• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muh Tobroni atau Mbah wo tobron

Dalam dokumen BAB V ANALISIS DATA PENELITIAN (Halaman 28-35)

Secara kesejarahan yang dapat diungkapkan untuk menjelaskan upaya warok merubah diri dan menyempurnakan hidup itu dapat dilihat dari jejak-jejak budaya yang telah tertulis dalam legenda, bukti sejarah bahkan dalam literatur yang telah dibukukan dari hasil penelitian para peminat studi budaya tradisi. Banyak literatur yang menyebutkan warok penuh dengan stigma negatif seperti suka minum-minuman keras, berjudi, suka wanita, foya-foya hingga stigma pelaku homseksualitas. Stigma ini begitu lekatnya dalam diri warok, hampir tidak bisa dibantah jika stigma ini dalam dalam kehidupan warok Ponorogo terutama pada era masa lalu.

Identitas Ponorogo yang ditampilkan oleh sosok warok itu bisa erat melekat karena bernilai positif. Ia merupakan sosok yang baik, produktif, dan protektif. Saat ini memang sudah terjadi pergeseran peran dan fungsi warok, misalnya dalam hubungannya dengan gemblakan. Namun, terdapat beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.

Warok merupakan salah satu symbol ketika kita berbicara mengenai Reyog dan Ponorogo. Warok dianggap dapat mewakili keseluruhan nilai – nilai asli masyarakat Ponorogo. Pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo menggunakan warok dalam perkembangannya sebagai bagian dari identitas daerah. Pada akhirnya warok mengalami perubahan peran di masyarakat.

1) Warok sebagai pemimpin di masyarakat Ponorogo

Berdasarkan dari informasi dari para informan, sosok warok digambarkan sebagai tokoh di dalam masyarakat yang memiliki kedudukan tertinggi.

“la nek takok aku mbak, sapa iku warok. Warok iku yo wong Ponorogo seng kang adi luhung. Warok iku wong seng iso diajeni.” (wawancara Wisnu HP tanggal 10 Juni 2015)

“warok itu ya sosok dari masyarakat yang muncul sendiri. Dalam strata masyarakat dulu warok sangat sentralistik. Karena dia jadi panutan.” (wawancara dengan Budi S tanggal 15 Mei 2015)

Sosok warok merupakan jabatan yang disandang oleh seseorang yang tidak melewati pemilihan secara formal. Tokoh warok hadir dalam masyarkat karena perilaku dan tingkatan sosial yang ada di masyarakat. Seseorang yang telah mencapai tingkatan warok dianggap telah menjadi panutan bagi masyarakat sekitar. Stigma ini kemudian mulai berubah. Perlahan namun pasti, warok yang identik dengan hal-hal negatif mulai luntur meski masih ada saja yang tersisa. Artinya masih ada juga warok yang kurang baik. Di era 1970-an ke atas, warok syarat dengan pelaku negatif lalu berubah menjadi aparatur daerah yang disegani dan dihormati. Bahkan para warok membentuk organisasi warok yang

bernilaikan religiusitas. Para warok membentuk organisasi INTI (Insan Taqwa Illahi). Sebuah organisasi yang terdiri dari para warok yang melakukan kajian keagamaan Islam. Dan ternyata tujuan organisasi ini berhasil.

Warok dari orang yang suka minum menjadi para haji yang memiliki masjid dan jamaah. Sebuah penyempurnaan hidup yang luar biasa. Para warok, karena posisi so-sialnya yang strategis berada di tengah-tengah antara masyarakat dan penguasa seringkali hanya berperan dan dijadikan instrumen pengerah massa oleh para elit yang berkuasa. Namun dalam perkembangan terakhir, terjadi perkembangan peran dan fungsi yang signifikan. Para warok telah menjalankan peran dan fungsi yang penting, dari sekedar tersubordinasi dari elit penguasa menjadi mempunyai kemampuan yang besar dalam posisi tawar-menawar dengan elit penguasa.

Dalam hal ini warok mengalami metamorfosa dari dukun ke jabatan politik. Dukun merupakan peran sosial budaya, sedangkan jabatan politik diawali dengan banyak warok menjadi lurah atau kepala desa pada masa orde baru. Menurut Tobron Turejo, melihat potensi ini, pada tahun 1976 para warok oleh Bupati Ponorogo pada waktu itu, yaitu Bupati H. Sumadi diangkat menjadi kepala desa/lurah dilingkungannya. Pengalaman dieksekutif dan ditopan oleh kemampuan menggerak massa ini, pasca reformasi politik, partai politik politik mulai tertarik melirik warok menjadi alat politik/ mesin politik baik sebagai vote getter maupun dipasang sebagai calon legislatif.

“warok merupakan sebutan sosok masyarakat Ponorogo yang memang dirinya ini mempunyai kelebihan – kelebihan dan dia pemimpin yang baik dari kelompok – kelompok kecil atau besar”. (wawancara dengan Sodiq tanggal 4 Juni 2015)

“dan pemimpin orang – orang Ponorogo yang muncul karena reyog itu disebut warok” (wawancara dengan Mbah Wo Tobroni tanggal 8 Maret 2015 )

Tokoh warok dianggap sebagai manusia berkualitas menurut pemikiran masyarakat Ponorogo. Di setiap barisan kesenian reyog apabila sedang berjalan, maka tokoh warok menempati posisi depan seperti komandan barisan perang dan terlihat menyeramkan.

Sehingga, tokoh warok harus memiliki kesaktian, ketangguhan, dan berwibawa. Tokoh warok merupakan tokoh utama dan sentral dalam kesenian reog dan masyarakat Ponorogo.

Kekuatan karakter dan charisma ketokohannya, sering menyebabkannya memiliki pengaruh kuat bagi pendukungan terhadap penguasa politik, baik pada tingkat desa hingga kabupaten. Komunitas kedua dalam tradisi warok adalah warokan. Warokan adalah sebuah komunitas di dalam tradisi warok yang sebenarnya hampir sama dengan warok itu sendiri. Sesuatu yang membedakan adalah warokan itu menempati urutan kedua setelah warok dalam hal fisik maupun psikisnya; dari segi usia warokan lebih muda (rata-rata 20-35 tahun); dari segi kanoragan, warokan memiliki kekebalan jauh dibawah warok; demikian halnya dari aspek kepribadian warokan cenderung masih labil dibanding warok; misalnya mereka masih sangat temperamental – mudah tersinggung, mudah marah, dan sering lepas kontrol.

Kungkungan poltik dalam setiap sejarah perubahan suatu daerah adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindari. Hal ini juga terjadi dalam sejarah pembentukan Kabupaten Ponorogo. Warok dianggap mempunyai andil dalam setiap periode kepemimpinan di wilayah Ponorogo. Berbicara mengenai Ponorogo, maka akan terikat secara langsung dengan Reyog dan peran Warok.

2) Hubungan warok dan gemblak dulu dan sekarang

Warok berasal dari kata wara’ah yang bermakna seorang zahid atau sufi yaitu seorang yang mempraktikkan mistisisme ataupun tasawuf. Makna warok yang saling kontras: Warok sebagai pemimpin yang kuat tercerahkan secara spiritual dan seniman yang terilhami. Dan di sisi yang lain Warok sebagai pemangsa kejam, penyeleweng seksual, dan penjahat yang ditakuti.“Sastro jendro hayuning pangruwat diyu” penempuhan laku spiritual para warok, tidak boleh bertemu wanita selama kurun waktu tertentu. Penghindaran seksualitas warok, selalu diidentikkan dengan sosok gemblak.

Ciri khas gemblak: anak laki-laki yang lembut, memiliki penampilan kewanita-wanitaan (androgynous), berusia 8-20 tahun. Fungsi gemblak: Simbol kelompok, Simbol kekuatan dan kekuasaan warok dan melaksanakan tugas domestik seorang warok yang tidak banyak menggunakan tenaga, seperti: melayani makan dan menemani warok kemanapun pergi. Hal inilah oleh sebagian kalangan dipersepsikan dengan homoseksual.

Hubungan antara warok dan gemblak pada jaman dahulu terkonotasikan negative. Hal ini dikarenakan posisi gemblak yang seringkali melebihi peran istri warok. seorang gemblak bertugas untuk melayani segala keperluan dari warok. Pandangan masyarakat, bahwa hubungan warok dan gemblak layaknya homoseksual tidak sepenuhnya disetujui oleh Budi Satrio. Sekretaris Yayasan Reyog Ponorogo Budi Satrio mengatakan;

“Nah mungkin ada juga satu dua warok yang homo. Nah itu kan beda. Tapi gemblakan secara umum tidak seperti itu. Kan tidak bisa kita menyamaratakan apabila ada satu worog yang homo dan melakukan hubungan seks dengan gemblaknya, maka semua warok adalah homoseksual. Gemblakan itu adalah abdi dalem. Karena warok itu butuh meditasi butuh bersemedi, nggak boleh bersentuhan dengan perempuan karena nanti syahwatnya akan muncul. Makanya dia menghilangkan sejenak kegatan-kegiatan apa keduniaan, dia berfokus pada kegiatan olah rasa, olah fikir. Nah untuk memenuhi kebutuhan itu, dia ada yang melayani itu. Lha itu yang disebut dengan gemblak.” (wawancara 15 Mei 2015)

Budi juga menambahkan:

“dulu itu memang strata masyarakat itu pernah warok menjadi sentralistik dan diukur dari banyaknya gemlak yang dimiliki.” (wawancara 15 Mei 2015)

Berdasarkan wawancara dengan Wisnu didapati bahwa:

“gemblak iku yo anak asuh iku mbak. Lha wong gemblak iku yo dirawat, disekolahne dibandani. Dadi yo dudu homoseksual.” (wawancara tanggal 10 Juni 2015)

Warok sebagai tokoh masyarkat sekarang ini sudah jarang sekali ditemui mememiliki gemblak. Jumlah gemblak yang dimiliki oleh seorang warok sekarang ini tidak lagi menjadi ukuran. Fenomena hubungan antara warok dan gemblak mulai luntur secara perlahan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi maupun informasi. Sesepuh warok

yang dulu pada masa memiliki warok pun telah menghilangkan sosok gemblak. Hal ini seperti yang di sampaikan oleh mbah wo tobroni berikut:

“gemblak saya dulu itu ada 4 mbak. Saiki y owes podo mentas kabeh. Saiki seng ngopeni aku yo bojo – bojo ku. Kabeh duwe peran bedo – bedo”. (wawancara tanggal 8 Maret 2015 )

3) Warok sebagai salah satu bagian dari pertunjukan reyog

Tokoh warok yang dahulu berada diluar dari seni pertunjukan Reyog, sekarang ini juga bergabung menjadi bagian didalamnya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Budi S, Sekertaris Yayasan Reyog Ponorogo sebagai berikut;

“Nah, dalam proses transformasi bentuknya pada tahun 1987 itu almarhum Bapak Heru Subeno memasukkan unsur warok dalam kesenian Reyog yang disebut Tari Warok Kolor Sakti. Jadi itu sebenarnya tidak ada dalam cerita kesenian Reyog. Warok kan sebenarnya tidak ada, karena untuk seni pertunjukan oleh Pak Heru tadi dilihat” (Wawancara tanggal 15 Mei 2015)

Warok adalah pasukan Prabu Kelono Sewandono yang digambarkan sebagai orang yang sakti mandraguna dan kebal terhadap senjata tajam. Penari warok adalah pria dan umumnya berbadan besar. Warok dibagi menjadi dua, yaitu warok tua dan warok muda. Perbedaan mereka terletak pada kostum yang dikenakan, dimana warok tua mengenakan kemeja putih dengan laku yang penuh wibawa karena dianggap telah kebak ilmu.

Tokoh warok muda digambarkan dengan tidak mengenakan apa-apa selain penadhon dan tidak membawa tongkat. Senjata pamungkas para warok adalah tali kolor warna putih yang tebal. mengenakan baju hitam-hitam (celana gombrong hitam dan baju hitam yang tidak dikancingkan) yang disebut penadhon. Tari yang mereka mainkan adalah bentuk dari pelatihan dan transformasi dari warok muda menjadi warok muda. Mereka dididik sebagai penjaga dari Prabu Klana Sewandono. Tari yang mereka mainkan disebut sebagai Tari Kolor Sakti.

Sodiq juga sependapat bahwa tokoh warok yang ada di pertunjukan reyog adalah sebagai tokoh seni. Hal ini seperti yang disampaikan pada waktu wawancara berikut:

“warok yang dipertunjukan itu hanya sebagai tokoh seni”. (wawancara dengan Sodiq tanggal 4 Juni 2015)

Gambar V.11

Pemain Warok Muda

Sumber: Dokumentasi Disbudparpora Kabupaten Ponorogo

4) Warok Kehormatan

Warok sebagai unsur yang terus melekat dalam diri warok, juga mendapatkan sorotan dari pemerintah. Kehadiran warok yang ada di tengah masyarakat memang tidak bisa muncul secara instan. Masyarakat Ponorogo percaya bahwa dalam setiap massa akan ada sosok warok yang dapat menjadi sosok teladan. Akan tetapi, pada era Bupati Markum sosok warok disematkan kepada orang diluar Ponorogo yang juga peduli akan kesenian Reyog. Warok kehormatan merupakan gelar yang diberikan oleh Bupati Markum saat itu.

Pemilihan warok kehormatan tersebut sampai saat ini masih terus dilestarikan hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Budi S berikut:

“iya kita masih memberi gelar pada tokoh – tokoh yang ada. Yang kita beri gelar itu kan emang diciptakan”” (Wawancara tanggal 15 Mei 2015)

Dalam dokumen BAB V ANALISIS DATA PENELITIAN (Halaman 28-35)

Dokumen terkait