• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat

Dalam dokumen Sym10 Agustus2017 Akhir Negara Bangsa (Halaman 21-37)

Untuk bisa memahami apa yang terjadi saat ini, kita harus melihat ke masa lalu. Untuk memahami kondisi dunia Islam saat ini, serta kebijakan politik terhadap dunia Islam dari kekuatan eksternal, kita harus melihat bagaimana kondisi politik saat ini diciptakan.

Apa yang disingkapkan dalam sejarah kepada kita adalah sebuah pola yang konsisten mengenai intervensi Barat, manipulasi dan eksploitasi atas dunia Islam sejak abad 16. Negara-negara Barat sangat konsisten dalam menjalankan formula yang sukses dalam melakukan ekspansi, kolonisasi dan penyebaran pengaruh ke seluruh dunia, tidak hanya dunia Islam.

Sejak revolusi sekuler pada abad 17, Barat tidak lagi diarahkan dan diatur oleh tujuan berlatar pandangan dunia kristen, tetapi termotivasi oleh hal yang lebih materialistik meski bukan berarti mereka jadi berhenti berperang karenanya. Kekristenan digantikan oleh liberalisme sekuler sebagai sudut pandang dominan dan motivasi untuk melakukan ekspansi.

Ketika dulu Barat akan menaklukkan suatu wilayah untuk mendapatkan harta dan menyebarluaskan Kristen, mereka sekarang melakukannya untuk mendapatkan harta dan menyebarluaskan liberalisme sekuler.

Ketika Liberalisme sekuler diharapkan dapat mengambil alih dan mengubah dunia, Islam sebagai pola pandang saingan dan kekuatan yang melawan ketidakadilan ekonomi hadir sebagai batu halangan terhadap ideologi liberal sekuler, sebagaimana dulunya Islam menjadi batu halangan bagi Kristen.

Untuk memahami secara objektif kebijakan Barat modern terhadap kebangkitan Islam atau potensi bangkitnya Islam di negara mayoritas Muslim, kita perlu mempelajari respon dan strategi Barat dalam menghadapi Islam dan negara mayoritas Muslim dalam sejarah.

Proses Pendirian Barat

Setelah runtuhnya kekaisaran Roma Barat di abad kelima, Eropa terdiri dari suku barbar yang memenuhi reruntuhan peradaban Roma dan saling berperang satu sama lain. Suku-suku tak berpendidikan ini tidak dapat melanjutkan pembelajaran yang dilakukan oleh orang Roma, ataupun memperbaiki bangunan dan teknologi Roma, dari situ, Eropa memasuki masa kegelapan (Dark Ages). Yang tersisa dari masa Roma adalah kepercayaan Kristen yang kebanyakan suku telah mengadopsinya pada abad kelima, dan institusi keagamaan gereja Katolik yang telah diadopsi oleh Roma sebagai agama resmi kekaisaran sesaat sebelum kejatuhannya.

Dari abad ketujuh hingga kesembilan, jatuhnya kerajaan suku Eropa oleh tentara muslim menyebabkan suku-suku Eropa di sekitar area kekuasaan Islam mulai bersatu di bawah kekuasaan satu suku yang kuat. Gereja Katolik mengadopsi strategi ini untuk memperkuat pengaruhnya dan mengembalikan Eropa kepada puncak kekuatan. Gereja mulai menawarkan kepada para kepala suku pengangkatan resmi dari Gereja sebagai 'Raja', untuk menjadikan para anggota suku di bawah mereka lebih loyal. Timbal baliknya, gereja dan para pendeta bisa memberikan pengaruh dalam kekuasaan dan mendapatkan perlindungan.

Dengan bangkitnya kerajaan Eropa, dan dengan masuknya barang-barang dengan teknologi tinggi dari dunia Islam ke pasar Eropa yang meningkatkan perkembangan materiil dari kerajaan-kerajaan baru ini Gereja Katolik menyerukan perang ideologi, atau "perang salib", terhadap tanah Eropa yang dikuasai oleh Muslim. Hal ini membantu Gereja meraih kekuatan dan pengaruhnya di bidang politik domestik kerajaan-kerajaan baru tersebut. Pada saat yang sama mereka juga menciptakan aliansi negara-negara kristen Eropa yang kemudian disebut Christendom. Hal ini disebut oleh banyak ahli sejarah sebagai saat lahirnya kesadaran dasar "Pra-Barat".

Akan tetapi, pergesekan dan asimilasi Eropa dengan pembelajaran dan sains Muslim sepanjang abad ke 11-12, terutama metode saintifik dalam

20 Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat

mengamati fenomena alam dan pengambilan kesimpulan atas hukum alam dengan eksperimen, mengubah kebudayaan Eropa selamanya. Gesekan tersebut menghasilkan sebuah kebangkitan intelektual dalam berpikir yang kemudian disebut oleh ahli sejarah sebagaithe Renaissance.

Pada saat yang sama, kekuatan Utsmani naik di dunia Islam pada abad ke-14, dan mengambil kekuasaan di seluruh dunia Islam dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kekhalifahan Islam. Pada masa-masa awal kekuasaan Utsmani (abad ke 13-16), Christendom terus melancarkan dan mengobarkan peperangan melawan Utsmani, yang seluruhnya berakhir dengan kegagalan.

Permulaan Kolonialisme Eropa

Pada abad ke-16, kekuatan Eropa, dilengkapi dengan teknologi baru dan keilmuan baru, melihat celah dengan biaya yang murah untuk meneruskan serangan terhadap kekhalifahan Utsmani yang masih kaya dan memiliki kekuatan besar. Penjelajah Eropa memutuskan untuk melewati musuh historisnya, dan menemukan kesempatan baru untuk berdagang ke kepulauan yang jauh. Dulunya, mereka harus melewati wilayah Utsmani dan membayar pajak.

Penemuan tanah-tanah baru yang kebanyakan ditinggali oleh suku-suku yang inferior secara teknologi dan memiliki sumber daya alam yang kaya namun lemah dalam pertahanan yang disebut 'tanah primitif' membuat orang Eropa berlomba-lomba untuk mendapatkan kontrol di seluruh dunia dalam upaya untuk mendapatkan harta dan melakukan eksploitasi ekonomi.

Semua kekuatan Eropa, setiap kali menaklukkan tanah primitif baru, seringkali fokus pada ekstraksi massal ataupun memproduksi sumber daya dengan 'memberdayakan' (lebih tepatnya memaksa) para pribumi untuk bekerja. Jika penduduk pribumi melawan, mereka akan membawa tenaga kerja dari wilayah lain yang tidak melawan atau dari penduduk Eropa untuk menjadi tenaga kerja loyal yang bisa diandalkan.

Kolonial Barat berusaha menanamkan keyakinan Kristen kepada para pribumi di daerah jajahan untuk meredam keinginan mereka memberontak. Mereka berusaha memperkecil perbedaan antara pribumi dengan tuannya. Dari situ mereka berharap bahwa para pribumi akan mempraktekkan kebudayaan Barat dalam mengelola diri mereka sendiri, meskipun dalam kondisi ekonomi yang sangat menguntungkan kepentingan tuan koloni mereka.

Kristen dianggap sebagai pondasi dasar bagi para pribumi untuk berkembang secara intelektual menjadi seperti Barat. Hal ini berdasarkan pengalaman orang Eropa di mana renaissance dimulai dari dasar Kristen. Dengan kebijakan tersebut, para pribumi diajari oleh para misionaris, bangunan gereja strategis digunakan secara ofensif untuk membuat markas misionaris. Jika tidak berhasil, beberapa pribumi dipaksa untuk masuk Kristen di bawah todongan senjata. Cara yang paling berhasil yang digunakan oleh banyak penjajah Eropa adalah dengan menyekolahkan mereka di sekolah-sekolah yang mengajarkan nilai-nilai Barat dan Kristen.26

Kebangkitan intelektual dan pemikiran, serta besarnya harta dan sumber daya dari tanah jajahan, mendorong perkembangan teknologi yang semakin maju di Barat, hingga Barat mencapai kesetaraan dengan saingan terberatnya, peradaban Islam, pada abad ke-17.

Besarnya sumber daya yang diambil dari tanah jajahan semakin mempercepat perkembangan teknologi Eropa, sehingga teknologi militer Eropa dan jumlah populasinya mulai melampaui kekhilafahan Utsmani secara signifikan pada abad 18.

26

Contohnya adalah kebijakan pengambilan anak Aborigin dalam Aborigine Protection Act 1869 di Australia, the American Indian Boarding Schools, dan sistem pendidikan baru yang dipaksakan oleh the English Education Act 1835 di India.

22 Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat

ChristendomTerbagi

Kontak Eropa dengan peradaban Islam melalui Perang Salib di Syam dan umat Islam di Andalusia telah membangkitkan semangat belajar di Barat melalui penerjemahan tulisan-tulisan Yunani dan Arab. Antara abad ke-13 dan ke-16, banyak pemikir Barat menghabiskan tenaga dan waktu mereka mempelajari ilmu alam, yang menghasilkan perkembangan di bidang sains dan teknologi.

Semangat belajar dan meneliti ini memicu banyak peninjauan ulang terhadap asumsi filosofis, keyakinan Kristen, dan kekuatan Eropa yang berdasar dari kepercayaan tersebut. Hal ini memunculkan banyaknya perbedaan bentuk Kristen yang menantang dan menentang pengaruh politik dan teologis Paus Katolik. Maka muncullah Kristen Protestan, atau yang lebih spesifik, Lutheranism.

Perbedaan pendapat ini mulai mengacaukan struktur kekuatan yang ada terutama pengaruh Paus terhadap kerajaan-kerajaan Eropa. Hal ini mendorong Paus untuk memerintahkan negara-negara Katolik agar mereka menekan pendapat-pendapat teologis ini. Namun masalah muncul ketika suatu kerajaan mengadopsi Lutheranism. Dampaknya adalah munculnya perang saudara dalam kerajaan, yang terjadi selama abad ke-16 hingga 17.

Untuk mengakhiri peperangan ini, kesepakatan pragmatis antara dua faksi utama, Kerajaan Katolik dan Protestan menghasilkan perjanjian Westphalia. Perjanjian antar negara Eropa selama abad ke-17 bertujuan untuk menciptakan kehidupan berdampingan yang damai, dan menggeser perselisihan keagamaan ke alam intelektual. Pemerintah Eropa setuju untuk menghilangkan pertimbangan agama dalam kebijakan luar negeri diantara mereka. Namun, hal ini bukanlah sekulerisme. Seluruh kerajaan Eropa masih berdasarkan hukum Kristen. Apa yang diberikan oleh perjanjian Westphalia terhadap setiap Raja Kristen adalah hak penuh bagi mereka untuk menentukan Kristen aliran apa (antara Katolik, Lutheranism, dan Calvinism)

yang digunakan di dalam kerajaan mereka, dan untuk menoleransi aliran Kristen minoritas lain dalam negara mereka.

Raja Inggris yang terkenal King Henry VIII memisahkan diri dari Gereja Katolik, namun hal ini bukan disebabkan oleh ketidaksetujuan terhadap interpretasi Injil, melainkan karena King Henry ingin menjadi pemimpin tertinggi di Inggris dan tidak menginginkan adanya campur tangan dari Paus Katolik. Dari sini lahirlah sempalan baru Kristen Protestan Kristen Anglikan.

Bangkitnya Ideologi Baru Eropa

Hingga saat itu, para filsuf dan peneliti Eropa fokus pada pengembangan matematika, mendiskusikan metafisika dan teologi, serta mengimplementasikan metode sains yang mereka pelajari dari Muslim, untuk mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sains fisika. Hingga akhirnya, beberapa pemikir Eropa seperti Thomas Hobbes dan John Locke di pertengahan hingga akhir abad ke-17 mulai mempelajari manusia secara sosial dan politik. Dengan dasar kepercayaan bahwa politik Eropa tidak stabil karena perang antara Katolik dan Lutheran, mereka mencari cara agar mendasarkan sistem politik di atas sesuatu yang bukan merupakan hukum yang berasal dari otoritas gereja. Ini merupakan permulaan pembelajaran Barat akan pandangan baru mengenai posisi manusia di dalam dunia materiil ini, untuk menemukan tujuan baru dan organisasi politik baru bagi kemanusiaan. Oleh sejarawan Barat, periode disebut Age of Enlightenment. Sejarawan Barat masing-masing berbeda pendapat kapan tepatnya era ini dimulai dan berakhir.

Para pemikir Barat, terkesima dengan metode ilmiah dan semua ilmu yang diberikannya mengenai alam, mulai mengimplementasikannya untuk mempelajari bagaimana manusia seharusnya berorganisasi secara sosial dan politik, dan tujuan apa yang harusnya mereka kejar di dunia ini.

Masalahnya adalah, sains mempelajari hal yang tangible, sementara organisasi sosial dan politik manusia adalah hal yang intangible yang didasari oleh hal-hal non-material seperti pikiran, imajinasi, gagasan, perasaan, keterikatan emosional, dan yang paling penting adalah tujuan. Sains

24 Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat

bisa menerangkan manusia terbuat dari apa, bagaimana badan manusia bekerja, dan kebutuhan biologis manusia, namun sains tidak dapat menerangkan tujuan manusia, dan dari situ sains tidak bisa mengatakan kepada kita bagaimana manusia seharusnya diatur, atau apa yang seharusnya mereka percaya atau pikirkan. Implementasi yang salah dari sains, yang dilakukan kebanyakan oleh pemikir Kristen ketika mempelajari organisasi sosial dan politik manusia menghasilkan kesimpulan pseudo-ilmiah pandangan materialistik yang didasarkan atas moralitas 'hukum alam'. Hal ini di kemudian hari akan menjadi sekulerisme dan Liberalisme.

Gagasan sekulerisme dilahirkan dari pertimbangan Thomas Hobbes yang sepenuhnya materialistik dalam dunia politik dan ekonomi, di mana keamanan materiil diajukan sebagai tujuan tertinggi dari suatu negara, bukan kebajikan atau moralitas.

Dalam pandangan kaum sekuler, negara harus hanya memiliki satu pemimpin, bukan kepemimpinan yang terbagi bersama rohaniawan yang tidak punya kekuasaan. Artinya pihak yang bisa memberikan keamanan secara fisik adalah Raja, tuan tanah, atau kepala suku. Konsep ini diajukan untuk menghalangi campur tangan Paus dalam urusan Kerajaan Kristen Barat, sebagaimana yang biasa terjadi di masa lalu.

Dalam konsep awal negara Sekuler, hukum yang berdasarkan ajaran Kristen secara teori adalah opsional. Hukum yang berdasarkan agama hanya diimplementasikan sesuai dengan kebijakan penguasa, yaitu jika mereka lihatnya cocok untuk meningkatkan perdamaian dan moralitas masyarakat. Di masa awal, sekulerisme tidak melarang hukum yang berdasarkan agama, selama yang memutuskan adalah Raja, bukan pihak gereja.

Argumen dan kesimpulan Hobbe adalah bahwa pemerintah berdasarkan tujuan material lebih disukai karena lebih stabil, dan bahwa orang Kristen tidak memerlukan pemerintahan yang didasarkan oleh hukum Injil.

John Locke mengambil konsep dasar Hobbe dan menempelkannya pada pandangan baru, yaitu individualisme (keunggulan individual di atas

semuanya). Paham individualisme membawa kepada bentuk politik bernama

Libertarianism (kemudian disebut Liberalisme). Locke mengajukan konsep bahwa negara tidak hanya berdasarkan kekuasaan semena-mena dari pemimpin yang memberikan keamanan, namun bahwa negara bertujuan untuk melindungi dan 'membebaskan' setiap individu untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Hal ini pada akhirnya memiliki hasil yang berbeda-beda ketika diimplementasikan.27

Revolusi Liberal dan Negara Bangsa

Negara yang pertama kali jatuh dalam revolusi liberal adalah pemerintahan Inggris di tahun 1668. Meskipun revolusi ini tidak langsung menciptakan negara liberal, ia dianggap permulaan gerakan liberal yang secara progresif mengubah Inggris menjadi negara sekuler liberal. Kemudian revolusi Amerika tahun 1776 yang ironisnya melawan imperium liberal Inggris, dan Revolusi Perancis tahun 1799. Negara Eropa lainnya kemudian mengalami revolusi liberal selama abad ke-19.

Hingga saat ini, Eropa terdiri dari banyak Kerajaan Monarki atau Oligarki (aturan dibuat oleh kelompok aristokrat atau bangsawan). Sebuah Kerajaan adalah pemerintahan dan penjagaan oleh pemimpin (Raja, Pangeran, Bangsawan) dan dinastinya, terhadap orang-orang yang hidup di area yang

27

Libertarianisme awalnya memahami bahwa pemerintah hanya hadir untuk memberikan keamanan bagi rakyat dari gangguan satu sama lain, dan karena itu menyediakan sebuah masyarakat yang membebaskan setiap individu untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, diharapkan kekerasan akan berkurang. Namun, pada pertengahan abad ke-19, banyak negara semacam itu gagal, karena ’individu’ yang lebih kuat dalam masyarakat (yaitu orang kaya) mengeksploitasi individu yang lebih lemah, dan berujung pada masalah ekonomi dan turbulensi. Menyikapi masalah tersebut, para pemikir Barat bukannya membubarkan proyek Libertarian, namun justru memutuskan untuk mengamandemennya. Pemerintah melakukan intervensi di bidang ekonomi dan masyarakat untuk membatasi kebebasan rakyat, meningkatkan pajak untuk memberi makan orang miskin, dan memastikan keseimbangan yang lebih baik dalam perilaku sosial dan transaksi ekonomi. Ironisnya, hal ini adalah penegasian terhadap kepercayaan asli kaum Liberal tentang pemerintahan. Namun karena tidak adanya teori politik alternatif lainnya, sebagian besar negara menerima begitu saja amandemen tersebut. Tipe

26 Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat

dikuasainya. Rakyat adalah 'subyek' dari pemimpinnya. Mereka adalah 'subyek' dari otoritas dan kekuasaan pemimpin. Loyalitas mereka harus kepada pemimpin mereka. Raja dari kerajaan lain bisa saling menaklukkan satu sama lain dan mendapatkan tambahan subyek. Loyalitas masyarakat diarahkan kepada siapa saja yang menguasai tanah tersebut. Oligarki pada dasarnya sama, hanya berbeda di pemimpinnya saja. Dalam oligarki, pemimpinnya bukanlah Raja, namun kelompok bangsawan koalisi tuan tanah yang masing-masing mempunyai subyek. Kondisi ini berubah dengan bangkitnya 'Nasionalisme'.

Nasionalisme adalah produk lain dari 'Pencerahan' Barat dan diinspirasi langsung oleh pikiran Sekuler Liberal. Menurut kepercayaan Liberalisme Sekuler, yaitu Individualisme, masyarakat tidak lagi merupakan subyek dari Raja atau kelompok bangsawan, namun setiap individu memiliki kedaulatan dalam diri mereka masing-masing. Menurut teori ini, pemerintahan dibentuk oleh individu yang berkumpul, membentuk perjanjian dan persetujuan, demi terwujudnya keamanan dan kepemimpinan sesuai dengan tujuan dan keinginan bersama masyarakat. Para individu tersebut adalah setara.Mereka menjadi warga negara, bukan subyek dari Raja.

Konsep 'tujuan bersama' yang dibawa oleh Sekuler Liberal kemudian mengarahkan pada pertanyaan mengenai apa itu komunitas individu? Ketika memberikan jawaban terhadap pertanyaan mengenai apa yang dimiliki bersama oleh sekumpulan individu yang akan membawa mereka menuju kepentingan bersama, Johann Gottfried Herder penemu istilah nasionalisme berpendapat bahwa kesamaan bahasa menjadi basis kepentingan bersama dari sekumpulan individu, untuk menjadi satu 'bangsa'.

Setiap bangsa kemudian diasumsikan akan memiliki kepentingan bangsa, yang merupakan penggabungan dari banyak individu yang berdaulat. Kepentingan bangsa tersebut kemudian menjadi otoritas kedaulatan tertinggi atas mereka. Orang-orang dengan bahasa yang sama dikotakkan menjadi 'bangsa'. Meski demikian, terdapat banyak pendapat lain yang diajukan oleh

para pemikir Liberal, yaitu mengenai apa yang membuat satu bangsa berbeda dengan yang lain. Masalah ini masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

Orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang sama hidup di banyak 'bangsa', bahkan beberapa memiliki kultur, agama serta sejarah yang sama. Konsep bangsa (atau Nasionalisme) dari dulu hingga sekarang masih merupakan konsep buatan yang berubah-ubah, hasil dari pemikiran Sekuler Liberal.

Masalah yang dihadapi oleh pemikir Liberal tentunya adalah bagaimana orang-orang memahami kepentingan nasional tersebut. Dan apa yang terjadi jika ada dari individu tersebut yang memiliki kepentingan dan keinginan berbeda dengan kepentingan dan keinginan bangsanya. Untuk menjawab hal ini, beberapa pemikir Sekuler Liberal meminjam solusi dari teks Yunani Kuno, Demokrasi. Demokrasi Yunani melibatkan rakyat (tidak termasuk wanita dan budak) untuk memilih dan secara langsung menentukan hukum yang ada. Namun konsep ini tidak diambil oleh para pemikir Eropa. Mereka mengubah konsepnya, sehingga rakyat hanya akan memilih sekumpulan manusia (biasanya dari pejabat tinggi) untuk menentukan hukum. Tidak ada satu pun pemikir Liberal terkemuka yang menganjurkan rakyat untuk secara langsung menentukan hukum pemerintahan, mereka hanya bisa menyetujui pemerintahan yang mengatur mereka, dengan berpartisipasi dalam pemilihan umum, atau memilih perwakilan di bawah Raja. Inilah mengapa negara Sekuler Liberal Modern terganggu dengan turunnya jumlah pemilih dalam pemilihan umum, karena tidak penting partai mana yang pilih, tapi jumlah partisipasi rakyat dalam pemilihan umum melegitimasi sistem tersebut, bukan masalah siapa yang dipilihnya. Jika kebanyakan orang tidak memilih, maka seluruh sistemnya menjadi tidaklegitimate.

Tipe negara baru ini, yang memerintah sebuah 'bangsa', tidak lagi disebut kerajaan namun disebut 'negara bangsa'.

Revolusi liberal melawan struktur kekuasaan tradisional Eropa mengubah persepsi diri Eropa secara radikal. Gagasan mengenai Christendom

28 Negara Bangsa dan Pendirian Peradaban Barat

surut dan digantikan dengan pikiran baru di seluruh bangsa Eropa sesuatu yang selanjutnya akan disebut 'Barat'.

Setelah kemunculan pemerintahan Liberal Sekuler, politik internasional dan domestik Eropa semakin mengarah ke arah materialistik. Namun ironisnya, perang tanpa henti masih terjadi diantara negara Eropa, bahkan mungkin memperparah perang tersebut. Tetapi, sejak perjanjian Westphalia, perang yang murni berdasarkan ideologi agama tidak lagi terjadi antar orang Eropa. Perang antara Eropa dan kekhilafahan Utsmani juga berkurang.

Penting dicatat bahwa Liberalisme Sekuler hanya muncul sebagai sistem politik di kalangan bangsa Barat di akhir abad ke-18. Sejak permulaan

renaissance Barat di abad ke-12, selama 600 tahun bangsa Eropa berkembang secara teknologi, kebudayaan dan material tanpa sistem politik Liberal, atau bahkan Demokrasi modern. Contohnya Inggris, yang dulunya adalah negara

superpower global dan memimpin inovasi teknologi dari abad ke-18, tidak mengadopsi Demokrasi secara penuh hingga 1918 (200 tahun setelahnya).

Karenanya, pernyataan bahwa Liberalisme Sekuler dan Demokrasi menciptakan perkembangan dan kemajuan sains hanyalah mitos yang disebarkan oleh Liberal modern. Faktanya, Liberal adalah pewaris dari perkembangan material Barat dan penelitian ilmiah yang dimulai dari masa

renaissance, bukan penemunya. Dunia Barat mencapai supremasi global sebagian besar melalui penaklukan militer, bukan inovasi teknologi. Perkembangan teknologi bukan berarti supremasi sebagaimana dibuktikan oleh Jepang saat ini. Penggunaan kekerasan untuk menyebarkan ideologi Barat dan memfasilitasi eksploitasi ekonomi terhadap tanah primitif adalah faktor yang menciptakan supremasi Barat. Supremasi yang masih mereka miliki hingga saat ini dengan menggunakan kekuatan dan kekerasan terhadap negara non-Barat.

Samuel Huntington menulis:

Barat menaklukkan dunia tidak dengan superioritasnya dalam hal gagasan atau nilai-nilai atau agama, namun [mereka menaklukkannya] dengan superioritasnya dalam mengimplementasikan kekerasan terorganisir. Orang Barat seringkali lupa fakta ini, tapi kaum non-Barat tidak pernah lupa. 28

Proyek Liberalisme Sekuler terhadap Dunia & Islam

Sekulerisme liberal muncul pertama kali dari negara protestan, dan lebih lambat menyebar di negara Katolik karena adanya perlawanan dari Gereja Katolik. Liberalisme muncul dari negara Kristen Protestan, yang kemudian menciptakan intoleransi mendalam negara liberal terhadap Katolik. Banyak perang terjadi antara negara Katolik dengan Liberal. Bahkan negara Liberal saling berperang satu sama lain, yang menyebabkan terjadinya perang Napoleonic antara Perancis dan Inggris, serta perang tahun 1812 antara AS dan Inggris.

Negara-negara di bawah pengaruh Katolik sedikit demi sedikit mendapatkan kebebasan dari kontrol Gereja, namun mereka masih mempertahankan beberapa pengaruh Gereja Katolik dalam kebijakan dalam dan luar negerinya. Dengan adanya revolusi Liberal di banyak negara Katolik pada pertengahan abad ke-18, Gereja Katolik dipaksa untuk menerima peran terbatasnya dalam masalah politik. Konsekuensinya, pemerintahan dan negara Liberal mulai toleran terhadap Katolik.

Kekuatan Barat tidak lagi mengobarkan perang untuk menyebarkan

Dalam dokumen Sym10 Agustus2017 Akhir Negara Bangsa (Halaman 21-37)

Dokumen terkait