• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Multivariat Faktor-Faktor yang mempengaruhi KKvM Analisis multivariat pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui Analisis multivariat pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui

HASIL PENELITIAN

4.7 Analisis Multivariat Faktor-Faktor yang mempengaruhi KKvM Analisis multivariat pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui Analisis multivariat pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui

variabel independen yang paling dominan mempengaruhi KKvM selama perawatan. Dari analisis bivariat sebelumnya, sesuai sarat-sarat variable-variabel yang memiliki nilai signifikansi <0,25 (Dahlan, 2011) dapat dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik untuk mengetahui variabel mana yang paling berpengaruh terhadap timbulnya KKvM.

Dari uji multivariat dengan regresi logistik, diperoleh 3 faktor independen paling signifikan yang bisa memprediksi KKvM yaitu Skor QRS akhir, fraksi

ejeksi, dan kelas killip. Skor QRS akhir memiliki hubungan yang paling signifikan terhadap KKvM (p = 0,003; OR 4,9 ; 95% IK: 1,247 – 24,385) yang menunjukkan bahwa nilai Skor Selvester Yang Disederhanakan pada hari ke-4 rawatan dengan nilai >10 pada pasien IMAEST berisiko 4,9 kali lebih besar terjadi KKvM bila dibandingkan dengan nilai skor ≤ 10 (Tabel 4.9).

Tabel 4.9 Uji multivariat terhadap KKvM

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang menganalisis hubungan Skor Selvester yang disederhanakan terhadap KKvM 30 hari paska IMAEST. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkiraan ukuran infark final berdasarkan Skor Selvester yang disederhanakan yang dinilai pada hari ke-4 rawatan, memiliki kemampuan memprediksi KKvM 30 hari paska IMAEST.

Setelah penyesuaian dengan berbagai faktor lain yang dapat menyebabkan KKvM, Skor Selvester >10 tetap konsisten menunjukkan kemampuannya sebagai prediktor independen KKvM yang paling signifikan dibandingkan prediktor lain, dengan nilai OR terkuat (OR 4,9 ; 95% IK: 1,247 – 24,385 ; p = 0,003).

Penelitian ini ditujukan pada pasien IMAEST yang tidak dilakukan tindakan reperfusi dini ( ≤12 jam). Skor Selvester yang disederhanakan pada hari ke-4 rawatan diharapkan tidak dipengaruhi oleh proses stunning miokardium paska reperfusi dini (Braunwald E, 2012).

Pengukuran Skor Selvester yang disederhanakan dilakukan secara manual oleh dua orang residen kardiologi senior yang tidak mengetahui riwayat KKvM pasien. Rata-rata selisih hasil pengukuran kedua observer adalah 0,45+0,55.

Dilakukan analisis korelasi Pearson diantara kedua hasil pengukuran dan didapatkan nilai r=0,978. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil pengukuran memiliki reliabilitas yang baik. Lebih lanjut, penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa variasi pengukuran manual dapat diterima (Wagner GS, 1982). Contoh perhitungan Skor Selvester disertakan dalam lampiran naskah ini.

Adapun informasi untuk mendapatkan KKvM dilakukan pada masing-masing pasien dengan melakukannya via telepon, terhitung 30 hari dari tanggal perawatan di RSUP HAM.

Skor QRS Awal

Pada penelitian ini, Skor QRS yang dinilai adalah Skor QRS awal (Skor Selvester yang Disederhanakan pada saat pertama pasien masuk rumah sakit) dan Skor QRS akhir (Skor Selvester yang disederhanakan pada rawatan hari ke-4).

Pada studi sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pasien IMAEST telah mencapai nilai Skor Selvester yang stabil pada hari ke-3 onset nyeri dada (Jones MG, 1990).

Skor QRS awal pada penelitian ini ternyata tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap KKvM. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa Skor QRS yang lebih tinggi pada saat presentasi awal berhubungan dengan KKvM jangka pendek (Shiomi H, 2017; Tjandrawidjaja MC, 2010; Uyarel H, 2006;). Hal ini dapat disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, pada penelitian ini, rata-rata onset nyeri dada adalah 22 jam, dengan onset yang paling cepat adalah 9 jam, dimana pada penelitian sebelumnya onset nyeri dada adalah < 12 jam. Shiomi H dkk menemukan bahwa Skor QRS yang lebih tinggi akan memiliki kemampuan prediktor yang lebih kuat pada kelompok dengan presentasi awal (onset ≤2 jam), yang menunjukkan kelompok dengan proses evolusi infark yang lebih cepat (Shiomi H, 2017). Kedua, Skor QRS pada penelitian sebelumnya dinilai saat sebelum dilakukan IKP primer. Skor QRS yang lebih tinggi sebelum dilakukan tindakan reperfusi menggambarkan ukuran infark yang lebih luas dengan kerusakan mikrosirkulasi yang lebih luas pula. Suatu penelitian menunjukkan adanya penurunan perfusi miokard pada Skor QRS yang lebih tinggi yang dinilai berdasarkan myocardial blush grade setelah tindakan reperfusi <6 jam onset nyeri dada (Kosuge M, 2011)

Skor QRS Akhir

Pada penelitian ini Skor QRS akhir dinilai pada EKG rawatan hari ke-4, dimana dianggap proses infark akut sudah selesai dan komplit (Shiomi H, 2017).

Dari studi sebelumnya juga telah disebutkan bahwa Skor QRS Selvester sudah mencapai nilai yang stabil 3 hari setelah onset nyeri dada (Jones MG, 1990;

Christian TF, 1991). Pada pasien IMA yang tidak dilakukan tindakan reperfusi dini dan mendapatkan terapi konvensional, telah ditunjukkan bahwa Skor Selvester berkorelasi sangat baik terhadap fungsi dan ukuran infark ventrikel kiri

berdasarkan pemeriksaan sidik perfusi dan enzim jantung puncak (Palmeri ST, 1982; Hindman N, 1986; Cowan M, 1987). Namun setelah era reperfusi, beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda, dimana Skor Selvester paska reperfusi dini memiliki korelasi yang lemah terhadap fungsi dan ukuran infark ventrikel kiri, berdasarkan pemeriksaan sidik perfusi ataupun pencitraan lainnya.

Skor Selvester tidak dapat menilai miokard yang mengalami stunning dan hibernasi, sedangkan dengan pemeriksaan pencitraan dapat dibedakan area mana dari miokard yang mengalami infark, iskemia, stunning, dan hibernasi paska reperfusi dini. Inilah yang menyebabkan perbedaan hasil Skor Selvester dan pencitraan paska reperfusi dini, dimana terdapat estimasi yang berlebih dari ukuran infark dengan menggunakan Skor Selvester dibandingkan dengan MRI.

Dari perbedaan hasil studi-studi tersebut (tanpa reperfusi dini dan dengan reperfusi dini) dapat juga disimpulkan bahwa sepertinya pada pasien IMAEST tanpa reperfusi dini, hampir seluruh area miokard yang berisiko akan menjadi infark tanpa ditemukannya area yang mengalami hibernasi atau stunning (Christian TF, 1991).

Rata-rata Skor QRS akhir pada penelitian ini adalah 9±2,9. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya, dan memang diharapkan demikian, mengingat penelitian ini dilakukan pada subjek yang tidak dilakukan reperfusi dini. Tjandrawidjaja dkk melaporkan nilai Skor Selvester yang lebih rendah, yaitu 6, pada 5.749 pasien IMAEST paska IKP primer (Tjandrawidjaja MC, 2010). Barbagelata dkk melaporkan Skor yang lebih rendah pada pasien IMAEST paska fibrinolitik, yaitu 7,5 (Barbagelata A, 2004). Terdapat bukti yang konsisten yang menyatakan bahwa reperfusi dini menurunkan perubahan gelombang QRS. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien yang dilakukan reperfusi dini menunjukkan perubahan QRS yang lebih sedikit dibandingkan pasien kontrol (Barbagelata A, 2004).

Nilai Cutoff Skor QRS Akhir

Nilai Cutoff pada penelitian ini didapatkan melalui kurva ROC. Dengan mengambil nilai titik potong >10, dianggap memiliki keseimbangan yang optimal dalam memprediksi KKvM berdasarkan kurva ROC, dengan sensitivitas 79% dan

spesifisitas 85%. Studi sebelumnya melaporkan nilai cutoff yang lebih rendah pada pasien IMAEST paska reperfusi dini, yaitu >4, dengan sensitivitas 77,3%

dan spesifisitas 72,7%. (Kalogeropoulos AP, 2008). Pada pasien IMAEST paska fibrinolitik, Barbagelata dkk melaporkan cutoff >9 (Barbagelata A, 2004).

Kebanyakan peneliti memakai nila skor >7 pada kelompok pasien dengan risiko tinggi (Jones MG, 1990; Shiomi H, 2017; Tjandrawidjaja MC, 2010).

Skor Selvester Yang Disederhanakan Sebagai Prediktor KKvM 30 Hari Paska IMAEST.

Pada penelitian ini, dari seluruh 71 subjek penelitian, 21 (38%) subjek mengalami KKvM 30 hari paska IMAEST, 4 subjek (5,6%) diantaranya meninggal dunia. Penelitian sebelumnya melaporkan hasil yang lebih rendah, dimana angka mortalitas 30 hari sebanyak 2% - 3,6%, dan KKvM 30 hari sebesar 14% (Barbagelata A, 2004; Uyarel H, 2006). Skor QRS akhir > 10 memiliki angka mortalitas lebih tinggi (10,7% vs 2,3%) dibandingkan dengan subjek dengan Skor QRS ≤10, namun secara statistik tidak bermakna (p=0,17). Setelah dilakukan analisis multivariat terhadap faktor-faktor prediktor lain yang , terlihat bahwa skor QRS akhir > 10 merupakan prediktor terkuat diantara dua prediktor yang lain yaitu kelas killip dan fraksi ejeksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, dimana pada analisis multivariat Skor Selvester yang disederhanakan dan fraksi ejeksi merupakan prediktor utama KKvM 30 hari paska IMAEST (Kalogeropoulus AP, 2008). Diabetes merupakan salah satu faktor risiko yang penting pada penyakit jantung koroner dan berhubungan dengan prognosis yang buruk setelah IMA. Ini disebabkan karena abnormalitas mikrovaskular koroner.

Pada penelitian ini, kelompok subjek yang mengalami KKvM memiliki proporsi diabetes yang lebih banyak dibandingkan kelompok tanpa KKvM (51,9% vs 20,5%, p=0,006).

Panduan penatalaksanaan IMAEST dari ESC tahun 2017 menyatakan bahwa ukuran infark final (final infarct size) merupakan salah satu prediktor KKvM terbaik pada pasien yang selamat paska IMAEST (Ibanez B, 2017).

Ukuran infark dapat mempengaruhi KKvM melalui dua mekanisme yang berbeda:

yaitu melalui kegagalan ventrikel kiri dan suatu “arrhythmogenic myocardium.”

Kedua mekanisme ini dapat menyebabkan kematian, bahkan tanpa didahului oleh kejadian iskemik ulangan. (Jones MG, 1990). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkiraan ukuran infark final berdasarkan Skor Selvester yang disederhanakan yang dinilai pada hari ke-4 rawatan, memiliki kemampuan memprediksi KKvM 30 hari paska IMAEST.

Pencitraan kardiovaskular memang telah banyak menggantikan pemerikaan EKG dalam memprediksi ukuran infark. Namun dalam memprediksi KKvM merupakan hal yang sangat kompleks. Data anatomik yang diperoleh berdasarkan pencitraan saja tidak akan dapat mencakup keseluruhan informasi pasien. Misalnya adalah informasi mengenai luas daerah infark dan abnormalitas konduksi intraventrikular, yang keduanya sangat berpengaruh terhadap kejadian KKvM. Walaupun pemeriksaan penanda neurohormonal dan pencitraan (sidik perfusi miokard atau MRI) dapat memprediksi ukuran infark, namun keduanya belum dapat menyediakan informasi mengenai abnormalitas konduksi.

Sebaliknya, analisis gelombang QRS pada EKG, selain lebih murah, mudah dan tersedia hampir diseluruh fasilitas kesehatan primer sekalipun, memberikan informasi bukan saja mengenai ukuran infark ( rasio gelombang Q, R dan S), namun juga menganalisis durasi gelombang QRS, sehingga memperhitungkan elemen dari konduksi intraventrikular (Kalogeropoulus AP, 2008). Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menyebabkan Skor Selvester tetap memiliki kemampuan prediktor yang independen pada analisis multivariat. Walaupun fraksi ejeksi ventrikel kiri juga memiliki kemampuan prediktor KKvM yang cukup signifikan, dengan menambahkan variabel EKG yang sederhana dan mudah, akan dapat meningkatkan kemampuan stratifikasi risiko tanpa tambahan biaya. Sebagai tambahan, kualitas gambar yang dihasilkan ekokardiografi tidak selalu adekuat dalam menilai fungsi ventrikel kiri. Sedangkan EKG adalah pemeriksaan standar dan tidak terlalu mahal dan dapat dilakukan oleh semua petugas medis.

Skor Selvester yang disederhanakan >10 merupakan pasien dengan resiko tinggi terjadinya KKvM dalam 30 hari, tanpa melihat akurasinya dalam memperkirakan ukuran infark. Metode sederhana dan murah ini dapat digunakan dalam mestratifikasi risiko pasien yang selamat paska IMAEST pada saat berobat

jalan, untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi agar segala upaya melalui pencegahan sekunder, terutama pemberian terapi yang sangat penting pada infark luas seperti pemberian penghambat EKA dan penyekat beta, dapat lebih dioptimalkan. Pada penelitian ini 75% pasien dengan Skor > 10 mendapat terapi penghambat EKA, sehingga masih terdapat peluang yang cukup besar untuk mengoptimalkan upaya pencegahan sekunder.

Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah sampel yang relatif lebih sedikit bila dibandingkan penelitian sebelumnya tidak dapat menganalisis EKG pasien dengan gambaran blok cabang berkas. Padahal gambaran EKG tersebut berhubungan dengan peningkatan mortalitas 30 hari paska IMAEST sekalipun pada pasien yang dilakukan terapi reperfusi dini (Wong CK, 2005). Penelitian ini berfokus pada KKvM jangka pendek, dan tidak dapat dijadikan pedoman sebagai prediktor jangka panjang. Follow up hanya dilakukan melalui telepon, sehingga KKvM lainnya seperti gagal jantung tidak dapat dinilai.

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Didapati hubungan bermakna pada beberapa variabel KKvM, yaitu diabetes mellitus, tekanan darah sistolik, denyut jantung, kelas Killip, infark anterior, risiko TIMI, fraksi ejeksi, dan Skor QRS akhir.

2. Setelah dilakukan analisis multivariat terhadap faktor-faktor prediktor lain yang , terlihat bahwa skor QRS akhir merupakan prediktor terkuat diantara dua prediktor yang lain yaitu kelas killip dan fraksi ejeksi dengan nilai OR 4,9 ; 95% IK: 1,247 – 24,385 ; p = 0,003

3. Nilai Cutoff untuk memprediksi KKvM jangka pendek pada pada penelitiam ini adalah >10.

6.2 Saran

1. Penilaian Skor Selvester sebaiknya rutin dilakukan pada setiap pasien IMAEST yang akan berobat jalan sebagai salah satu modalitas dalam menstratifiksi risiko pasien paska IMAEST untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi agar segala upaya melalui pencegahan sekunder, terutama pemberian terapi yang sangat penting pada infark luas seperti pemberian penghambat EKA dan penyekat beta, dapat lebih dioptimalkan. Pemeriksaan ini lebih murah, mudah, tersedia diberbagai fasilitas kesehatan dan dapat dilakukan oleh semua tenaga medis.

2. Diperlukan penelitian lanjutan dimana dilakukan follow up yang lebih panjang sehingga kemungkinan mendapatkan kejadian mortalitas lebih besar.

3. Follow up juga dilakukan tidak hanya melalui telepon, tetapi juga dengan wawancara langsung dengan subyek, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan yang diperlukan.

Dokumen terkait