• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mimi Mulyan

Dalam dokumen M R PROSIDING KBS 2 UNNES 2 596 854 (Halaman 53-57)

PERANAN BERBAGAI PIHAK DALAM BUDAYA LITERASI DI SEKOLAH UNGGULAN

Mimi Mulyan

Universitas Negeri Semarang

mimimulyani62@gmail.com ABSTRAK

Budaya literasi pada masyarakat Indonesia belum maksimal. Hal ini dibuktikan dari temuan beberapa penelitian pada tahun 2012 yang mengungkapkan bahwa budaya literasi anak Indonesia berada pada tingkatan terendah kedua (peringkat ke 64 dari 65 negara). Sehubungan dengan itu pemerintah mencanangkan budaya literasi di setiap sekolah sebelum pelaksanaan pembelajaran. Program ini sangat baik dan perlu segera direspon oleh seluruh instansi terkait dan masyarakat. Budaya literasi ini akan terwujud apabila ada kerja sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Banyak dampak positif positif yang dihasilkan dari budaya literasi ini. Salah satunya dibuktikan oleh SMAN 1 Temanggung yang telah melaksanakan budaya literasi sejak sebelum pemerintah mencanangkannya. Fasilitas baca yang kondusif, baik di perpustakaan maupun sudut baca di setiap kelas, serta ragam buku yang tersedia telah membentuk karakter minat baca yang tinggi pada siswa dan guru. Mereka sangat menyadari pentingnya budaya literasi. Kemampuan membaca dan menulis pada siswa pun telah mengalami peningkatan.

PENDAHULUAN

Kata literasi tentu sudah tidak asing bagi telinga kita. Kata tersebut dahulu diartikan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis. Walaupun definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, namun istilah literasi jarang dipakai dalam konteks pembelajaran persekolahan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya literasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Persekolahan di Indonesia tampaknya lebih senang menggunakan istilah pengajaran bahasa atau pelajaran bahasa daripada menggunakan istilah literasi. Pada masa itu, membaca dan menulis mungkin dianggap cukup sebagai pendidikan dasar bagi manusia guna menghadapi tantangan zaman dan kerasnya kehidupan.

Menurut Teale dan Sulzby (dalam Gipayana, 2010:9), konsep pengajaran literasi diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Seseorang disebut literate apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat dan

633 ISSN 2598-0610

e-ISSN 2598-0629

pengetahuan yang dicapainya dengan membaca, menulis, dan arithmetic memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakat (Gipayana, 2010: 9-10).

Sehubungan dengan perkembangan zaman, makna literasi mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sekarang kata literasi tidak hanya diartikan sebagai baca-tulis tetapi merupakan praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karena itu, para pakar pendidikan dunia berpaling kepada definisi baru tentang literasi. Selain itu, dewasa ini kata literasi banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi komputer, literasi virtual, dan literasi matematika. Dalam tulisan ini yang dimaksud literasi, yaitu membaca dan menulis sebagaimana yang dicanangkan pemerintah.

Budaya literasi dalam kehidupan, khususnya dalam dunia pendidikan sangat penting. Namun, berdasarkan hasil penelitian, budaya literasi masyarakat Indonesia sampai saat ini masih sangat rendah. Masyarakat Indonesia lebih banyak menggunakan budaya lisan, mungkin hal ini disebabkan peninggalan nenek moyangnya yang memiliki budaya lisan. Budaya literasi memang belum menjadi kebiasaan ataupun habit masyarakat Indonesia. Fenomena ini tercermin dari aktivitas masyarakat Indonesia ketika memiliki waktu luang, seperti menunggu di stasiun atau bandara. Mereka lebih banyak berbincang-bincang dengan orang lain/temannya, bertelepon, ‘bermain’ HP (main games, chatting-an, update status), atau bahkan banyak yang tidur. Sangat jarang waktu luang mereka digunakan untuk membaca atau menulis. Begitu pula di berbagai tempat pendidikan, siswa jarang ditugasi membaca atau gurunya memberikan contoh cara membaca dan menulis yang baik. Siswa akan membaca atau menulis bila diperintah gurunya, bukan berasal dari dalam dirinya sendiri. Inilah yang menyebabkan budaya literasi di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lain.

Dari beberapa penelitian lembaga internasional, salah satunya Programmefor International Student Assessment (PISA) ditemukan hasil indeks bahwa budaya literasi di Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia menempati

634 ISSN 2598-0610

e-ISSN 2598-0629

urutan ke-64 dari 65 negara tersebut. Selain itu, pada penelitian yang sama, PISA juga menemukan posisi membaca siswa Indonesia berada pada urutan ke-57 dari 65 negara yang diteliti. Di samping itu, berdasarkan data statistik UNESCO pada tahun 2012 ditemukan presentasi minat baca anak Indonesia sebanyak 0,001%. Ini mengandung makna bahwa dari 1.000 penduduk hanya satu orang saja yang memiliki minat membaca.

Untuk mengatasi rendahnya tingkat literasi siswa di Indonesia ini kemudian oleh pemerintah dilakukan gerakan budaya literasi (membaca) di sekolah-sekolah selama 15 menit sebelum pelaksanaan pembelajaran. Gerakan yang sangat baik ini sesungguhnya harus dibarengi dengan ketersediaan buku atau referensi bacaan di masing-masing sekolah. Apakah buku yang sesuai dengan tingkat kognitif atau karakteristik siswa sudah tersedia dan tercukupi? Berdasarkan hasil observasi ternyata tidak semua lembaga pendidikan bahkan daerah memiliki perpustakaan yang layak.

Rendahnya budaya literasi ini juga disebabkan oleh minimnya upaya membangun minat baca sejak dini, baik dari pihak orang tua maupun pendidik di lembaga-lembaga formal. Hal ini ditunjang pula oleh tingginya budaya lisan (seperti budaya menonton televisi) pada masyarakat Indonesia sehingga melemahkan minat baca dan tulis anak. Mereka hanya terfokus pada tontonan yang terdapat pada program televisi. Kondisi yang memprihatinkan ini dibuktikan dari temuan yang dijelaskan pada laman https://spotsatu.com bahwa dari data BPS dijelaskan jumlah waktu yang digunakan anak-anak Indonesia untuk menonton televisi sebanyak 300 menit per hari. Jumlah ini berbanding terbalik dengan anak-anak Australia yang menonton TV hanya 150 menit per hari. Begitu pula dengan anak-anak di Amerika, mereka menonton TV hanya 100 menit per hari, sedangkan di Kanada hanya 60 menit per hari.

Adanya fenomena ini seharusnya pemerintah, masyarakat, dan orang tua bekerja sama untuk mengupayakan pengadaan buku dan membangun minat/kecintaan anak terhadap buku. Buku yang disediakan harus sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif dan karakteristik siswa/anak sehingga tidak menimbulkan keengganan untuk membuka dan membacanya. Misalnya, buku untuk siswa SMP diusahakan sesuai dengan dunia mereka yang berada pada tahap operasinal konkret. Kolaborasi sekolah, masyarakat, dan orang tua ini diharapkan dapat membantu untuk meningkatkan

635 ISSN 2598-0610

e-ISSN 2598-0629

budaya literasi siswa Indonesia. Dengan demikian tanggung jawab pembudayaan literasi ini tidak hanya dibebankan kepada guru atau sekolah tetapi menjadi tugas semua komponen pendidikan (orang tua, masyarakat, lembaga terkait).

Untuk mewujudkan budaya literasi di sekolah, dapat dilakukan berbagai kegiatan yang menunjang gerakan ini, di antaranya mengakrabkan anak dengan buku yang sesuai dengan dunianya, menyediakan berbagai jenis buku bacaan di sudut kelas agar mudah diakses setiap saat, misalnya ketika tidak ada jam belajar, meminta bantuan buku ke penerbit atau hibah buku dari wali murid atau masyarakat lainnya, dan mendirikan taman bacaan di tempat tertentu atau gerobak baca. Di samping itu perlu juga dilakukan sosialisasi dari pemuka masyarakat atau sekolah kepada orang tua dan masyarakat awam tentang adanya pembatasan waktu menonton televisi dan bermain games bagi anak-anak.

Atas dasar itu, setiap sekolah tanpa terkecuali harus mendukung sepenuhnya terhadap pengembangan budaya literasi yang dicanangkan pemerintah. Pencanangan budaya literasi di sekolah diharapkan mampu memotivasi dan membangun minat baca siswa, serta memiliki kecintaan terhadap berbagai jenis bacaan. Upaya pembudayaan literasi sekolah ternyata sudah dilaksanakan oleh beberapa sekolah di Jawa Tengah. Salah satunya di SMAN 1 Temanggung.

Berdasarkan hasil penelitian, ternyata peran sekolah sangat penting dan menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literat. Untuk mengetahui bagaimana budaya literasi di SMAN 1 Temanggung, berikut ini gambarannya. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif karena data diperoleh berdasarkan pada kondisi obyek alamiah atau fenomena yang diteliti . Peneliti merupakan instrumen kunci. Penentuan sampel penelitian dilakukan secara purposive. Teknik pengumpulan data menggunakan trianggulasi (gabungan), teknik observasi langsung, wawancara, dan teknik dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan yaitu model Miles dan Huberman, yang mencakupi tiga langkah, yaitu mereduksi data, menyajikan data, serta menyimpulkan dan verifikasi data.

636 ISSN 2598-0610

e-ISSN 2598-0629

Dalam dokumen M R PROSIDING KBS 2 UNNES 2 596 854 (Halaman 53-57)