• Tidak ada hasil yang ditemukan

GANTI RUGI DI DALAM PENGADAAN TANAH

C. Musyawarah Sebagai Dasar Penentuan Ganti Rugi

Unsur musyawarah dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi menjadi syarat yang penting di dalam setiap proses pengadaan tanah. Essensinya adalah kesepakatan secara bulat antara pemilik tanah dengan pihak yang memerlukan tanah tentang besarnya nilai ganti rugi dan bentuk ganti rugi.

Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.132

Kata-kata saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, menunjukkan bahwa para pihak yang ada di dalam proses musyawarah berkedudukan hukum yang sama atau sederajat. Kata-kata didasarkan atas kesukarelaan, memberikan makna bahwa dalam proses untuk mencapai kesepakatan tersebut tidak boleh ada unsur-unsur yang bersifat ancaman, tekanan fisik maupun non fisik serta lain-lain kegiatan yang akhirnya membuat pihak yang mempunyai tanah takut untuk tidak menerima apa yang ditawarkan pihak lain.

132

Tentang pasal 1 angka 10 Perpres RI No. 36 Tahun 2006 tersebut, menurut Irene Eka Sihombing dapat ditafsirkan pelaksanaan pengadaan tanah harus memperhatikan :133

a. Diperlukan komunikasi dan konsultasi diantara masyarakat dengan instansi yang memerlukan tanah secara intensif dan berkesinambungan untuk saling memberikan masukan yang diperlukan, sehingga masyarakat mengetahui informasi berkenaan dengan perencanaan pelaksanaan dan pemantauan pengadaan tanah. Dengan demikian peran serta masyarakat ini dimulai tahap inventarisasi, penyuluhan dan konsultasi, pelaksanaan pemberian imbalan.

b. Peran serta semua pihak (masyarakat dan pihak yang memerlukan tanah) secara aktif dalam proses pengadaan tanah akan menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat memperkecil kemungkinan timbulnya penolakan terhadap kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan.

c. Musyawarah harus sungguh-sungguh dijadikan sarana untuk mempertemukan perbedaan kepentingan dan keinginan dari pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu musyawarah dalam pengertian sebagai kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi, dan menerima pendapat, serta keinginan atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara para pihak harus dilaksanakan secara suka rela dan menjauhkan kondisi psikologis yang menghalangi terjadinya proses tersebut.

Moch. Koesno mengatakan “Musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama dalam masyarakat yang bersangkutan secara keseluruhan”.134 Kuntjoro Poerbopranoto berpendapat bahwa musyawarah adalah “Suatu sistem tertentu melalui berunding dan berunding hingga memperoleh kata sepakat”.135

Oleh karena itu tidak ada musyawarah bila ada salah satu pihak yang ditakuti, yang disumbat keinginannya, dikondisikan untuk tidak sanggub mengemukakan aspirasinya, diteror dan diintimidasi, ada salah satu pihak yang menurut peraturan tidak

133

Irene Eka Sihombing. Op cit. Hal : 136-137.

134

Koesno dalam Ahmad Rubaie. Op Cit. Hal : 32

135

diberikan kesempatan untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut persoalannya sendiri dan sebagainya.136

Dengan kata lain, dalam pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum, kata sepakat merupakan kata kunci yang seharusnya dipedomani dan dipatuhi dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi, dilakukan menurut alur yang sepantasnya, berarti juga masing-masing pihak merasa tidak dirugikan, sehingga tercapai kompromi yang hasilnya memuaskan.

Pelaksanaan musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah.137 Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan instansi pemerintah atau pemda yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.138

Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota menetapkan tempat dan tanggal musyawarah, dengan mengundang instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan para pemilik tanah untuk musyawarah mengenai rencana pembangunan untuk kepentingan umum dilokasi tersebut, dan mengenai bentuk dan/ atau besarnya ganti rugi. Demikian disebutkan oleh pasal 31 ayat 1 Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007.

Musyawarah bentuk dan/atau besarnya ganti rugi berpedoman pada : a). kesepakatan para pihak, b). hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 30, dan c). tenggat waktu penyelesaian proyek.

136

Ali Sofwan Husein . Konflik Pertanahan. Cet. 1. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1997. Hal : 51.

137

Pasal 9 angka 1 Perpres RI No. 36 Tahun 2005.

138

Jika ketentuan pasal 31 angka 3 Peraturan Ka. BPN tersebut dicermati, ternyata musywarah dalam menentukan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, pedoman yang utama adalah kesepakatan, sehingga kesepakatan menjadi unsur yang essensial dalam mekanisme musyawarah.

Kesepakatan dilakukan atas dasar persesuaian kehendak kedua belah pihak tanpa adanya unsur paksaan, kehkilafan, dan penipuan serta dilakukan dengan iktikad baik.139

Penipuan dalam pelaksanaan pelepasan hak atas tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dapat terjadi misalnya, apabila semula disepakati pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan non komersil, tetapi dalam pelaksanaan kemudian dipergunakan dan dimanfaatkan untuk membangun proyek komersial dan jauh dari kepentingan umum, contohnya dibangun mall, plaza, lapangan golf, perumahan mewah, dll.140

Unsur paksaan dapat terjadi jika dilakukan dengan ancaman secara fisik maupun non fisik kepada pemilik tanah pada waktu musyawarah dilakukan. Misalnya, di dalam musyawarah dilibatkan oknum-oknum militer sehingga membuat pemilik tanah takut dan terpaksa menyetujui pelepasan hak atas tanah tersebut.141

Mengenai musyawarah, Danny Zacharias mengatakan “Musyawarah yang dilakukan yang seharusnya menjadi wadah untuk merundingkan besarnya harga tanah, lebih sering terwujud dalam bentuk pengumpulan para pemilik tanah di kantor kelurahan atau kecamatan untuk mendengarkan besarnya ganti rugi yang disediakan panitia pembebasan tanah”.142

139

Ahmad Rubaie. Op cit. Hal 30.

140

Gunanegara. Op cit. Hal : 215.

141

Achmad Rubaie. Op cit. Hal : 30.

142

Maria Soemardjono mengatakan ganti rugi atas dasar musyawarah mengandung makna “Bahwa dalam musyawarah tersebut harus diberlakukan asas kesejajaran antara pemerintah dengan pemilik tanah dan harus dihindari adanya tekanan-tekanan berupa apa pun dalam pertemuan maupun di luar pertemuan, jika tidak maka kesepakatan yang dicapai adalah kesepakatan dalam keadaan terpaksa dan kesepakatan demikian bukanlah kesepakatan”.143

A.A. Oka. Mahendra mengatakan “Pada praktek pembebasan tanah/pengadaan tanah, asas musyawarah yang diwajibkan berubah menjadi pengarahan”,144 musyawarah berubah menjadi briefing, instruksi maupun pernyataan sepihak dari pihak yang memerlukan tanah tersebut, yang dilakukan oleh Camat dan Kepala Desa.145

Sebagai contoh tentang hal tersebut di atas yaitu terjadi pada pembebasan tanah untuk pembangunan proyek Waduk Kedung Ombo yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada waktu itu tanggal 18 Mei 1991, 25 penduduk dari Kec. Kemusu Kab. Boyolali, Jawa Tengah, pada bulan Juni 1987 terpaksa melarikan diri ke hutan karena ketakutan, tuduhan PKI dan berbagai intimidasi yang dilakukan oleh Panitia Pembebasan Tanah Waduk Kedung Ombo, di Kec. Kemusu.146

Pengalaman dimasa lalu seperti tersebut di atas diharap jangan terulang kembali oleh karenanya agar tercapai musyawarah secara suka rela dan bebas, Maria Soemardjono menuturkan beberapa persyaratan sebagai berikut :147

143

Maria Soemardjono. Dalam Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan.

Suatu Tinjauan Yuridis. Mahkamah Agung RI, 1996. Hal : 119. 144

A.A. Oka Mahendra. Menguak Masalah Hukum, Demokrasi Dan Pertanahan. Cet. Ke-1. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 1996. Hal : 267.

145

AP. Parlindungan. Pencabutan Dan Pembebasan Hak Atas Tanah SuatuStudy Perbandingan.

Op cit. Hal : 55. 146

Adrian Sutedi. Op cit. Hal : 251.

147

Maria Soemardjono. Tanah Dalam Persfektif Hukum Ekonomi Sosial Dan Budaya. Op cit. Hal : 272.

a. Ketersediaan informasi yang jelas dan menyeluruh tentang kegiatan tersebut (dampak dan manfaat, bentuk dan besarnya ganti rugi, rencana pemukimaan kembali bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan bantuan-bantuan lain, dll).

b. Suasana yang kondusif untuk melaksanakan musyawarah. c. Keterwakilan para pihak.

d. Kemampuan para pihak untuk melakukan negosiasi.

e. Jaminan bahwa tidak ada tipuan, paksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.

Selanjutnya Perpres RI. No. 65 Tahun 2006 pasal 10 ayat 1 menentukan tentang jangka waktu musyawarah yakni paling lama 120 hari terhitung sejak tanggal undangan pertama, dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara tehnis tata ruang ketempat atau lokasi lain.148

Lokasi pembangunan yang tidak bisa dipindahkan secara tehnis tata ruang ke tempat lokasi lain apabila :149

a. Berdasarkan aspek historis, klimatologis, geologis dan topografis tidak ada lokasi lain,

b. Dipindahkan ke lokasi lain memerlukan pengorbanan, kerugian, dan biaya yang lebih atau sangat besar,

c. Rencana pembangunan tersebut sangat diperlukan dan lokasi tersebut merupakan lokasi terbaik dibanding lokasi lain atau tidak tersedia lagi lokasi yang lain,

d. Tidak lokasi tersebut dapat menimbulkan bencana yang mengancam keamanan dan keselamatan masyarakat luas.

Mengenai pembatasan waktu musyawarah yang dibatasi hanya selama 120 hari, ini dimaksudkan supaya musyawarah tersebut tidak berlarut-larut yang dapat mengganggu rencana pembangunan yang telah ditetapkan. Namun yang paling perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan jangka waktu musyawarah tersebut adalah substansi musyawarah yang harus diutamakan bukan hanya segi formalitasnya.

148

Pasal 10 Angka 1 Perpres RI No. 65 Tahun 2006.

149

Selanjutnya musyawarah rencana pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 31 ayat 1 huruf a, dianggab telah tercapai kesepakatan apabila paling sedikit 75 % dari luas tanah yang diperlukan untuk pembangunan telah diperoleh, atau jumlah pemilik telah menyetujui bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.150

Dalam hal musyawarah rencana pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut jumlahnya kurang dari 75 %, maka Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota mengusulkan kepada instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk memindahkan ke lokasi lain.151

Jika lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain sebagaimana kriteria yang dimaksud dalam pasal 39, maka Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota melanjutkan kegiatan pengadaan tanah.152

Pasal 36 Peraturan Ka. BPN No. 3 Tahun 2007 menjelaskan “Pemilik tanah yang belum bersepakat mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, dan jumlahnya 25% dari jumlah pemilik/luas tanah, Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota mengupayakan musyawarah kembali sampai tercapai kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi”.