• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

D. Nasib Obat di Dalam Tubuh

Obat yang masuk ke dalam tubuh umumnya mengalami absorpsi, distribusi,

dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian,

dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh (Setiawati,

Zunilda, dan Suyatna, 2003). Seluruh proses ini disebut sebagai proses

farmakokinetika seperti terlihat pada gambar 5.

tempat aksi “reseptor” terikat bebas jaringan bebas terikat sirkulasi sistemik obat bebas

obat terikat metabolit

biotransformasi

ekskresi absorpsi

Gambar 5. Proses farmakokinetika obat di dalam tubuh (Setiawati dkk., 2003)

1. Absorpsi

Kebanyakan obat harus dipindahkan ke tempat aksi oleh darah. Obat yang

diberikan secara ekstravaskular membutuhkan proses absorpsi (Shargel et al., 2005).

Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut

kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen

dari jumlah obat yang diberikan (Setiawati dkk., 2003).

Absorpsi menggambarkan laju obat meninggalkan tempat pemberian dan

jumlah obat yang tersedia. Oleh karena itu, menurut para ahli klinis parameter

digunakan untuk menggambarkan jumlah obat yang mencapai tempat aksi atau

cairan tubuh. Sebagai contoh, obat yang diberikan per oral harus diabsorpsi terlebih

dahulu dari lambung dan usus halus. Absorpsi ini dipengaruhi oleh sifat bentuk

sediaan dan sifat fisika kimia obat. Obat juga akan mengalami metabolisme di hati

sebelum akhrinya mencapai sirkulasi sistemik. Akibatnya, sejumlah obat yang

diberikan dan diabsorpsi akan menjadi tidak aktif atau berubah bentuk. Jika kapasitas

metabolisme di hati besar, maka bioavailabilitas akan berkurang (disebut sebagai

first-pass effect) (Wilkinson, 2001).

Mekanisme absorpsi dapat terjadi secara difusi pasif, difusi terfasilitasi,

transpor aktif atau pinositosis, fagositosis dan persorpsi. Absorpsi obat melalui

saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif. Absorpsi mudah terjadi bila

obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.

Mekanisme difusi pasif dijelaskan dengan Hukum Fick (Proudfoot, 1990) :

) C - (C h K A D dt dQ B GI = (6) Keterangan : dt dQ = laju difusi D = koefisien difusi

A = luas permukaan membran K = koefisien partisi h = tebal membran

CGI - CB = perbedaan konsentrasi obat dalam saluran cerna dan dalam darah B

Konsentrasi obat di dalam darah jauh lebih kecil daripada konsentrasi obat dalam

saluran cerna (CGI >> CB). Kondisi ini disebut dengan kondisi “sink” yang

memastikan bahwa perbedaan konsentrasi tetap terjaga selama proses absorpsi

2. Distribusi

Organ target bagi obat biasanya bukan darah sehingga obat harus dapat

menembus jaringan untuk dapat memberi efek yang diharapkan (Clark and Smith,

1993). Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui

sirkulasi darah. Selain tergantung aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh

sifat fisika kimianya (Setiawati dkk., 2003).

Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya dalam

tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang

perfusinya sangat baik, misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya,

distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak

secepat organ di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak (Setiawati dkk.,

2003).

Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan

terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut lemak akan sulit

menembus membran sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel.

Selain itu, distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma dan hanya

obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat

pada protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan

kadar proteinnya (Setiawati dkk., 2003).

3. Biotransformasi

Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur

molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga lebih mudah larut dalam air dan

kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu,

pada umumnya obat menjadi inaktif sehingga biotransformasi sangat berperan dalam

mengakhiri kerja obat (Setiawati dkk., 2003).

Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan menjadi reaksi fase I dan fase

II. Proses yang termasuk reaksi fase I adalah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi

fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar. Reaksi fase II yang

disebut juga reaksi sintetik merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase

I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, atau asam amino.

Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih

mudah diekskresi (Setiawati dkk., 2003).

Sebagian besar biotransformasi obat dikatalis oleh enzim mikrosom hati,

demikian pula biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin. Untuk itu

obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam retikulum

endoplasma dan berikatan dengan enzim mikrosom (Setiawati dkk., 2003).

4. Ekskresi

Ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi

bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi tergantung pada sifat fisika

kimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi

(Mutschler, 1999). Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi

metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada

ekskresi melalui paru (Setiawati dkk., 2003).

Organ ekskresi yang terpenting adalah ginjal. Ekskresi meliputi 3 proses

berikut : filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif

di tubuli proksimal dan distal (Setiawati dkk., 2003). Selain melalui ginjal, ekskresi

obat juga dapat terjadi melalui empedu dan usus (feses), kulit (keringat), air liur, air

mata, air susu, paru-paru (udara ekspirasi) dan rambut (Mutschler, 1999; Setiawati

dkk., 2003). Ekskresi obat melalui kulit dan turunannya tidak begitu penting. Pada

ibu menyusui, eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat menyebabkan

intoksikasi yang membahayakan bagi bayi (Mutschler, 1999).

E. Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika

Dokumen terkait