• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seketika itu juga dilepaskanlah burung itu

5. TERJADINYA BAMBU TUTUL

Ada sebuah ceritera, murah berharga satu mahal berharga dua. Konon diceriterakan tentang I Kambung dan I Bojog. I Kambing dan I Bojog ber­ sahabat baik sekali. I Kambing baik dan rajin, tetapi I Bojog licik benar akal­ nya. Kerap kali I Kambing diperdaya. Kerap kali I Kambing kena tipu. I Kambing sakit hati karena terlalu .sering kena tipu. Ingin benar ia membalas, agar sama-sama pernah merasa teperdaya. Lalu diajaknya I Bojog bekerja­ sama.

"Bojog! Mari kita bekerja-sama." "Bekerja sama membuat apa, Kambing?" "Ayolah kita bekerja sama menanam kacang." "Kacang apa?"

"Kacang tanah." "Bagaimana caranya?"

"Kau mencari bibit, aku yang menanamnya." "Sesudah itu?" I Bojog bertanya.

"Nanti kalau sudah tumbuh, kau yang mengambil umbinya, biarlah aku mendapat daunnya saja.,

Bukan main senangnya hati I Bojog mendengar kata-kata I Kambing

itu.

"Memang benar-benar I Kambing kawan yang baik hati. Tak ada yang lebih baik daripada kau. Nah, sekarang tunggulah di sini, aku akan mencari bibit."

"Baik, cepat-cepat ya," demikian jawab I Karnbi.tg.

Lalu I Bojog pergi. I Kambing tersenyum di dalam hatinya, sambil menantikan I Bojog.

kacang tanah lalu diserahkan kepada I Kambing. I Kambing lalu menggali tanah tempat kacang itu akan ditanam. Karena sudah payah benar I Kambing bekerja, disuruhnyalah I Bojog membantu.

"J:lojog! Bantulah aku menaruh bibit di lubang yang tersedia, nanti aku yang merumputnya."

"Mengapa aku yang kau suruh? Tadi kita sudah berjanji, aku yang mencari bibit, kau yang menanam."

"Janganlah seperti itu. Kasihanilah aku, payah sendiri."

"'Kan kitatidak boleh mungkin janji. Kita sudah berjanji sepert! itu, itulah yang patut kita jalankan."

"Nah, jika demikian baik juga. Kita patut benar berpegang pad a per­ janjian, tak Ia yak ingkar pad a janji." Lalu I Kambing bersiap untuk me­ nanam sendirian. I Bojog tertawa-tawa di pohon kayu. Senang benar hatinya. Hatta maka telah lama bibit itu ditanam. Kfra-kira telah sebulan. Daun kacang itu telah tumbuh subur sekali.. Untung benar diikuti oleh musim hu­ jan.

"Nah, sekarang telah tiba waktunya. Biar I Bojog tahu rasanya. Dia mau menang sendiri saja.'' Lalu dimakannya daun kacang yang masih muda itu. Hingga kenyang benar perutnya. Keesokan harinya dimakannya lagi daun kacang yang .masih muda. Demikianlah setiap hari sehingga habis daun kacang itu. Setiap ada yang tumbuh segera diamkannya.

Akhirnya hal itu diketahui oleh l Bojog.

"Kambing, beh demikian licik engkau. Mengapa kau habiskan daun­ nya. Kalau demikian kapankan kacang itu akan berumbi. Jangan kau habis­ kan daunnya."

"Dulu kan kita sudah berjanji. Aku menda,pat daunnya, engkau men­ dapat umbinya. Sekarang silakan cari umbinya."

"Mana bisa berumbi jika daunnya setiap hari kau makan."

"Aku tidak tahu, pokoknya kita sudah berjanji aku mendapat daun­ nya. Bagianmu umbinya. Kalau kacang itu tak mau berumbi, itu bukan salahku."

"Baik kalau demikian. Nanti kau akan tahu rasa."

Demikianlah kata I Bojog dengan marahnya, lalu pergi. Baru ia me­ ngetahui tipu daya I Kambing. Perjalanan I Bojog menuju ke hutan mencari harimau. Akhirnya ia menjumpai seekor harimau sedang mencari makanan.

"Nah ini I Macan."

"Ada apa Bojog? Tumben benar kau kemari?"

"Lama benar aku mencarimu. Baru sekarang bertemu." "Apa keperluanmu?"

"Begini macan. Dongkol benar aku kepada I Kambing. Kerap kali aku diperdayanya. Bohong saja kerjanya. Lagi pula angkuh benar hatinya. Sombongnya luar biasa. Ia mengaku tak takut kepada macan. Kalau ... ka­ lau ada macan, akan dimakannya, katanya. Katanya ia sudah biasa makan

macan."

Mendengar kata I Bojog seperti itu marah benar I Macan.

"Di mana tempat I Kambing? Ayo kita carl. Akan ku makan ia segera. Tapi, tidakkah kau bohong? Tidak ada adat kambing memakan macan. Jika kau bohong bagaimana? Apa buktinya kau tidak berbohong?"

"Kalau aku bohong, bunuhlah aku. Ikat ekormu dengan ekorku. Kalau aku bohong, kau makan aku."

"Baiklah kalau begitu."

Lalu diikatnya ekor I Bojog dengan ekornya sendiri. Setelah itu mereka berjalan menuju ke tern pat I Kambing. I Bojog duduk di atas punggungnya, ka­ rena tidak mungkin berjalan berpisah. Setelah tempat I Kambing dekat, tampaklah I Kambing. Mulutnya penuh bekas darah. Demikian juga janggut­ nya. Biasanya I Kambing kalau melihat macan segera ia larl. Tetapi kambing ini nampak mendongak. Ekornya naik. Daun telinganya mengibas-ngibas. Matanya menyala seperti akan menyambar musuh, dan lagi berkata dengan kasar.

"Eh Bojog. Mengapa lama benar kau datang dan membawa macam, ha? Sampai lapar benar perutku menunggumu. Untunglah baru saja seekor macan datang ke marl. Seketika kuselesaikan, hingga kenyang benar perutku. lkatlah dahulu macan itu. Sebentar lagi akan kuselesaikan."

"Ah, tak ada adat I Kambing memakan macan."

"Kalau kau tidak percaya dekatlah ke marl. Lihatlah penggalan ke­ palanya di sumur, baru saja ku buang. Dekatkanlah dirimu. Akan kupaksa­ kan diriku menyelesaikanmu seketika."

Takut hati I Macan. Berdebar jantungnya. Lalu ia berjalan menuju ke sumur mencoba membuktikan kata I Kambing. I Bojog tak dapat berkata apa-apa. Begitu I Macan menjengukkan kepalanya ke sumur, ia pun ter­ kejut. Sebab di dalam sumur tampak penggalan kepala macan. Tanpa ber­ pikir panjang lebar, larilah ia karena takut akan dimakan oleh I Kambing. Tak diketahuinya bahwa kepala di dalam sumur itu bayangan kepalanya sen­ diri. Dikiranya benar penggalan kepala macan lain. Apalagi ketika itu di­ gertak oleh I Kambing. Larinya semakin cepat. Ia larl tunggang langgang. I Bojog mati terbanting karena terbawa larl.

Sesudah itu diceriterakan bahwa I Macan terlunta-lunta karena payah. Akhirnya dijumpainya sepasang sapi yang sedang dipasang pada ayuga, di tepi sebuah kolam. Sapi itu sedang dipergunakan untuk membajak oleh yang empunya. Yang empunya berada di atas pohon enau sedang mengiris-irls

batang bunga enau.

"He sapi, mengapa engkau diikat seperti itu? Tak ada gunanya badan­ mu besar. Kau biarkan dirimu terikat seperti itu. Tak ada gunanya kau kuat?" "0, aku diikat oleh I Manusia. Memang sudah diadatkan demikian. Bangsa sapi memang layak diperlakukan seperti ini oleh manusia."

"Ah, kau bodoh. Tak ada gunanya tenagamu besar. Tak beranikah kau melawan?"

"Beh, tidak mungkin I Sapi akan melawan I Manusia. Ia memang pin-tar."

"Beh, seberapakah kesaktiannya? Mari, biar dia tahu rasa. Beri tahu aku di mana tempatnya."

"0, dia sedang mengiris batang bunga enau di pohon enau itu." "Mari, akan kucari dia."

Lalu I Macan berjalan mencari I Manusia, yang sedang mengiris-iris batang bunga enau itu. Setelah tiba di sana lalu I Macan berkata,

"Eh, manusia, kabarnya kau amat pintar. Mengapa kepandaianmu kau pergunakan untuk menyiksa I Sapi? Memang benar kau kejam."

"E, macan seolah-olah kau tidak mengetahui bahwa memang demikian­ lah adatnya hubungan antara I Manusia dengan I Sapi."

"Ah, jangan kau banyak bicara. Turunlah dan perlihatkan kesaktianmu kalau memang benar kau sakti. Inilah I Macan akan menghadapimu."

"Meh, bagaimana aku akan turun. Aku tidak berani sebab kesaktianku ada di rumah."

"Carilah."

"Aku tak berani turon. Nanti aku kau bunuh. Tetapi jika kau inginkan kesaktianku, akan kuberikan kepadamu. Tetapi, ikatlah dulu badanmu agar tak dapat lepas. Kalau sudah demi.kian barulah akau mau turun lalu meng­ ambilkan kesaktianku di rumah."

"Baiklah kalau begitu."

Lalu diikatlah I Macan dengan tali bun. "Nah, aku sudah terikat, turunlah." "Coba bantingkan dirimu dulu."

"Baiklah." Lalu I Macan membanting dirinya. Terlepas ikatannya. "Nah, itu. Licik engkau. Cobalah ikat lagi dengan kuat sekali."

Kembali I Macan mengikat dirinya hingga erat sekali. Lebih erat dari yang tadi.

"Ya, sudah. Turunlah." "Cobalah banting dirimu."

Lalu I Macan membanting dirinya kuat sekali. Tak dapat terlepas. Maka turunlah I Manusia. Dihunusnya goloknya.

"Nah, sekarang tibalah ajalmu." Lalu ia mengambil batu yang lem­ peng. "Inilah yang akan kupergunakan sebagai landasan tempatmu mati." Gerak gerik I Manusia seolah-olah hendak menyembelih I Macan, sehingga gemetarlah I Macan. Takut benar ia akan mati. Menyesal benar ia. Sekarang barulah ia sadar, bahwa ia diperdaya oleh I Manusia.

"Eh Manusia! Mengapakah engkau begitu? Mengapa engkau berbohong? Tidak setia engkau kepada janjimu. Tak layak I Manusia berlaku demikian." "Ah engkau, dasar memang hewan, apakah yang engkau ketahui. Eng­ kau kan macan. Kalau aku lengah pasti kau makan aku. Karena I Macan

me-mang musuh I Manusia. Karena engkau musuh layaklah kalau aku mem­ pedayakan kau. Seperti kata orang, musuh layak diperdaya. Demikianlah bunyj nasehat yang sudah biasa dijalankan. Nah, sekarang terir!lalah, nasibmu memang kau akan mati, si bodoh berlagak pintar." .

"Beh ampunilah aku Manusia! Janganlah kau bunuh aku. Sebab aku mempunyai anak kecil, di dalam gua tempatnya. Belum bisa berbuat sesuatu. Bila aku kau bunuh, berarti kau menyiksa anakku yang belum mengerti apa­ apa."

"Benarkah kau mempunyai anak?" "Benar."

"Kalau demikian benar juga kau. Tetapi dasarmu memang hewan. Sulit aku untuk mempercayai kata-katamu. Bangsa hewan tak layak untuk dipegang kata-katanya, karena memang biasa berdusta. Kalau sekarang engkau kulepaskan, nanti pasti kau akan makan aku."

"Janganlah begitu dalam keadaan seperti ini. Percayalah aku. Aku ber­ hutang nyawa, masakan aku alcan memakanmu. Sejelek-jelek hewan, aku juga masih memiliki perasaan. Karena itu sekarang aku bersumpah jika kau tak jadi membunuhku, dan mau melepaskan aku, itu berarti kau menyelamatkan aku dan juga anakku. Karena itu sekarang aku bersumpah, seluruh keturunan­ ku tak akan menerkam manusia . . . tak akan menerkam dari depan. Itulah sumpahku."

"N ah, jika demikian kau akan kuselamatkan."

Lalu dihunusnya golok pengirisnya dan dipotongnya tali pengikat I Macao. Sesudah itu segera I Macan berlari menuju ke hutan.

Sekarang diceriterakan perjalanan I Macao terlunta-lunta, karena ter­ kejut akan dibunuh oleh I Manusia. Akhirnya sampailah I Macao di tepi se­ buah kebun dekat sawah. Di sana terdapat sebuah rumpun bambu. Pada rumpun bambu itu banyak benar terdapat kadal sedang memanaskan badan di sinar matahari dan mencari makanan. Mengalir air liur I Macao melihat kadal itu. Lalu ia mengintip. Kadal itu tahu dan siap siaga. Baru saja I Macao siap menerkam, kadal itu cepat mengelak masuk ke bawah sembilu, ada juga yang ke bawah pangkal bambu, ada jug ayang ke dalam lubangnya. I Macao terluka-luka. Darahnya muncrat memerciki pohon bambu banyak sekali. Berbintik-bintik darah I Macao melekat di pohon bambu.

Baru saja I Macao menjauh, tampak lagi kadal-kadal itu. Diterkamnya lagi, dan darah I Macao muncrat lagi, memerciki pohon baritbu itu.

Panas benar hati I Macao. Tak dirasanya badannya banyak mengalami luka­ luka, darahnya banyak benar yang ke luar. Akhimya habis tenaganya. Lalu ia pergi karena kepayahan.

Karena percikan darah I Macao lalu bambu-bambu itu berganti rupa berbintik-bintik merah tua, menjadi bambu tutul sarnpai sekarang ini. Demikian ceriteranya.