• Tidak ada hasil yang ditemukan

Negara Demokrasi Konstitusional…

1.4 Kerangka Teoritik Dan Konseptual

1.4.2 Kerangka Konseptual

1.4.2.1 Negara Demokrasi Konstitusional…

Diskursus mengenai teori demokrasi konstitusional tidak dapat dilepaskan dari gagasan pemikiran demokrasi dan nomokrasi, karena kedua gagasan tersebut saling berkonvergensi yang pada akhirnya memunculkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan negara demokrasi berdasarkan hukum (constitutional democratic) atau secara sederhana disebut sebagai negara demokrasi konstitusional (contitutional demorcratic state).23

Sebagai suatu mekanisme politik, demokrasi dipilih karena demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi rakyat. Dalam arti yang lebih luas rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang secara langsung menentukan kebijakan negara melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilihan secara berkala.24 Kendati demikian, mekanisme demokrasi dimana warganya bebas mengambil keputusan melalui kekuasan mayoritas juga dapat tergelicir pada tirani ataupun anarki yang justru dapat merugikan rakyat. Di sinilah hukum memberikan kerangka atas jalanya demokrasi agar tidak mengabaikan tujuannya sendiri. Di samping itu, hukum sebagai kaidah normatif dimaksudkan pula sebagai kerangka dan pembatas kekuasaan sekaligus sebagai legitimasi kekuasaan itu sendiri. Perpaduan antara demokrasi dan nomokrasi tersebut alhasil berujung pada paham konstitusionalisme yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintah

23

Jimyl Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, hal. 150.

24

Lihat Henry N. Mayo, an Introduction to Democratic Theory, (New York: Oxgford University Press, 1960_, hal. 70.

sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.25

Adanya pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak dipekenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan tersebut tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). Jadi, constitutional government sama dengan limited government atau restrained government. 26

Menurut Walter F. Murphy, penyatuan dua gagasan yaitu demokrasi dan konstitusionalime telah melahirkan teori demokrasi konstitusionalisme.27 Kedua konsep itu sesungguhnya sama-sama mengakui sentralitas harkat kemanusiaan (human dignity) yaitu penghormatan pada harkat kemanusiaan-, sebagai yang mendasari konsep tersebut. Perbedaan antara keduanya adalah bagaimana cara yang terbaik untuk melindungi nilai-nilai tersebut.28 Melalui pembatasan legitimasi tindakan pemerintah, konstitutionalisme mencoba menurunkan ketegangan politik, untuk membatasi resiko akibat kebebasan dan martabat (diagnity) yang timbul dari

25

Lihat Carl J.Friederich, Constiturional Government and Democracy, Theory and Practice in Europe and America, ed. Ke-5, (Wletham, Mass, Blaidsdell Publisihing Company, 1967), Bab VII.

26 Ibid.

27

Selengkapnya lihat Walter F. Murphy, Constitutions, Constitutionalisme and Democracy dalam Douglas Greenberg et.al., eds., Constitutionalism and Democracy: Transition in the Contemporary World, (New Yor: Oxford University Press, 1993). Lihat juga Walter F. Murphy, dalam Sotirios A. Barber and Robert P. George, Constitutional Polittics Essay on Constitution Making, Maintenance, and Change, (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2001), hal. 11-17. Lihat juga Walter F. Murphy, Constitutional Democracy Creating and Maintaining a Just Political Order, (Baltimore, Maryland: The Johns Hopkins Univesity Press, 2007), hal. 147-184.

28

Walter F. Murphy, Constitutions, Constitutionalism, and Democracy, dalam Douglas Greenberg, Stanley. Katz, op.cit., hlm. 6

suatu masyarakat politik. Di sini konstitusionalisme bertujuan untuk menjamin dihormatinya harkat kemanusiaan. Sedangkan teori demokrasi didasarkan pada anggapan bahwa harkat kemanusiaan harus dihormati karena terlahir demikian, orang dewasa menikmati tingkat otonomi yang luas, suatu status yang pada prinsipnya dapat dicapai dalam dunia modern dengan partisipasinya dalam pemerintahan pada komunitasnya. Teori demokrasi berusaha untuk membatasi resiko-resiko kesewenang-wenangan sekelompok orang melalui perlindungan hak-hak setiap orang untuk terlibat dalam proses pemerintahan.

Lebih jauh, kedua teori ini saling membutuhkan satu sama lain. Secara teori, demokrasi dapat menimbulkan tindakan mayoritas yang dapat membatasi dan mengurangi hak-hak substantif dari minoritas dan status sosialnya, dan hal ini adalah suatu bahaya. Pada sisi lain, bahaya kepercayaan pada konstitusionalisme yang ketat cenderung melumpuhkan pemerintahan dengan menciptakan berbagai tekanan dan pembatasan. Pemerintahan dalam tindakannya, tidak lebih dari hanya sebuah tindakan yang memperhitungkan biaya dan keuntungan. Demokrasi pada sisi lain, cenderung untuk merespon kepada apakah pejabat yang terpilih merasakan perasaan konstituen mereka menjadi masalah sosial yang harus diselesaikan.

Dalam rangka mencapai suatu pemerintahan yang efektif tetapi masih dibatasi, beberapa negara telah mengadopsi suatu campuran dari teori konstitusionalisme dan teori demokrasi. Tiap negara tersebut menyiapkan peraturan bagi partisipasi politik rakyat dan secara simultan membatasi

orang-orang pemerintahan dengan macam-macam alat kelembagaan.29

Setiap negara tersebut mencoba untuk membeda-bedakan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan ajudikasi dan berbagai mekanisme dan kelembagaan lainnya yang diciptakan untuk itu, termasuk juga pemberian kewenangan kepada pengadilan tatanegara yang dapat membatalkan tindakan eksekutif maupun legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Kemudian dengan pembagian kewenangan yang samar, dokumen dapat membuatnya seperti tidak ada lembaga yang dapat melakukan banyak hal yang secara politik sangat penting tanpa keluar dari kewenangan imperatif dari lembaga yang lainnya. Dengan demikian menurut Walter F. Murphy,30 “... a constitutional text can disperse power against power and protect liberty by pitting ambition against ambition and power against power”.

Kebebasan yang diberikan berdasarkan teori demokrasi dibatasi dengan teori konstitusionalisme sehingga prinsip-prinsip kebebasan tidak menganggu kebebasan serta martabat dari yang lainnya. Pada sisi lain, pendekatan konstitusiolasime tidak kaku, tidak rigid dan tidak mengekang kebebasan dasar manusia maka prinsip demokrasi menjadi alat ukur suatu prinsip konstitusionalisme yang baik. Dari sinilah lahir prinsip legitimasi konstitusional (legitimacy of constitusionality) yang dianggap sebagai prinsip

29 Ibid.

30 Ibid., hlm. 7

yang ideal dalam sebuah negara modern, yang dalam prinsip umum lebih dikenal dengan legitimasi legalitas (legitimacy of legality).31

Di Indonesia, keinginan untuk mewujudkan negara hukum (rule of law, rechtsstaat) sekaligus negara demokrasi berdasarkan konstitusi (constitutional democracy) diadopsi dalam Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) yang masing-masing berbunyi sebagai berikut. Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 1 ayat (3), “Indonesia adalah negara hukum”. Sejak awal perumusan UUD 1945, telah lahir semangat kuat untuk membangun kedua cita negara tersebut. Hal ini tercermin Penjelasan UUD 1945 yang semula berbunyi: “Negara Indonesia berdasarkan hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka”. Disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum yang juga dimuat dalam Penjelasan bahwa pemerintah berdasar atas mekanisme konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Prinsip ini mengandung makna ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan kekuasaan tidak terbatas). Dengan ketentuan yang demikian dapat dikatakan bahwa konstitusi telah menjamin bahwa negara Indonesia adalah negara dengan prinsip konstitusionalisme.

31

Lihat David Dyzenhaus, Legality and Legitimasi ( Carl Schmitt, Hans Kelsen and Hermann Heller in Weimar), Oxford University Press, New York, 1999.

Dokumen terkait