• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nasionalisme dalam Sebuah Konseps

Dalam dokumen jalan meneguhkan negara cek balik penulis (Halaman 43-52)

PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Nasionalisme dalam Sebuah Konseps

Nasionalisme dalam dimensi historisitas dan normativitas, merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling kurang dalam seratus tahun terakhir. Tidak ada satu pun ruang geograis-sosial di muka bumi yang lepas sepenuhnya dari pengaruh ideologi ini. Tanpa ideologi nasionalisme, dinamika sejarah manusia akan berbeda sama sekali.

Berakhirnya Perang Dingin dan semakin merebaknya konsepsi dan arus globalisasi (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat pesat, tidak dengan serta- merta membawa keruntuhan bagi nasionalisme. Sebaliknya, medan- medan ekspresi konsepsi nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan komunikasi sosial, politik, kultur, dan bahkan ekonomi internasional, baik di kalangan negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis, maupun di kalangan negara Dunia Ketiga, seperti India, China, Malaysia, dan Indonesia.

36 Jalan Meneguhkan Negara

Nasionalisme tetap menjadi payung sosio-kultur negara-negara manapun untuk mengukuhkan integritasnya. Sebagai suatu paham kebangsaan, nasionalisme merupakan “roh” sosio-kultural untuk membentuk dan memperkokoh identitas nasional sebagai jati diri bangsa yang telah memiliki martabat kemerdekaan. Meskipun sering dianggap usang untuk dikaji dan diperdebatkan dalam komunikasi ilmiah, namun sejatinya nasionalisme tidak sekadar cukup untuk diperbincangkan dan dipertentangkan sebagaimana konsepsinya yang sering dianggap bias, melainkan perlu suatu penghayatan yang tulus untuk ditanamkan dalam kehidupan berbangsa, dan terinternalisasi serta terintegrasi dalam kultur kehidupan bernegara. Apalagi dalam konteks kebangsaan Indonesia yang plural atau heterogen, maka diperlukan ikatan ideologis yang menjadi rasa milik bersama yang bersifat kolektif.

Nasionalisme sebagai gejala historis memiliki peranan yang sangat penting pada abad XX dalam proses nation formation negara- negara nasional modern di Asia dan Afrika. Ideologi kolektif nasionalisme tersebut memiliki fungsi teleologis serta memberi orientasi bagi suatu masyarakat sehingga terbentuk solidaritas yang menjadi landasan bagi proses pengintegrasiannya sebagai nation atau komunitas politik. Sebagai ideologi kebangsaan, nasionalisme membentuk counter-ideology terhadap kolonialisme dan imperialisme yang sanggup menawarkan realitas tandingan serta menyajikan orientasi tujuan bagi gerakan politik yang berjuang untuk mewujudkan realitas substantif tersebut. Dalam konsepsi ini, pengalaman kolektif yang serba destruktif pada masa penjajahan menawarkan fungsi sejati nasionalisme sebagai penyatu solidaritas baru, yang jauh melampaui fungsi ikatan primordialnya. Nasionalisme adalah tawaran, sekaligus harapan bagi bangsa yang menghendaki kokohnya bangunan integrasi dan kedaulatan di atas fondasi moral humanistik.

Dalam perjalanan sejarah panjang bangsa, teridentiikasi bahwa cita-cita kolektif kebangsaan tersebut masih jauh dari apa yang diharapkan. Sebenarnya kesadaran kolektif nasionalisme tersebut merupakan perwujudan bangunan konsep persatuan Indonesia,

Nasionalisme dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia 37

sebagaimana amanat sila ketiga Pancasila, tempat kebersamaan segenap bangsa Indonesia dengan asal-usul bangsa atau ras, agama, etnik, adat-istiadat, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan ideologi politiknya yang pluralistik. Asas pluralisme yang dahulu menjadi sumber kekuatan hebat masa kolonialisme dan imperialisme, roh perjuangan merebut kemerdekaan, ternyata pada saat bangsa ini dihadapkan pada degradasi kebangsaan, tak urung asas pluralisme tersebut menjadi medan ekspresi kekecewaan dan sumber kerawanan konlik.

Kelahiran nasionalisme dalam konsepsi sosial-kultural tidak muncul begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Secara etimologis, kata nasionalisme berasal dari kata nationalism dan nation dalam bahasa Inggris, yang dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), dalam Sulikar Amir (2007), kata nation tersebut berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor yang bermakna “saya lahir”, atau dari kata natus sum, yang berarti “saya dilahirkan”. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Ratusan tahun kemudian, tepatnya pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas (seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang) (Sulikar Amir, 2007). Kata renaisans (renaissance—Italia) juga berasal dari akar kata latin yang sama, yakni dari renascor atau renatus sum, yang berarti saya lahir kembali dan saya dilahirkan kembali (A. Daliman, 2006: 56).

Konsep nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu, Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Jika pada masa Abad Pertengahan (abad ke-5 – abad ke-15), kebebasan individu dan kebebasan berpikir banyak didominasi oleh kekuasaan dan otoritas agama (gereja), maka sesudah

38 Jalan Meneguhkan Negara

renaisans timbullah cita-cita kemerdekaan, lepas dari segala bentuk dominasi, dan pula dari dominasi dogma agama (A. Daliman, 2006: 57). Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.

Dinamika nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan sebuah politik, bagaimanapun jauh lebih kompleks daripada transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber pun nyaris frustrasi manakala harus memberikan terminologi sosiologis tentang makna nasionalisme. Bagaimanapun bentuk penjelasan tentang nasionalisme, baik itu dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai kultur, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang tidak komprehensif. Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal. Termasuk dua bapak ilmu sosial, Karl Marx dan Emile Durkheim, pun tidak menaruh perhatian serius pada isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka banyak mengilhami penjelasan tentang fenomena nasionalisme (Sulikar Amir, 2007). Hal ini tidak berarti nasionalisme harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis.

Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi sosial mengundang para sarjana berusaha memahami sekaligus mencermati secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya. Tentu saja upaya memecahkan teka-teki nasionalisme tidaklah mudah mengingat, begitu beragam faktor yang membentuk bangunan nasionalisme, sehingga indikatornya tidak dapat diidentiikasi secara pasti.

Hans Kohn, seorang sejarawan yang cukup terkenal dan paling banyak karya tulisnya mengenai nasionalisme, memberikan terminologi yang sampai saat ini masih tetap digunakan secara relevan dalam pembelajaran di sekolah, yakni “nationalism is a state of mind in

Nasionalisme dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia 39

which the supreme loyalty of individual is felt to be due the nation state”. Bahwa nasionalisme merupakan suatu paham yang memandang bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Hans Kohn, 1965: 9). Konsep nasionalisme tersebut menunjukkan bahwa selama berabad-abad silam kesetiaan orang tidak ditujukan kepada nation state atau negara kebangsaan, melainkan kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik, raja feodal, suku, negara kota, kerajaan dinasti, golongan keagamaan atau gereja.

Menurut Muhammad Imarah (1998: 281), cinta tanah air atau nasionalisme adalah itrah asli manusia dan sama dengan kehidupan, sedangkan kehilangan rasa cinta tanah air sama dengan kematian. Hasan al-Banna (1906-1949) dalam Imarah (1998: 282-283), berbicara tentang nasionalisme serta kedudukannya pada kebangkitan Islam modern, “... sesungguhnya Ikhwanul Muslimin mencintai negeri mereka; menginginkan persatuan dan kesatuan; tidak menghalangi siapapun untuk loyal kepada negerinya, lebur dalam cita-cita bangsanya, dan mengharapkan kemakmuran dan kejayaan negerinya. Kita bersama para pendukung nasionalisme, bahkan juga bersama mereka yang berhaluan nasionalis ekstrim sejauh menyangkut kemaslahatan bagi negeri ini dan rakyatnya…..”. Pandangan Hasan al-Banna tersebut mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya substansi nasionalisme itu sama meskipun dengan kriteria yang berbeda seperti aqidah, batas-batas peta bumi, dan letak geograis. Pendapat ini menetralisir pertentangan konsepsi nasionalisme Islam dan Barat dalam konsepsi yang lebih substantif.

Dalam konsepsi politik, terminologi nasionalisme sebagai ideologi yang mencakup prinsip kebebasan, kesatuan, kesamarataan, serta kepribadian selaku orientasi nilai kehidupan kolektif suatu kelompok dalam usahanya merealisasikan tujuan politik, yakni pembentukan dan pelestarian negara nasional. Dengan demikian, pembahasan masalah nasionalisme pada awal pergerakan nasional dapat difokuskan pada masalah kesadaran identitas, pembentukan solidaritas melalui proses integrasi dan mobilisasi lewat organisasi

40 Jalan Meneguhkan Negara

(Sartono Kartodirdjo, 1994: 4). Hal ini sejalan dengan konsepsi nasionalisme yang dikemukakan oleh Hans Kohn, bahwa nasionalisme akan muncul bila ada ikatan-ikatan solidaritas perjuangan baik di organisasi politik,non politik, tumpah darah. Kesadaran inilah yang selanjutnya memunculkan keinginan untuk hidup bersama dalam organisasi politik yang lebih besar yang dikenal dengan istilah Negara. (Hans Kohn,terjemahan Sumantri Mertodipuri.1984:11-12

Nasionalisme sebagai sebuah produk modernitas, perkembangannya berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Tetapi nasionalisme tidak sekadar dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah, di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Ini berarti bahwa pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan tentunya juga dengan melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat. Pada tingkat inilah elemen-elemen sosial, seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan nasionalisme.

Benedict Anderson (1991) memandang nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan (Sulikar Amir, 2007).

Nasionalisme dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia 41

Konsep Anderson sangat unik dan selanjutnya dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara- negara pascakolonial. Tidaklah suatu hal yang kebetulan apabila konsep Anderson sebagian besar didasarkan atas pengamatan terhadap dinamika sejarah pertumbuhan dan perkembangan nasionalisme di Indonesia. Namun demikian, karya Anderson yang dapat menjadi sumber kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan masyarakat non-Barat (Anderson dalam Sulikar Amir, 2007).

Dalam bukunya, Imagined Communities, Anderson berpendapat bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa. Di sinilah letak problematika dari pandangan Anderson karena menaikan proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan Eropa.

Anderson juga mengikuti perkembangan nasionalisme pasca- Perang Dunia II yang melanda negara-negara jajahan di Asia dan Afrika. Karakter negara-negara tersebut ditandai oleh penyebaran nasionalisme melalui bahasa penjajah, baik di sekolah-sekolah, media massa, maupun birokrasi yang menghasilkan golongan terpelajar putera, kesatuan administrasi pemerintahan; dan karena kemajuan di bidang transportasi dan komunikasi membentuk kecenderungan sentralisasi pada pemerintahan pusat di ibukota, yang sedang berkembang menjadi metropolitan (Benedict Anderson, 1983: 49).

Berdasarkan hal itu dapat ditesiskan bahwa nasionalisme merupakan penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern. Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas

42 Jalan Meneguhkan Negara

dari Revolusi Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu untuk membentuk sebuah identitas bersama. Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat.

Meskipun demikian, harus diingat bahwa nasionalisme tidak terbatas hanya pada nasionalisme politik. Bahkan dalam sebuah negara bangsa pun masih ada kesadaran akan nasionalisme berdasarkan kesamaan suku, etnis, agama, atau pulau tertentu. Ini adalah bagian dari nasionalisme kultural yang tidak perlu ditakuti. Di dunia pun hal semacam ini tetap ada. Misalnya, orang Afrika yang menjadi warga negara Amerika Serikat merasa memiliki semangat kebangsaan Afrika, mengidentiikasi diri dan kemudian memproduksi kebudayaan khas Afro-Amerika dalam sebuah negara-bangsa Amerika Serikat. Mereka sama sekali tidak ingin melepaskan diri dan kewarganegaraannya dari Amerika Serikat. Di Indonesia pun hal semacam ini dapat terjadi. Kesadaran kebangsaan orang Aceh, orang Makassar, Minahasa, Madura, Jawa, Papua, atau Sunda, dapat dipahami sebagai kesadaran nasionalisme kultural. Kesadaran inilah yang memberi makna dan jati diri pada masyarakat. Negara tidak perlu risau terhadap pandangan bahwa kesadaran semacam ini akan berkembang ke arah separatisme dalam upaya melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang terpenting adalah negara sungguh-sungguh menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dan benar.

Kalau kita simak beberapa pendapat di atas, maka nasionalisme dalam konsep kehidupan bernegara dijiwai oleh lima prinsip nasionalisme, yakni: (1) kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial, bangsa, bahasa, ideologi dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau pemerintahan, sistem perekonomian, sistem pertahanan keamanan, dan policy kebudayan; (2) kebebasan (liberty, freedom, independence), dalam beragama, berbicara dan berpendapat secara lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi; (3) kesamaan (equality), dalam kedudukan hukum, hak, dan kewajiban; (4) kepribadian (personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri (self estreem), rasa

Nasionalisme dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia 43

bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap kepribadian dan identitas bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan sejarah dan kebudayaannya; (5) prestasi (achievement), yaitu cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare) serta kebesaran dan kemanusiaan (the greatnees and the gloriication) dari bangsanya (Sartono Kartodirdjo, 1999: 7-8).

Amerika Serikat merupakan negara kebangsaan modern (the modern nation state) pertama yang dibangun tidak berdasarkan keturunan dan persamaan agama, tidak pula didasarkan pada bahasa dan tradisi-tradisi kesusastraan atau hukum yang sama dari suatu bangsa. Bangsa dan negara tersebut dilahirkan dari suatu usaha bersama, dalam suatu revolusi perjuangan untuk memperoleh hak- hak politik, kemerdekaan perseorangan, dan toleransi mengenai asal-usul ras dalam suatu ”melting-pot”. Bangsa ini dipersatukan oleh cita-cita kemerdekaan di bawah undang-undang, seperti dinyatakan dalam konstitusi. Konstitusi Amerika mulai berlaku pada tahun 1789, saat meletusnya revolusi Perancis. Konstitusi tersebut mampu mempertahankan diri dari berbagai ujian zaman melebihi konstitusi- konstitusi negara manapun di seluruh dunia (Hans Kohn, 1965: 26- 27).

Demikian pula halnya dengan negara republik Indonesia yang didirikan bersama dalam bentuk bangunan negara kebangsaan me- nurut teori-teori dan prinsip-prinsip nasionalisme modern yang sangat mirip dengan yang dianut Amerika Serikat. Konstruksi kesatuan bangsa yang dibangun berdasarkan konsep bhinneka tunggal ika (pluralisme) menurut pola dan kriteria-kriterianya merupakan produk sejarah. Demikian pula untuk membangun tekad kesatuan (unity), bangsa kita memerlukan waktu lebih dari seperempat abad dengan dipancangkannya tiga tonggak sejarah, yakni kebangkitan bangsa dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, dicanangkannya manifesto politik oleh Perhimpunan Indonesia (1925) dan diikrar- kannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Baru kemudian pada 17 Agustus 1945 diikrarkanlah proklamasi kemerdekaan yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah terlepas dari belenggu asing (A. Daliman, 2006: 62).

44 Jalan Meneguhkan Negara

Proklamasi tersebut didasarkan pada kesadaran ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa...” dan secara berkeadaban dan konstitusional, ”maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar...” (Pembukaan UUD 1945). Unit kesatuan teritorial dan unit kesatuan bangsa yang kita nyatakan sebagai negara kebangsaan yang telah merdeka (independent) mencakup wilayah seluruh daerah Hindia Belanda. Kebanggaan sebagai bangsa dinyatakan dalam lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, dan kesatuan kita sebagai bangsa diikat dengan kuat oleh bahasa negara ”bahasa Indonesia” dan bendera negara ”Sang Merah Putih”(A. Daliman, 2006: 62).

Dalam dokumen jalan meneguhkan negara cek balik penulis (Halaman 43-52)