• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PENELITIAN"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN PENELITIAN

KOMPARASI PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU DI

BEBERAPA NEGARA PENGANUT PAHAM

DEMOKRASI KONSTITUSIONAL

Tim Peneliti

Ketua Tim : Bisariyadi 19790103 200604 1 003

Anggota : Meyrinda R Hilipito 19810506 200901 2 003 Anna Triningsih 19810923 201012 2 001 Alia Harumdani W 19870608 201012 2 001

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL

PUSAT PENELITIAN DAN PENGKAJIAN JAKARTA

(2)

ABSTRAK

Di berbagai negara di dunia, apalagi di negara-negara yang sudah menerapkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, Pemilu merupakan salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan demokrasi yang sekaligus juga memiliki fungsi praktis dari politik pemerintah sebagai sarana suksesi pihak yang memerintah dan pihak oposisi. Di negara-negara yang mempunyai kecenderungan menganut paham demokrasi konstitusional, proses pemilu bertujuan agar kehendak rakyat dapat diwujudkan ke dalam sebuah pola kekuasaan tanpa menggunakan kekerasan. Proses pemilu tidak hanya akan dinilai dengan berpatokan kepada kerangka hukum yang ada melainkan undang-undang, tata tertib pemilu dan pelaksanaannya pun perlu diuji dan disesuaikan apakah sudah sesuai dengan tujuan utamanya atau tidak tanpa mengabaikan hak-hak yang dimiliki oleh individu maupun kelompok.

Di dalam Proses penyelenggaraan pemilu, tidak selamanya proses penyelenggaraan pemilu berjalan dengan lancar. Berbagai hambatan dalam penyelenggaraan pemilu baik yang terjadi pada saat pemilu berlangsung maupun sebelumnya merupakan permasalahan yang tentunya akan berdampak luas jika tidak segera diselesaikan dengan baik. Adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu yang berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap keputusan penyelenggara pemilu atau pelanggaran-pelanggaran pidana maupun administratif yang mempengaruhi hasil pemilu itulah yang lazim disebut dengan sengketa pemilu. Agar sengketa pemilu tersebut tidak mengganggu jalannya sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintahan dari suatu negara atau wilayah tertentu, maka diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang efektif serta dapat memberikan keputusan yang adil bagi para pihak yang berkepentingan.

Permasalahannya adalah bagaimana tolok ukur dari suatu mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang efektif tersebut? Sebab, jika ditilik lebih lanjut dan berkaca pada negara-negara demokrasi di dunia, tidak semua negara-negara demokrasi terutama yang melandaskan hukumnya pada supremasi konstitusi, memiliki mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang sama antara negara yang satu dengan negara yang lain. Wawasan mengenai hal ini sangat penting gunanya, karena dengan mengetahui ukuran keefektifan suatu mekanisme penyelesaian sengketa pemilu, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan mekanisme penanganan suatu sengketa pemilu yang tepat guna, tepat sasaran serta memberikan keadilan bagi para pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya.

(3)

ABSTRACT

Every country in the world, moreover in every country which has implemented the way of life of democcratic and nation, presume that election is one of the important element as a marker of democracy of the country and also has a practical function of government political as a succession’s tool between the government parties and the oposition parties. In every democratic constitutional state, the election process has a purpose to embody will of the people into pattern of power without violence.

The election process will not only be assessed by sticking to the existing legal framework but the laws, codes of conduct of the election and its implementation needs to be tested and adjusted if it is in accordance with its primary purpose or not without ignoring the rights of individuals or people. In the process of the general election, the election process does not always run smoothly. Various obstacles in the implementation of good elections that occurred both during and previous election, is a problem that certainly would have widely spread impact if not immediately resolved. The existence of problems in the election related to dissatisfaction of decision of the election or criminal violations and administrative which can influence the result of election is commonly known by electoral disputes. In order the election dispute does not disturb the constitutional system or system of government of a country or region, it requires an electoral dispute resolution mechanisms that effective and can give a fair decision to the parties.

The main problem is how the benchmark of an electoral dispute resolution mechanisms that are effective? Because, if traced further and reflect on democracies country in the world, not all democracies country, especially the democracies country which basing on the supremacy of the constitution, has the same electoral dispute resolution mechanisms between one country to another country. This is very important, because by knowing the measure or the benchmark of the effectiveness of an electoral dispute resolution mechanisms, we can consider to choose which electoral dispute resolution mechanisms that appropriate and give the fairness to the parties and society in general.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Tim Peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat rahmat & karunia-Nya, akhirnya penelitian ini dapat terselesaikan meski dengan banyak sekali batuan terjal yang mesti dilewati dalam penyelesaian penelitian ini.

Penelitian dengan judul “Komparasi Penyelesaian Sengketa Pemilu Di

Beberapa Negera Penganut Paham Negara Demokrasi Konstitusional”, dilatar

belakangi oleh : Pertama, Pemilu merupakan bagian penting dari proses demokratisasi karena dianggap sebagai pengejawantahan paling nyata dari negara yang menganut demokrasi. Kedua, masalah sengketa hasil perolehan suara dalam pemilu merupakan permasalahan yang sangat krusial karena menentukan pilihan politik rakyat yang direpresentasikan melalui struktur parlemen dan pemerintahan.

Ketiga, setiap negara memiliki mekanisme berbeda dalam pelaksanaan pemilu dan penyelesaian sengketa pemilu. Tidak semua negara memiliki aturan yang sama mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pemilunya. Keempat, tidak semua negara demokrasi memiliki mahkamah konstitusi dan menyerahkan kewenangan penyelesaian sengketa pemilu kepada kekuasaan kehakiman tersebut. Penyelesaian sengketa pemilu di berbagai tingkatan selain diselesaikan di mahkamah konstitusi, beberapa negara menyelesaikan sengketa pemilu di peradilan umum atau di peradilan khusus pemilu. Kelima, pemilu di Indonesia mempunyai persoalan tersendiri yaitu dalam hal luasnya cakupan pengertian pemilu dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu. Sengketa pemilu yang harus diselesaikan oleh MK

(5)

adalah sengketa pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu Kepala Daerah.

Penelitian yang diselenggarakan dalam waktu 5 (lima) bulan ini, bertujuan untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa pemilu di negara-negara demokrasi di dunia dan membuat pengelompokkan/ klasifikasi mekanisme tersebut dan untuk memperoleh gambaran jelas mengenai ruang lingkup dan batas-batas kewenangan penyelesaian sengketa pemilu di negara-negara yang memberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu itu kepada mahkamah konstitusi maupun di negara yang memberikan kewenangan demikian lembaga peradilan lain atau kepada lembaga non-peradilan.

Tim Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karena itu Tim Peneliti dengan penuh kerendahan hati sangat membuka diri untuk menerima berbagai masukan guna perbaikan penelitian ini, dan semoga peneliti-peneliti berikutnya dapat menyempurnakan hasil penelitian ini sehingga nantinya benar-benar dapat memberikan kontribusi positif.

Jakarta, Desember 2011 Tim Peneliti

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... i ii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... DAFTAR BAGAN... DAFTAR GAMBAR... x xi xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang ……….………... 1.2 Permasalahan………...………

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian……..……….…….

1.3.1 Tujuan Penelitian……….……..

1.3.2 Manfaat Penelitian……….

1.4 Kerangka Teoritik Dan Konseptual………..………

1.4.1 Kerangka Teoritik………..……

1.4.2 Kerangka Konseptual………..…….

1.4.2.1 Negara Demokrasi Konstitusional…...

1.4.2.2 Pemilihan Umum………....

1.4.2.3 Sengketa Pemilu……….

1.4.2.4 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu……… 1.4.2.5 Efektifitas Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Pemilu………... 1.5 Metode Penelitian………..…... 1.5.1 Tipe Penelitian………...……….. 1 14 15 15 15 17 17 20 21 26 27 31 33 35 35

(7)

1.5.2 Jenis dan Sumber Data………. 1.5.3 Pendekatan Pembahasan….………... 1.6 Sistematika Penulisan.………. 1.7 Organisasi Penelitian…………...…..………... 1.7.1 Tim Penyusun……….. 1.7.2 Jadwal Pelaksanaan………..

1.7.3 Rencana Anggaran Biaya………..

36 37 38 39 39 41 41

BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU... 42

2.1 Klasifikasi Sistem Penyelesaian Sengketa Pemilu……..

2.2 Mekanisme Formal Penyelesaian Sengketa Pemilu…. 2.3 Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu

42 45 52

BAB III PERBANDINGAN RUANG LINGKUP DAN BATASAN KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU...

3.1 Lingkup Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pemilu oleh Mahkamah Konstitusi di beberapa Negara ………

3.1.1 Austria………... 3.1.2 Jerman………... 3.1.3 Azerbaijar……… 3.2 Lingkup Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pemilu oleh

Lembaga Peradilan Khusus………. 3.2.1 Tribunal Superior Electoral Brazil……… 3.2.2 Tribunal Federal ElectoralMeksiko…………...

3.3 Penyelesaian Sengketa Pemilu oleh Lembaga Non-Peradilan ………

3.3.1 Election Management Bodies Thailand………….

3.3.2 Philippine Commission on Election/Comelece... 57 59 60 63 67 70 70 76 81 81 87

(8)

BAB IV

BAB V

DAFTAR

PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU MELALUI MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA LAIN

4.1 Perkembangan Penanganan Perselisihan Hasil Pemilu Di Indonesia………..

4.2 MK Dan Kewenangannya Dalam Sengketa Pemilukada……….………

4.2.1 Para Pihak yang dapat berperkara (subjectum litis)... 4.2.2 Objek Permohonan (objectum litis)……… 4.2.3 Tenggang Waktu Pengajuan……… 4.2.4 Putusan Mahkamah………. KESIMPULAN DAN SARAN………

5.1 Kesimpulan……… 5.2 Saran……… PUSTAKA………... 95 95 100 105 113 115 116 119 119 123 126

DAFTAR TABEL

1.1 1.2 1.3

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu………...

Timetable Penelitian………... Yurisdiksi Penyelesaian Sengketa Pemilu Filipina…………

33 41 94

DAFTAR BAGAN

1.1 Identifikasi Penyelesaian Sengketa Pemilu………... 12

DAFTAR GAMBAR

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) merupakan salah satu penanda penting demokrasi. Samuel Huntington menyatakan bahwa dunia kini tengah berada dalam sebuah era yang disebut sebagai gelombang demokrasi ketiga.1 Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah negara-negara yang mengaku sebagai “negara-negara demokrasi”. Kecenderungan menunjukkan bahwa dalam satu abad terakhir, demokrasi telah mendominasi perpolitikan global masyarakat dunia. Hampir seluruh negara-negara di dunia baik mereka yang pada dasarnya menganut sistem monarki kini telah juga mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi, dan tiada demokrasi tanpa pemilihan umum.

Pada hakikatnya, kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh kualitas pemilu yang diselenggarakan di sebuah negara. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila, baik buruknya pemilu di suatu negara sekaligus mencerminkan baik-buruknya kehidupan demokrasi di negara itu. Pemilu yang demokratis dari negara demokrasi menjadi sangat penting mengingat tujuan Pemilu itu sendiri yaitu:

1

Samuel Huntington, The Third Wave : Democratization In The Late Twentieth Century, (Oklahoma: University of Oklahoma Press , 1991).

(10)

a. Membuka peluang untuk terjadinya pergantian pemerintahan sekaligus momen untuk menguji dan mengevaluasi kualitas dan kuantitas dukungan rakyat terhadap keberhasilan dan kekurangan pemerintah yang sedang berkuasa,

b. Sebagai sarana penyerapan dinamika aspirasi rakyat untuk

diidentifikasi, diartikulasikan, dan diagregasikan selama jangka waktu tertentu, dan

c. (Yang paling pokok) untuk menguji kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri.

Dalam konteks itulah keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan bagi demokrasi. Namun ternyata negara-negara demokratis di dunia ini memiliki mekanisme yang cukup bervariasi dalam menyelesaikan sengketa pemilu.

Penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia diatur dalam Konstitusi, yaitu pada Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pasal tersebut mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk memutus perselisihan hasil pemilu. Kewenangan in dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf d UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(11)

Sesuai dengan Pasal 22E UUD 1945 pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, perselisihan hasil Pemilu pun meliputi ketiga jenis Pemilu tersebut, yaitu Pemilu anggota DPR dan DPRD, Pemilu anggota DPD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam perkembangan politik ketatanegaraan, pengertian Pemilu telah diperluas sehingga mempengaruhi jenis perselisihan hasil Pemilu yang menjadi wewenang MK untuk memeriksa dan memutusnya. Perkembangan tersebut diawali oleh putusan MK dalam perkara pengujian UU Pemerintahan Daerah yang terkait dengan ketentuan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004, Mahkamah menyatakan bahwa rezim pemilihan kepala daerah secara substantif adalah pemilihan umum sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas konstitusional Pemilu.2 Putusan ini memengaruhi pembentuk undang-undang yang selanjutnya melakukan pergeseran Pemilukada menjadi bagian dari Pemilu.3

Melalui UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (selanjutnya disebut Pemilukada) secara tegas dinyatakan sebagai bagian dari pemilihan umum. Pergeseran paradigma Pemilukada dari rezim pemerintahan daerah ke rezim

2

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 072/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 073/PUU-II/2004.

3

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010), hlm. 223.

(12)

Pemilu bertalian dengan UU Nomor 12 Tahun 2008.4 Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 mengamanatkan pengalihan wewenang memutus sengketa Pemilukada dari Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) ke MK dalam waktu 18 bulan sejak diundangkannya UU tersebut. Peralihan kewenangan secara resmi dilakukan oleh Ketua MA pada tanggal 29 Oktober 2008. Mulai pada saat inilah, perselisihan hasil Pemilukada menjadi bagian dari wewenang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, jenis Pemilu di mana sengketa hasilnya menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi meliputi :

a. Pemilu Legislatif yaitu pemilu untuk pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD;

b. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan

c. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Dampak perluasan makna pemilu, terjadi peningkatan jumlah perkara perselisihan pemilihan kepala daerah yang harus diselesaikan MK. Hingga kini, sekitar 90% (sembilan puluh persen) proses penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah, baik pemilihan Gubernur maupun Bupati atau Walikota, berakhir di MK.5

Adanya mekanisme hukum yang jelas dalam penyelesaian perselisihan Pemilu dan Pemilukada di Indonesia bukanlah tanpa permasalahan. Pada pemilu tahun 2009, terdapat 666 kasus yang didaftarkan di Kepaniteraan

4

Indonesia,Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5

Sebagai gambaran, dapat dilihat dari data Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2010 hingga pertengahan tahun 2011, terhitung dari 272 Pemilukada yang dilaksanakan oleh KPU, sebanyak 208 di antaranya diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebagai perkara PHPU Kepala Daerah. Data ini tidak termasuk Pemilukada pada tahun 2008 dan 2009.

(13)

MK.6 Kemudian, ketika pembentuk UU juga mengkategorikan pemilihan kepala daerah ke dalam pengertian Pemilu, sebagian besar dari Pemilukada yang dilaksanakan sepanjang tahun 2008-2011 diperkarakan di MK. Pada pertengahan tahun 2004 dan 2009, perhatian MK banyak tertuju pada penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (selanjutnya disebut PHPU) Legislatif dan Presiden. Kemudian sejak tahun 2008 hingga pertengahan tahun 2011, penyelesaian perkara pemilukada menjadi rutinitas di MK. Ketentuan perundang-undangan yang menentukan adanya syarat waktu penyelesaian perkara Pemilu dan Pemilukada yang cepat dengan menggunakan metode peradilan cepat (speedy trial) menuntut MK untuk memfokuskan penyelesaian perkara ini. Apabila penyelesaian PHPU melewati tenggat waktu maka berarti MK telah melanggar UU.7

Kenyataan bahwa pemilukada dilaksanakan sepanjang tahun dan, terkadang, beberapa daerah melaksanakan pemilukada pada saat bersamaan menyebabkan MK dibanjiri oleh perkara PHPU. Hal ini berimbas pada tertundanya pemeriksaan perkara-perkara lain yang tidak memiliki tenggat

6

666 kasus tersebut mewakili daerah pemilihan yang bermasalah dan menjadi obyek sengketa hasil pemilu. Seluruh kasus itu dikelompokkan berdasarkan partai politik dan daerah pemilihan anggota DPD yang menjadi pemohon. Sehingga 666 kasus dikelompokkan menjadi 71 perkara. Sumber data diperoleh dari Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

7

Pasal 78 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa: “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu: a. Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; b. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Sedangkan mengenai Pemilukada, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2008 ditentukan bahwa apabila permohonan sudah teregistrasi dan telah mengikuti proses persidangan, Mahkamah wajib memutus perkara tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

(14)

waktu, yaitu perkara pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Persoalan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa MK akan meminggirkan fungsi lainnya, terutama dalam memeriksa perkara

judicial review yang merupakan tujuan pembentukan MK.8 Kekhawatiran lainnya yaitu bahwa penyelesaian Pemilukada di MK tidak menyentuh permasalahan sebenarnya di daerah, karena keberadaan MK yang hanya berada di pusat dan tidak memiliki perwakilan di daerah. Keberadaan MK yang ada di pusat menimbulkan keraguan akan akurasi kebenaran dalam putusannya. Selain itu, dapat menimbulkan keengganan masyarakat di daerah untuk berperkara di MK yang disebabkan adanya kendala jarak dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan.9

Persoalan lainnya yaitu hampir semua permasalahan yang terkait pelaksaaan Pemilu berakhir di MK. Luasnya lingkup persoalan Pemilu dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakjelasan terhadap batasan kewenangan dan ruang lingkup suatu perkara perselisihan hasil pemilu. Putusan-putusan MK dalam perkara PHPU sering mempertimbankan pelanggaran pemilu yang dianggap mempengaruhi hasil akhir pemilu dan bukan sekedar perselisihan hasil penghitungan suara antara peserta dan

8

Sebagai gambaran mengenai tujuan utama pembentukan Mahkamah Konstitusi, lihat I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hlm 10-13.

9

Sejak awal tahun 2011 dalam suasana pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang baru, bermunculan wacana untuk mengeluarkan kewenangan penyelesaian Pemilukada dari Mahkamah Konstitusi, lihat: Media Indonesia, “Kewenangan MK dalam Sengketa Pemilu Kada Dibatasi?”, diakses melalui laman (http://www.mediaindonesia.com/ read/2011/03/17/211030/3/1/Kewenangan-MK-dalam-Sengketa-Pemilu-Kada-Dibatasi-) dan Media Indonesia, “MK Jadi Masalah dalam Pemilu Kada” diakses melalui laman (http://bataviase.co.id/node/569303) pada tanggal 3 September 2011.

(15)

penyelenggara pemilu. MK juga seringkali memeriksa permasalahan di setiap tahapan Pemilu, mulai dari tahap verifikasi bakal pasangan calon, tahap kampanye, tahap pemungutan suara hingga proses penghitungan suara dan penetapan hasil pemilu.10

Hingga kini, pilihan untuk menyelesaikan sengketa pemilu melalui MK belum menimbulkan persoalan konstitusional besar yang dapat menghambat proses demokrasi. Namun, dalam proses konsolidasi demokrasi tentu perlu dicari dan diteliti mekanisme yang ideal dan dapat memenuhi kepentingan semua pihak dengan tujuan meningkatkan kualitas pelaksanaan Pemilu.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka penelitian mengenai “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa

Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional” ini menjadi penting

untuk dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:

Pertama, Pemilu merupakan bagian penting dari proses demokratisasi

karena dianggap sebagai pengejawantahan paling nyata dari negara yang menganut demokrasi. Dengan demikian, Pemilu selalu bergandeng erat dan tidak terpisahkan dari negara demokrasi dan merupakan unsur pokok dalam pemerintahan negara yang demokratis.11 Pemilu

10

Lihat misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VII/2008 tentang Penyelesaian Perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Timur yang dalam pertimbangan hukumnya membuka kemungkinan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa pelanggaran-pelanggaran pemilukada yang mempengaruhi hasil pemilu dan bukan hanya memeriksa perselisihan hasil penghitungan suara, begitu pula Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PHPU.D-VIII/2010 tentang pemilukada Kabupaten Bangli, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PHPU.D-VIII/2010 tentang pemilukada Kabupaten Lamongan dan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi lainnya.

11

Topo Santoso, “Penyelesaian Sengketa Pemilu: Suatu Perbandingan”, makalah disampaikan pada acara diskusi terbatas yang diselenggarakan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta 27 April 2011.

(16)

bertujuan agar kehendak rakyat dapat diwujudkan ke dalam sebuah pola kekuasaan tanpa menggunakan kekerasan. Melalui pemilu, rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Melalui pemilu, rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan pemilu hanya untuk memilih wakil rakyat duduk dalam parlemen, tetapi ada pula negara yang juga menyelenggarakan pemilu untuk memilih pejabat tinggi negara (high ranking officials).

Singkatnya, Pemilu memungkinkan terjadinya pergantian pemerintahan secara damai dan tertib, sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat dan juga bertujuan untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara;12

Kedua, masalah sengketa hasil perolehan suara dalam pemilu

merupakan permasalahan yang sangat krusial karena menentukan pilihan politik rakyat yang direpresentasikan melalui struktur parlemen dan pemerintahan. Oleh karenanya, penyelesaian sengketa hasil pemilu tergolong sebagai urusan konstitusi (constitutional matter). Hal ini berarti sengketa hasil perolehan suara merupakan hal yang diperhatikan khusus dalam konstitusi. Oleh karena itu, ketentuan mengenai Pemilu maupun penyelesaian sengketa pemilu harus diatur dengan jelas dalam aturan hukum, baik di dalam konstitusi (UUD) dan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Demi memastikan bahwa setiap suara dinilai secara patut sebagai suara demokrasi, maka

12 Ibid.

(17)

forum penyelesaian sengketa suara pemilu menjadi forum yang sangat penting. Penyelesaian sengketa pemilu atau dikenal juga sebagai

Electoral Dispute Resolution (EDR), merupakan lembaga yang menjamin demokrasi dikarenakan pengaruhnya dalam penerapan asas pemilu yang bebas, jujur dan adil. Dapat pula dikatakan, bahwa forum penyelesaian sengketa pemilu adalah hal yang tidak boleh ditiadakan

(sine qua non) dalam mewujudkan pemilu yang bebas, jujur dan adil.13 Setiap peraturan perundang-undangan, bahkan konstitusi harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk penegakan hak pilih karena hak memberikan suara merupakan hak asasi manusia. Karena itu, penyelesaian hukum terhadap pelanggaran hak memberikan suara merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dalam hal ini, kerangka hukum pemilu harus menetapkan ketentuan-ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih. Kerangka hukum harus menetapkan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai berhak mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran atas hak pilih. Sebagai wujud penegakan ketentuan hukumnya, maka UU Pemilu mewajibkan lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan

13

Diakses melalui laman www.idea.int/news/newsletters/upload/ concept_paper_EDR.pdf

dengan judul makalah “Electoral Dispute Resolution Systems : Towards A Handbook And Related Material (Summary of Concept Paper Developed And Presented By Orozco Henriquez And Dr. Raul Avila To EDR Expert Group Workshop Held In Mexico City, 27-28 May 2004”, hal. 3. “Beside these elements, there is also a general understanding that effective electoral dispute resolution mechanisms and processes are sine qua non for free and fair elections. Such EDR systems should serve as the ultimate guarantor of the principle of free and fair elections. To fulfill this requirement, the EDR systems should uphold, among others, values of independence, impartiality, and the rule of law”.

(18)

yang berwenang untuk segera memberikan keputusan guna mencegah hilangnya hak pilih pihak korban. Selain itu, idealnya terdapat beberapa hal yang musti diatur juga seperti: keputusan dari pengadilan pada tingkat tertinggi harus diberikan sesegera mungkin; aturan hukum harus mengatur berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertimbangkan dan memutuskan suatu pengaduan; waktu penyampaian keputusan tersebut kepada pihak yang mengajukan pengaduan harus ditetapkan; dan beberapa pengaduan harus dapat diputuskan dengan segera.

Ketiga, setiap negara memiliki mekanisme berbeda dalam pelaksanaan

pemilu dan penyelesaian sengketa pemilu. Tidak semua negara memiliki aturan yang sama mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pemilunya. Hal ini tidak hanya dilihat berdasarkan perbedaan aspek proseduralnya tetapi juga materi gugatan dan jangka waktu penanganan gugatan sampai dengan dikeluarkannya putusan. Secara umum, tahapan-tahapan pemilu memiliki kesamaan tahapan satu dengan yang lainnya yakni: (1) Pre Election Period; (2) Election Period; dan (3) Post Electoral Period.14

14 Ibid

(19)

Gambar 1.1 Tahapan Pemilu15

Sumber: IDEA International

Pada ketiga tahapan ini, besar kemungkinan untuk memiliki masalah yang hampir sama pula. Oleh sebab itu, perbandingan (comparison)

penyelesaian sengketa pemilu menjadi menarik untuk dikaji bagi negara-negara demokrasi baru pasca reformasi, seperti Indonesia.

Keempat, tidak semua negara demokrasi memiliki mahkamah

konstitusi dan menyerahkan kewenangan penyelesaian sengketa pemilu kepada kekuasaan kehakiman tersebut. Penyelesaian sengketa pemilu di berbagai tingkatan selain diselesaikan di mahkamah konstitusi, beberapa negara menyelesaikan sengketa pemilu di peradilan umum atau di peradilan khusus pemilu.

15 http://www.idea.int/elections/eea/images/Electoral-cycle.png

(20)

Untuk dapat mengetahui lebih jelas gambaran mengenai negara dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilunya, berikut skema dari gambaran tersebut:

Bagan 1.1.

Identifikasi Penyelesaian Sengketa Pemilu

Sumber : Olah Data

Berdasarkan skema di atas, terlihat bahwa negara demokrasi yang menganut paham constitutional model atau supremasi konstitusi memiliki beberapa model penyelesaian sengketa pemilu yang lebih khusus lagi yaitu ada yang menggunakan Mahkamah Konstitusi, pengadilan biasa dan pengadilan khusus pemilu, Electoral Commission, dan bentuk-bentuk lainnya.

Kelima, pemilu di Indonesia mempunyai persoalan tersendiri yaitu

dalam hal luasnya cakupan pengertian pemilu dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu. Sengketa pemilu yang harus diselesaikan oleh MK adalah sengketa pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu Kepala Daerah. Selain

(21)

itu, lingkup objek yang dapat diperiksa di MK juga meluas hingga setiap tahapan dan jenis pelanggaran pemilu. Potensi permasalahan pemilu dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok permasalahan, yaitu:

(1) Masalah pelanggaran administratif pemilu, di mana permasalahan mengenai pelanggaran administratif merupakan ranah dari penyelenggara pemilu. Dalam konteks Indonesia, kewenangan administratif ini diwakili oleh Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU). KPU memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan dan sanksi dalam menetapkan pelanggaran administratif yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam pemilu.

(2) Masalah pelanggaran tindak pidana pemilu, di mana konteks tindak pidana pemilu merupakan objek yang memiliki sifat pidana publik dan diselesaikan oleh penegak hukum.

(3) Masalah sengketa hasil suara dalam pemilu. Permasalahan ini sangat krusial karena menentukan pilihan politik rakyat yang direpresentasikan melalui struktur parlemen dan pemerintahan.16 Dari uraian di atas terlihat bahwa, perlu adanya penegasan dalam norma aturan penyelesaian sengeketa pemilu mengenai permasalahan apa yang seharusnya merupakan kewenangan MK, dan permasalahan bagaimana

16

Topo Santoso, Op.cit.

(22)

mekanisme yang tepat untuk menyelesaikan berbagai jenis sengketa dan pelanggaran yang terjadi dalam kaitannya dengan pemilihan umum.

1.2 Permasalahan

1. Apa saja mekanisme penyelesaian sengketa pemilu di negara-negara demokrasi di dunia?

2. Apa saja ruang lingkup dan batasan kewenangan penyelesaian

sengketa pemilu di negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi dan/atau di lembaga peradilan lainnya?

3. Bagaimanakah efektivitas penyelesaian sengketa pemilu melalui Mahkamah Konstitusi atau dengan lembaga lain?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa pemilu di negara-negara demokrasi di dunia dan membuat pengelompokkan/klasifikasi mekanisme tersebut;

b. Untuk memperoleh gambaran jelas mengenai ruang lingkup dan batas-batas kewenangan penyelesaian sengketa pemilu di negara-negara yang memberikan kewenangan untuk menyelesaikan

(23)

sengketa pemilu itu kepada mahkamah konstitusi maupun di negara yang memberikan kewenangan demikian lembaga peradilan lain atau kepada lembaga non-peradilan;

c. Untuk mengetahui perbedaan efektivitas penyelesaian sengketa pemilu melalui mahkamah konstitusi dengan penyelesaian melalui lembaga lain, baik peradilan maupun non peradilan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam hal sebagai berikut:

a. Manfaat teoretik

1) Sebagai kontribusi guna melengkapi khasanah kajian

perbandingan hukum tata negara, secara lebih spesifik yaitu perbandingan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu; 2) Sebagai pendorong bagi dilakukannya penelitian-penelitian

lanjutan yang lebih mendalam dan komprehensif terhadap masing-masing model penyelesaian sengketa pemilu (melalui mahkamah konstitusi, melalui pengadilan lain, dan/atau melalui jalur non-pengadilan).

b. Manfaat praktis

1) Bagi pembentuk UU, penelitian ini memberi informasi

(24)

yang berkait dengan persoalan penyelesaian perselisihan hasil pemilu;

2) Bagi Mahkamah Konstitusi, penelitian ini memberi informasi tentang bagaimana cara kerja mahkamah konstitusi maupun lembaga-lembaga non pengadilan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilu;

3) Bagi akademisi, penelitian ini menyajikan informasi awal untuk dilakukan kajian-kajian mendalam dalam rangka perbandingan mekanisme hukum.

1.4 Kerangka Teoritik dan Konseptual 1.4.1 Kerangka Teoritik

Kerangka teoritik atau landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini adalah Teori pemilihan umum. Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu.17 Dengan kata lain, Pemilu merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses

17

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 461.

(25)

politik.18 Hal ini sesuai dengan yang dikonstruksikan para Jurits yang tergabung dalam Commision of Jurist dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965, yang menyatakan bahwa:

“salah satu syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan demokrasi di bawah rule of law adalah pemilu yang bebas, di samping syarat lain seperti: adanya perlindungan konstitusi selain menjamin hak individu, dan cara untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang terjamin; adanya badan-badan kehak-hakiman yang bebas dan tidak memihak; adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat; terjaminnya kebebasan untuk berserikat dan berorganisasi dan beroposisi, serta terselenggaranya pendidikan kewarganegaraan.19

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh M. Danohoe sebagaimana yang dikutip Priyanee Wijesekera dan Diana Reynolds, yang menyatakan bahwa di dalam demokrasi yang bersifat universal, salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah adanya pemilihan umum yang bebas dan jujur.20 Begitupun Lyman Tower Sargent yang mengungkap bahwa selain adanya keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan politik, persamaan derajat diantara warga negara, kemerdekaan atau kebebasan bagi warga negara, mekanisme perwakilan, pemilu adalah satu unsur yang harus ada dalam sebuah negara demokrasi.21 Untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar demokratis, terdapat beberapa standar yang harus menjadi acuan:22

18

Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal. 94.

19 International Commission of Jurist, The Dynamic Aspect of the Rule of Law in the Modern Age,

bangkok: International Commission of Jurist, 1965, hal. 39-50.

20

M Danohoe,…

21 Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologis, (Chicago: The Dorsey Press, 1984),

hlm. 3-33.22

International IDEA, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: International IDEA, 2001), hlm. 71.

(26)

a. Pelaksanaan pemilihan umum harus memberikan peluang sepenuhnya kepada semua partai politik untuk bersaing secara bebas, jujur, dan adil. b. Pelaksanaan pemilu memang benar dimaksudkan untuk memilih wakil

rakyat yang berkualitas, memiliki integritas moral dan yang paling penting wakil-wakil tersebut betul-betul mencerminkan kehendak rakyat.

c. Pelaksanaan pemilu harus melibatkan semua warga negara tanpa

diskriminasi sedikitpun, sehingga rakyat benar-benar mempunyai kepercayaan bahwa dirinya adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat. d. Pemilu dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang mendukung

kebebasan dan kejujuran, sehingga dengan adanya undang-undang yang lebih memberi kesempatan kebebasan pada warga negara, peluang ke arah pemilu yang demokratis dapat dicapai.

e. Pelaksanaan pemilu hendaknya mempertimbangkan instrument

penyelenggaranya, karena sangat mungkin kepentingan-kepentingan penyelengaraa akan menganggu kemurnian pemilu.

f. Pada persoalan yang lebih filosofi, pemilu hendaknya lebih ditekankan pada manifestasi hak masyarakat, guna menciptakan partisipasi dalam pemerintahan.

Dengan memperhatikan berbagai unsur tersebut dapat dikatakan bahwa mekanisme pemilihan umum dan mekanisme perwakilan adalah

(27)

rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat.

Di Indonesia, pemilihan umum merupakan pelaksanaan mandate UUD 1945. Secara yuridis konstitusional, Pemilu diatur secara eksplisit dalam Pasal 22 E UUD 1945. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD mendefinisikan bahwa “Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Rumusan ini mengandung 4 (empat) unsur konsep pemilihan umum di Indonesia, yaitu: (1) Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat; (2) Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil; (3) Pemilu dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) Pemilu dilaksanakan dengan berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.

1.4.2 Kerangka Konseptual

Penelitian ini mengangkat topik “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara yang Menganut Paham Demokrasi Konstitusional”. Dari judul tersebut terdapat sejumlah konsep hukum yang perlu diberi penjelasan, agar tidak timbul perbedaan penafsiran, yaitu:

(28)

1.4.2.1 Negara Demokrasi Konstitusional

Diskursus mengenai teori demokrasi konstitusional tidak dapat dilepaskan dari gagasan pemikiran demokrasi dan nomokrasi, karena kedua gagasan tersebut saling berkonvergensi yang pada akhirnya memunculkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan negara demokrasi berdasarkan hukum (constitutional democratic) atau secara sederhana disebut sebagai negara demokrasi konstitusional

(contitutional demorcratic state).23

Sebagai suatu mekanisme politik, demokrasi dipilih karena demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi rakyat. Dalam arti yang lebih luas rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang secara langsung menentukan kebijakan negara melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilihan secara berkala.24 Kendati demikian, mekanisme demokrasi dimana warganya bebas mengambil keputusan melalui kekuasan mayoritas juga dapat tergelicir pada tirani ataupun anarki yang justru dapat merugikan rakyat. Di sinilah hukum memberikan kerangka atas jalanya demokrasi agar tidak mengabaikan tujuannya sendiri. Di samping itu, hukum sebagai kaidah normatif dimaksudkan pula sebagai kerangka dan pembatas kekuasaan sekaligus sebagai legitimasi kekuasaan itu sendiri. Perpaduan antara demokrasi dan nomokrasi tersebut alhasil berujung pada paham konstitusionalisme yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintah

23

Jimyl Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, hal. 150.

24

Lihat Henry N. Mayo, an Introduction to Democratic Theory, (New York: Oxgford University Press, 1960_, hal. 70.

(29)

sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.25

Adanya pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak dipekenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan tersebut tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). Jadi,

constitutional government sama dengan limited government atau restrained government. 26

Menurut Walter F. Murphy, penyatuan dua gagasan yaitu demokrasi dan konstitusionalime telah melahirkan teori demokrasi konstitusionalisme.27 Kedua konsep itu sesungguhnya sama-sama mengakui sentralitas harkat kemanusiaan (human dignity) yaitu penghormatan pada harkat kemanusiaan-, sebagai yang mendasari konsep tersebut. Perbedaan antara keduanya adalah bagaimana cara yang terbaik untuk melindungi nilai-nilai tersebut.28 Melalui pembatasan legitimasi tindakan pemerintah, konstitutionalisme mencoba menurunkan ketegangan politik, untuk membatasi resiko akibat kebebasan dan martabat (diagnity) yang timbul dari

25

Lihat Carl J.Friederich, Constiturional Government and Democracy, Theory and Practice in Europe and America, ed. Ke-5, (Wletham, Mass, Blaidsdell Publisihing Company, 1967), Bab VII.

26 Ibid

.

27

Selengkapnya lihat Walter F. Murphy, Constitutions, Constitutionalisme and Democracy dalam Douglas Greenberg et.al., eds., Constitutionalism and Democracy: Transition in the Contemporary World, (New Yor: Oxford University Press, 1993). Lihat juga Walter F. Murphy, dalam Sotirios A. Barber and Robert P. George, Constitutional Polittics Essay on Constitution Making, Maintenance, and Change, (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2001), hal. 11-17. Lihat juga Walter F. Murphy, Constitutional Democracy Creating and Maintaining a Just Political Order, (Baltimore, Maryland: The Johns Hopkins Univesity Press, 2007), hal. 147-184.

28

Walter F. Murphy, Constitutions, Constitutionalism, and Democracy, dalam Douglas Greenberg, Stanley. Katz, op.cit., hlm. 6

(30)

suatu masyarakat politik. Di sini konstitusionalisme bertujuan untuk menjamin dihormatinya harkat kemanusiaan. Sedangkan teori demokrasi didasarkan pada anggapan bahwa harkat kemanusiaan harus dihormati karena terlahir demikian, orang dewasa menikmati tingkat otonomi yang luas, suatu status yang pada prinsipnya dapat dicapai dalam dunia modern dengan partisipasinya dalam pemerintahan pada komunitasnya. Teori demokrasi berusaha untuk membatasi resiko-resiko kesewenang-wenangan sekelompok orang melalui perlindungan hak-hak setiap orang untuk terlibat dalam proses pemerintahan.

Lebih jauh, kedua teori ini saling membutuhkan satu sama lain. Secara teori, demokrasi dapat menimbulkan tindakan mayoritas yang dapat membatasi dan mengurangi hak-hak substantif dari minoritas dan status sosialnya, dan hal ini adalah suatu bahaya. Pada sisi lain, bahaya kepercayaan pada konstitusionalisme yang ketat cenderung melumpuhkan pemerintahan dengan menciptakan berbagai tekanan dan pembatasan. Pemerintahan dalam tindakannya, tidak lebih dari hanya sebuah tindakan yang memperhitungkan biaya dan keuntungan. Demokrasi pada sisi lain, cenderung untuk merespon kepada apakah pejabat yang terpilih merasakan perasaan konstituen mereka menjadi masalah sosial yang harus diselesaikan. Dalam rangka mencapai suatu pemerintahan yang efektif tetapi masih dibatasi, beberapa negara telah mengadopsi suatu campuran dari teori konstitusionalisme dan teori demokrasi. Tiap negara tersebut menyiapkan peraturan bagi partisipasi politik rakyat dan secara simultan membatasi

(31)

orang-orang pemerintahan dengan macam-macam alat kelembagaan.29 Setiap negara tersebut mencoba untuk membeda-bedakan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan ajudikasi dan berbagai mekanisme dan kelembagaan lainnya yang diciptakan untuk itu, termasuk juga pemberian kewenangan kepada pengadilan tatanegara yang dapat membatalkan tindakan eksekutif maupun legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Kemudian dengan pembagian kewenangan yang samar, dokumen dapat membuatnya seperti tidak ada lembaga yang dapat melakukan banyak hal yang secara politik sangat penting tanpa keluar dari kewenangan imperatif dari lembaga yang lainnya. Dengan demikian menurut Walter F. Murphy,30... a constitutional text can disperse power against power and protect liberty by pitting ambition against ambition and power against power”.

Kebebasan yang diberikan berdasarkan teori demokrasi dibatasi dengan teori konstitusionalisme sehingga prinsip-prinsip kebebasan tidak menganggu kebebasan serta martabat dari yang lainnya. Pada sisi lain, pendekatan konstitusiolasime tidak kaku, tidak rigid dan tidak mengekang kebebasan dasar manusia maka prinsip demokrasi menjadi alat ukur suatu prinsip konstitusionalisme yang baik. Dari sinilah lahir prinsip legitimasi konstitusional (legitimacy of constitusionality) yang dianggap sebagai prinsip

29 Ibid. 30 Ibid

., hlm. 7

(32)

yang ideal dalam sebuah negara modern, yang dalam prinsip umum lebih dikenal dengan legitimasi legalitas (legitimacy of legality).31

Di Indonesia, keinginan untuk mewujudkan negara hukum (rule of law, rechtsstaat) sekaligus negara demokrasi berdasarkan konstitusi

(constitutional democracy) diadopsi dalam Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) yang masing-masing berbunyi sebagai berikut. Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 1 ayat (3), “Indonesia adalah negara hukum”. Sejak awal perumusan UUD 1945, telah lahir semangat kuat untuk membangun kedua cita negara tersebut. Hal ini tercermin Penjelasan UUD 1945 yang semula berbunyi: “Negara Indonesia berdasarkan hukum

(rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka”. Disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum yang juga dimuat dalam Penjelasan bahwa pemerintah berdasar atas mekanisme konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Prinsip ini mengandung makna ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan kekuasaan tidak terbatas). Dengan ketentuan yang demikian dapat dikatakan bahwa konstitusi telah menjamin bahwa negara Indonesia adalah negara dengan prinsip konstitusionalisme.

31

Lihat David Dyzenhaus, Legality and Legitimasi ( Carl Schmitt, Hans Kelsen and Hermann Heller in Weimar), Oxford University Press, New York, 1999.

(33)

1.4.2.2 Pemilihan Umum

Untuk kepentingan penelitian ini maka perlu untuk dijelaskan definisi dan batas-batas dari istilah pemilihan umum yang menjadi objek penelitian ini. Dalam konteks global Pemilihan umum merupakan padanan dari kata bahasa inggris yaitu “general election”. Menurut Black’s Law Dictionary definisi dari kata “election” yang paling relevan adalah: “The process of selecting a person to occupy an office (usually a public office), membership, award, or other title or status”.32 Sedangkan “general election”

diartikan dalam literatur yang sama sebagai “an election that occurs at a regular interval of time” atau pemilihan yang berlangsung dalam jangka waktu yang rutin.33 Dalam praktiknya tidak semua negara seragam dalam mengkategorikan apa saja yang digolongkan sebagai sebuah “pemilihan umum”, dan lebih jauh lagi dalam menentukan apakah “pemilihan kepala daerah” dapat digolongkan sebagai sebuah “pemilihan umum”.

Luasnya definisi pemilihan umum dan berbedanya penggunaan konteks tersebut di berbagai negara perlu dipertegas dan dibatasi untuk penelitian ini. Untuk itu, penelitian ini akan menggunakan definisi pemilu di Indonesia. Yang dimaksud dengan Pemilu dalam penelitian ini adalah: pemilihan anggota parlemen (atau di Indonesia pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD), pemilihan kepala negara (presiden dan wakil presiden), dan

32

Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary : Abriged Seventh Edition, (St. Paul, Minn : West Group, 2000). Terjemahan bebas : sebuah proses memilih seseorang untuk menduduki posisi tertentu (biasanya jabatan publik), keanggotaan, penghargaan, atau gelar/status lain.

33 Ibid.

(34)

pemilihan kepala pemerintahan pusat dan daerah (Presiden/Wakil Presiden dan Kepala Daerah).

1.4.2.3 Sengketa Pemilu

Penelitian ini menggunakan kata “sengketa pemilu” sebagai salah satu objek yang dianalisa. Untuk itu perlu dipahami mengenai konsep dan definisi “sengketa pemilu” itu sendiri. Kata sengketa pemilu apabila dilihat secara etimologis dapat dilihat dari istilah sengketa (dispute). Dalam Black’s Law Dictionary, kata dispute diartikan sebagai “a conflict or controversy, especially that has given rise to particular lawsuit”.34 Sengketa pemilu atau electoral dispute, dengan demikian, merupakan suatu pertentangan dan kontroversi hukum dalam pemilu yang menimbulkan adanya gugatan terhadap keabsahan hasil pemilu. Sengketa tersebut merupakan implikasi dari timbulnya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilu. Hasil penelitian Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mendefinisikan electoral dispute yaitu “any complaint, challenge, claim or contest relating to any stage of electoral process.”35 Dari pengertian ini,

cakupan electoral dispute pada dasarnya memang luas dan meliputi semua tahapan pemilihan umum.

34 Ibid.,

Terjemahan bebas “sengketa dalam hal ini merupakan konflik atau pertentangan yang menimbulkan adanya gugatan terhadap sesuatu”.

35

IDEA International, Electoral Justice : The International IDEA Handbook, (Stockholm : Bulls Graphics, 2010), hlm. 199.

(35)

Permasalahan Pemilu di Indonesia diantaranya meliputi (1) pelanggaran pidana dan administrasi Pemilu; dan (2) perselisihan hasil perolehan suara. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK. Bentuk perselisihan hasil Pemilu di MK berkembang menjadi tidak sekedar terkait penentuan angka-angka hasil Pemilu yang diperoleh kontestan Pemilu melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan Pemilu. Dalam praktiknya, kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum MK berkembang dari hanya sekedar mengkaji mengenai kuantitatif (baca: angka-angka hasil Pemilu) yang kemudian juga mempermasalahkan kualitatif (baca: terpenuhinya asas-asas konstitusional).

Dalam publikasi “Penyelesaian Perselisihan Pemilu” yang diterbitkan oleh International Foundation for Electoral Systems (IFES), penerjemah bahasa Indonesia ketika menerjemahkan publikasi tersebut memilih untuk menggunakan kata “perselisihan” sebagai padanan dari kata

dispute.36 Pilihan untuk menggunakan istilah perselisihan juga didasari

pertimbangan bahwa UUD 1945 yang menggunakan istilah perselisihan tentang hasil Pemilu untuk menyebut dispute on election result. Selain itu, istilah “perselisihan” juga digunakan dalam UU Nomor 10 tahun 2008 dan UU Nomor 42 tahun 2008. Walaupun demikian, UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan istilah “sengketa” untuk menyebut sengketa yang timbul

36

IFES Indonesia, Pedoman Untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan Sengketa Pemilu, editor Chad Vickery, diterjemahkan oleh Ay San Harjono, (Washington D.C. : International Foundation for Electoral System, 2011), hlm. 338-339.

(36)

dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pasal 66 ayat (4)) dan sengketa hasil penghitungan suara (Pasal 106).37 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga mengartikan “sengketa” sebagai “...sesuatu yg menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan, pertikaian; perselisihan; perkara (di Pengadilan)...”.38 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan substansial antara istilah “sengketa” dan “perselisihan”, dan dalam konteks Pemilu kedua istilah itu juga digunakan dalam tanpa ada penegasan perbedaan di antaranya.

Topo Santoso berpendapat bahwa apa yang disebut sengketa dalam penyelenggaraan pemilu sesungguhnya merupakan kasus pelanggaran administrasi pemilu atau kasus ketidakpuasan terhadap keputusan penyelenggara pemilu.39 Oleh karena itu, istilah “sengketa dalam penyelenggaraan pemilu” sebaiknya dihilangkan dalam nomenklatur UU Pemilu namun di sisi lain UU harus membuka ruang untuk mengoreksi keputusan KPU lewat mekanisme keberatan atas keputusan KPU bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan.40 Peluang untuk mengoreksi keputusan KPU

37

Lihat catatan penterjemah, Anang Fakhruddin dalam Barry H. Weinberg, Penyelesaian Perselisihan Pemilu: Prinsip-Prinsip Hukum yang Mengendalikan Gugatan Atas Pemilu (The Resolution of Election Disputes: Legal Principles That Control Election Challenges), (Jakarta: IFES-Indonesia, 2010), hlm.iii.

38

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

39

Topo santoso, makalah berjudul “Perselisihan Hasil Pemilukada” disampaikan pada acara Diskusi Terbatas di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Maret 2011 di Jakarta.

40

Argumentasi ini didasarkan Topo Santoso dari analisisnya bahwa dalam Pemilu 2004 ternyata sebagian besar kasus-kasus yang diajukan sebagai “sengketa Pemilu” bukanlah kasus yang terkait dengan hasil Pemilu, seperti: kasus rebutan lokasi kampanye, ketidakpuasan terhadap penentuan nomor urut oleh partai, hingga kasus tidak diloloskannya sebagai peserta pemilu. Lihat Topo Santoso et al., Penegakkan Hukum Pemilu: Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014, (Jakarta: Perludem, 2006), hlm. 85-87.

(37)

lewat mekanisme keberatan inilah yang sebenarnya dibuka dalam Perubahan UUD 1945 melalui apa yang disebut dengan istilah perselisihan hasil pemilu.

Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji mengenai cakupan dan ruang lingkup kewenangan lembaga yang menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada tiap tahapan pemilu, maka definisi yang lebih luas diperlukan. Istilah “sengketa pemilu” pada penelitian ini mencakup segala pelanggaran yang terjadi pada proses pemilu dan memengaruhi kualitas dari pelaksanaan pemilu tersebut secara signifikan. Oleh karenanya, istilah “perselisihan tentang hasil pemilihan umum” yang digunakan dalam Pasal 24C UUD 1945 adalah bagian dari “sengketa pemilihan umum”.

Dari uraian di atas, karena tidak ada pengertian yang seragam mengenai terminologi sengketa Pemilu, maka demi kepentingan penelitian ini perlu didefinisikan secara khusus mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa pemilu. Sengketa Pemilu yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah “pelanggaran-pelanggaran pidana maupun administratif yang terjadi selama pemilu yang memengaruhi hasil pemilu yang dapat diajukan dasar hukum untuk mengajukan keberatan terhadap keabsahan hasil pemilu.”

Dengan batasan ini, maka karena pengumpulan data untuk penelitian ini merupakan data dari berbagai negara dan sebagian besar berbahasa Inggris, baik kata sengketa pemilu maupun kata perselisihan pemilu dapat dikatakan padanan dari kata electoral dispute atau election dispute.

(38)

1.4.2.4 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu

Menurut penelitian yang dilakukan oleh European Centre For Electoral Support (ECES),41 mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan umum yang berfungsi dengan baik dan responsif adalah penting untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi ketika proses pemilihan umum berlangsung dan juga untuk melakukan proses banding terhadap tetapi tidak terbatas pada hasil akhir pemilihan umum saja melainkan juga berkaitan dengan proses sebelum pemilihan umum dan pada saat berlangsungnya pemilihan umum.42

Mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan umum atau Electoral Dispute Resolution (EDR) dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui jalur formal dan informal.43 Artinya, EDR dapat berupa jalur prosedural yaitu melalui pengadilan atau semacam komisi bentukan khusus menangani masalah pemilihan umum atau melalui negosiasi. Mekanisme formal atau yang bersifat prosedural sebenarnya sangat penting dilakukan guna menjamin penyelesaian atas kendala-kendala yang potensial terjadi selama proses pemilu agar tetap tertangani sampai upaya terakhir.44

41 European Centre For Electoral Support

adalah merupakan suatu Non Government Organization (NGO) atau lembaga independen yang bersifat non-profit yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan demokrasi yang berkelanjutan melalui penyediaan:

a. Jasa konsultasi dan dukungan operasional untuk pelaksanaan siklus pemilihan umum;

b. Pengembangan kapasitas di tingkat negara, regional dan tingkat global melalui fasilitas peer review, pertukaran pengalaman dan pengembangan kepemimpinan.

42 Diakses melalui situshttp://www.eces.eu/. 43 Ibid.

44 Sumber referensi (terjemahan) diakses pada tanggal 6 Juli 2011 melalui

laman:http://www.eces.eu/index.php?option=commentent&view=article&id=326&Itemi d=24.“Well-functioning and responsive Electoral Dispute Resolution (EDR) mechanisms

(39)

Setidaknya, terdapat lima mekanisme penegakan hukum untuk penyelesaian sengketa pemilu, yaitu (1) pemeriksaan oleh badan penyelenggara pemilu dengan kemungkinan mengajukan banding ke institusi yang lebih tinggi; (2) pengadilan atau hakim khusus pemilu untuk menangani keberatan pemilu; (3) pengadilan umum yang menangani keberatan dengan kemungkinan dapat diajukan banding ke institusi yang lebih tinggi; (4) penyelesaian masalah pemilu diserahkan ke pengadilan konstitusional dan/atau peradilan konstitusional; dan (5) penyelesaian masalah pemilihan oleh pengadilan tinggi. Adapun mekanisme tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

are essential to ensure proper processing of potential complains and appeals that main arise not only in relation to the final results but also challenges to the organization of voter registration processes, registration of political parties and the campaigning phase etc. EDR mechanisms can be both formal and informal. In the electoral world, many grievances are solved through information negotiations and dialogue. Formal mechanisms, however, are essential to ensure that potential challenges can be channelled through established structures in case it is not solved at a lower level. EDR institutions include EMBs, ordinary administrative/judiciary institutions, electoral and/or constitutional courts and the Parliament. ECES Experts have hands-on experience justice and juridical reform and from handling electoral complaints both through informal and formal channels. We believe that the strengthening of EDR mechanisms, given the way in which such institutions can contribute to the mitigation of conflict by providing an opportunity for legal outlets and independent decision-making, is an integral part of a strategy towards may prevent the escalation of elections-related violence.”

(40)

Tabel 1.1.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu

No Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Negara 1. Pemeriksaan oleh badan penyelenggara pemilu

dengan kemungkinan untuk mengajukan banding ke institusi yang lebih tinggi

Filipina (Comelec yang bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi) 2. Pengadilan atau hakim Khusus untuk menangani

keberatan dalam pemilu Malaysia, Singapura dan Filipina 3. Proses pengadilan umum terhadap pemilihan

dapat mengajukan permohonan ke institusi yang lebih tinggi

4. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu

diserahkan ke pengadilan konstitusional Indonesia 5. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh

pengadilan tinggi Filipina

1.4.2.5 Efektifitas Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu

Dalam menganalisis perbandingan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu, penelitian ini juga akan melakukan analisa normatif terhadap mekanisme tersebut. Artinya penelitian dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap ketentuan-ketentuan konstitusi dan perundang-undangan yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pemilu di beberapa negara yang menjadi objek penelitian. Kata “efektifitas” yang menjadi pokok permasalahan ketiga dalam penelitian ini bukanlah mengarah kepada penilaian berdasarkan pengumpulan data secara rinci, hinga pada praktek dan studi analisa kasus yang ada pada tiap Negara. Namun, pendekatan penelitian ini lebih merupakan penilaian terhadap norma perundang-undangan dengan menggunakan beberapa standar.

(41)

Standar terhadap norma yang mengatur mekanisme pemilu dapat ditemukan dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian domestik maupun internasional dalam melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan beberapa negara. Penelitian ini lebih terfokus pada penilaian sejauh mana ketentuan atau norma yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pemilu memenuhi standar tersebut. Sesuai dengan pokok permasalahan, maka fokus yang akan diperbandingkan dan dianalisis adalah antara mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang dilakukan melalui mahkamah konstitusi dan/atau lembaga lainnya.

Berikut ini adalah beberapa standar umum yang akan digunakan dalam melakukan analisis normatif tersebut, standar-standar ini bersumber dari beberapa penelitian dan assesment report dari beberapa organisasi internasional yang relevan.45 Adapun mengenai penjelasan yang lebih luas mengenai standar dan penggunaannya dalam menilai objek penelitian akan dibahas lebih lanjut pada Bab IV penelitian ini, antara lain:

a. Independensi lembaga penyelesaian sengketa pemilu;

b. Independensi dan imparsialitas anggota lembaga penyelesaian sengketa pemilu;

c. Pengaturan mengenai akuntabilitas dan liabilitas dari lembaga

penyelesaian sengketa pemilu dan anggotanya; 45

Contohnya IFES dan IDEA International.

(42)

d. Integritas dan profesionalisme dari anggota-anggota lembaga penyelesaian sengketa pemilu;

e. Independensi keuangan dan keberlangsungan lembaga penyelesaian sengketa pemilu;

1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif yang memusatkan perhatiannya pada persoalan penelitian perbandingan hukum yang dalam hal ini adalah perbandingan mekanisme kewenangan penyelesaian sengketa pemilu. Artinya penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (library research) yang akan menghasilkan data sekunder.46

1.5.2 Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang

diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder47. Adapun jenis penelitian yang dipergunakan

46

Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, 2010, p. 14

47 Ibid

, hlm. 12

(43)

dalam penelitian ini adalah data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup48 :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari sumber hukum berupa aturan perundang-undangan baik yang merupakan ketentuan hukum di negara Indonesia itu sendiri maupun sumber aturan hukum di negara-negara lain (negara yang menjadi objek penelitian).

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa sejumlah kamus dan/atau ensiklopedia yang diperlukan untuk memberi penjelasan terhadap konsep-konsep, pengertian, atau istilah yang terdapat dalam bahan-bahan hukum primer maupun sekunder yang dipandang memerlukan penjelasan lebih jauh.

1.5.3 Pendekatan Pembahasan

Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum (comparative approach). Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan yang membandingkan hukum suatu negara dengan

48 Ibid

, hlm. 13

(44)

hukum negara lainnya atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum waktu yang lain49.

Namun, selain pendekatan perbandingan, penelitian ini juga akan menggunakan beberapa pendekatan dalam pembahasannya, yaitu :

a. Pendekatan Konsep, diperlukan dalam penelitian ini karena, sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini akan sangat bergantung pada kecermatan dalam menggunakan penalaran hukum (legal reasoning). b. Pendekatan Analitis, di mana untuk dapat menggunakan penalaran

hukum yang cermat itu sangat ditentukan oleh kejelasan tentang konsep-konsep atau pengertian yang terdapat sejumlah terminologi yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian di mana data-data yang digunakan terutama adalah berupa data sekunder (baik berupa bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier). Dalam hal ini, pendekatan analitis dangat diperlukan mengingat selalu adanya munculnya kebutuhan untuk melakukan analisis terhadap bahan-bahan hukum dimaksud terutama untuk menemukan makna hukum yang terkandung di dalam suatu istilah maupun penerapannya dalam praktik.

Fungsi perbandingan pada hakekatnya adalah menjelaskan baik persamaan-persamaannya maupun perbedaan-perbedaannya terhadap obyek-obyeknya itu atau obyek-obyeknya yang diselidiki itu diterangkan 49

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2009, hlm. 133

(45)

oleh perbandingan sebagai suatu metode baik secara deskriptif, secara analisa, maupun secara teori dan kemudian dievaluasi, sehingga dapat bersifat induktif deduktif 50.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusunan skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab. Pada setiap bab tersebut terdiri atas beberapa sub bab, diantaranya adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Bab II Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu

Bab III Perbandingan Ruang Lingkup Dan Batasan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pemilu

Bab IV Efektivitas Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Mahkmah Konstitusi dan Lembaga Lain

Bab V Kesimpulan Dan Saran

1.7 Organisasi Penelitian 1.7.1 Tim Pelaksana

Adapun tim pelaksana penelitian ini adalah :

Ketua Tim : Bisariyadi

50Ibid

.

(46)

Anggota : 1. Meyrinda Hilipito

2. Anna Triningsih

3. Alia Harumdani Widjaja

Deskripsi Kerja

a. Deskripsi Kerja Ketua Penelitian :

Sebagai Ketua Peneliti bertugas memantau progress penelitian sesuai jadwal kerja dan melaporkannya kepada Ka. Puslitka secara berkala. Penanggung jawab berwenang melihat detil kegiatan penelitian dan memberikan saran kepada ketua peneliti. Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan penelitian dan bertanggung jawab atas tercapaikan output dan

outcome penelitian. Ketua peneliti bertugas mempersiapkan rencana kerja pada setiap sub aktivitas dan mengkoordinir anggota peneliti. Mengelola kegiatan penelitian, mensupervisi kegiatan administrasi dan keuangan serta kegiatan eksternal. Memonitor dan mengawasi kegiatan anggota peneliti dan persiapan draf laporan sampai pada penulisan pelaporan akhir. Ketua peneliti bertanggung jawab kepada penangung jawab penelitian.

b. Deskripsi Kerja Anggota Peneliti :

Anggota peneliti berfungsi sebagai asisten ketua peneliti yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian. Anggota peneliti secara intensif mengolah data, menyajikan data, menyusun laporan serta membantu ketua dan anggota peneliti dalam pelaksanaan kegiatan administrasi

(47)

dan keuangan. Anggota peneliti melaporkan seluruh kegiatan penelitiannya dan bertanggung jawab kepada ketua peneliti dan membantu ketua dan anggota peneliti dalam mensupport data untuk keperluan penelitian.

1.7.2 Jadwal Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan dalam bulan Agustus - Desember 2011

terhitung sejak penandatanganan Surat Perintah Kerja (SPK)/Perjanjian. Adapun rencana pelaksanaan seperti pada tabel-tabel berikut ini:

Tabel 1.2.

Timetable Penelitian

1.7.3 Anggaran Biaya

Adapun rincian dari anggaran biaya penelitian ini terlampir dalam lampiran yang menjadi satu kesatuan laporan penelitian ini.

Gambar

Gambar 1.1  Tahapan Pemilu 15

Referensi

Dokumen terkait

Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi

PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS HONORARIUM YANG JUMLAHNYA TIDAK DIHITUNG ATAS DASAR BANYAKNYA HARI YANG DIPERLUKA UNTUK MENYELESAIKAN JASA YANG DIBERIKAN, TERMASUK

Sedangkan dalam penelitian ini akan dibuat aplikasi Bantu Pengolahan Nilai Indeks Kinerja Dosen di fakultas Teknologi industri UAD, yang dapat menampilkan data

Jenis penelitian yang dilakukan adalah melakukan sampling limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) memodifikasi dan menjadi pertimbangan penggunan SNI 19-3964-1994

1) Mengevaluasi sistem penilaian karyawan. 2) Penegakan disiplin dan pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. 3) Merancang program-program penghargaan bagi

Dari hasil uji statistik korelasi spearmen diperoleh nilai p value = (0,000) < α= (0,05) sehingga dapat disimpulkan ada hubungan komunikasi terapeutik perawat

Penelitian tentang Quality of Work Life telah dilakukan sebelumnya, namun demikian penelitian tentang Quality of Work Life dengan melibatkan variabel Efektifitas