Semua isolat yang diperoleh selanjutnya, di uji Gram dengan
menggunakan KOH 3%, diketahui bahwa rata-rata pada kelompok bakteri tahan panas dan non-fluorescence sebagian besar merupakan kelompok bakteri gram positif. Sedangkan semua isolat bakteri fluorescence yang diperoleh termasuk ke dalam kelompok bakteri gram negatif. Dan hanya satu dari 97 isolat bakteri kelompok kitinolitik yang termasuk gram negatif, sisanya termasuk kelompok gram positif. Ciri khas pengelompokkan kelompok bakteri berdasarkan gram positif dan negatif terutama didasarkan pada perbedaan lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri. Menurut Pelchzar dan Chan (1986) bakteri gram positif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal berupa asam teiokat, sedangkan bakteri gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan pada dinding sel yang tipis. Sehingga, perlakuan KOH 3% terhadap massa bakteri gram negatif akan menyebabkan rusaknya dinding sel bakteri dan melepas DNA yang merupakan komponen yang bersifat viscid (seperti lendir).
Selain pengujian gram, karakteristik yang dilakukan lainnya adalah pengujian hipersensitif. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah isolat tersebut patogen tumbuhan atau bukan. Hasil pengujian diketahui bahwa, sebanyak 85% dari total semua populasi bakteri bukan merupakan bakteri patogen tumbuhan yang ditandai dengan reaksi negatif dari uji hipersensitif. Hal ini, menunjukkan bahwa kelompok bakteri tahan panas, kitinolitik fluorescence dan non fluorescence yang ada pada petak yang diberi perlakuan lebih banyak bakteri
yang menguntungkan terhadap tanaman.
Hasil analisis statistika diketahui bahwa aplikasi PGPR berpengaruh terhadap peningkatan kelimpahan bakteri kelompok fluorescence (Tabel 4). PGPR yang diaplikasikan merupakan kombinasi antara B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003. Ada kemungkinan bakteri fluorescence yang diaplikasikan terisolasi kembali. Oleh karena itu, dilakukan karakterisasi secara morfologi dan fisiologi terhadap 5 jenis isolat terbanyak, dengan asumsi bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri yang lebih dominan dan mampu bertahan dibandingkan dengan bakteri lain. 5 isolat terbanyak untuk kelompok fluorescence adalah F3, F4, F7, F9 dan F11.
Tabel 4 Pengaruh perlakuan varietas, mulsa jerami dan aplikasi PGPR terhadap
kelimpahan bakteri rizosfer
Perlakuan Kelimpahan bakteri(log cfu/g tanah)
Kitinolitik Tahan panas fluorescence Non-fluorescence
Anjasmoro 7.26 a 11.97 a 5.42 a 11.31 a
Gepak Kuning 7.78 a 12.03 a 5.96 a 11.77 a
Mulsa Jerami 7.94 a 12.09 a 6.36 a 11.70 a
Tanpa Mulsa
jerami 7.10 a 11.90 a 5.02 a 11.37 a
PGPR 8.02 a 12.02 a 6.69 a 11.63 a
Tanpa PGPR 7.02 a 11.97 a 4.69 b 11.45 a
Ket : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan 5%).
Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi Isolat Terbanyak
Bakteri Tahan Panas
Hasil isolasi diketahui lima isolat terbanyak untuk kelompok bakteri tahan panas yaitu T31, T42, T48, T61 dan T70. Karakterisasi fisiologi yang dilakukan adalah uji endospora dan uji pada medium agar darah. Hasil pengujian endospora melalui pewarnaan malachite green dan pewarna lawan safranin pada semua isolat yang diuji menunjukkan endospora berwarna hijau dengan sel vegetatifnya berwarna merah muda seperti tampak pada Gambar 13.
a
b
Gambar 13 Endospora T61 (hijau) didalam sel vegetatifnya (merah), posisi endospora ditengah (a); Endospora T70 (hijau) didalam sel vegetatifnya (merah), posisi endospora didekat ujung (b); Insert: Endospora ditengah sel (kiri), endospora diujung sel (kanan)
Tabel 5 Hasil pengujian endospora isolat tahan panas terbanyak
No Kode isolat Ada/tidaknya
Posisi endospora
endospora
1 T31 Ada Dekat ujung
2 T42 Ada Dekat ujung
3 T48 Ada Tengah
4 T61 Ada Tengah
5 T70 Ada Dekat ujung
6 B. subtilis AB89 Ada Dekat ujung
Hasil pengujian, seperti tersaji pada Tabel 5 diketahui bahwa semua isolat tahan panas yang diuji memiliki endospora, akan tetapi, diketahui ada tiga isolat yang memiliki posisi endospora yang sama dengan B. subtilis AB89 diantaranya adalah T31, T42 dan T70. Menurut Pelczar dan Chan (1986) endospora berfungsi sebagai struktur bertahan. Dibandingkan dengan sel vegetatif, endospora sangat resisten terhadap kondisi-kondisi fisik yang kurang menguntungkan seperti suhu tinggi dan kekeringan juga terhadap bahan-bahan kimia seperti desinfektan. Beberapa ahli telah menghubungkan resistensi ini dengan selubung spora yang impermeable, yang berkaitan dengan kompleks asam dipikolinatkalsium- peptidoglikan. Keadaan ini menjadi penting bagi ketahanan hidup Bacillus sp. khususnya sebagai agensia pengendalian hayati. Beberapa jenis bakteri yang memiliki endospora selain Bacillus sp, adalah Clostridium sp dan Sporosarcina sp. Hasil pengamatan diketahui posisi endospora dapat terletak ditengah dan didekat ujung sel. Menurut Salle (1973) masing-masing spesies Bacillus memiliki karakteristik tersendiri baik ukuran, bentuk dan posisi spora walaupun variasi ini bisa berubah dalam lingkungan yang berbeda.
Selain endospora, uji lain yang dilakukan adalah uji pada medium agar darah. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui sifat lisis dari isolat bakteri terhadap medium agar darah. Hasil pengujian diketahui bahwa B. subtilis AB89 menunjukkan reaksi lisis yang bersifat -hemolisis, ada 3 isolat yang menunjukkan reaksi yang sama dengan B. subtilis AB89 yaitu isolat T42, T48 dan T70 (Tabel 6 dan Gambar 14).
2 T42 -hemolisis Terlisis sempurna. warna lisis
3 T48 -hemolisis Terlisis sempurna. warna lisis
5 T70 -hemolisis Terlisis sempurna. warna lisis
6 B. subtilis AB89 -hemolisis Terlisis sempurna. warna lisis Tabel 6 Reaksi lisis isolat terbanyak kelompok tahan panas pada medium agar
darah
No Kode isolat Sifat lisis Keterangan
1 T31 -hemolisis Tidak adanya perubahan warna
bening bening
4 T61 -hemolisis Tidak adanya perubahan warna
bening bening
Gambar 14 Reaksi hemolisis pada agar darah isolat bakteri tahan panas terpilih (tampak depan) (A); Reaksi hemolisis pada agar darah isolat bakteri tahan panas terpilih (tampak belakang) (B); a)T31, b) T42, c) T48, d) T61, e) T70, f) B. subtilis AB89, g) kontrol (LB); -hemolisis (tanda panah biru), -hemolisis (tanda panah kuning).
Hasil uji endospora dan uji pada medium agar darah, diketahui isolat T42, T48 dan T70 memiliki kesamaan dengan isolat B. subtilis AB89. Akan tetapi, dilihat secara morfologi terdapat perbedaan antara isolat T42, T48 dan T70 dengan isolat B. subtilis AB89 (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa isolat tersebut diduga bukan merupakan B. subtilis AB89. Diduga, B. subtilis AB89 kurang mampu bertahan dan bersaing dengan mikroorganisme lain yang sebelumnya telah ada di lapangan. Simon et al (2001) menyatakan bahwa strain Bacillus pertumbuhannya relatif terbatas dibanding strain Pseudomonas.
Non- Ber-
parafin parafin
Tabel 7 Morfologi isolat T42, T48, T70 dan B. subtilis AB89
Kode Isolat
Bentuk Warna Tepian Elevasi Berlendir/ Tidak
T42 Bundar Putih kusam Licin Cembung Tidak
T48 Bundar Putih kusam Berombak Cembung Tidak
T70 Bundar Putih kusam Seperti benang Timbul Tidak
B.subtilis AB89
Bentuk L
Putih kusam Berombak Datar Tidak
Bakteri Fluorescence
Kelompok yang kedua yang dikarakteristik adalah kelompok fluorescence. Isolat terbanyak pada kelompok ini adalah F3, F4, F7, F9 dan F11. Hasil uji LOPAT, diketahui hanya isolat F9 yang berbeda dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan (P. fluorescens RH4003). Sedangkan, isolat lainnya menunjukkan karakter yang sama dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan (Tabel 8).
Tabel 8 Hasil uji LOPAT isolat kelompok fluorescence terbanyak Uji LOPAT Kode isolat Levan Oksidase Potato
Soft rot Arginin Tobacco hyper- sensitive F3 + + - + + - F4 + + - + + - F7 + + - + + - F9 - - + - - - F11 + + - + + - P. fluorescens RH4003 + + - + + -
Hasil uji levan, diketahui hanya isolat F9 yang bereaksi negatif (Tabel 8). Sedangkan isolat lainnya menunjukkan reaksi yang positif. Reaksi positif ditandai dengan koloni yang cembung, membentuk kubah (Gambar 15). Levan terbentuk sebagai akibat aktifitas enzim dari levan sukrase dalam sukrosa (disakarida yang terdiri dari glukosa dan fruktosa). Glukosa dimetabolisme dan fruktosa dipolimerasi (Schaad 2001).
Gambar 15 Uji levan isolat fluorescence (A); Reaksi positif uji levan, koloni
seperti kubah (cembung jelas), putih, mucoid (B); Reaksi negatif uji levan, koloni datar, tidak berkilau dan transparan (C).
Pengujian yang kedua adalah uji oksidase. Enzim oksidase memegang peranan yang penting dalam operasi sistem transport elektron selama proses respirasi secara aerob. Cytocrom oksidase, mengkatalisis oksidasi dengan mereduksi molekul oksigen (O2), menyebabkan atau menghasilkan bentuk H2O atau H2O2. Bakteri yang anaerobik, sebagiamana beberapa yang fakultatif anaerobik dan mikro aerophilik, memperlihatkan aktifitas oksidase (Salle 1973).
Gambar 16 Reaksi oksidase isolat fluorescence (A); Reaksi oksidase positif (+) berwarna ungu (B.a); Reaksi oksidase negatif (-) tidak terjadi perubahan warna (B.b).
Pengujian yang ketiga adalah Potato Soft Root. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas pektolitik isolat bakteri yang diuji yakni dalam menghasilkan enzim pektinase (Schaad 2001). Diketahui bahwa hanya isolat bakteri F9 yang bereaksi positif, artinya hanya isolat bakteri tersebut yang mampu menghasilkan enzim pektinase (Gambar 17). Sedangkan, pengujian terakhir yaitu reaksi hidrolisis arginin. Hasilnya diketahui bahwa isolat F3, F4, F7
dan F11 bereaksi positif. Hal ini menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut bersifat anaerob. Fahl dan Hayward (1983) menyatakan bahwa enzim arginin desmidase di dalam bakteri memiliki peranan sebagai pendegradasi arginin yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh pada kondisi anaerobik. Enzim-enzim tersebut (generate) ATP dengan cara mengubah arginin menjadi ornitin dengan cara menggenerasi CO2 dan NH3. Perubahan warna terjadi karena reaksi yang bersifat alkalin merupakan reaksi yang bersifat alkalin dari produksi NH3 pada lingkungan yang anaerob.
Gambar 17 Reaksi potato soft rot positif (+) umbi busuk. Kecoklatan, berlendir (A.a); Reaksi potato soft rot negatif (-) umbi segar, tidak terjadi perubahan warna (A.b); Reaksi potato soft rot pada isolat fluorescence (B).
Dari hasil semua pengujian karakterisasi pada kelompok fluorescens, diketahui hampir semua isolat bakteri yang diuji menunjukkan karakteristik yang sama dengan bakteri PGPR yang diaplikasikan yaitu P. fluorescens RH4003, kecuali isolat F9. Dilihat dari morfologi koloni isolat yang mirip dengan P. fluorescens RH4003 adalah isolat F4 dan F7. Untuk lebih meyakinkan, seharusnya dilakukan analisis secara molekuler untuk mengetahui kemiripan isolat tersebut.
Bakteri Kitinolitik
Karakterisasi juga dilakukan pada kelompok bakteri kitinolitik. Berdasarkan hasil pengujian diketahui 5 isolat bakteri kitinolitik dengan populasi terbanyak, memiliki aktifitas zona bening yang beragam. Mulai dari sangat kuat sampai
rendah. Isolat kitinolitik terbanyak adalah K17, K21, K29, K31 dan K37. Hasilnya diketahui bahwa isolat kitinolitik K17 mempunyai aktifitas kitinolitik yang sangat kuat sebesar 2.1 cm (Gambar 18). Bakteri penghasil enzim kitinolitik banyak berada pada habitat yang memiliki kandungan kitin tinggi, seperti kompos yang mengandung kitin (Sakai et al. 1998), eksosskeleton crustaceae (Vogan et al. 2002), air laut, sedimen laut (Brzezinska dan Donderski 2001) dan tanah (Chernin et al. 1995)
Gambar 18 Aktivitas kitinolitik isolat K17 pada medium kitin.
Adanya aktifitas zona bening pada medium kitin, menunjukkan bahwa bakteri
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim kitinolitik yang mampu
mendegradasi kitin. Lebih lanjut dijelaskan Patil (2004) Enzim kitinolitik merupakan enzim ekstraseluler untuk pengambilan nutrisi dan parasitisme. Brzezinska dan Donderski (2001) menambahkan, bakteri memproduksi enzim kitinolitik untuk mendegradasi kitin sehingga memperoleh N-asetilglukosamin sebagai nutrisi karbon dan nitrogen untuk proses hidup bakteri. Thompshon et al (2001) melaporkan bahwa degradasi kitin oleh enzim kitinolitik bakteri adalah untuk memperoleh N-asetilglukosamin yang selanjutnya akan dimetabolisme sehingga menghasilkan energi, CO2, H2O dan NH3. Menurut Metclaf et al (2002) peranan bakteri kitinolitik penting dalam mempertahankan siklus karbon dan nitrogen dari degradasi kitin dalam ekosistem. Hasil isolasi kelompok bakteri ini dapat dijadikan koleksi untuk kemudian dapat dijadikan calon agen antagonis untuk penyakit-penyakit pada kedelai.
KESIMPULAN
Varietas, pemberian mulsa jerami dan aplikasi PGPR secara bersama-sama tidak mempengaruhi perkembangan penyakit pustul bakteri pada kedelai. Tetapi, hanya faktor varietas dan interaksi antara varietas dengan pemberian mulsa jerami
yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan penyakit pustul.
Perkembangan penyakit pustul bakteri pada varietas Gepak Kuning lebih rendah dibandingkan dengan pada varietas Anjasmoro. Kombinasi perlakuan varietas Gepak Kuning dan pemberian mulsa jerami mampu menekan perkembangan penyakit pustul bakteri dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain.
Aplikasi PGPR hanya meningkatkan kelimpahan bakteri kelompok fluorescence,
sedangkan perlakuan lainnya tidak mempengaruhi kelimpahan bakteri rizosfer.
SARAN
1. Perlu dilakukan pengujian aplikasi PGPR di lapangan dengan frekuensi dan dosis yang berbeda.
2. Perlu adanya identifikasi secara molekuler untuk mengkonfirmasi hasil identifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
[ATTRA] Appropiate Technology Transfer for Rural Areas. 2001. Biointensive Integrated Pest Management (IPM) fundamentals of sustainable agriculture. NCAT Agr Specialist [On-line] .http://attra.ncat.org/attra-pub/ipm.html. [15 Juli 2010].
Agarwal VK, Sinclair JB. 1997. Principles of Seed Pathology 2nd Ed. Boca Rotan, Florida: CRC Press Inc.
Agrios GN. 2005. Plant Pathology 5th Ed. San Diago: Elsivier Academic Press. Anggraeni DK, Tjahyono B, Suwanto A, Aswidinnor H. 1995. Pengujian
ketahanan genotip kedelai terhadap penyakit bisul bakteri. Bul Agron 23 (3) 14-19.
Arwiyanto T, Sudarmadi, Hartana I. 1999. Deteksi strain Pseudomonas solanacearum penghasil bakteriosin. J Perlintan Indonesia. 2 (2): 60 - 65. Baker KF, Cook RJ. 1983. Biological Control of Plant Pathogen. San Fransisco:
Freeman and Co.
Balitkabi [Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian]. 2008.
Hama dan Penyakit Penting pada Tanaman Kedelai [On-line].
http://balitkabi.litbang.deptan.go.id. [10 April 2011].
Bolan NS. 1991. A critical review of the role of mycorrhizae fungi in the uptake of phosphorus by plants. J Plant and Soil 134: 189-207.
Brimecombe MJ, Leij FA, Lynch JM. 2001. The effect of root exudates on rhizosphere microbial populations. Di dalam: Pinton R, Varanini Z, Nannipieri P. Editors. The Rhizosphere: Biochemistry and organic subtances at the soil plant interface. New York: Marcel Dekker, Inc. 95-140.
Brzezinska MS, Donderski W. 2001. Occurance and activity of the chitinolytic bacteria of Aeromonas genus. Polish J of Enviro Studies 10 (1): 27 – 31. Chernin LS, Michael KW, Jacquelyn MT, Shoshan H, Barrie WB, Cheat W,
Gordon SAB, Stewart. 1998. Chitinolytic activity in Chromobacterium violaceum. J. Bacteriol 18: 435-441.
Compant S, Duffy B, Nowak J, Clement C, Barka EA. 2005. Mini review: Use of plant growth-promoting rhizobacteria for biocontrol of plant diseases: principles, mecanism of action and future prospect. Appl Environ Microbiol 71: 4951-4959.
Cook RJ, Baker KF. 1996. Biological Control of Plant Patogen 2nd Ed. San Fransisco: Freeman and Co.
Crosa JH, Walsh CT. 2002. Genetics and assembly line enzymology of siderophore biosynthesis in bacteria microbiology and molecular biology
Dirmawati SR. 2004. Kajian keefektifan beberapa komponen pengendalian ramah
lingkungan terhadap penyakit pustul bakteri kedelai [disertasi].
Departemen Proteksi Tanaman; Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Doring T, Heimbach U, Thieme T, Finckch M, Saucke H. 2006. Aspect of straw mulching in organic potatoes-I, effects on microclimate, Phytophtora infestans, and Rhizoctonia solani. Nachrichtenbl. Deut. Pflanzenschutzd. 58 (3):73-78.
Dufour R. 2001. Biointensive Integrated Pest Management (IPM). NCAT Agri Specialist [On-line]. http://www.attra.org/attra-pub/PDF/ipm.pdf.[15 Juli 2010].
Ellen Yeh, Benjamin A. Pinsky, Niaz Banaei, Ellen Jo Baron. 2009. Hair Sheep Blood,Citrated or Defibrinated, Fulfills All Requirements of Blood Agar for Diagnostic Microbiology Laboratory Tests. J Med 4(7): 6141. Fahl R, Hayward AC. 1983. Systematic and Phylogeny of Pseudomonas
solanacearum and related Bacteria.Di dalam: Hayward, A. C. and G. L. Hartman. Bacterial Wilt. The Disease and The Causative Agents Pseudomonas solanacearum (Eds). Wallingford: CABInternational. 123 – 136.
Fanani FA, Nurdin, Djafaruddin. 1981. Uji Ketahanan Beberapa Varietas dan Galur Kedelai Terhadap infeksi Secara alamiah dari Penyakit Karat Daun (Phakopsora pachyrhizi Syd.). Kongres Nasional PFI ke VI. Padang. 40- 46.
Franklin dan Snow. 1981. Di dalam: Salamah. 1999. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Fusarium Pada Tanaman Semangka Dengan Bacillus spp. [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana: Universitas Gadjah Mada. Gao JMW, Bauer KR, Shockley MA, Pysz RM, Kelly. 2003. Growth of
Hiperthermophilic Archaeon Pyrococcus furiosus on Chitin Involves Two Family 18 Chitinases. J Appl Environ Microbiol. 69:319-3128.
Glick Br, Patten CL, Holguin G, Penrose DM. 1999. Biochemical and Genetic Mechanism Used by Plant Growth Promoting Bacteria. Ontario: Imperial Collage Press.
Goodman RN, Novacky AJ. 1996. The Hypersensitive Reaction in Plant to Pathogens, A Resisten Phenomenon. St. Paul. Minnesota: APS Press. Graham Jh. 2005. Biological Control of Soilborne Plant Pathogens and
Nematodes 2nd Ed. New Jerse: Pearson Education Inc.
Hafizah F. 2009. Introduksi Bakteri Rizosfer Indigenous dan Penggunaan Mulsa Jerami pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascal onicum L) untuk Menekan Laju Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri [tesis]. Padang: Program Pascasarjana, Universitas Andalas.
Handini ZVT. 2011. Keefektifan Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria dalam Menekan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat [skripsi]. Departemen Proteksi Tanaman: Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Hartman GL, Sinclair JB, Rupe JC. 1999. Compendium of Soybean Diseases 4th Ed. United State Of America: The American Phytopathology Society Press.
Khaeruni AR. 1998. Pengaruh Bakteri Kitinolitik dan Fotosintetik Anoksigenik
terhadap Kemampuan Pseudomonas flourescens B29 sebagai Biokontrol
Penyakit Bisul Bakteri pada Kedelai [Tesis]. Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Kohnke H, Bertrand AR. 1959. Soil Conservation. New York: McGraw Hill. Machmud M. 1987. Pengamatan penyakit pustul bakteri dan hawar bakteri
kedelai. Di dalam: Gatra penelitian penyakit tumbuhan dalam
pengendalian secara terpadu. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. p35-37. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock Biology of Microorganisms.
New Jersey: Prentice-Hall. International Edition.
Mahmood M, Farroq K, Hussain A, Sher R. 2002. Effect of mulching on growth and yield of potato crop. Asian J. of Plant Scie. 1(2):122-133.
Mariani. 1995. Isolasi dan seleksi bakteri filosfer yang berpotensi untuk biokontrol Xanthomonas campestris pv. glycines 8 Ra pada tanaman kedelai dengan esei nukleasi es. Bogor: Jurusan Biologi, Fakultas MIPA IPB.
Mastur, Sunarlim N. 1993. Pengaruh drainase/irigasi dan pemberian mulsa jerami padi terhadap sifat fisik tanah dan keragaan kedelai. Risalah hasil Penelitian tanaman Pangan I. Bogor:BPPT 67-74.
Metcalf AC, Krsek M, Gooday GW, Prosser JI, Wellington EMH. 2002. Molecular analysis of a bacterial chitinolytic community in an upland pasture. J Appl Environ Microbiol. 68:5042–5050.
Mustaha MA. 1999. Studi aplikasi mulsa jerami padi dan cara pengolahan tanah terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung serta dinamika populasi gulma. [tesis]. Bogor: program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Oerke EC, Dehne HW, Schonbeck F, Weber A. 1999. Crop Production and Crop Protection: estimated losses in major food and cash crops. Netherlands: Elseiver Science B.V.
Oke DO, Ologun. 2005. Effect of mulch from four agroforestry species on the moisture content, temperature and microbial population in a humid tropical soil. J of Microbiol Scie 5(3): 326-329.
Patil NN, Nawani NN, Thakkar AP, Kapadnis BP. 2004: Diversity of chitinolytic systems of bacteria. Di dalam: Biotechnological approaches for sustainable development. India: Allied Publishers.
Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2..
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta :UI Pr; 1986. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.
Pleban S, Chernin L, Chet I. 1997. Chitinolytic enzymes of an endophytic strain of Bacillus cereus. Lett. J Appl Microbiol. 25: 284-288.
Porter, J. R. 1946. Bacterial Chemistry And Physiology. New York: John Wiley and Sons Inc.
Rukayadi Y, Suwano A, Tjahono B, Harling R. 1999. Survival and Epiphytic fitness of a Non Pathogenic Mutant of Xanthomonas campestris pv. glycines. J App Environ Microbiol. 66 (3), 1183-1189.
Rukmana R, Yuniarsih Y. 1996. Kedelai: Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta:Kanisius.
Sakai K, Yokota A, Kurokawa H, Wakayama M, Moriguchi M. 1998. Purification and characterization of three thermostable endochitinases of a noble Bacillus strain, MH-1, isolated from chitin-containing compost. J Appl Environ Microbiol 64: 3397–3402.
Salle A J. 1973. Fundamental Principles of Bacteriology. 7th edition. New Delhi:
Tata McGraw-Hill Publishing Company.
Schaad NW. 2001. Laboratory Guide for Identification of PlantPathogenic Bacteria 3rd Ed. St. Paul. Minnesota: APS Press.
Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sharma AK. 2002. Organic Farming. India: Central Arid Zone Research institute
Jodhpur, Agrobios.
Sharma O P, 1993. Plant Taxonomy. New Delhi: Tata McGraw Hill Poblishing
Company Limited.
Sigh DP. 1986. Breeding for Resistance to Disease and Insect Pest. Berlin: Springer, Verlag.
Simon HM. 2001. Influence of tomato genotype on growth of inoculated and indigenous bacteria in the spermosphere. J Appl Environ Micro 67:514- 520.
Sinclair JB, Backman BA. 1989. Compendium of Soybean Disease. 3rd Ed. United States of America: The APS.
Sinclair JB, Juli WA, Dyer RJ, Larson AO. 1989. Sampling and histological procedures for diagnosis of ash yellows Plant Dis. 73:432-842.
Sinclair JB. 1982. A Compendium of Soybean Disease 2nd Ed. St. Paul Minnesota, USA: Ac. Press
Stermer BA. 1995. Molecular regulation of systemic induced resistance. Di
dalam:Hammers chmidf R, Kuc J. Editors: Induced resistance to disease in plants. Netherlands: Klower Academic Publishers. 111-140.
Sudjono MS, Amir M, Martoatmodjo R. 1985. Penyakit Kedelai dan
Penanggulangannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengambangan
Tanaman Pangan. 331-356.
Sudjono MS. 1997. Karakteristik Mikroba Penghasil Kitinase dan Kloning Gen Kitinase dan gen Cry dari Mikroba di Indonesia. Bogor: Balai Penelitian
Bioteknologi Tanaman Pangan.
Sudriatna U, Damanhuri R, Partohardjono S. 1993. Pemanfaatan jerami padi pada tanaman kedelai dalam pola padi-padi-kedelai di lahan sawah. Risalah
seminar Hasil penelitian Sistem Usahatani dan Sosial-Ekonomi.
Bogor:BPPT.
Suskandini R, Eviyati R. 2007. Pestisida organik berbahan aktif bakteri agensia hayati yang efektif mengendalikan pustul bakteri pada kedelai. J. Agrijati 6 (1) 37-42.
Sutarto VI, Bangun P, Subakti. 1988. Penampilan pertumbuhan dan hasil kedelai
terhadap pengolahan tanah minimum, pemberian mulsa dan penempatan
biji setelah padi sawah. Di dalam Utomo IH, Wiroatmodjo J, editor. Prosiding Seminar BPD TOT. Bogor: IPB. 53-68.
Suwanto A, Friska H, Sudirman I. 1996. Karakteristik Pseudomonas fluorescens B29 dan B39: profil DNA genom, uji hipersensitivitas, dan asal senyawa bioaktif. J Hayati 3: 15-20.
Thompson HC, Willey WC. 1972. Vegetable Crops. New York: Mc Graw Hill
Book Company.
Thompson SE, Smith M, Wilkinson MC, Peek K. 2001. Identification and characterization of a chitinase antigen from Pseudomonas aeruginosa strain 385. J Appl Environ Microbiol. 67 (9): 4001-4008.
Towsend dan Hueberger. 1943. Di dalam: Unterstenhofer, G. 1963. The basic principles of crop protection field trials. Pp. 155. In Pflanzerschutz Nachtichten Bayer Vol. XXIX. No. 2, Bayer Pflanzerschutz –Leverkusen. Van der Plank, JE. 1963. Plant Disease: Epidemics an Control. London:
Academic press.
Varadan KM, Rao AS. 1983. Effect of mulch on soil temperature in humid tropical latosol under coconut and banana. J Agric Meteor 28:375-386. Vauterin .1995. Di dalam: CAB International 2005. Crop Protection Compendium
[CD-ROM]. America: CAB International. CD dan buku petunjuk. ISSBN: 0 85 199 086 X.
Vogan CL, Costa RC, Rowley AF, 2002. Shell Disease Syndrome in the edible crab, Cancer pagurus – isolation, characterization and pathogenicity of chitinolytic bacteria. J Microbiol 148:743–754.
WAC [ World Agroforestry Center]. 2005. Mulsa: Cara mudah untuk konservasi
tanah [On-line]. http://epetani.deptan.go.id/cara-mudah-konservasi-tanah-
815. [28 Juli 2011].
Wang SL, Chang WT. 1997. Purification and Characterization of Two Bifunctional Chitinases/Lisozymes Extracellularly Produced by P. aeruginosa K-187 in Shrimp and Scrab Shell Powder Medium. J Appl and Environ Microbiol. 63: 380–386.