• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. Hasil dan pembahasan

2. Pembahasan

2.1. Motivasi WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear

Berdasarkan hasil penelitian diatas, tabel 5.2 menunjukkan bahwa motivasi WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear masih tergolong rendah yaitu 21 responden (70%), dan sisanya 9 responden (30%) tergolong dalam motivasi sedang. Rendahnya pengetahuan WUS tentang kanker serviks dan pemeriksaan pap smear sebagai upaya pencegahan kanker serviks merupakan salah satu faktor yang menghambat motivasi WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear.

Seluruh responden belum pernah mendapatkan informasi tentang kanker serviks dan pemeriksaan pap smear sebagai upaya pencegahan kanker serviks baik dari tenaga medis maupun media cetak dan elektronik. Tidak adanya informasi tersebut mengakibatkan WUS tidak mengetahui tentang pemeriksaan pap smear

sehingga tidak termotivasi untuk melakukan pemeriksaan. Nurhasanah (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan perilaku WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear. Fransiska (2012) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa mayoritas WUS di wilayah kerja puskesmas Kedai Durian tidak melakukan pemeriksaan pap smear adalah karena mereka tidak mengetahui pentingnya pemeriksaan pap smear sebagai upaya untuk mencegah kanker serviks. Fransisca (2012) juga mengatakan bahwa sumber informasi yang kurang juga merupakan faktor penyebab WUS tidak melakukan pemeriksaan pap smear. Oleh karena itu dibutuhkan peran serta tenaga kesehatan untuk melakukan pendidikan kesehatan tentang kanker serviks dan pemeriksaan pap smear agar WUS memiliki pengetahuan yang baik serta motivasi yang tinggi untuk melakukan pemeriksaan pap smear. Bertentangan dengan hasil penelitian yang diperoleh Ni Ketut Martini (2013) yang mengatakan bahwa pengetahuan tidak berhubungan dengan tindakan WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear.

Pengetahuan yang baik pada responden juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pasien, pendapatan keluarga, status sosiodemografi dan kultural. Pasien dengan pendidikan yang tinggi memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang proses penyakit dan penanganannya (Sui et al., 2008 dalam Ghisi, 2014). Pada penelitian ini, mayoritas responden berpendidikan SMA. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan cenderung untuk mendapatkan informasi dari orang lain maupun dari media massa (Budiman & Riyanto, 2013). Menurut Notoadmodjo (2003) pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pilihan hidup terutama motivasi. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru

diperkenalkan. Syafa’ah (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dan motivasi WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear. Bertentangan juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ni Ketut Martini (2013) yang mengatakan bahwa pendidikan tidak berhubungan dengan tindakan WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear.

Faktor pengetahuan dan status pendidikan juga menjadi faktor penghambat WUS tidak melakukan pemeriksaan pap smear di negara-negara berkembang di Amerika Latin dan Caribbean. Begitu juga dengan masalah sosial ekonomi juga menjadi salah satu penghambat WUS tidak melakukan pemeriksaan pap smear di negara tersebut (Bessler dkk, 2007). Sosial ekonomi dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan pemeriksaan pap smear. Pada penelitian ini, mayoritas responden masih berpenghasilan dibawah Upah Minimum Regional Kota Medan yaitu kurang dari Rp1.625.000,00. Nurhasanah (2008) menyatakan dalam penelitiannya bahwa ada hubungan yang signifikan antara sosial ekonomi dan perilaku WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fransisca (2012) yang juga menyatakan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penghambat WUS tidak melakukan pemeriksaan pap smear.

2.2. Motivasi WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear setelah diberikan pendidikan kesehatan (post-test)

Berdasarkan hasil penelitian diatas, tabel 5.2 menunjukkan bahwa motivasi WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear setelah diberikan pendidikan kesehatan tergolong tinggi yaitu 26 responden (86,7%), dan sisanya 4 responden (13,3%) tergolong dalam motivasi sedang. Adapun perbedaan mean motivasi sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan yaitu sebesar 10,34 yang berarti bahwa

adanya peningkatan motivasi WUS setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang kanker serviks.

Pada penelitian ini mayoritas responden berusia antara 21-34 tahun. Usia juga mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambahnya usia, daya tangkap dan pola pikir akan makin berkembang karena banyaknya informasi yang ditemui sehingga akan meningkatkan pengetahuan seseorang (Budiman & Riyanto, 2013). Mayoritas responden pada penelitian ini berpendidikan SMA. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan cenderung untuk mendapatkan informasi dari orang lain maupun dari media massa (Budiman & Riyanto, 2013).

Pendidikan kesehatan yang diberikan dapat meningkatkan motivasi WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear. Ini berarti bahwa responden telah mengetahui tentang kanker serviks dan pemeriksaan pap smear dengan baik sehingga motivasi mereka untuk melakukan pemeriksaan pap smear meningkat. Notoadmodjo (2010) menjelaskan bahwa informasi yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberi pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Faktor ini berperan penting dalam membentuk persepsi dan menginterpretasikan sesuatu sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan (Ghisi, et al., 2013). Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

Sebelum tahun 1930, kanker serviks merupakan penyebab utama kematian wanita di Indonesia. Setelah pemeriksaan pap smear diperkenalkan di Indonesia, angka kejadian kanker serviks menurun drastis. Namun, sampai saat ini pemeriksaan

pap smear masih belum banyak di sosialisasikan kepada masyarakat sehingga angka kejadian kanker serviks masih tetap tinggi (Rasjidi dan Sulistiyanto, 2007). Pendidikan kesehatan sebagai suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan diharapkan dapat menambah pengetahuan dan mengubah perilaku individu, kelompok atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Selain itu pendidikan kesehatan juga penting dilakukan untuk menggali motivasi seseorang agar dapat menerima proses perubahan perilaku melalui tindakan persuasif secara langsung terhadap sistem nilai, kepercayaan dan perilaku (Whitehead, 2004).

Motivasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama. Pertama, mendorong manusia untuk berbuat, sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. Kedua, menentukan arah perbuatan yakni ke arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan yang sudah direncanakan sebelumnya. Ketiga, menyeleksi perbuatan yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut (Notoadmodjo, 2007).

Pada penelitian ini fungsi motivasi yang diharapkan adalah adanya gerak hati dan kesadaran WUS untuk melakukan pemeriksaan pap smear sebagai upaya mencegah penyakit kanker serviks. Dengan adanya motivasi tersebut diharapkan WUS akan melakukan pemeriksaan pap smear secara rutin serta menghindari faktor-faktor penyebab dan pemicu terjadinya penyakit kanker serviks. Oleh karena itu perlu dilakukan itu pendidikan kesehatan untuk menggali motivasi WUS dalam melakukan pemerikaan pap smear.

Pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang lebih baik tentang kesehatan. Penerapan program pendidikan kesehatan yang dilakukan secara rutin oleh tenaga kesehatan di Jamaica dapat mempengaruhi keputusan wanita secara positif untuk melakukan deteksi dini kanker serviks (Bessler dkk, 2007). Oleh karena itu peran tenaga kesehatan sangat penting untuk memberikan informasi kepada masyarakat khususnya WUS agar mereka memiliki pengetahuan yang baik tentang kanker serviks dan pemeriksaan pap smear.

Pengetahuan erat hubungannya dengan motivasi. Widyasari (2012) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara pengetahuan dan motivasi WUS dalam melakukanpemeriksaan pap smear mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan motivasi WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nurhasanah (2008) juga menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan perilaku WUS dalam melakukan pemeriksaan pap smear. Demirtas (2013) juga mengatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan tentang kanker serviks maka semakin tinggi motivasi untuk melakukan pemeriksaan pap smear.

2.3. Pengaruh pendidikan kesehatan tentang kanker serviks terhadap motivasi

Dokumen terkait