dua tambahan yang terkait dengan motivasi, yaitu: insting dan motivasi bawah sadar. Clark Hull dengan mempergunakan perspektif yang ilmiah dari permulaan ahli-ahli perilaku merumuskan teori dorongan (drive) terhadap motivasi.

Bertitik tolak dari penelaahan tentang pengertian motivasi dari beberapa pakar Good dan Brophy (1990) merumuskan sebuah definisi integrative bahwa motivasi adalah proses aktualisasi generator penggerak internal di dalam diri individu untuk menimbulkan aktivitas, menjamin kelangsungannya dan menentukan arah atau haluan aktivitas terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Cofer dan Appley (1964:10) memaparkan bahwa, “From observation such as these, it was easy to generalize that all behavior is motivated and that behavior server as a device of adjustment in the presence of needs.” Sejalan dengan uraian tersebut Gunarsa (1978:92) menjelaskan bahwa, “Motivasi merupakan dorongan atau kehendak yang menyebabkan timbulnya semacam kekuatan agar seseorang itu berbuat atau bertindak dengan perkataan lain bertingkah laku.”

Motivasi adalah energi psikologis yang bersifat abstrak. Wujudnya hanya dapat diamati dalam bentuk manifestasi tingkah laku yang ditampilkannya. Motivasi sebagai proses psikologis adalah refleksi kekuatan interaksi antara kognisi, pengalaman dan kebutuhan. Alderman (1974) memaparkan tidak ada prestasi tanpa motivasi. Jadi, prestasi atau peningkatan kinerja individu merupakan amalgamasi keterampilan dengan motivasi. Harlow (1965:250) menjelaskan bahwa, “Motivation is the fundamental driving thrust that generates behavior.” Jadi motivasi merupakan upaya mengefektifkan dorongan yang menjadi dasar bertingkah laku guna mencapai tujuan.

Sejumlah ahli banyak yang merumuskan mengenai klasifikasi motivasi, pembagian yang paling popular membagi motivasi menjadi dua bentuk, yaitu: motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik.

Motivasi instrinsik terjadi bila motivasi tersebut bersumber dari dalam diri pegawai itu sendiri. Sedangkan motivasi ekstrinsik terjadi bila dorongan bertindak dating dari luar diri pegawai. Manakah diantara kedua motivasi ini yang lebih efektif? Gunarsa (1989) memaparkan bahwa sebenarnya motivasi instrinsik lebih efektif dari pada motivasi ekstrinsik. Namun demikian dalam struktur realitasnya kedua motivasi tersebut tidak dapat berdiri sendiri, melainkan bersama-sama menuntun tingkah laku pegawai. Kedua motivasi ini memiliki hubungan salah menambah, menguatkan dan melengkapi satu sama lain.

Dengan demikian perilaku pegawai dalam lingkungan lembaga pendidikan dipengaruhi oleh motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Ciri-ciri pegawai yang mengintenaliasasi motivasi instrinsik antara lain: (1) Berorientasi pada kepuasan dalam dirinya; (2) Biasanya tekun, rajin, bekerja keras, teratur, dan disiplin dalam bekerja; (3) Tidak suka bergantung pada orang lain: (4) Memiliki karakteristik kepribadian yang positif, matang, jujur; dan (5) Aktivitas lebih permanent.

Adapun ciri-ciri pegawai yang memiliki motivasi ekstrinsik adalah sebagai berikut: (1) Kurang jujur dan suka berbuat curang; (2) Sering tidak menghargai orang lain; (3) Cenderung melakukan pelanggaran dan kurang taat asas; dan (4) Cenderung berbuat hal-hal yang merugikan.

Konsep motivasi prestasi merupakan salah satu dari teori kebutuhan yang diusulkan oleh Mc. Clelland. Teori motivasi Mc. Clelland memfokuskan pada tiga motivasi, yaitu: a) motivasi prestasi, b) motivasi afiliasi, dan c) motivasi kekuasaan. sebagaimana yang Mc. Clelland (dalam Davis dan Newstorm, 1996:88) memberikan batasan motivasi prestasi (achievement motivation) sebagai berikut: Dorongan dalam diri untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan. Orang yang memiliki dorongan ini berkembang dan tumbuh, serta ingin menelusuri tangga keberhasilan. Penyelesaian sesuatu merupakan hal yang penting demi penyelesaian itu sendiri, tidak untuk imbalan yang mengatasinya.

Kebutuhan untuk berprestasi sebagaimana telah dikemukakan tersebut adalah suatu motif yang berbeda dan dapat dibeda-bedakan dari kebutuhan-kebutuhan lainnya. Thoha (1998:246) memaparkan bahwa,”Seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika itu mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestai karya orang lain.” Motivasi prestasi tersebut terkait erat dengan teori motivasi dari Herzberg. Menurut teori ini motivasi yang ideal yang dapat merangsang usaha adalah peluang untuk melaksanakan tugas yang lebih membutuhkan keahlian dan peluang untuk mengembangkan kemampuan.

Pendapat Herzberg yang dikutip Hasibuan (1996:108) menyatakan tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi, yaitu: a) hal-hal yang mendorong seseorang untuk berprestasi, b) hal-hal yang mengecewakan, dan c) seseorang kecewa jika peluang untuk berprestasi terbatas.

F. Produktivitas

Produktivitas kerja adalah perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh dengan jumlah sumber kerja yang dipergunakan. Sebaliknya produktivitas dikatakan rendah, jika hasil yang diperoleh lebih kecil dari sumber kerja yang dipergunakan. Dengan demikian produktivitas kerja dapat digambarkan melalui tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan. Sinungan (1997:1) menyatakan bahwa produktivitas adalah mencakup sikap mental patriotic

yang memandang hari depan secara optimis dengan kehidupan hari ini adalah lebih baik dari hari kemudian dan hari esok lebih baik dari hari ini.

Selain itu, produktivitas memiliki dimensi-dimensi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sehingga dalam proses pengukuran produktivitas kerja sebaiknya semua dimensi yang ada itu diukur dan diperlakukan sama. Tentu saja dimensi produktivitas kerja dari suatu pekerjaan akan berbeda dengan dimensi pekerjaan lainnya. Terry (1998:43) menyatakan bahwa produktivitas kerja memiliki 5 dimensi, yaitu: (1) kualitas kerja, (2) tepat waktu, (3) inisiatif, (4) kemampuan, dan (5) komunikasi.

BAB III

Dokumen terkait