Pembahasan mengenai pengaruh perlakuan awal terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan akan dibagi menjadi dua parameter utama, antara lain pengujian mutu jahe kering yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar minyak atsiri, serta kadar abu. Pengujian terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan dilakukan berdasarkan standarisasi mutu yang ada pada SNI 01–3393–1994, seperti yang terdapat pada Lampiran 10. Selain itu dilakukan pula pengujian derajat keputihan dari jahe hasil pengeringan dengan menggunakan Chromameter.
y = 0,923x + 3,193 R² = 0,943 y = x 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70 S u h u p e n g u k u ran ( ºC ) Suhu simulasi (ºC)
52
1. Mutu jahe kering
Terdapat empat macam perlakuan awal yang berbeda terhadap jahe yang dikeringkan yaitu perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur 2%, perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur 4%, dan perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur 6%. Sebagai kontrol dilakukan pula proses pengeringan jahe tanpa adanya perlakuan awal pencelupan ke dalam larutan kapur. Proses pencelupan dilakukan selama 4.5 menit pada suhu 60 oC. Pengaruh konsentrasi kapur terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan tersaji pada Tabel 15.
Tabel 15. Pengaruh perlakuan pencelupan terhadap mutu jahe kering
Perlakuan Komponen mutu
Kadar air (% bb) Kadar abu (%) Kadar minyak atsiri (ml/100 g)
Tanpa pencelupan larutan kapur 9.15± 0.61a 9.79 ± 0.60b 2.29 Pencelupan larutan kapur 2% 10.91± 1.03a 10.11 ± 0.86b 2.18 Pencelupan larutan kapur 4% 10.09± 1.28a 11.66 ± 0.12a 2.40 Pencelupan larutan kapur 6% 10.03± 0.80a 12.51 ± 0.39a 2.30
Berdasarkan hasil analisis mutu, diketahui bahwa kadar air rata-rata dari jahe kering yang dihasilkan adalah sebesar 10.05% bb. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan pencelupan larutan kapur 2% yaitu sebesar 10.91% bb dan kadar air terendah terdapat pada perlakuan tanpa pencelupan larutan kapur yaitu sebesar 9.15% bb.
Kadar air rata-rata pada setiap perlakuan yang dihasilkan dengan menggunakan metode oven juga menunjukkan kesesuaian dengan kadar air yang diprediksi dengan menggunakan perhitungan, yaitu sekitar 10% bb. Kadar air ±10% bb merupakan batas kadar air yang terbaik karena pada tingkat kadar air tersebut kemungkinan bahan cukup aman terhadap pencemaran, baik yang disebabkan oleh jamur, bakteri dan serangga (Yuliani dan Intan 2009). Dapat disimpulkan pula bahwa nilai kadar air jahe kering yang diperoleh dari hasil pengeringan dengan alat pengering ini cukup baik karena masih berada di bawah standar maksimum yang ditetapkan SNI 01–3393– 1994, yaitu sebesar 12% bb.
Berdasarkan analisis sidik ragam pengaruh perlakuan pencelupan terhadap kadar air (Lampiran 20), karena p–value (0.2533) > alpha (0.05) maka H0 dapat diterima, yang menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pencelupan tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara signifikan terhadap kadar air yang dihasilkan. Pada Tabel 13 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap kadar air pada DMRT 5%.
Kadar abu rata-rata dari jahe kering yang dihasilkan adalah sebesar 11.02%, dimana kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan pencelupan larutan kapur 6% yaitu sebesar 12.51% dan kadar abu terendah terdapat pada perlakuan tanpa pencelupan larutan kapur yaitu sebesar 9.79%. Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan pencelupan terhadap kadar abu (Lampiran 21) menunjukkan bahwa nilai p–value (0.0030) < alpha (0.05) maka H0 ditolak, yang berarti perbedaan perlakuan pencelupan memberikan pengaruh yang berbeda secara signifikan terhadap kadar abu yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan ditunjukkan bahwa jahe kering yang memiliki kadar abu tertinggi adalah hasil dari perlakuan pencelupan larutan kapur 6%. Pada Tabel 13 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap kadar abu pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama akan memberikan hasil kadar abu yang berbeda nyata terhadap perlakuan yang diberikan.
53
Terlihat bahwa apabila kadar abu dari jahe kering yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan dibandingkan dengan standar kadar abu dari SNI 01–3393–1994, maka seluruhnya berada pada batas atas dari standar maksimum yang ditetapkan, yaitu sebesar 8%. Namun apabila dibandingkan dengan standar mutu Inggris (BS) No. 4593 tahun 1970 yaitu maksimum sebesar 12%, maka hanya kadar abu yang dihasilkan dari jahe kering dengan perlakuan pencelupan larutan kapur 6% yang berada pada batas atas dari standar tersebut. Sehingga dapat diketahui bahwa pemberian konsentrasi kapur sebesar 6% sudah tidak memenuhi standar mutu untuk jahe kering yang dihasilkan.Meskipun terjadi penurunan mutu pada kadar abu akibat penambahan konsentrasi kapur yang diberikan, namun perlakuan pencelupan dengan larutan kapur memberikan daya tarik berupa penampakan jahe kering yang lebih cerah akibat meningkatnya derajat keputihan dari jahe kering tersebut. Selain itu, pemberian larutan kapur pada jahe akan menyebabkan jahe memiliki masa simpan yang lebih lama, sebab jahe akan menjadi lebih tahan terhadap serangan jamur maupun serangga (Yuliani dan Intan 2009). Contoh irisan rimpang jahe hasil pengeringan dapat dilihat pada Gambar 42.
Analisis kadar minyak atsiri yang dihasilkan oleh jahe kering pada masing-masing perlakuan tidak dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam. Hal ini dikarenakan rendahnya kapasitas alat pengering sehingga jahe kering yang dihasilkan pada setiap ulangan tidak mencukupi untuk dilakukan pengujian kadar minyak atsiri, akibatnya pengujian kadar minyak atsiri dilakukan dengan menggunakan jahe kering hasil penggabungan dari ketiga ulangan pada setiap perlakuan, sehingga hanya dihasilkan satu data kadar minyak atsiri pada setiap perlakuan. Dari data tersebut terlihat bahwa penambahan konsentrasi kapur tidak memberikan pengaruh terhadap kadar minyak atsiri yang dihasilkan. Terlihat bahwa kadar minyak atsiri yang dihasilkan oleh jahe kering pada masing-masing perlakuan masih berada pada batas atas dari standar minimum yang ditetapkan oleh SNI 01–3393–1994 yaitu sebesar 1.5 ml/100 gram.
Minyak atsiri pada rimpang jahe dapat diperoleh dengan proses destilasi uap-air, baik pada kondisi rimpang segara (basah) ataupun kering. Namun demikian pada kondisi kering diperoleh rendemen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi basah, hal ini disebabkan karena proses pengeringan menyebabkan membran sel berangsur-angsur pecah, cairan sel bebas melakukan penetrasi dari satu sel ke sel lain sehingga membentuk senyawa-senyawa yang mudah menguap (Wulandari 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Hanapie (1988) menunjukkan bahwa pengeringan jahe dengan irisan tebal (4–6 mm) menghasilkan jahe kering dengan nilai kadar minyak atsiri yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengeringan jahe irisan tipis (2–3 mm), karena pada irisan tipis banyak kulit yang terkelupas kemudian terbuang selama proses pengirisan sampai pengeringan dan penguapan bahan-bahan yang terkandung di dalam jahe lebih mudah terjadi. Lapisan kulit jahe yang bersifat sangat tipis ini merupakan lapisan epidermis yang banyak mengandung minyak atsiri.
Selain dari standar kadar air, kadar abu serta kadar minyak atsiri dari jahe kering yang dihasilkan, tingkat kebersihan dari jahe kering yang dihasilkan oleh alat pengering juga cukup baik, dimana tidak ditemui adanya benda asing ataupun pengotor yang ada pada jahe kering.
54
Gambar 42. Irisan rimpang jahe hasil pengeringan2. Perubahan derajat keputihan jahe
Pada penelitian ini diukur derajat keputihan dari jahe kering yang dihasilkan dengan menggunakan Chromameter. Derajat keputihan dari jahe kering ini merepresentasikan tingkat kecerahan yang dimiliki oleh jahe kering tersebut. Nilai derajat keputihan dinyatakan dengan notasi L dan standar nilainya berkisar antara 0 sampai 100. Nilai negatif menunjukkan kecerahan produk mendekati warna hitam, sementara semakin tinggi nilai positifnya menunjukkan semakin besar derajat keputihan dari jahe tersebut. Data analisis pengaruh perlakuan pencelupan terhadap derajat keputihan jahe hasil pengeringan serta grafik perbandingan antara nilai derajat keputihan jahe segar dan jahe kering pada masing-masing perlakuan diperlihatkan pada Tabel 16 dan Gambar 43.
Tabel 16. Pengaruh perlakuan pencelupan terhadap derajat keputihan jahe kering
Perlakuan Derajat keputihan
jahe segar (L)
Derajat keputihan jahe kering (L)
Tanpa pencelupan larutan kapur 71.34 ± 2.51a 61.63 ± 0.71c Pencelupan larutan kapur 2% 70.46 ± 1.06a 63.96 ± 0.98b Pencelupan larutan kapur 4% 70.86 ± 0.35a 65.01 ± 0.75b Pencelupan larutan kapur 6% 71.73 ± 0.71a 69.12 ± 0.70a
55
Gambar 43. Grafik perbandingan nilai derajat keputihan jahe segar dan jahe keringNilai derajat keputihan segar dari rata-rata seluruh perlakuan adalah sebesar 71.09, dimana nilai derajat keputihan tertinggi adalah sebesar 71.73 dan nilai terendah sebesar 70.46. Sementara itu berdasarkan analisis sidik ragam pengaruh perlakuan pencelupan terhadap nilai derajat keputihan dari jahe kering (Lampiran 22) menunjukkan bahwanilai p-value (<0.0001) < alpha (0.05) maka H0 ditolak, yang berarti bahwa perbedaan perlakuan pencelupan memberikan pengaruh yang berbeda secara signifikan terhadap nilai derajat keputihan dari jahe kering. Semakin besar konsentrasi kapur yang diberikan pada perlakuan pencelupan menunjukkan semakin besar nilai derajat keputihan dari jahe kering yang dihasilkan, sehingga dapat diketahui bahwa peningkatan konsentrasi larutan kapur pada perendaman jahe akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap kemampuan jahe kering dalam mempertahankan nilai derajat keputihannya. 56 58 60 62 64 66 68 70 72 74
0% CaO 2% CaO 4% CaO 6% CaO
D e raj at k e p u ti h an ( L) Perlakuan Awal (L*) Akhir (L*)