• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V ANALISIS DATA PENELITIAN"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

91

Manusia merupakan makhluk individu sekaligus sosial budaya. Setiap manusia hidup dalam suatu lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga kita tidak bisa secara egois memaksakan kehendak agar setiap orang mengikuti kebudayaan kita. Hal ini dikarenakan setiap lingkungan sosial budaya senantiasa memberlakukan adanya nilai-nilai sosial budaya yang diacu setiap warga masyarakat penghuninya. Dengan demikian pola perilaku dan cara berkomunikasi akan diwarnai oleh keadaan, nilai, kebiasaan yang berlaku di lingkungann-ya. Melalui suatu proses belajar secara berkesinambungan setiap manusia akan menganut suatu nilai yang diperoleh dari lingkungannya. Nilai itu diadopsi dan kemudian diimplementasikan dalam suatu bentuk “kebiasan”, yaitu pola perilaku hidup sehari-hari. Dengan demikian pola perilaku seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain akan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari lingkungan sosial budaya.

Masyarakat, kebudayaan dan komunikasi merupakan jalinan yang tidak bisa dipi-sahkan. Hal ini dikarenakan unsur pembentuk anggota dalam suatu masyarakat adalah proses transmisi pesan dan komunikasi antar anggota. Kebudayaan itu sendiri merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi. sedangkan media sebagai pembawa pesan, sebenarnya berfungsi sebagai perluasan dan sekaligus menggantikan fungsi pengindraan manusia dalam proses komunikasi.

Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku dan peranan. Pada penelitian ini, maka unsur transformasi warisan sosial adalah bagaimana setiap elemen dalam hal ini dari unsur pemerintah maupun masyarakat bekerjasama dalam melestarikan warisan budaya lokal yaitu Reyog dan Warok kepada generasi muda.

Reyog merupakan pertunjukan seni yang mengandalkan unsur tari dan music se-bagai saluran/ media komunikator menyampaikan isi pesannya kepada khalayak. Kesenian reyog ini berkembang baik dari segi historis, filsofis, dan seni pertunjukannya itu sendiri.

(2)

Perjalanan pertunjukan dari Reyog Ponorogo dari awal kemunculannya hingga sekarang ini juga mengalami proses transisi.

Reyog merupakan bentuk dari daya cipta kreasi manusia dalam bentuk seni pertun-jukan rakyat. Beragam cerita mengenai asal usul dari reyog, membuktikan bahwa kebu-dayaan ini memiliki keunikan tersendiri. Keberadaan warok sebagai bagian dari cerita reyog turut mewarnai kebudayaan di Ponorogo. Ponorogo, reyog, dan warok telah menjadi trinitas suci yang saling berkaitan erat.

Kecepatan masuknya budaya luar turut mempengaruhi dari pola kehidupan masya-rakat. Perlindungan atas identitas daerah diperlukan agar dapat mempertahankan eksten-sinya. Kerjasama yang apik antara pemerintah dan masyarakat sebagai penjaga kebudayaan diperlukan, hal ini dikarenakan sifat dari kebudayaan yang fleksibel terhadap berbagai aliran yang berada disekitarnya.

Berdasarkan dari hasil wawancara dan studi dokumentasi yang peneliti lakukan, terdapat dominasi penguasa yang kuat dalam setiap perkembangan seni reyog. Kesenian reyog mengalami dinamika baik dari segi cerita asal usul, konsep tarian bahkan makna dari kesenian tersebut. Sosok Warok sebagai bagian dari reyog juga mengalami rein-terpretasi dan redefinisi di dalam masyarakat. Dominasi Negara lewat beberapa kebi-jakan menjadikan reyog dan warok sebagai “power less”. Dominasi (hegemoni) tersebut nyatanya dipatuhi oleh kelompok – kelompok kesenian reyog.

Reyog bukan lagi hanya sebagai bentuk dari seni ekspresi, akan tetapi telah menjadi bentuk komoditi. Hasil akhir dari proses tersebut adalah penguatan identitas daerah. Hal ini terlihat dalam pengelolaan kesenian reyog dan warok sebagai media komunikasi identitas daerah. Hal paling nyata yang ada adalah dengan terselenggaranya beberapa event berskala nasional dengan menggunakan kemegahan kesenian reyog.

Keseluruhan proses yang merupakan hasil dari penelitian dengan judul “Reyog dan Warok sebagai media komunikasi identitas Ponorogo” dirangkum dalam bagan berikut ini:

(3)

BAGAN V.1 HASIL PENELITIAN Hegemoni Reyog Mengalami Reduksi Pesan

Reyog Dan Warok Sebagai Power Less Dominasi Negara Warok Mengalami Perubahan Peran Kebijakan Pemerintah Daerah KOMUNIKATOR Pemerintah Kabupaten Ponorogo PESAN

Identitas Ponorogo sebagai Bumi Reyog

Komodifikasi

Atribut Pakaian Khas Warok Reyog Obyokan

dan Reyog Pentas

MEDIA KOMUNIKASI

REYOG DAN WAROK

IDENTITAS PONOROGO BERBASIS REYOG DAN

(4)

A. HEGEMONI NEGARA ATAS REYOG DAN WAROK PONOROGO

Sejak zaman kerajaan hingga modern, masyarakat Indonesia telah terjebak dalam kungkungan system politik patriarchal yang otoriter – hegemonic, bahkan lebih represif dan totaliter. Pada kondisi tersebut, maka akan menimbulkan tantangan yang sangat besar pada proses implementasi undang – undang otonomi daerah. Secara politis, pergeseran penye-lenggaran pemerintah dari sentralisasi ke desentralisasi tersebut akan dapat meningkatkan kemampuan dan tanggungjawab politik daerah, membangun proses demokratisasi. Secara administrasi, membangun kemampuan pemerintah daerah pada proses perencanaan dan pengambilan keputusan strategis. Hal ini juga ditunjang dengan akuntabilitas dan trans-paransi pertanggungjawaban publik.

Hegemoni dibangun di atas pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam control sosial dan politik sehingga orang yang dikuasai mau mematuhi penguasa dengan menginternalisasi nilai-nilai serta normanya. Bahkan mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka yang boleh jadi mereka sadari ataupun tidak disadari yang Gramsci maksud sebagai “hegemoni” atau menguasai dengan “kepe-mimpinan moral dan intelektual” secara konsensual (Smith,2001: 210). Norma yang dianut oleh penguasa diinternalisasi sehingga orang atau kelompok yang dikuasai mematuhinya. Dalam penelitian ini, reyog dan warok merupakan bagian dari proses hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo. bentuk hegemoni yang paling nyata terlihat adalah menginternalisasi kebijakan – kebijakannya. Kebijakan – kebijkan tersebut mengatur dan membatasi ruang gerak kesenian reyog dan pelaku kebudayaan reyog itu sendiri. Warok sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari reyog, pada akhirnya turut terseret dalam lingkaran hegemoni tersebut. Dalam hal ini reyog dan warok merupakan “power less”, kelompok yang dikuasai dalam proses hegemoni.

(5)

1. Dominasi Negara melalui Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo a. SK Bupati Nomor 425/1995 tentang penetapan REOG sebagai Identitas

Supra Lokal

Penggunaan kata Reyog sebagai identitas cultural berawal pada masa kepemimpinan Bupati Markum Singadimeja, Hal ini seperti yang disampaikan oleh Ika Niscahyani yang merupakan Kasubag Penyusunan dan Pelaporan BAPPEDA;

“awalnya dulu itu REOG sebagai semboyan Ponorogo, pada masa orde baru” (wawancara tanggal 19 Juni 2015).

Keseriusan pemerintah dalam melakukan pengelolaan kesenian reyog menjadi sem-boyan daerah lewat SK Bupati nomor 425/1995 tentang penetapan REOG sebagai inden-titas supra lokal. Meskipun dalam perjalanannya sampai sekarang penggunaan kata REOG yang sejatinya adalah sebuah singkatan, berbenturan dengan kata aslinya yaitu REYOG. REOG dimaknai sebagai Resik, Endah, Omber, Girang-Gumirang (bersih, indah, lapang, dan menyenangkan). Istilah REOG ini merupakan symbol kebersihan yang dicanangkan pada era orde baru.

Semboyan daerah sendri merupakan bentuk gambaran dari pernyatan visi misi yang dicanangkan oleh Bupati yang berkuasa pada setiap eranya. Penggunaan kata reyog dalam semboyan daerah yang dimulai pada era Bupati Markum tersebut secara tidak langsung sudah merubah penegertian dari kata Reyog.

b. RPJMD Kabupaten Ponorogo Tahun 2010- 2015

Reyog merupakan salah satu potensi budaya yang berupa seni rakyat yang dimiliki oleh Kabupaten Ponorogo. Ponorogo sendiri sebenarnya memiliki seni rakyat selain reyog, antara lain gajah gajahan, wayang kulit dan masih banyak lagi. Seiring dengan perja-lanannya, Reyog Ponorogo menjadi pilihan yang ditonjolkan oleh pemerintah daerah. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Budi S selaku sekertaris Yayasan Reyog Ponorogo sebagai berikut;

(6)

“memang banyak ya mbak sebenarnya kesenian yang ada di Ponorogo ini. Kayak gajah – gajahan, ada juga wayang, banyak.. ya terus kenapa reyog yang dipilh, yak karena yang banyak dikenal itu. Kan ya gak mungkin semuanya ditonjolkan.” (wawancara tanggal 4 Juni 2015).

Berdasarkan rencana kerja dari Kabupaten Ponorogo juga dapat kita lihat bahwa pemerintah menempatkan wisata budaya sebagai salah satu sector penggerak pariwisata. Potensi alam yang ada di sekitar Ponorogo memang masih banyak yang belum terekspos dan dikelola secara serius. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Ika Niscahyani yang merupakan Kasubag Penyusunan dan Pelaporan BAPPEDA;

“Banyak ya mbak sebenarnya potensi alam yang dimiliki Ponorogo seperti ngebel terus air terjun pletuk dan masih banyak lagi. Cuman memang sekarang ini semua masih dalam proses pengembangan oleh dinas terkait. Tapi dalam RPJMD 2010-2015 berdasarkan instruksi dari bapak bupati sudah tertuang.” (wawancara tanggal 19 Juni 2015).

Hal ini juga seperti yang disampaikan oleh Budi S, Sekertaris yayasan Reyog Ponorogo berikut ini;

“sebenarnya untuk pengembangan Reyog sebagai identitas cultural sudah dimasukkan dalam RPJMD.” (wawancara tanggal 4 Juni 2015)

c. Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo

Keberagaman dari berbagai versi tersebut terjadi karena belum ada pembakuan mengenai sejarah asal usul kesenian reyog. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Budi S dari Yayasan Reyog Ponorogo, bahwa:

“banyaknya versi legenda yang berkembang dalam masyarakat itu akhirnya pemerintah kabupaten Ponorogo menerbitkan buku Pedoman dasar seni reyog, biar baku”(wawancara 4 Juni 2015)

Awal dari penyeragaman tersebut berdasarkan dari penuturan dari Mbah Wo Tobroni adalah pada saat ada permintaan untuk mengisi acara HUT KODAM 5 Brawijaya pada Tahun 1992 di Surabaya.

(7)

“Pada tahun 1992 kebetulan kita disuruh mengisi HUT KODAM 5 Brawijaya. Disuruh memberi tontonan yang sifatnya kolosal. 100 unit reyog dengan 1 gamelan. Padahal biasanya 1 gamelan 1 reyog, jadi seleranya sendiri – sendiri. Lha itu suatu tantangan, akhirnya karena bentuknya kolosal, maka orang dipaksa untuk melakukan keseragaman bentuknya, seragamnya, gendingnya, akhirnya diberi waktu 2 bulan. (wawancara 8 Maret 2015).

Keberhasilan dari acara HUT KODAM 5 Brawijaya tersebut berdasarkan penuturan Mbah Wo Tobroni menjadi acuan pemerintah untuk mempertemukan tokoh – tokoh baik dari kalangan praktisi, ilmuwan dari berbagai displin ilmu dan pakar tari, tata busana/rias menyatu padu saling menunjang dan melengkapi. Pertemuan itu oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Ponorogo diselenggarakan pada tanggal 24 Desember 1992.

“karena sukses to, terus kita inisiatif, ayo kumpul dibahasa piye ben iso podo. Yo podo ceritane, podo tariane, podo gending e” (wawancara dengan Mbah Wo Tobroni tanggal 8 Maret 2015).

Hasil dari pertemuan tersebut adalah disepakatinya penyeragaman dari reyog Pono-rogo. Keputusan dalam rapat tersebut diterbitkanlah buku berjudul “Pembakuan Kesenian Reog Ponorogo dalam Rangka Kelestarian Budaya Bangsa” yang kemudian menjadi “Pedoman Dasar Kesenian Reyog dalam Pentas Budaya Bangsa” (terbit pertama kali tahun 1993, kedua tahun 1996 sampai pada edisi keempat pada Tahun 2013).

Dengan pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah lewat buku tersebut, maka diharapkan reyog tidak terlalu menyimpang dari sumber yang ada di Ponororgo. Hal ini terlihat dalam kutipan dalam buku “Pedoman Dasar Kesenian Reyog dalam Pentas Budaya Bangsa” berikut:

“ Dengan disusunnya buku pedoman ini diharapkan dapat memberikan arah yang jelas dan tegas terhadap eksistensi dan perkembangan kesenian Reyog Ponorogo pada masa yang akan datang agar tidak terlalu menyimpang dari sumber yang ada di Ponorogo.” (2013:1).

Buku ini merupakan pedoman yang baku dalam berkesenian Reyog. Asal usul cerita yang dipakai hanya satu versi yaitu Batharangin. Kerajaan Batharangin merupakan daya cipta dan rekayasa yang tepat dari Ki Ageng Mirah. Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini

(8)

berkembang di masyarakat Ponorogo bahkan diyakini bahwa cerita itu adalah benar – benar terjadi (2013:4-5).

Hegemoni yang dilakukan lewat buku tersebut, nyatanya merupakan bentuk dari dominasi Negara yang ditaati oleh kelompok reyog. Kelompok reyog yang ada meng-gunakan buku tersebut sebagai pedoman dalam menampilkan pertunjukan reyog Pono-rogo. Buku merupakan media komunikasi massa yang digunakan pemerintah Ponorogo dalam mensosialisasikan mengenai asal usul dan alur pertunjukan dari reyog Ponororgo.

Dominasi kekuasaan pemerintah dalam mengatur setiap aspek kehidupan masya-rakatnya terus bergulir dan dapat dirasakan sampai saat ini. Terbitnya buku “Pedoman Dasar Kesenian Reyog dalam Pentas Budaya Bangsa” memberikan batasan yang jelas mengenai dasar pertunjukan kesenian reyog Ponorogo. Praktek hegemoni budaya yang telah disebutkan itu dapat dipandang sebagai aplikasi praktek hegemoni dari sebuah pemikiran yang dilontarkan kaum Marxis (sebagaimana juga dianut Gramsci). Pemikiran kaum Marxis menyatakan bahwa kebudayaan yang ada dalam suatu masa merupakan kebudayaan milik kelas yang sedang berkuasa. Dalam hal ini penguasa tertinggi dari suatu daerah adalah pemerintah daerah itu sendiri.

Menurut Gramsci, kekuasaan yang dapat lama bertahan memerlukan suatu sistem kerja baik berupa tindakan kekerasan yang bersifat memaksa maupun bersifat lunak, membujuk. Oleh karena itu, kekuasaan yang terjadi dapat diteruskan dengan diawalinya oleh dominasi dan lama kelamaan digantikan oleh hegemoni (Gramsci, 1971: 65).

Kerangka yang dibangun pemerintah Ponorogo dari segi alur cerita dan tarian serta atribut para pemain jelas terlihat dalam buku “Pedoman Dasar Kesenian Reyog dalam Pentas Budaya Bangsa”. Hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah tersebut nyatanya dalam setiap pertunjukan Reyog terutama pada bentuk Festival ditaati oleh kelompok reyog yang ada. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Gramsci bahwa, dampak hege-moni budaya adalah tidak dilakukannya resistensi atau gerakan perlawanan terhadap kekuasaan.

(9)

Jumlah pemain, bentuk tarian, pakaian yang dikenakan dan atribut para pemain tertuang secara rinci dalam buku pedoman dasar kesenian Reyog Ponorogo. Hal yang menarik dalam buku ini adalah dimana juga tertuang alasan dari pengambilan judul. Uraian dari judul buku “Pedoman Dasar Kesenian Reyog dalam Pentas Budaya Bangsa” adalah Pertama, Pedoman Dasar adalah kerangka landasan, memuat rambu-rambu yang harus ditaati dalam setiap penyajian Kesenian Reyog Ponorogo dari alur cerita sampai pada instrument dan aransemennya. (Alur cerita, seni tari, tata busana/rias, instrument aransement dan peralatan lainnya). Kemudian antara pengertian diatas kami mencoba menyusun Pedoman Dasar dimaksud sebagai rambu-rambu dalam pementasan tanpa menutup kemungkinan timbulnya kreatifitas seniman dalam kiprahnya secara positif responsive dalam menempuh perjalanan hidup dan seni terarah dan lestari.

Kedua, Kesenian Reyog Ponorogo adalah kesenian tradisional yang hidup dan berkembang sejak dahulu hingga sekarang yang konon banyak mengandung nilai-nilai historis dan legendaries. Atau dengan kata lain bahwa: Kesenian Reyog Ponorogo dalam wujud seperti yang kita lihat sekarang ini adalah merupakan bentuk akhir dari suatu perjalanan panjang yang banyak mengandung nilai-nilai filosofis, religius dan edukatif. Ketiga, Pentas Budaya Bangsa yang maksudnya adalah penampilan/atraksi Kesenian Reyog Ponorogo yang mencerminkan nilai-nilai asli daerahnya.

Aspek pertama yang ditekankan pemerintah dalam buku pedoman tersebut, terlihat bahwa reyog telah masuk dalam ranah penguasaan dominan. Ruang gerak ekspresi masih tetap diperbolehkan dalam proses berkesenian, akan tetapi terdapat rambu-rambu yang harus ditaati. Rambu – rambu tersebut wajib ditaati dalam setiap penyajian Kesenian Reyog Ponorogo dari alur cerita sampai pada instrument dan aransemennya.

Aspek kedua mengandung makna dalam proses pembatasan mengenai asal usul dari kesenian reyog. Kesenian Reyog Ponorogo dalam wujud seperti yang kita lihat sekarang ini adalah merupakan bentuk akhir dari suatu perjalanan panjang yang banyak mengandung nilai-nilai filosofis, religius dan edukatif.

(10)

Sedangkan, dalam aspek ketiga mengakhiri bahwa kesenian reyog merupakan cer-minan dari identitas asli daerah Ponorogo. Penampilan/ atraksi yang telah diatur dalam buku pedoman tersebut menjadi cerminan dari keseluruhan nilai – nilai asli yang terdapat di Ponorogo.

d. Asal Usul Kesenian Reyog

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa versi legenda yang berkembang di dalam masyarakat sangat beragam. Masing-masing versi menunjuk pada tokoh berbeda, legenda maupun historis. Keseluruhan dari cerita dan legenda tersebut berbaur sebagai ‘pencipta’ kesenian ini. Waktu dan tempat yang dirujuk pun juga berlainan, walaupun ketiganya mengacu wilayah Ponorogo sebagai daerah asal-muasalnya. Secara garis besar, di Ponorogo berdasarkan yang disampaikan oleh Lono Simatupang paling tidak dikenal 4 (tiga) versi utama kisah asal-usul Reyog Ponorogo: Versi Bantarangin, Versi Ki Ageng Kutu Suryangalam, dan Versi Batara Katong. Sedangkan menurut Laporan Penelitian “Model dan Strategi Pengembangan dan Pelestarian Reyog di Kabupaten Ponorogo” yang dikeluarkan oleh Bappeda Kabupaten Ponorogo yang bekerjasama dengan UNS terdapat 4 versi asal usul cerita Reyog Ponorogo. Versi Bantarangin, Versi Wengker, Versi Surukubeng (Suryongalam) dan Versi Kediri. Versi Bantarangin dan Versi Surukubeng (Suryongalam) memiliki kesamaan dengan yang disampaikan oleh Lono Simatupang.

Versi Bantarangin menyebut empat peran dalam reyog: seorang raja kerajaan Bantarangin bernama Kelana Sewandana, Patihnya yang bernama Bujang Ganong, sekelompok prajurit kavaleri Kerajaan Bantarangin, dan Singa Barong penguasa Hutan Lodaya. Sementara itu, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam hanya mengenal tiga peran: Bujang Ganong, sekelompok pasukan berkuda, dan Singa Barong. Dalam hal jumlah dan identitas peran dalam reyog Ponorogo versi Batara Katong sebenarnya tidak berbeda dari versi Bantarangin. Versi Batara Katong juga mengenal keempat peran di atas. Namun, berbeda dari versi Bantarangin, versi Batara Katong memahami keempat peran dalam Reyog tersebut sebagai rekaan Ki Ageng Mirah – salah seorang pengikut Batara Katong –

(11)

dalam upayanya menyebarkan agama islam di kalangan masyarakat Ponorogo pada abad XV (menjelang runtuhnya Majapahit).

Cerita awal perjalanan awal reyog adalah sebagai bentuk satire (sindiran) dari demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Raja Majapahit Prabu Brawijaya V (Bhree Kertabumi). Raja dianggap tidak bisa menjalankan tugas – tugas kerajaan, karena telah dikendalikan oleh permasurinya. Seni tari yang diciptakan oleh Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam merupakan metode untuk mengingatkan secara halus atasannya. Selain itu, demang Ki Ageng Kutu Suryongalam juga memperkuat dirinya dengan pasukan perang yang terlatih berikut para waroknya dengan berbagai ilmu kanuragan.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh wisnu HP berikut ini:

“versi reyog dari suryongalam kan mengkritisi, dimana kalau versi suryongalam tidak ada klana sewandono, yang ada cuman dhadak merak dan harimau. Harimau simbol dari Brawijaya sendiri dan dhadak merak itu Putri cempo” (wawancara 10 Juni 2015)

Sejarah historis dari kesenian Reyog ponorogo tersebut berubah menjadi suatu le-genda lewat daya cipta dan rekayasa Ki Ageng Mirah pada masa kekuasaan Batoro Katong. Dan legenda tersebut tumbuh dan berkembang di masyarakat Ponorogo bahkan diyakini bahwa cerita itu benar terjadi. Banyaknya versi legenda yang berkembang di masyarakat menjadi kekayaan yang tidak terelakkan, karena belum adanya acuan yang tertulis mengenai cerita asal usul dari Reyog.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Mbah wo Tobroni:

“ya emang banyak versi yang berkembang. Versi batarangin, suryongalam atau ki ageng kutu, bathoro katong. Semua versi yo bener kabeh” (wawancara 8 Maret 2015)

Wisnu Hp selaku seniman Reyog dan sekaligus pemiliki sanggar sabuk janur juga mempunyai pendapat bahwa:

(12)

“ya pasti akan terus berkembang cerita asal usul dari reyog karena pada waktu itu kan belum kayak sekarang ada pembakuan. Kalau dari pembakuan ya batarangin itu”. (wawancara 10 Juni 2015)

Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan tiga buku yang dikeluarkan oleh pe-merintah mengenai asal usul dari reyog Ponorogo. Babad Ponorogo, Pedoman Dasar Kesenian Reyog dalam Pentas Budaya Bangsa dan Model dan Strategi Pengembangan dan Pelestarian Reyog di Kabupaten Ponorogo merupakan buku dan laporan penelitian yang dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi berdasarkan pengamatan dari peneliti, ketiga buku tersebut memuat keberagaman dari asal usul dari reyog.

Dalam buku Babad Ponorogo memuat tulisan dari Purwowijoyo mengenai sejarah dari terbentuknya Ponorogo. Unsur kesenian reyog terlihat dimunculkan pada Bagian I buku tersebut. Dalam buku tersebut cerita reyog mengambil cerita dari zamannya Raja Wengker yang kerajaannya di Batharangin yaitu di saat Klana Sewandono melamar Putri Kediri dari Kerajaan Doho. Buku pedoman reyog merupakan buku yang digunakan sebagai acuan dari segi pertunjukan. Kelompok – kelompok reyog khususnya yang mengikuti event kesenian yang diselenggarakan oleh Pemerintah Ponorogo.

2. Reyog dan Warok sebagai Power Less

Gramci juga menyebutkan bahwa hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Terdapat berbagai cara yang digunakan, misalnya melalui institusi yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.

Reyog dan warok merupakan budaya yang masuk dalam ranah hegemoni Negara. Kemampuan reyog dalam menarik massa dalam jumlah besar menjadi daya tarik tersendiri bagi penguasa dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak. Peran warok yang cukup

(13)

dominan di dalam masyarakat dalam setiap periodenya merupakan bumbu penyedap yang pas bagi penguasa. Reyog dan warok menjadi bagian dari aspek yang dikuasai (powerless) dalam proses hegemoni.

a. Reyog mengalami reduksi pesan

Bentuk kelekatan yang terjadi antara unsur – unsur budaya dengan pembentukan suatu wilayah seringkali menarik banyak ahli untuk melakukan penelitian. Berdasarkan penelusuran dokumen yang peneliti lakukan, pada tahun 1976 Margaret J. Kartomi melakukan penelitian secara lengkap mengenai pertunjukan reyog, hasil penelitian tersebut memuat prosesi yang terjadi di dalam reyog Ponorogo. Kartomi lewat penelitianya yang berjudul “Performance, Music And Meaning Of Reyog Ponorogo” mengemas secara apik tulisannya mengenai gambaran pertunjukan Reyog yang terjadi pada tahun 1970-an.

Cerita awal perjalanan awal reyog adalah sebagai bentuk satire (sindiran) dari demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Raja Majapahit Prabu Brawijaya V (Bhree Kertabumi). Raja dianggap tidak bisa menjalankan tugas – tugas kerajaan, karena telah dikendalikan oleh permasurinya. Seni tari yang diciptakan oleh Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam merupakan metode untuk mengingatkan secara halus atasannya. Selain itu, demang Ki Ageng Kutu Suryongalam juga memperkuat dirinya dengan pasukan perang yang terlatih berikut para waroknya dengan berbagai ilmu kanuragan.

Sejarah historis dari kesenian Reyog ponorogo tersebut berubah menjadi suatu legenda lewat daya cipta dan rekayasa Ki Ageng Mirah pada masa kekuasaan Batoro Katong. Dan legenda tersebut tumbuh dan berkembang di masyarakat Ponorogo bahkan diyakini bahwa cerita itu benar terjadi. Banyaknya versi legenda yang berkembang di masyarakat menjadi kekayaan yang tidak terelakkan, karena belum adanya acuan yang tertulis mengenai cerita asal usul dari Reyog. Para pelaku reyog akhirnya mengembangkan daya imajinasi kreatifnya dalam menyajikan pertunjukan seni rakyat tersebut baik dari jalan cerita, bentuk tarian, dan atribut sebagai identitas dari reyog itu sendiri.

(14)

Pada perjalanannya kesenian reyog terus berkembang. Kesenian reyog bukan hanya sebuah kesenian yang sarat dengan legenda dan cerita rakyat yang melingkupinya, akan tetapi sudah mengalami reduksi pesan.

1) Reyog Sebagai Media Komunikasi Politik

Sejarah perkembangan dari kesenian reyog tentu tidak bisa terlepas dari sejarah Indonesia. Dalam hal ini adalah perjalanan dari pemerintahan Indonesia dari jaman penjajahan sampai dengan periode saat ini. Kesenian reyog dipandang bukan hanya sebagai bentuk kesenian semata, akan tetapi telah menjadi komunikasi ekspresif dari kelompok – kelompok yang ada. Dominasi Negara sebagai penguasa wilayah dalam setiap periode terlihat dalam deskripsi yang disampaikan oleh Mujab Tohir dalam jurnal yang dikutip oleh Sururil (2012).

Pada zaman pemerintah Kolonial Belanda, reyog dianggap sebagai kesenian yang akan membawa pengaruh dan merugikan pemerintahan Kolonial Belanda. Maka dari itu perkembangan seni reyog Ponorogo tidak memperoleh bimbingan serta fasilitas. Dampak dari kebijakan pemerintah Kolonial Belanda adalah munculnya perkumpulan-perkumpulan reyog di desa-desa yang tidak terorganisir dengan baik. Hal tersebut berdampak buruk terhadap kesenian reyog. Akibatnya timbul persaingan antar kelompok reyog, hingga menimbulkan konflik politik. Peristiwa ini banyak menim-bulkan korban yang sia sia. Selain itu pada masa pemerintah colonial Belanda tidak ada keamanan dalam seni pertunjukan reyog (Mujab Tohir: t.tn, 23 dalam Sururil, 2012).

Pada zaman pemerintahan kolonial Jepang tahun 1942, perkumpulan dan kegiatan kesenian Reyog dapat dikatakan tenggelam. Seniman-senimannya tidak menampakkan diri. Hal ini disebabkan, dengan seringnya berkumpul akan mengundang kecurigaan pemerintah penjajah dan akhirnya dilarang sama sekali (Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Ponorogo: 2004, 5).

(15)

Pada era kolonial Belanda dan Jepang, pasang surut kesenian ini terjadi akibat ke-khawatiran para penjajah karena kemampuan seni reyog yang dapat mengumpulkan massa dalam lingkup besar. Kerumunan dalam jumlah besar pada waktu penjajahan dianggap sebagai kegiatan mencurigakan. Sehingga lewat kekuasaan yang dominan, lambat laut kesenian ini surut.

Reyog Ponorogo kembali mulai hidup setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Saat itu hampir setiap desa memiliki perkumpulan Reyog. Kuantitas organisasi perkum-pulan reyog meningkat cukup baik, tetapi kualitas belum menunjukkan kemajuan sekali (Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Ponorogo: 2004, 5).

Reyog di zaman orde lama yaitu sekitar tahun 1960-an mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kemampuan pertunjukan Reyog yang menarik massa untuk berkumpul dalam satu tempat menjadi peluang emas bagi kelompok politik pada era tersebut. Kesempatan ini dimanfaatkan sebagai media komunikasi yang efektif bagi para pelaku politik dalam menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat luas.

Kemunculan kelompok – kelompok politik yang memperebutkan posisi sebagai penguasa menggunakan kesenian reyog sebagai kendaraan politik untuk mengumpulkan simpatisan sebanyak mungkin. Karena hakikatnya pada waktu itu, bagi partai politik yang memiliki simpatisan yang banyak akan memperoleh kemenangan. Hal ini dibuktikan dengan setiap kelompok atau partai politik yang memiliki setidaknya satu kelompok reyog yang digawangi oleh para warok berusaha untuk menarik massa sebanyak mungkin lewat pertunjukan reyog.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Mbah wo Tobroni berikut ini:

“dulu reyog itu ikut aktif dalam kegiatan politik, karena orang tertarik dengan seni juga, budaya, ngrasa nguri – nguri. Dadi reyog iki ya dipakai” (wawancara 8 Maret 2015).

Menjelang tahun 1965, muncul beberapa organisasi kesenian, seperti: BREN (Barisan Reyog Nasional) didirikan oleh Partai Nasional Indonesia. CAKRA (Cabang Reyog

(16)

Agama) didirikan oleh Nahdhatul Ulama, BPR (Barisan Reyog Ponorogo), KRIS (Kesenian Reyog Islam) dan sebagainya. Banyaknya partai politik pada saat itu, akhirnya memunculkan persaingan yang cukup ketat. Tiap partai politik dituntut untuk dapat mengumpulkan massa sebanyak mungkin, agar dapat memenangkan pemilu. Reyog pada saat iu dianggap dapat menjadi media komunikasi politik partai.

Untuk membendung kekuatan Reyog PKI pada masa itu munculah seni Gajah-gajahan dan Unta-untaan yang kesemuanya itu terjadi pada masa puncak kejayaan Nasakom dimana PKI mendominasi seni ini dengan Barisan Reyog Ponorogonya. Dinamika partai politik tersebut ternyata menimbulkan konflik antara kelompok reyog yang ada.

“ya ramai waktu itu, hampir semua kelompok reyog masuk politik. “sekitar tahun 60 an itu ramai – ramainya kumpulan – kumpulan reyog. Dadi gak sehat” (wawancara dengan Mbah wo Tobroni tanggal 8 Maret 2015).

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Budi S berikut:

“dulu reyog pernah mempunyai pengalaman pahit. Karena saat itu masuk politik jadi terjadi gap antara kelompok reyog” (wawancara 4 Juni 2015)

Kejadian G 30 S PKI turut mempengaruhi perkembangan dari kelompok reyog yang ada di Ponorogo. Kelompok – kelompok reyog mengalami penyusutan. Kesenian reyog di masa Orde Baru (setelah peristiwa G-30 PKI) tinggal BREN dan CAKRA. Hal ini juga seperti yang disampaikan oleh Mbah wo Tobroni berikut ini:

Tapi pada tahun 1963 saya kok sumuk, karena ada yang menunggangi sehingga saya keluar dan mendirikan CAKRA, dan ada lagi teman saya di BREN. Dan setelah G 30 S PKI benar semua hilang kecuali CAKRA dan BREN. Dan inilah cikal bakal perkumpulan Reyog” (wawancara 8 Maret 2015).

Setelah PKI dilarang dan dibubarkan, baru kesenian Reyog Ponorogo mulai dibina secara utuh dan terarah serta terencana dengan baik oleh pemerintah Orde Baru. Tahun 1970-an di sekolah-sekolah dibentuklah kesenian reyog mini dengan tujuan pelestarian kesenian reyog melalui pendidikan. Tahun 1977 muncul INTI (Insan Takwa Illahi) yaitu

(17)

perkumpulan kesenian reyog (bentukan GOLKAR) tugasnya mengamankan pemilu. Hal ini seperti yang disampaikan Budi S berikut:

“jaman pak Markum semua warok dikumpulkan dalam organisasi INTI untuk kepentingan Politik Golkar. Kalau untuk reyognya kan sudah ada BREN” (wawancara 4 Juni 2015)

2) Reyog Sebagai Pertunjukan Rakyat

Transformasi yang terjadi dalam pertunjukan reyog tidak lepas dari proses adaptasi manusia terhadap lingkungan sekitar. Sifat kesenian rakyat reyog yang tidak menggunakan media cetak pada waktu itu dalam menyampaikan pesan, mengakibatkan berkembangnya cerita asal usul reyog menjadi beberapa versi. Pada masa tersebut manusia masih sangat menganggap penting indra pendengaran. Berdasarkan Teori Ekologi Media yang disampaikan oleh Mc Luhan, era ini disebut “tribal age” dimana manusia masih sangat tradisional, mereka berkomunikasi secara lisan dan langsung.

Komunikasi pada era itu hanya mendasarkan diri pada narasi, cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. Jadi, telinga adalah “raja” ketika itu, “hearing is believing”, dan kemampuan visual manusia belum banyak diandalkan dalam komunikasi. Pada era “tribal age”, cerita historis berubah jadi berbagai versi legenda berdasarkan daya imajinasi yang kuat dari penciptanya. Hal ini juga terjadi pada kesenian Reyog. Reyog Ponorogo dalam awal kemunculannya merupakan suatu media bagi demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Raja Majapahit Prabu Brawijaya V (Bhree Kertabumi). Raja dianggap tidak bisa menjalankan tugas – tugas kerajaan, karena telah dikendalikan oleh permasurinya. Reyog sebagai sebuah kesenian rakyat kemudian melangkah men-jadi cerita legenda pada proses perjalanannya, hal ini disebabkan kelihaian dari Ki Ageng Mirah pada masa kekuasaan Batoro Katong dalam membuat suatu cerita mengenai asal muasal reyog.

Sifatnya pesan yang lisan tersebut sehingga sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai cerita asal usul dari reyog. Dalam masyarakat akhirnya juga berkembang cerita yang sebenarnya hanya sebuah legenda dianggap menjadi sesuatu yang nyata ada.

(18)

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Mbah Wo Tobroni bahwa

“ Reyog iku yo intine dingo menghibur, ben guyup”. (wawancara 8 Maret 2015).

Kesenian reyog adalah kesenian rakyat yang pada dasarnya ditujukan untuk meng-hibur dan pesan yang disampaikan pada pertunjukan bergantung pada kelompok reyog yang memainkannya atau seringkali bergantung pada permintaan pihak yang mengundang reyog tersebut. Berdasarkan penelusuran dokumen yang peneliti lakukan, ada beberapa era yang terjadi dalam pertunjukan reyog di Ponorogo.

(a) Era 1920-1970

Batas awal perjalanan seni pertunjukan rakyat Reyog Ponorogo pada penelitian ini adalah pada tahun 1920 berdasarkan dari jurnal penelitian Sururil Mukarromah Shinta Devi I.S.R. Dalam buku harian yang ditulis oleh KH. Mujab Tohir, kesenian reyog awalnya bernama “Barongan”. Kesenian itu dibawa oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam yang berasal dari Bali. Oleh karena itu kesenian reyog hampir mirip dengan kesenian dari Bali yang bernama Barong. Reyog bukanlah barong asli, karena itu disebut Barongan. Awalnya pemain reyog yang membawakan dhadak merak terdiri dari dua orang, satu di depan dan satunya di belakang. Seperti yang diungkapkan tokoh besar reyog tersebut bahwa pemain barongan adalah pemain sebagai singa yang kepalanya dihinggapi bulu merak dan selalu diikuti oleh pembarong yang ada di belakangnya. Seolah-olah sebagai kaki belakang singa (Mujab Tohir: t.tn, 23 dalam Sururil, 2012).

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya gambar pementasan reyog pada tahun 1920. Dalam gambar tersebut terlihat dengan jelas pemain reyog (dhadak merak) terdiri dari dua orang. (lihat gambar V.1). Akan tetapi sampai sekarang belum ada sumber yang menyata-kan sejak kapan pastinya dhadak merak akhirnya dimainmenyata-kan oleh satu orang saja.

(19)

Gambar. V.1

Reyog Ponorogo / Barongan Tahun 1920

Sumber : https://kissanak.wordpress.com/2011/page/24/ (di akses tgl 29 agustus 2015)

Gambar. V.2

Reyog Ponorogo / Barongan Tahun 1928

Sumber : https://pilgrim74.wordpress.com/category/ponorogo/ (di akses tgl 1 September 2015)

(20)

Pada masa tersebut, bentuk dhadak merak belum memiliki aturan yang baku. Hal ini terlihat dari perbedaan pada gambar dhadak merak (lihat gambar V.1 dan V.2). Kedua gambar tersebut mempunyai kesamaan yaitu kepala barong dan bulu merak yang menjadi ciri khasnya. Perbedaan yang terlihat dari kedua gambar tersebut adalah dari segi artistic dhadak merak itu sendiri. Bentuk, ukuran dan penampilan dari para pemain, bergantung pada selera dari pemilik group reyog.

Gambar. V.3

Reyog Ponorogo / Barongan Tahun 1949

Sumber:https://www.facebook.com/groups/hvanmadioen (diakses 1 Oktober 2015)

Kesederhanaan dalam aksi pertunjukan reyog pada era tersebut, tidak melunturkan semangat masyarakat untuk menikmati pertunjukan. Reyog menjadi ekspresi masyarakat dalam berkesenian. Pada era tersebut warok belum masuk dalam rangkaian tarian reyog.

(b) Era 1970

Barongan pada era tahun 1970 sudah terjadi perbedaan secara bentuk fisik dibandingkan pada era tahun 1920. Pemain barongan atau dhadak merak hanya dimainkan oleh satu orang. Hal ini seperti yang terlihat dalam gambar V.4, dimana kepala barong memiliki detil yang jelas dan telah dimainkan oleh satu orang pembarong yang membawa

(21)

beban kurang lebih 50 kg. Ritual mistis atau upacara yang dilakukan sebelum mulai pertunjukan dianggap turut andil, agar seorang pembarong sanggup membawa beban seberat itu.

Gambar V.4

Barongan atau Dhadak Merak Tahun 1970

Sumber: Kartomi, 1976: 92

Kelompok reyog selain terdapat dhadak merak, terdapat pemain jathilan yang menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan transformasi dari segi filosofi pemain jathilan itu sendiri. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit. Pasukan kerjaan Majapahit digambarkan sebagai seorang laki – laki akan tetapi memiliki sifat seperti perempuan yang gemah gemulai. Hal ini tentu menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok yang gagah berani dan sakti madraguna.

Dahulu semua pemain reyog adalah laki – laki termasuk pemain jathilan. Pemain jathilan ini bergerak secara gemulai mengiringi alunan gamelan. Jathilan pada jaman dahulu adalah anak laki – laki usia 12 tahun berparas rupawan yang menari menyerupai perempuan. Seperti yang disampaikan Kartomi dalam penelitiannya, bahwa beberapa

(22)

penonton mengetahui bahwa penari tersebut adalah gemblak. Anak laki – laki memakai pakai kombinasi antara maskulin dan feminism atau bahkan berpakai feminim seluruhnya. Pakaian tersebut antara lain kebaya, jarik batik dan sampur yang melingkar di sekitar leher dengan model seperti perempuan.

Gerak gemulai pemain jathilan menjadi bumbu penyedap yang mewarnai pertunjukan reyog. Sosok warok merupakan pemilik group reyog yang memiliki kekuasaan. Status warok akan semakin tinggi apabila memiliki jumlah gemblak yang banyak. Para gemblak tersebut akan dipamerkan pada waktu kegiatan masyarakat, sekaligus dalam pertunjukan reyog.

Gambar V.5

Pemain jathilan laki - laki

(23)

(c) Era setelah Pembakuan

Pemain Dhadak Merak yang menjadi ciri khas utama dalam pertunjukan Reyog dimainkan oleh satu orang dengan atribut yang sudah mengalami pembakuan. Bentuk dan detail dari dhadak merak dijelaskan secara rinci dalam buku pedoman tersebut. Hal ini seperti yang terlihat dalam gambar V.6.

Gambar V.6

Barongan atau Dhadak Merak

Sumber: Dokumentasi Disbudparpora Kabupaten Ponorogo

Pemakaian bulu burung merak dan juga kepala harimau pernah mendapat pertentangan karena dianggap mengancam ekosistem hewan merak dan harimau. Sedangkan kedua unsur pembentuk dhadak merak tersebut tidak bisa tergantikan dan merupakan unsur sentral dalam pertunjukan kesenian Reyog Ponorogo. Mbah Wo Tobroni selaku tokoh kesenian Reyog sekaligus tokoh Warok pernah mendapatkan panggilan Kementerian Lingkungan Hidup;

“kemajuan yang pesat atas kebudayaan reyog ini dikhawatirkan akan mengganggu ekosistem keberadaan merak. Saya waktu itu dipanggil ke Jakarta, waktu itu menteri lingkungan hidupnya Emil Salim. Beliau menyampaikan gimana ini reyog ini perangkatnya kan dari merak dari burung merak lalu dari macan. Lalu gimana kelestarian dari burung merak dan macan itu.” Ya saya jawab, wah kalau itu saya

(24)

tidak tahu pak. Karena saya itu seniman, saya itu hanya ingin melestarikan kesenian ponorogo. Oleh perkara itu nanti masih ada merak atau tidak kalau bapak bertanggungjawab ya budidayakan merak itu. Namun itu bisa menggambarkan bahwa pada tahun 90 kita bisa mengimpor bulu burung merak dari India, bulu merak dari Malaysia. Itu saya gambarkan. Tapi memang kalau wajah macan memang mengkhawatirkan. Tapi kan itu bisa diganti deangan bokong e sapi putih disablon digambar seperti ndas macan, itu tidak masalah. Terus untuk membatasi itu mencari macan sulit mencari merak sulit diperintahkan tiap reyog desa ya ndak pakai itu diganti disablon ae tanpa mengurangi seperti bentuk aslinya” (wawancara 8 Maret 2015)

Transformasi yang terjadi dari pertunjukan reyog Ponorogo yang menarik adalah dari pemain jathilan. Sekarang ini pemain jahilan diperankan oleh seorang perempuan yang digambarkan menjadi sosok yang gagah berani. Pemain jathilan perempuan tersebut harus bersifat heroik sesuai dengan maksudnya yaitu menggambarkan prajurit yang sedang berlatih perang.

Gambar V.7

Pemain jathilan perempuan

(25)

Transformasi pemain jathilan ini berdasarkan dari buku pedoman dasar kesenian Reyog Ponorogo dibenarkan, sepanjang penampilan penari perempuan tersebut tidak mengurangi nilai etika maupun estetika sehingga tidak merusak citra Reyog Ponorogo.

Lintas gender dan kharakter jathilan mengalami perubahan yang besar. Dahulu seorang laki – laki yang memerankan sosok lemah gemulai (feminism) dan sekarang menjadi sosok perempuan yang gagah perkasa (maskulin). Pengambaran ini tentu menjadi berbeda dengan cerita awal terbentuknya reyog, bahwa para pemain jathilan merupakan sindiran bagi prajurit Kerajaan Majapahit yang lemah gemulai.

Pada pembakuan kesenian Reyog terdapat dua tokoh yang memakai topeng yaitu tokoh Prabu Klanasewandono dan Bujangganong. Prabu Klonosewandono sebagai tokoh yang utama digambarkan sebagai raja muda yang tampan dan gagah berani dari kerajaan Batarangin. Ia mempunyai pecut sakti bernama pecut samandiman.

Gambar V.8

Pemain Prabu Klana Sewandono

(26)

Tokoh Bujangganong mengambarkan sosok seorang patih muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti. Topeng yang dipakai oleh pemain bujanggananong lebih mirip dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulutnya terbuka sehingga tampak giginya yang besar – besar tanpa taring. Wajahnya berwarna merah darah, rambutnya lebat warna hitam menutup pelipis kiri kanan. Atraksi yang ditampilkan oleh pemain bujangganong ini lebih atraktif dan akrobatik.

Gambar V.9

Pemain Bujangganong

Sumber: Dokumentasi Disbudparpora Kabupaten Ponorogo

Unsur tari sebagai pentas Reyog Ponorogo dibedakan menjadi 3 macam, sesuai kebutuhan dan sifat pementasan itu sendiri, yaitu; 1)tari lepas, 2) tari utuh/merak tarung, dan 3) tari iring – iringan. Sedangkan dalam masyarakat dikenal juga 3 macam, yaitu; 1)tari pentas, 2)tari obyokan, dan 3)tari santri. Perbedaan tersebut menambah keragaman dari seni pertunjukan sebagai sebuah tontonan sekaligus diharapkan menjadi tuntunan dalam masyarakat.

(27)

Reyog oleh pemerintah dibangun menjadi kesenian yang mewakili kehidupan dan identitas dari daerah Ponorogo. Hal – hal yang berbau kelam terus ditenggelamkan, seperti sejarah warok dengan para gemblaknya ataupun prosesi ritual yang mewarnai kemistisan prosesi pertunjukan reyog.

b. Warok mengalami perubahan peran

Kesenian Reyog Ponorogo tidak bisa terlepas dari tradisi warok. Secara historis, belum ada data yang bisa menunjukkan secara pasti hubungan antara reyog dengan tradisi warok. Dalam perkembangannya, yang jelas tradisi warok ini menjadi komunitas atau semacam perkumpulan sosial (paguyuban) dengan nama konco reyog, terdiri dari tiga komponen yang saling terkait; warok, warokan, dan jathil. Komunitas atau perkumpulan sosial itu selanjutnya menampilkan cara dan gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat lain. Paguyuban warok itu akan sangat nampak, terutama ketika ada perayaan-perayaan religius, misalnya dalam acara hajatan; bersih desa, ruwatan, mantu, ritual sesaji, maupun ritual adat tradisi, baik di tingkat desa maupun di tingkat yang lebih luas; daerah bahkan nasional.

Ditilik dari sudut etimologis, warok berasal dari kata waro’i atau wirangi (dalam bahasa Jawa), yang berarti wis pono, wis mangerti banget marang agal alus lahir batin, tumindake mung kanggo tetulung marang liyan (Purwowijoyo, 1990: IV, 49) Warok, berdasar pengertian itu, bisa diartikan sebagai seorang tokoh yang memiliki kelebihan-kelebihan, khususnya dalam hal ini kanuragan (kekebalan tubuh) dan berikut derajat spiritualitas tertentu. Karena itu, orang yang mendapat sebutan warok dan diakui secara sosial, sangatlah sedikit jumlahnya.

Pada jaman dahulu warok merupakan tokoh masyarakat yang disegani oleh masya-rakat dan dianggap sebagai penjaga adat Reyog Ponorogo. Pada perkembangannya, juga terjadi proses transformasi sosok warok. Berdasarkan dari asal usul cerita, warok sebenar-nya tidak terkait secara langsung dengan kesenian Reyog. Akan tetapi seiring dengan

(28)

perkembangan sosok warok menjadi tokoh sentral dalam kesenian Reyog. Pada masa sebelum pembakuan, tokoh warok merupakan pemilik dari group reyog itu sendiri.

Hal ini seperti yang disampaikan Budi S berikut:

“dulu reyog dan warok tidak bisa dipisahkan karena para pemilik kesenian reyog ya warok” (wawancara 4 Juni 2015)

Gambar V.10

Warok Tua

H. Muh Tobroni atau Mbah wo tobron

Secara kesejarahan yang dapat diungkapkan untuk menjelaskan upaya warok merubah diri dan menyempurnakan hidup itu dapat dilihat dari jejak-jejak budaya yang telah tertulis dalam legenda, bukti sejarah bahkan dalam literatur yang telah dibukukan dari hasil penelitian para peminat studi budaya tradisi. Banyak literatur yang menyebutkan warok penuh dengan stigma negatif seperti suka minum-minuman keras, berjudi, suka wanita, foya-foya hingga stigma pelaku homseksualitas. Stigma ini begitu lekatnya dalam diri warok, hampir tidak bisa dibantah jika stigma ini dalam dalam kehidupan warok Ponorogo terutama pada era masa lalu.

(29)

Identitas Ponorogo yang ditampilkan oleh sosok warok itu bisa erat melekat karena bernilai positif. Ia merupakan sosok yang baik, produktif, dan protektif. Saat ini memang sudah terjadi pergeseran peran dan fungsi warok, misalnya dalam hubungannya dengan gemblakan. Namun, terdapat beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.

Warok merupakan salah satu symbol ketika kita berbicara mengenai Reyog dan Ponorogo. Warok dianggap dapat mewakili keseluruhan nilai – nilai asli masyarakat Ponorogo. Pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo menggunakan warok dalam perkembangannya sebagai bagian dari identitas daerah. Pada akhirnya warok mengalami perubahan peran di masyarakat.

1) Warok sebagai pemimpin di masyarakat Ponorogo

Berdasarkan dari informasi dari para informan, sosok warok digambarkan sebagai tokoh di dalam masyarakat yang memiliki kedudukan tertinggi.

“la nek takok aku mbak, sapa iku warok. Warok iku yo wong Ponorogo seng kang adi luhung. Warok iku wong seng iso diajeni.” (wawancara Wisnu HP tanggal 10 Juni 2015)

“warok itu ya sosok dari masyarakat yang muncul sendiri. Dalam strata masyarakat dulu warok sangat sentralistik. Karena dia jadi panutan.” (wawancara dengan Budi S tanggal 15 Mei 2015)

Sosok warok merupakan jabatan yang disandang oleh seseorang yang tidak melewati pemilihan secara formal. Tokoh warok hadir dalam masyarkat karena perilaku dan tingkatan sosial yang ada di masyarakat. Seseorang yang telah mencapai tingkatan warok dianggap telah menjadi panutan bagi masyarakat sekitar. Stigma ini kemudian mulai berubah. Perlahan namun pasti, warok yang identik dengan hal-hal negatif mulai luntur meski masih ada saja yang tersisa. Artinya masih ada juga warok yang kurang baik. Di era 1970-an ke atas, warok syarat dengan pelaku negatif lalu berubah menjadi aparatur daerah yang disegani dan dihormati. Bahkan para warok membentuk organisasi warok yang

(30)

bernilaikan religiusitas. Para warok membentuk organisasi INTI (Insan Taqwa Illahi). Sebuah organisasi yang terdiri dari para warok yang melakukan kajian keagamaan Islam. Dan ternyata tujuan organisasi ini berhasil.

Warok dari orang yang suka minum menjadi para haji yang memiliki masjid dan jamaah. Sebuah penyempurnaan hidup yang luar biasa. Para warok, karena posisi so-sialnya yang strategis berada di tengah-tengah antara masyarakat dan penguasa seringkali hanya berperan dan dijadikan instrumen pengerah massa oleh para elit yang berkuasa. Namun dalam perkembangan terakhir, terjadi perkembangan peran dan fungsi yang signifikan. Para warok telah menjalankan peran dan fungsi yang penting, dari sekedar tersubordinasi dari elit penguasa menjadi mempunyai kemampuan yang besar dalam posisi tawar-menawar dengan elit penguasa.

Dalam hal ini warok mengalami metamorfosa dari dukun ke jabatan politik. Dukun merupakan peran sosial budaya, sedangkan jabatan politik diawali dengan banyak warok menjadi lurah atau kepala desa pada masa orde baru. Menurut Tobron Turejo, melihat potensi ini, pada tahun 1976 para warok oleh Bupati Ponorogo pada waktu itu, yaitu Bupati H. Sumadi diangkat menjadi kepala desa/lurah dilingkungannya. Pengalaman dieksekutif dan ditopan oleh kemampuan menggerak massa ini, pasca reformasi politik, partai politik politik mulai tertarik melirik warok menjadi alat politik/ mesin politik baik sebagai vote getter maupun dipasang sebagai calon legislatif.

“warok merupakan sebutan sosok masyarakat Ponorogo yang memang dirinya ini mempunyai kelebihan – kelebihan dan dia pemimpin yang baik dari kelompok – kelompok kecil atau besar”. (wawancara dengan Sodiq tanggal 4 Juni 2015)

“dan pemimpin orang – orang Ponorogo yang muncul karena reyog itu disebut warok” (wawancara dengan Mbah Wo Tobroni tanggal 8 Maret 2015 )

Tokoh warok dianggap sebagai manusia berkualitas menurut pemikiran masyarakat Ponorogo. Di setiap barisan kesenian reyog apabila sedang berjalan, maka tokoh warok menempati posisi depan seperti komandan barisan perang dan terlihat menyeramkan.

(31)

Sehingga, tokoh warok harus memiliki kesaktian, ketangguhan, dan berwibawa. Tokoh warok merupakan tokoh utama dan sentral dalam kesenian reog dan masyarakat Ponorogo.

Kekuatan karakter dan charisma ketokohannya, sering menyebabkannya memiliki pengaruh kuat bagi pendukungan terhadap penguasa politik, baik pada tingkat desa hingga kabupaten. Komunitas kedua dalam tradisi warok adalah warokan. Warokan adalah sebuah komunitas di dalam tradisi warok yang sebenarnya hampir sama dengan warok itu sendiri. Sesuatu yang membedakan adalah warokan itu menempati urutan kedua setelah warok dalam hal fisik maupun psikisnya; dari segi usia warokan lebih muda (rata-rata 20-35 tahun); dari segi kanoragan, warokan memiliki kekebalan jauh dibawah warok; demikian halnya dari aspek kepribadian warokan cenderung masih labil dibanding warok; misalnya mereka masih sangat temperamental – mudah tersinggung, mudah marah, dan sering lepas kontrol.

Kungkungan poltik dalam setiap sejarah perubahan suatu daerah adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindari. Hal ini juga terjadi dalam sejarah pembentukan Kabupaten Ponorogo. Warok dianggap mempunyai andil dalam setiap periode kepemimpinan di wilayah Ponorogo. Berbicara mengenai Ponorogo, maka akan terikat secara langsung dengan Reyog dan peran Warok.

2) Hubungan warok dan gemblak dulu dan sekarang

Warok berasal dari kata wara’ah yang bermakna seorang zahid atau sufi yaitu seorang yang mempraktikkan mistisisme ataupun tasawuf. Makna warok yang saling kontras: Warok sebagai pemimpin yang kuat tercerahkan secara spiritual dan seniman yang terilhami. Dan di sisi yang lain Warok sebagai pemangsa kejam, penyeleweng seksual, dan penjahat yang ditakuti.“Sastro jendro hayuning pangruwat diyu” penempuhan laku spiritual para warok, tidak boleh bertemu wanita selama kurun waktu tertentu. Penghindaran seksualitas warok, selalu diidentikkan dengan sosok gemblak.

(32)

Ciri khas gemblak: anak laki-laki yang lembut, memiliki penampilan kewanita-wanitaan (androgynous), berusia 8-20 tahun. Fungsi gemblak: Simbol kelompok, Simbol kekuatan dan kekuasaan warok dan melaksanakan tugas domestik seorang warok yang tidak banyak menggunakan tenaga, seperti: melayani makan dan menemani warok kemanapun pergi. Hal inilah oleh sebagian kalangan dipersepsikan dengan homoseksual.

Hubungan antara warok dan gemblak pada jaman dahulu terkonotasikan negative. Hal ini dikarenakan posisi gemblak yang seringkali melebihi peran istri warok. seorang gemblak bertugas untuk melayani segala keperluan dari warok. Pandangan masyarakat, bahwa hubungan warok dan gemblak layaknya homoseksual tidak sepenuhnya disetujui oleh Budi Satrio. Sekretaris Yayasan Reyog Ponorogo Budi Satrio mengatakan;

“Nah mungkin ada juga satu dua warok yang homo. Nah itu kan beda. Tapi gemblakan secara umum tidak seperti itu. Kan tidak bisa kita menyamaratakan apabila ada satu worog yang homo dan melakukan hubungan seks dengan gemblaknya, maka semua warok adalah homoseksual. Gemblakan itu adalah abdi dalem. Karena warok itu butuh meditasi butuh bersemedi, nggak boleh bersentuhan dengan perempuan karena nanti syahwatnya akan muncul. Makanya dia menghilangkan sejenak kegatan-kegiatan apa keduniaan, dia berfokus pada kegiatan olah rasa, olah fikir. Nah untuk memenuhi kebutuhan itu, dia ada yang melayani itu. Lha itu yang disebut dengan gemblak.” (wawancara 15 Mei 2015)

Budi juga menambahkan:

“dulu itu memang strata masyarakat itu pernah warok menjadi sentralistik dan diukur dari banyaknya gemlak yang dimiliki.” (wawancara 15 Mei 2015)

Berdasarkan wawancara dengan Wisnu didapati bahwa:

“gemblak iku yo anak asuh iku mbak. Lha wong gemblak iku yo dirawat, disekolahne dibandani. Dadi yo dudu homoseksual.” (wawancara tanggal 10 Juni 2015)

Warok sebagai tokoh masyarkat sekarang ini sudah jarang sekali ditemui mememiliki gemblak. Jumlah gemblak yang dimiliki oleh seorang warok sekarang ini tidak lagi menjadi ukuran. Fenomena hubungan antara warok dan gemblak mulai luntur secara perlahan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi maupun informasi. Sesepuh warok

(33)

yang dulu pada masa memiliki warok pun telah menghilangkan sosok gemblak. Hal ini seperti yang di sampaikan oleh mbah wo tobroni berikut:

“gemblak saya dulu itu ada 4 mbak. Saiki y owes podo mentas kabeh. Saiki seng ngopeni aku yo bojo – bojo ku. Kabeh duwe peran bedo – bedo”. (wawancara tanggal 8 Maret 2015 )

3) Warok sebagai salah satu bagian dari pertunjukan reyog

Tokoh warok yang dahulu berada diluar dari seni pertunjukan Reyog, sekarang ini juga bergabung menjadi bagian didalamnya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Budi S, Sekertaris Yayasan Reyog Ponorogo sebagai berikut;

“Nah, dalam proses transformasi bentuknya pada tahun 1987 itu almarhum Bapak Heru Subeno memasukkan unsur warok dalam kesenian Reyog yang disebut Tari Warok Kolor Sakti. Jadi itu sebenarnya tidak ada dalam cerita kesenian Reyog. Warok kan sebenarnya tidak ada, karena untuk seni pertunjukan oleh Pak Heru tadi dilihat” (Wawancara tanggal 15 Mei 2015)

Warok adalah pasukan Prabu Kelono Sewandono yang digambarkan sebagai orang yang sakti mandraguna dan kebal terhadap senjata tajam. Penari warok adalah pria dan umumnya berbadan besar. Warok dibagi menjadi dua, yaitu warok tua dan warok muda. Perbedaan mereka terletak pada kostum yang dikenakan, dimana warok tua mengenakan kemeja putih dengan laku yang penuh wibawa karena dianggap telah kebak ilmu.

Tokoh warok muda digambarkan dengan tidak mengenakan apa-apa selain penadhon dan tidak membawa tongkat. Senjata pamungkas para warok adalah tali kolor warna putih yang tebal. mengenakan baju hitam-hitam (celana gombrong hitam dan baju hitam yang tidak dikancingkan) yang disebut penadhon. Tari yang mereka mainkan adalah bentuk dari pelatihan dan transformasi dari warok muda menjadi warok muda. Mereka dididik sebagai penjaga dari Prabu Klana Sewandono. Tari yang mereka mainkan disebut sebagai Tari Kolor Sakti.

Sodiq juga sependapat bahwa tokoh warok yang ada di pertunjukan reyog adalah sebagai tokoh seni. Hal ini seperti yang disampaikan pada waktu wawancara berikut:

(34)

“warok yang dipertunjukan itu hanya sebagai tokoh seni”. (wawancara dengan Sodiq tanggal 4 Juni 2015)

Gambar V.11

Pemain Warok Muda

Sumber: Dokumentasi Disbudparpora Kabupaten Ponorogo

4) Warok Kehormatan

Warok sebagai unsur yang terus melekat dalam diri warok, juga mendapatkan sorotan dari pemerintah. Kehadiran warok yang ada di tengah masyarakat memang tidak bisa muncul secara instan. Masyarakat Ponorogo percaya bahwa dalam setiap massa akan ada sosok warok yang dapat menjadi sosok teladan. Akan tetapi, pada era Bupati Markum sosok warok disematkan kepada orang diluar Ponorogo yang juga peduli akan kesenian Reyog. Warok kehormatan merupakan gelar yang diberikan oleh Bupati Markum saat itu.

Pemilihan warok kehormatan tersebut sampai saat ini masih terus dilestarikan hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Budi S berikut:

“iya kita masih memberi gelar pada tokoh – tokoh yang ada. Yang kita beri gelar itu kan emang diciptakan”” (Wawancara tanggal 15 Mei 2015)

(35)

B. KOMODIFIKASI REYOG DAN WAROK

Respon terhadap UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai otonomi daerah tentu beragam. Daerah – daerah yang tergolong kaya sumber daya alam tentu menyambut dengan gembira, karena mereka mereka merasa memperoleh perlindungan kemungkinan terjadinya eksploitasi kekayaan daerah oleh pemerintah pusat pada zaman orde baru. Sementara bagi daerah yang tergolong minim sumber daya alam, maka akan dianggap dingin.

Laju pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat, memacu tiap pemerintah daerah untuk membuat stategi guna meningkatkan perekonomian daerah. Pasca digulirkannya otonomi daerah, tiap daerah ditutup untuk lebih creative dan inovatif dalam melakukan pengelolaan asset daerah yang dimiliki. Budaya yang berbeda tiap wilayah menjadi potensi dan daya tarik tersendiri sehingga upaya mengemas budaya menjadi strategi yang potensial untuk berkembang.

Peneliti kebudayaan dari Universitas Jember Dr Ayu Sutarto yang pernah mengadakan penelitian mengenai reyog Ponorogo mengemukakan, reyog Ponorogo beserta elemen-elemen di dalamnya sudah menjadi identitas sekaligus kebanggaan bagi masyarakatnya. Dan, ikatan yang kuat antara kesenian dengan para pendukungnya, yang membuat identitas itu senantiasa terjaga. Ayu mendapati bahwa reyog Ponorogo merupakan satu dari lima kesenian tradisional di Indonesia yang bisa hidup tanpa bantuan pemerintah. Ia meneliti bagaimana produk budaya lokal ini bisa bersaing memperebutkan pasar di tengah perubahan zaman. Dalam kajian budaya, demikian Ayu, terjadi transaksi-transaksi yang tidak lagi berbau kultural, namun sudah masuk ke wilayah komoditas. Komoditas dalam hal ini bukan semata-mata uang, melainkan lebih pada pengakuan publik (public recognition).

(36)

Potensi wisata yang dimiliki oleh Ponorogo mememberi keuntungan tersendiri. Ponorogo memiliki potensi wisata, baik wisata alam, wisata religi/budaya bahkan wisata buatan. Wisata Telaga Ngebel di tetapkan sebagai tujuan utama wisata telaga di Ponorogo. Disamping itu, obyek wisata lain juga terus dikembangkan, misalnya wisata religi di Masjid Tegalsari di Kecamatan Jetis sebagai peninggalan sejarah Islam di Ponorogo, makam Bathorokatong di Kelurahan setono Kecamatan Jenangan, serta Sendang Waluyo Jati di Kecamatan Sooko sebagai tempat ziarah umat Katholik. Potensi wisata alam seperti Air terjun Plethuk di Desa Jurug Kecamatan Sooko, wisata alam Kucur di kecamatan Badegan dan beberapa wisata alam lain yang dimiliki Ponorogo juga terus digali dan dikembangkan untuk mendukung obyek wisata yang telah ada. Agenda Tahunan Grebeg Suro terus dikembangkan, guna menarik wisatawan baik lokal maupun manca negara. Berdasarkan dari data potensi wisata yang dirilis oleh BPS Ponorogo terdapat banyak sekali tempat wisata yang ada di Ponorogo. Pesta rakyat menjadi prioritas pekerjaan, dimana hal ini terlihat dari perkembangan yang meningkat dari tahun 2009 yang hanya 7x pertahun menjadi 9x pertahun pada 2013.

Salah satu prespektif paling menantang dan membangkitkan minat yang muncul dari prespektif kajian media dan budaya kritis adalah “komodifikasi budaya”. Perspektif komodifikasi budaya memandang media sebagai industrsi budaya, industry yang mengomodifikasikan budaya atau industry tempat berlangsungnya proses komodifikasi. Beberapa ahli mencoba mendefinisikan komodifikasi budaya sebagai, “Studi tentang apa yang terjadi ketika budaya diproduksi dan disebarkan secara missal dalam berkompetisi secara langsung dengan budaya – budaya yang berbasis lokal”. Menurut pandangan ini, media adalah industri yang mengkhususkan diri dalam produksi dan distribusi komoditas budaya (Subandy, 2014: 25).

1. Reyog Obyogan dan Reyog Pentas

Pada jaman dahulu sebelum ada pembakuan, pertunjukan Reyog digelar di tiap kecamatan. Pada saat itu terjadi keragaman asal usul cerita, pola tarian maupun pakaian yang dikenakan para pemainnya.

(37)

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Mbah Wo Tobroni:

“Karena belum ada pembakuan, maka lamanya, pakaiannya sendiri. Yang suka ungu ya pakai ungu. Yang suka merah ya pakai merah. Yang suka kuning ya pakai kuning. Terserah selera kelompok reyog itu” (wawancara 8 Maret 2015).

Versi cerita yang dimainkan oleh kelompok reyog tersebut seringkali berdasarkan oleh permintaan orang yang mempunyai hajatan. Pada masa itu, kelompok reyog hanya memiliki 3 pemain yaitu, dhahak merak, jathilan dan Bujangganong. Seringkali juga hanya dua pemain yaitu dhadak merak dan jathilan (Simatupang, 2013: 128-132). Simatupang dalam penelitiannya mengatakan bahwa, tokoh Prabu klana sewandono menjadi tokoh yang sering absen.

Pengelolaan pemerintah terhadap kesenian reyog yang sampai sekarang masih terjaga dan terus berkembang adalah Festival Reyog Nasional yang sudah menjadi agenda rutin satu tahun sekali pada malam suro dalam kalender jawa. Pertunjukan reyog yang dahulunya dapat disaksikan di tingkat lokal, sekarang ini telah berkembang menjadi tingkat nasional yang dikemas dalam bentuk festival. Kemampuan reyog dalam menarik massa menjadi salah satu keunggulannya tersendiri.

Proses kemasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam kesenian reyog melahirkan dua bentuk pertunjukan reyog di Ponorogo. Kedua bentuk pertunjukan itu adalah pertama, reyog pentas yaitu pertunjukan reyog dalam bentuk festival, yang telah tertuang dengan jelas dalam buku pedoman dan dilaksanakan oleh kelompok – kelompok reyog yang mengikuti acara festival yang diadakan oleh pemerintah Ponorogo. Reyog pentas adalah kesenian reyog yang dipentaskan di FRN dan pentas bulan purnama (pentasnya di aloon-aloon). Kedua, pertunjukan reyog obyogan, dimana pertunjukan ini lebih atraktif dengan para penonton dan tidak terlalu mentaati patron yang telah ditetapkan. Reyog obyogan adalah kesenian reyog yang hidup dipedesaan (pentasnya di pelataran atau di jalan).

(38)

Gambar V. 12

Reyog Obyogan

Gambar V. 13

(39)

Gambar V. 14

Festival Reyog XXII tahun 2015

Gambar V. 15

(40)

Komodifikasi merupakan titik awal untuk menteorisasikan ekonomi politik komunikasi. Komodifikasi mendeskripsikan cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan obyek dan proses, dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Komodifikasi merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil.

Penelitian yang dilakukan oleh Yulianto, Andhika Dwi (2013) mengenai komodifikasi pertunjukan festival reyog Ponorogo dalam industri parawisata menjadi landasan bahwa perubahan yang terjadi dalam pertunjukan reyog dari reyog obyog sampai dengan reyog yang digunakan untuk festival merupakan sebuah hasil komodifikasi yang terjadi karena industri pariwisata yang terjadi di Kabupaten Ponorogo. Dalam hal ini perubahan dalam pertunjukan reyog tidak lepas dari peran seniman reyog, masyarakat Ponorogo, pemerintah (Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga) untuk terlibat dalam pengkomodifikasian reyog di Kabupaten Ponorogo.

Kepopuleran dari pertunjukan Reyog di mata masyarakat Ponorogo yang begitu kuat, mendorong pemerintah untuk menjaga eksistensinya. Beberapa acara digagas untuk dapat mengumpulkan kelompok – kelompok Reyog yang ada.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Mbah Wo Tobroni

“Untuk melestarikan reyog, maka kita memilih lomba. Nah karena lomba itu sulit. Sebelum pembakuan, maka kita mengadakan festival untuk mencari penampil terbaik. (wawancara 8 Maret 2015)

Kegiatan perlombaan kelompok reyog sebenarnya menurut Mbah Wo Tobroni telah ada sejak dahulu, akan tetapi hanya dalam lingkup lokal kecamatan.

“Dulu sebelum ada festival nasional itu ya ada festival ponorogo antar kecamatan ” (wawancara 8 Maret 2015)

(41)

2. Pakaian Khas Warok

Kebijakan pemerintah kabupaten Ponorogo lewat surat edaran Bupati yang mengharuskan tiap pegawai negeri sipil di lungkungan kerja Ponorogo memakai pakaian warok sebagai bentuk identitas merupakan salah satu contoh komodifikasi budaya. Atribut pakaian warok berupa penadon, merupakan ciri khas yang sudah dikenel oleh masyarakat. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Budi S berikut ini

“ warok sebagai identitas pakaian sudah jadi tradisi di masyarakat. Mangkanya itu kita pakai pada waktu Hari jadi Ponorogo dan Grebeg Suro. Selain Ponorogo sendiri juga punya batik khas Ponorogo.” (wawancara tanggal 15 Mei 2015)

Komodifikasi merupakan titik awal untuk menteorisasikan ekonomi politik komunikasi. Komodifikasi mendeskripsikan cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan obyek dan proses, dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Komodifikasi merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil.

Hal ini juga terjadi terhadap simbol identitas dari sosok warok. kebijkan pemerintah daerah yang mengharuskan seluruh pegawai di jajaran SKPD Ponororgo maupun bdan usaha di wilayah ponorogo, nyatanya merupakan sstu bentuk komodifikasi. Pakain penandon sebagai kekhasan dari sosok warok menjadi pakaian yang umum dipakai oleh masyarakat Ponorogo. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam melestarikan kebudayaan reyog ini menurut Sodiq masih perlu penanganan lebih lanjut;

“ pada hari jadi Kabupaten Ponorogo selama 2 pekan dan bulan suro ada surat edaran untuk berpakaian warok. cuman saya belum tahu apakah itu memang dari segi ekonomi atau memang seperti sudah melekat. Kenapa saya bilang gitu, karena dengan adanya surat edaran itu para pengrajin pakaian kan ada segi ekonomi juga meningkat” (wawancara tanggal 4 Juni 2015)

Gambar

Gambar V.9  Pemain Bujangganong
Gambar V.10  Warok Tua
Gambar V.11  Pemain Warok Muda
Gambar V. 13  Reyog Obyogan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Halaman Judul ………..………....1.. Air yang jatuh sebagai hujan tidak semuanya dapat mencapai permukaan tanah; sebagian tanah oleh vegetasi dan bangunan, sebagian air

Berangkat dari kasus tersebut khususnya pada siswa SMP Islam Daarul Muttaqin bahwa dalam penggunaan teknologi berupa handphone yang selalu dalam genggamanya

Dari uraian di atas, penelitian kemudian mencoba mengembangkan suatu strategi pembelajaran berbasis DST yang diaplikasian dalam bentuk penugasan kinerja (proyek)

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan dengan mengunakan SPSS versi 20 diperoleh bahwa kebijakan alokasi aset, kinerja manajer investasi berpengaruh

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa (a) komoditas unggulan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah jagung manis, cabe dan ubi jalar, (b)

Adapun kontribusi media dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling secara lebih spesifik dipaparkan oleh Burdin dan Byrd (1999) sebagai berikut. 1) Isi layanan

Kendati demikian, AGRO masih akan menaikkan komposisi kredit di sektor agrobisnis menjadi 58-60% di tahun 2016 dari sebelumnya sekitar 54% dari total penyaluran kredit pada

Dilaksanakan antara Departemen/Instansi Pemerintah Tingkat Pusat yang satu dengan Departemen/Instansi Pemerintah Tingkat Pusat lainnya, yang dalam pelaksanaannya dapat