• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEOFUNDAMENTALISME ISLAM Drs. Moeflich Hasbullah, MA

A. Pendahuluan

Gerakan reformasi politik yang telah menumbangkan pemerin-tahan Orde Baru, Soeharto, dari panggung kekuasaannya tahun 1998, telah melahirkan ‘ledakan emosi massa tak terkendali’ yang muncul dalam berbagai luapan eforia. Ledakan itu terjadi dalam masa transisi pemerintahan dari sistem represif-otoriter ke demokratis antara tahun 1998 sampai akhir 2002. Selama Orde Baru, kemerdekaan berekspresi, beragama dan berbeda pendapat yang alami terkungkung dalam angkuhnya jargon-jargon ‘bhineka tunggal ika’, ‘stabilitas nasional’, ‘pembangunan ekonomi’, ‘Pancasila’, ‘dwi fungsi ABRI’, dan sejenisnya. Begitu Orde Baru runtuh, ledakan massa tidak terkendali dalam ruang publik jagat nusantara. Ledakan sosial itu meletus dalam deretan peristiwa: kerusuhan etnis antara suku Dayak dengan Madura di Kalimantan; konflik atas nama agama yang berkepanjangan di Ambon dan Poso; pembantaian massal di Situbondo; penjarahan pusat-pusat kapitalisme (kerusuhan Mei di Jakarta) sebagai akibat

dari ketimpangan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi; kekecewaan lokal terhadap pemerintah pusat (Aceh, Riau, Tasikmalaya, Papua) dan sebagainya. Masa transisi yang meresahkan tersebut relatif mereda sampai akhir tahun 2002, dan sejak itu, walaupun belum sepenuhnya pulih, kondisi berangsur-angsur kembali ke situasi normal.

Setelah rentetan peristiwa tersebut berlalu, muncullah harapan-harapan baru rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri: demokratisasi politik, perbaikan ekonomi, pemberantasan korupsi, kebebas-an pers, supremasi hukum dkebebas-an keadilkebebas-an sosial, otonomi daerah dan seterusnya. Bagi sebagian kalangan Islam yang disebut komunitas Islam politik (political Islam) yang berbasis ideologi Islam, gerakan reformasi dan jatuhnya rezim Soeharto seperti membangkitkan kenangan memori kolektif mereka yang sudah lama terkuburkan: Negara Islam, Piagam Jakarta atau pemberlakuan Syari’at Islam dalam komunitas Muslim. Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, yang ditengarai sebagai “reinkarnasi” dari partai Islam Masyumi tahun 1950-60an, jelas-jelas mengagendakan diberla-kukannya Syari’at Islam di Indonesia. Ia bersemangat akan memperjuangkan kembali Piagam Jakarta agar menjadi bagian dari Pembukaan UUD 1945. Walaupun dilakukan dengan cara-cara demokratis dan konstitusional, Yusril bertekad tidak akan mundur memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai hasil dialog antara kelompok nasionalis dengan Islam.1 Tetapi

1

Lihat Situs Tokoh Indonesia. Com. Yusril menyeru, “tidak akan surut sedikit pun dari pendiriannya memperjuangkan Piagam

Pemberlakuan Syari‘at Islam di Garut perjuangan tersebut belum menemukan hasilnya. Dalam kesempatan besar ketika UUD 1945 diamande-men dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) tahun 2000 lalu, gagasan pemberlakuan kembali Piagam Jakarta tidak mendapat dukungan luas. Mayoritas fraksi-fraksi da-lam sidang istimewa itu menyatakan keberatannya.

Sebagai memori kolektif yang masih mengendap kuat di dalam ingatan dan alam pikiran kelompok Islam politik, kegagalan memperjuangkan Piagam Jakarta dalam sidang istimewa MPR, tidak lantas menyurutkan langkah mereka. Di level grassroot di daerah-daerah, gagasan itu tetap hidup bahkan lebih kondusif untuk direalisasikan. Diinspirasikan oleh kasus Aceh, beberapa daerah di Indonesia yang pengaruh Islamnya relatif kuat seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Riau muncul ke permukaan dalam bentuk tuntutan penerapan dan pemberlakuan Syari’at Islam di daerahnya masing-masing. Di Jawa Barat, gagasan pemberlakuan Syari’at Islam muncul di lima kabupaten: Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Gagasan penerapan Syari’at Islam di kabupaten-kabupaten ini diperjuangan dalam semangat, volume, dan kekuatan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan sosial, kultur, politik dan kesiapannya masing-masing. Di Kabupaten Cianjur dan Garut, Syari’at Islam sudah dideklarasikan secara formal, sementara di Sukabumi, Tasikmalaya, dan Jakarta secara demokratis dan konstitusional untuk dimasukkan dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 sehingga bunyinya menjadi, ‘negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.

Ciamis baru berupa gagasan, rencana, dan sosialisasi. Di antara lima kebupaten itu, dari aspek dukungan birokrasi, pemerintahan dan unsur-unsur masyarakat yang terlibat, tampaknya Kabupaten Garut adalah yang arusnya paling kuat. Unsur-unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif di Kabupaten Garut beriring bersama sepakat mengusung gagasan penerapan Syari’at Islam.2

Mengenai tuntutan ini, menarik diajukan beberapa pertanyaan. Apakah tuntutan penegakkan Syari’at Islam di berbagai daerah di In-donesia adalah aspirasi murni atas dasar kesadaran agama ingin menjalankan sistem hukum Islam dalam negara kesatuan Republik Indonesia? Apakah penegakkan Syari’at Islam merupakan aspirasi umat Islam secara keseluruhan atau hanya keinginan segelintir kelompok elite agama? Bila hanya gagasan kelompok elite, apakah mereka sungguh-sungguh ingin membawa masyarakat pada penerapan Syari’at Islam dalam kehidupan atau hanya memanfaatkan isu ini untuk kepentingan posisi dan kekuasaan karena peran mereka yang terpinggirkan? Apakah kembalinya kepada sistem Islam adalah penolakan terhadap sistem kehidupan sekuler? Apakah yang mereka fahami dan mereka maksud dengan Syari’at Islam? Sejauhmana penerapan Syari’at Islam itu telah mampu terealisir dan dimungkinkan berlaku dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia? Sejauh manakah masyarakat pendukung Syari’at Islam mengetahui bahwa Indonesia sudah

2

Dalam deklarasi penerapan Syari’at Islam di Garut yang dibacakan tanggal 1 Mu-harram 1423 H./15 Maret 2002 M. ketiga unsur kekuatan politik turut menandata-ngani naskah proklamasi.

Pemberlakuan Syari‘at Islam di Garut banyak mengadopsi nilai-nilai hukum Islam sehingga persoalannya bukan lagi perlunya penerapan Syari’at Islam melainkan komitmen, aplikasi dan tegakknya supremasi hukum? Sejauhmana struktur sosial di daerah dan struktur kesadaran masyarakat memungkinkan bagi pelaksanaan Syari’at Islam? Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari wawancara terhadap tokoh-tokoh masyarakat lewat sebuah penelitian akan menjadi informasi penting dan berharga untuk mengukur kesadaran agama, tingkat pemahaman syari’at, partisipasi politik, kemurnian aspirasi dan kemungkinan pelaksanaan Syari’at Islam di daerah-daerah di Indonesia.

Penelitian ini mengambil sampel di wilayah Priangan Timur de-ngan fokus di Kabupaten Garut.3 Garut menjadi penting karena be-berapa pertimbangan. Pertama, Kabupaten Garut dan Wilayah Pria-ngan Timur secara umum, sepanjang sejarahnya adalah daerah de-ngan pergolakan politik yang tinggi dan dikenal sebagai daerah historik pemberontakan Islam sejak pemberontakan Cimareme (1919), perlawanan K. H. Yusuf Taujiri (Cipari) terhadap Belanda, pemberontakan K. H. Zaenal Mustofa

3

Garut adalah sebuah kabupaten yang terletak di Priangan Timur Provinsi Jawa Ba-rat, dengan luas areal kira-kira 306.519 ha (3.065,19 km²) atau sebesar 6,94% dari luas wilayah Jawa Barat. Kabupaten Garut terdiri atas 31 kecamatan (sedang dime-karkan menjadi 37 kecamatan) dan 403 desa. Secara administratif masuk ke wilayah V Priangan. Posisi kabupaten ini, di barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung, di utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, di sebelah Timur dengan Kabupaten Tasikmalaya dan di selatan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.