• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seketika itu juga dilepaskanlah burung itu

11. NE CANTAL BETA DAN NE BUA' LENTUK

Alkisah ada sebuah cerita tentang orang-orang berani dan kuat di Sumbawa zaman dulu. Orang yang pertama bernama Ne Cantal Beta sedang orang yang kedua bemama Ne Bua' Lentuk.

Ne Bua' Lentuk kalau tidak khilap berasal darl bagian timur sedang Ne Cantal Beta berasal darl bagian barat.

Konon Ne Cantal Beta ini setiap harinya tidak ada kerjanya selain ber­ kelana ke sana ke marl sambil membawa peralatan/perkakas untuk berkelahi, seperti parang, tombak, keris, sampai ke pahat dan apa yang disebut di dalam bahasa Sumbawa "perku".

Dia ke sana ke marl mencarl lawan, ke luar desa masuk desa, mendaki gunung dan menuruni lembah dan ngarai, pergi mencarl lawan untuk berke­ lahi.

Di beberapa tempat memang ia bertemu dengan orang-orang yang berani dan mencoba melawan dia, tapi semua orang itu kalah. Karena berani­ nya, dia dijuluki dengan kata-kata "kebalgancang, artinya "kebal dan ce­ katan."

Kalau ia bertemu dengan orang yang berani melawannya, ia malah me­ nyuruh lawannya itu memilih sendiri senjata yang mau digunakan.

Akhimya tibalah saatnya di mana tak ada daerah yang tak didatangi olehnya di bagian Barat itu. Dan ia pun mengambil keputusan untuk menuju bagian timur Sumbawa. Kabamya, di bagian timur pulau Sumbawa ada se­ orang yang bemama Ne Bua' Lentuk. Ne Bua' Lentuk ini seperti juga dia sendiri, ke sana ke marl membawa senjata mencari lawan berkelahi. Ia lawan dan ia songsong musuhnya. Tegasnya, ia ingin melihat sampai di manakah batas kekuatannya, batas ilmu yang dimilikinya itu. Habis sudah daerah bagi­ an timur didatanginya dan ia mengambil keputusan untuk berangkat ke

ba-gian barat dengan satu tujuan, mencari lawan yang mau berkelahi dengan dia, mencari orang yang berani bertikam-tikaman dengan dia.

Kedua orang ini rupanya sudah ditakdirkan untuk bertemu satu sama

lain. Mereka bertemu di sebuah sungai. Rupanya sungai itu menjadi batas anta-ra daeanta-rah timur dan daeanta-rah bagian baanta-rat. Dan sungai ini terkenal sebagai sungai yang banyak ikannya. Di situ orang-orang saban hari mencari ikan, orang-orang dari bagian timur mencari ikan di bagian timur sungai dan orang­ orang dari bagian barat mencari ikan di bagian barat sungai itu.

Demikian pula dengan kedua orang itu. Ne Cantal Beta mencari ikan di bagian barat, sedang Ne Bua' Lentuk menangkap ikan di bagian timur. Sing­ katnya di sungai itu mereka bertemu dan saling berpandangan.

"Apa maksud adik?" tanya Ne Can tal Beta karena dipandang terus oleh Ne Bua' eLentuk. Ne Cantal Beta merasa. dirinya agak besar dan tua dibandingkan dengan Ne Bua' Lentuk.

"Ah, memang aku mencari ternan untuk berkelahi," tantang Ne Bua' Lentuk karena melihat gerak-gerik Ne Can tal Beta.

"Lho, aku juga demikian," kata Ne Cantal Beta, "baik benar tempat kita bertemu ini, tapi sebaiknya kita ngobrol-ngobrol dulu di tempat yang rindang. Pohon itu disebut,"pohon tempoak".

"Ah, kalau begitu betul juga kau, coba lihat senjata-senjatamu." "Ini semua senjata yang ku bawa, dan terserah yang mana yang kau pilih. Kau dulu atau aku, terserahlah."

"Begini saja, kita makan minum dulu, kita senangkan hati kita dulu." "Kalau begitu kita tidur di sini juga. Siapa yang terbangun dari tidur­ nya dialah yang lebih dulu, dia yang menghantam."

"Bagus," kata Ne Bua' Lentuk.

Mereka tidur di situ, di bawah rindangnya pohon, setelah selesai makan siang. Kira-kira menjelang asar, Ne Can tal Beta terbangun dari tidurnya, dialah yang datang mencari lawan dari barat itu. Seketika ia menyambar beberapa senjata yang ada di depannya dan digasaknyalah Ne Bua' Lentuk yang masih tidur dengan nyenyaknya.

Tapi dengan senjata apa pun yang dipakai menggasak Ne Bua' Lentuk, senjataitu menjadi tumpul semuanya. Belum juga ia terbangun. Digasak lagi, maklumlah yang dari timur ini terkenal kebal dan berani. Kemudian ia menyambar pereku. Tumpul dan majal pereku itu. Dia menyambar pahat sebagai senjata terakhir yang diharapkan bisa membunuh Ne Bua' Lentuk. Dengan pahat itu ia menghantam matanya tapi pahat itu bengkok.

Tiba-tiba Ne Bua' Lentuk bersin. Dan ia terbangun, "Hi, apa yang kau kerjakan?" tanyanya.

"Aduh, habis sudah semua senjata kupakai dan tinggal perkakas dan senjata ini saja. Senjataku tinggal pahat ini saja, lalu kau terbangun. Jadi tinggal giliranmu nanti. Dan marilah kita pergi mencari ikan dulu ke sungai

untuk makan malam. Dan kalau kau terbangun besok pagi, ya mulailah menghantam aku," kata Ne Cantal Beta.

Mereka berdua turon ke sungai mencari ikan dan setelah itu mereka pun makan malamlah. Kemudian mereka ngobrol-ngobrol sampai jauh malam. Karena mengantuk, kemudian mereka tertidur. Subuh Ne Bua' Lentuk ter­ bangun. Seketika itu juga tanpa menunggu ia men yam bar parang, menyambar senjata yang lain-lain lagi dan menggasak Ne Can tal Beta yang masih tertidur. Sarna saja hasilnya, tumpul, semua senjata yang dipakainya. Ada yang beng­ kok seperti sebuah sendok.

Ia menyambar pereku, pereku ini juga menjadi tumpul dan akhirnya ia menyambar pahatnya. Ia memahat telinga Ne Cantal Beta. Ne Cantal Beta karena merasa geli, ia bersin.

Bersinnya keras sekali hingga pahat yang dipegang oleh Ne Bua' Lentuk terbang dan jatuh mengenai telinganya sendiri. Ne Bua' Lentuk mempersila­ kan Ne Cantal Beta untuk bangun.

"Kalau begitu, kita ini sama saja rupanya, sudah tidak ada senjata yang sisa yang tidak kita pakai."

Ia bertanya,

"llmu apa sebenarnya yang ada padamu?"

Diperlihatkanlah. Apa? Hanya sebatang rotan yang tidak begitu pan­ jang. Dan yang seorang lagi memperlihatkan di mana letak kekuatannya. Sarna saja, hanya sepotong rotan yang tidak begitu panjang. Bentuk dan rupa­ nya sama. Jadi, siapakah guru mereka ini?

Diberitahulah siapa gurunya, dan rupanya mereka berguru pada seorang guru yang sama pula. Guru mereka konon datang dari daerah seberang, se­ orang sekh. Dari sekh itulah asal sepotong rotan yang ada pada mereka itu. Tapi di samping itu sekh itu juga menyuruh mereka berbuat ibadat, dan itu­ lah berkat yang mereka terima.

Jadi katanya, kita harus percaya pada Tuhan, Tuhan yang paling ber­ kuasa, kita-kita ini akhimya akan mati juga.

"Kalau begitu marilah kita bersalaman," kata yang seorang.

Mereka pun bersahabatlah setelah mengalami percobaan-percobaan yang mengerikan itu.