hatinya.
Keindahan-keindahan dunia pesantren tidak bisa dirasakan oleh semua orang. Hanya para santri yang menetap di pondok saja yang bisa merasakannya. Kadangkala hidup di pesantren terasa susah, namun ada kalanya juga senang. Yang membuat susah setengah mati yakni ketika barang-barang pribadi banyak yang dighosob. Tidak tahu ke mana barang tersebut, hilang tanpa jejak atau pun membekas sedikitpun. Nah, sedangkan yang membuat senang bagi sebagian para santri Pondok Panggung yaitu ketika ada bidadari yang keluar dari pintu hijau menghantarkan seleser nasi dengan lauk-pauk lengkap dan yang pastinya bergizi, hehehe. Sebutan populernya yaitu nasi
ndalem. Dan masih banyak lagi keseruan-keseruan
yang ada di pesantren yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Dengan adanya beragam kejadian yang begitu banyak yang terjadi di dunia pesantren, sehingga terasa tidaklah sanggpb kaki ini untuk melangkahkan keluar dari penjara suci (kata sebagian besar para santri). Ciyeh ... hehe.
Kenapa pesantren banyak dianggap sebagai penjara suci?, nah, Memang cukup rasional juga jika banyak para santri yang menyebut pesantren dengan sebutan penjara suci. Karena, ibaratnya para santri terkurung. Namun, tidaklah terkurung di jeruji besi, melainkan sebuah penjara yang terbuat dari nur Ilahi. Yang di-dhohir-kan dengan kegiatan-kegiatan yang luar biasa banyaknya.
Namun, yang pasti dalam ranah keagamaan. Tapi perlu diketahui juga, bahwasannya sekarang ini Pondok Panggung telah mengalami banyak kemajuan, karena di samping kegiatan-kegiatan keagamaan, banyak juga kegiatan-kegiatan yang ranahnya di luar bidang agama. Seperti contoh seminar kesehatan, pelatihan literasi, dan masih banyak lagi.
Pondok Pesantren Panggung Tulungagung merupakan salah satu pondok tua yang ada di kabupaten Tulungagung. Pondok Panggung bermula dari langgar kecil yang didirikan oleh H. Ali yang diteruskan oleh Kiai Ibrahim bersama Mbah Kasdi, Mbah Kemis, Mbah Muhtar. Namun walaupun kecil langgar tersebut sangatlah ramai dikunjungi oleh para jama’ah. Para jama’ah di langgar ini tidak hanya melakukan salat berjama’ah saja, melainkan mengkaji berbagai kitab-kitab salaf. Jadi hal tersebut merupakan salah satu faktor Pondok Panggung Tulungagung menjadi pesantren salaf. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun Pondok Panggung semakin berkembang, bahkan jama’ah tidak hanya datang dari Tulungagung saja, namun juga datang dari berbagai daerah. Perkembangan Pondok Panggung tidak terlepas dari perjuangan KH. Asrori Ibrohim (putra kiai Ibrahim). Beliau merupakan salah satu pendiri Jama’ah Solawat Nariyah kabupaten Tulungagung. Selain perjuangan KH. Asrori Ibrohim, perkembangan Pondok Panggung
juga tidak terlepas dari perjuangan KH. Syafi’i Abdurrohman (adik ipar KH. Asrori Ibrohim) yang sekarang ini Pondok Panggung sudah sangat maju dengan didukung dengan lembaga-lembaga formal mulai dari lembaga PAUD sampai dengan jenjang MA. KH. Syafi’i Abdurrohman telah wafat pada tahun 2009 kemarin. Sehingga, Pondok Pesantren Panggung Tulungagung sekarang diasuh oleh Ibu Nyai Hj. Asrori Ibrohim (Nyai Hj. Nurun Nasikhah). Beliau merupaka istri dari KH. Asrori Ibrohim.
Kembali pada pembahasan Kiai. Di dunia pesantren Kiai sangatlah diagung-agungkan. Ibarat seorang raja yang sedang duduk di singgahsananya. Senakal-nakalnya santri, pasti patuh dengan Kiai. Semisal Kiai berjalan di depan para santri ataupun sebaliknya, pasti para santri secara otomatis menundukkan kepala dan punggungnya seraya kehikmatan yang diberikan. Bahkan ketika para santri mengetahui akan berpapasan dengan kiai, tidak jarang santri lebih memilih untuk berbelok arah agar tidak berpapasan dengan Kiai. Santri juga akan patuh dengan apa pun yang diperintahkan oleh Kyai. Hal inilah sumber kenikmatan yang tidak ada duanya yang bisa saya rasakan. Kadang kala ketika saya diperintah orang tua masih bisa bilang “Sebentar Ayah atau sebentar Ibu”. Namun, ketika sudah diperintah oleh Kiai saya, pasti secara langsung akan segera saya lakukan dengan penuh keikhlasan dan penuh harap untuk sering-sering
diperintah. Hal ini saya lakukan dengan alasan, saya sangat mengharapkan keridaan dan juga keberkahan Kiai yang sedang saya kuras ilmunya.
Dalam kitab Madarijus Salikhin, 2/39, sesungguhnya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan dan keberhasilan sesesorang. Begitu juga sebaliknya, kurang adab atau tidak beradab adalah alamaat jelek dan jurang kehancurannya. tidaklah kebaikan dunia dan akhirat kecuali dapat diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat melainkan karena kurangnya adab. Dalam al-Adab
as-Syari’ah 1/408, di antara adab-adab yang telah
disepakati adalah adab murid kepada syaikh atau gurunya. Jadi kesimpulanya, yang wajib dimiliki oleh para santri adalah adab, serta kepatuhan diri terhadap para Kiainya. Kehidupan pesantren memang saya ibaratkan bengkel para santri. saya sendiri sudah merasakan efek dari kehidupan pondok pesantren, hal ini terbukti menjadikan saya lebih patuh terhadap orang tua saya.[]
#Data Penulis
Muhammad Mustofa Habib (M_H_Muhammad), TTL: Blitar, 05/10/1996. Alamat: Jabung, Talun, Blitar. Motto:
alajru biqodritta’ab manjadda wajada
Kata motivasi: Jangan pernah takut untuk menghadapi kesulitan. karena, itulah mawar dalam kehidupan. Kamu bisa merasakan keindahan yang luar biasa ketika
S
antri nahkoda yang berjuang mengendalikan kapal nafsu yang dapat membawa ke seberang keberkahan dan berjuang menjaring rida dari kiai, nyantri adalah cita-cita saya dari kecil, kenapa tidak? karena mayoritas penduduk di desa saya lulusan dari pondok pesantren bahkan ibu dan bapak saya juga pernah nyantri.Awal saya masuk pesanten yaitu pada umur 16 tahun tepat nya pada awal kelas 10 SMK, sebelum saya berangkat ke pesantren rasa penasaran dan takut menyelimuti pikiran saya. Bagaimana rasanya jauh dari keluarga, bagaimana rasanya hidup mandiri, dan seperti apa bentuk teman baruku nanti? Semua itu bercampur jadi satu di pikiran saya, namun rasa penasaranlah yang mendominasi dari semua rasa yang ada di hati saya saat itu, sebelum ibu dan bapak saya meninggalkan saya di penjara suci itu mereka berpesan “Saya menempatkan kamu di sini bukan
semata-mata untuk menuntut ilmu saja, carilah