• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Syari’at melalui Institusionalisasi Fiqh

Cik Hasan Bisri

C. Pelaksanaan Syari’at melalui Institusionalisasi Fiqh

3

Di Indonesia kontroversi itu terjadi melalui jalur parlementer maupun di luar jalur parlementer (gerakan sosial dan

pemberontakan). Hal itu terjadi sejak menjelang kemerdekaan ketika merumuskan dasar negara yang tidak mengalami penyelesaian, hingga lahirnya Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, sebagai penyelesaian konflik antara golongan Islam dengan golongan nasionalis. Atau, antara nasionalis Islami dengan nasionalis “sekular” (Lihat: Endang Saifuddin Anshari, 1981). Hal yang sama terjadi dalam Majelis Konstituante hasil pemilihan umum tahun 1955 yang mengalami kebuntuan dalam menetapkan dasar negara (Islam atau Pancasila), hingga lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959: pemberlakuan kembali UUD 1945, juga pembubaran Konstituante (Lihat: Ahmad Syafii Maarif, 1985: 175-178).

4

Pada tanggal 13 Juni 2016 Presiden Joko Widodo mengumumkan tentang pembatalan 3.143 peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri yang dipandang

bermasalah (kompas.com). Seberapa banyak perda syari’at yang dibatalkan, masih perlu pengecekan yang akurat.

Pelaksanaan Syar[at Islam di Indonesia: Pendekatan Struktural dan Kultural Sementara itu pelaksanaan syari‘at melalui pendekatan kultural dalam kehidupan bermasyarakat boleh dikatakan relatif lancar, meskipun berjalan sangat lambat (“jalur lambat”) dan tidak memiliki daya ikat dan daya atur secara nasional. Pendekatan itu dilakukan melalui proses alokasi syari’at, dalam hal ini fiqh, ke dalam institusi sosial yang tersedia dalam ruang yang luas dan kurun waktu yang amat panjang.5 Proses itu dapat disebut sebagai institusionalisasi fiqh. Hal itu terjadi secara bertahap dan berkesinambungan. Setiap tahapan menunjukkan tentang perubahan alokasi syari’at ke dalam institusi sosial, yang kemu-dian memperoleh konkretisasi dalam wujud pola pe-rilaku dalam memenuhi kebutuhan hidup. Institusio-nalisasi itu didasarkan kepada asumsi bahwa pada setiap satuan masyarakat memiliki berbagai institusi sosial sebagai norma-norma yang dijadikan rujukan dalam memenuhi kebutuhan hidup spesifik. Institusi itu bersumber dari kebudayaan yang dianut oleh masyarakat, yang dipelihara dan diwariskan secara

5

Institusi sosial (social institution) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah lembaga kemasyarakatan atau pranata sosial.Di samping itu, ada istilah lain, yakni organisasi sosial atau bangunan sosial yang sering bercampurbaur dengan istilah lemba-ga sosial. Di kalanlemba-gan para sosiolog Indonesia, institusi sosial bia-sanya dikemukakan dengan istilah lembaga kemasyarakatan (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964: 61-64;

Tjondronegoro, 1982: 220-221; Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, 1983: 75; dan Soerjono Soekanto, 1996: 229).Sementara itu, Koen-tjaraningrat (1974: 24), seorang antropolog, menggunakan istilah pranata sosial. Ia memilih istilah pranata, tidak menggunakan istilah lembaga, agar tidak dikacaukan antara istilah lembaga dengan istilah institute (suatu badan atau organisasi yang ber-fungsi dalam suatu lapangan kehidupan masyarakat yang khusus). Istilah pranata juga digunakan sebagai nama salah satu bidang ilmu agama Islam, yakni Fiqh (Hukum) Islam dan Pranata Sosial.

turun temurun. Hal itu tampak dalam lingkungan beberapa masyarakat etnis. Di antaranya masyarakat Sunda, Bugis-Makassar, Aceh, dan Minangkabau.6 Se-lain itu, institusi itu juga merupakan produk interaksi dengan kebudayaan asing yang lebih unggul dan dominan.

Tahapan institusionalisasi fiqh dapat diuraikan sebagaimana diperagakan dalam Gambar 2. Pertama, tahapan pemahaman substansi fiqh secara individual dan kolektif. Hal itu terjadi melalui proses

penyebar-6

Menurut Harsoyo (1979), Islam diterima sebagai agama dan identitas orang Sun-da. “Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama, dan biasanya kedua unsur itu ter-jalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda”. Atas perihal yang sama, karena “agama Islam ternyata diterima dengan damai oleh orang Sunda” (Ajip Rosidi, 1984). Bahkan, melahirkan identitas dan jati diri baru: Islam Sunda atau

Sunda Islam. Kemudian, menurut Mattulada (1988) dalam masyarakat

Bugis-Makassar sistem sosial disebut panngadereng, terdiri atas lima unsur. 1. Ade’, yaitu aturan perilaku dalam masyarakat, berupa kaidah-kaidah yang mengikat semua war-ga persekutuan. 2. Bicara, yaitu aturan peradilan yang menentukan sesuatu hal yang adil dan benar, dan sebaliknya. 3. Wari’, yaitu aturan ketatalaksanaan yang mengatur segala sesuatu berkenaan dengan kewajaran dalam hubungan kekerabatan dan silsilah. 4. Rapang, yaitu aturan yang menempatkan kejadian masa lalu sebagai teladan atau kejadian yang patut diperhatikan atau diikuti bagi keperluan masa kini. 5. Sara’, yaitu aturan atau hukum syari‘at (Islam). Aspek ini dimasukkan ke dalam

panngadereng setelah Islam diterima sebagai agama resmi dan umum dalam

masyarakat Bugis-Makassar. Demikian pula dalam masyarakat Aceh, hasil integrasi antara syari’at dengan kebudayaan lokal tercermin dalam hadih maja: hukom ngon

adat lagee zat ngon sifeuet, yang maksudnya: hukum dan adat seperti zat dengan

sifatnya (Nasruddin Sulaiman dkk., 1992). Berkenaan dengan hal itu sejak awal dalam masyarakat Aceh terdapat pembagian wewenang sebagaimana tergambar dalam ungkapan: adat bak poteu meureuhom, hukom bak syiah kuala, kanun bak

putroe phang, reusam bak laksamana.Maksudnya, adat diserahkan kepada kebijaksanaan sultan dan pembesar kerajaan, hukum ditangani oleh ulama, sopan santun dan tata tertib perkawinan ditangani oleh puteri phang (puteri Kamilah, isteri Sultan Iskandar Muda), reusam (kebiasaan) diserahkan kepada panglima pada masing-masing negeri. Sementara itu, dalam masyarakat Minangkabau integrasi tersebut tercantum dalam Piagam Bukit Marapalam: adat

bersendi syara‘, syara‘ bersendi Kitabullah; syara‘ mengata, adat memakai (Amir Syarifuddin, 1984).

Pelaksanaan Syar[at Islam di Indonesia: Pendekatan Struktural dan Kultural luasan (pengajaran) fiqh di kalangan Muslim. Media yang digunakan dalam proses itu adalah lingkungan keluarga, lingkungan madrasah, pesantren, dan lingkungan masyarakat luas pada umumnya. Tingkat pemahaman antar individu dan kelompok sosial bervariasi. Hal itu berhubungan dengan potensi individual atau sosial, sudut pandang yang digunakan, intensitas pemahaman, dan efektivitas metode dan media yang digunakan. Berkenaan dengan hal itu, terdapat komunitas fuqaha hingga kelompok orang awam.

Kedua, tahapan penghargaan terhadap substansi fiqh sebagai norma perilaku. Tingkat penghargaan antar individu dan kelompok sosial itu juga bervariasi. Hal itu berhubungan dengan perhatian dan apresiasi terhadap fiqh yang dipandang mampu memberikan bimbingan dalam memenuhi kebutuhan hidup secara individual maupun kolektif. Dalam proses itu terjadi seleksi substansi fiqh yang bersesuaian dengan institusi sosial yang diwariskan secara turun temurun. Atau terjadi sebaliknya, fiqh merupakan cikal bakal institusi sosial baru.

Gambar 2: Tahapan Institusionalisasi Fiqh dalam Masyarakat Substansi Fiqh Pemahama n

Pengharga

an

Peranan Tokoh dan Partisipasi Pengikut

Keterangan:

Tahapan langsung Tahapan tidak langsung

Ketiga, tahapan pematuhan terhadap fiqh sebagai norma pengatur, yakni suatu kehendak untuk menundukkan diri kepada fiqh sebagai norma perilaku. Tingkat kepatuhan antar individu dan kelompok sosial juga sangat bervariasi. Hal itu berhubungan dengan posisi fiqh dalam kehidupan beragama secara kolektif. Ketika fiqh dipandang sebagai bagian ajaran agama yang dapat menuntun kehidupan di dunia dan akhirat, apa yang dirumuskan oleh fuqaha dipandang sebagai hukum agama yang bersifat final untuk dipatuhi dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun manakala fiqh dipandang sebagai produk penalaran fu-qaha masa lalu yang mengandung norma-norma lokal ketika dirumuskan, maka derajat pematuhan pun bersifat longgar.

Keempat, tahapan pengamalan sebagai wujud nyata atas pematuhan terhadap norma kehidupan tersebut, sesuai dengan kebutuhan hidup secara

Pengalokasia n Pematuhan Penyerapan Pembiasaa n Pengamala n

Pelaksanaan Syar[at Islam di Indonesia: Pendekatan Struktural dan Kultural individual dan kolektif. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan diri dan kewajaran kolektif, sehingga derajat pengamalan antar individu dan kelompok sosial pun bervariasi. Terdapat individu dan kelompok yang mengamalkan fiqh secara optimal dan konsisten. Di samping itu ada pula yang meng-amalkan fiqh hanya pada bidang kehidupan tertentu, terutama berkenaan dengan institusi peribadatan dan institusi kekerabatan.

Kelima, tahapan pembiasaan sebagai wujud pengamalan yang berulang-ulang. Pembiasaan itu diwariskan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya secara turun menurun. Dengan demikian fiqh menjadi bagian dari entitas kehidupan secara kolektif, yang dapat menjadi ciri spesifik suatu komunitas dalam satuan masyarakat yang lebih luas. Bila pembiasaan itu terintegrasi dalam norma kehi-dupan secara menyeluruh maka fiqh menjadi tata kelakuan yang dapat disebut sebagai adat.

Keenam, tahapan penyerapan atau difusi fiqh ke dalam pola perilaku kolektif dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam tahapan ini terjadi interaksi antara fiqh dengan institusi sosial melalui proses adaptasi dan akomodasi. Selanjutnya terjadi penerimaan atau integrasi fiqh ke dalam institusi sosial yang telah tumbuh dan berkembang sebelumnya. Integrasi itu terjadi ketika persamaan substansi dan fungsi fiqh dan institusi sosial lebih besar ketimbang perbedaannya.7

7

Ketika perbedaan fiqh dengan institusi sosial lebih menonjol, maka terjadi interaksi dalam bentuk lain, yakni koeksistensi atau konflik. Ketika terjadi koeksistensi kedua norma tersebut saling

Gambar 3: Titik Temu antara Fiqh dengan Institusi Sosial

dalam Proses Pembentukan Institusi Bercorak Keislaman

Fiqh Institusi Islam Institusi Sosial

Ketujuh, tahapan pengalokasian fiqh ke dalam institusi sosial secara optimal dan ajeg, yang kemudian terbentuk suatu institusi sosial bercorak keislaman (“institusi Islam”), sebagaimana dapat diperagakan dalam Gambar 3. Fiqh diterima sebagai norma penga-tur yang diserap tanpa mengganggu keberadaan dan fungsi institusi sosial yang telah mapan. Hal itu juga dapat terjadi ketika fiqh lebih unggul ketimbang institusi sosial yang bercorak lokal dalam menuntun ke arah pemenuhan kebutuhan hidup.8 Ketika “institusi berdampingan dan saling menguntungkan. Ketika terjadi konflik terdapat resistensi norma lokal terhadap fiqh dalam bentuk konflk di antara para pendukung kedua norma kehidupan tersebut.

8

Fiqh yang terdokumentasi dalam berbagai kitab (tradisi besar) disosialisasikan melalui berbagai saluran, yang dikembangkan dari pusat peradaban. Sementara itu, institusi sosial yang bercorak lokal disosialisasikan dengan penuturan lisan (tradisi kecil) melalui saluran yang tersedia secara tradisional.

Pelaksanaan Syar[at Islam di Indonesia: Pendekatan Struktural dan Kultural Islam” mendapat ruang yang semakin besar, ia akan mudah untuk disepakati dan dilaksanakan melalui pendekatan struktural karena telah memiliki akar yang kuat.

Pada masing-masing tahapan institusionalisasi fiqh itu, tokoh panutan menjadi teladan, baik yang mengemban otoritas di bidang fiqh sebagai pemimpin simbolis maupun yang memiliki otoritas ke-masyarakatan, mereka menempati posisi penting. Peranan yang dimainkan oleh tokoh tersebut dilakukan dalam bentuk pengajaran, perilaku, ajakan, dan ketela-danan kepada para pengikutnya. Sementara itu, respons para pengikut berupa partisipasi dalam setiap tahapan institusionalisasi tersebut. Interaksi antara tokoh dengan para pengikutnya yang dilakukan secara intens dapat memperlancar institusionalisasi fiqh dalam komunitas mereka. Hal itu tampak dalam ma-syarakat bangsa yang menganut madzhab fiqh tertentu seperti di Maroko, Saudi Arabia, Iran, dan Brunei Darussalam.

Institusionalisasi fiqh ke dalam institusi peribadatan --di luar yang disyari‘atkan: shalat, shaum, dan haji-- misalnya, merupakan suatu proses alokasi fiqh dalam tata cara dan upacara keagamaan, baik yang berkenaan dengan peristiwa penting dalam kehidupan manusia (kelahiran, perkawinan, dan kematian) maupun peristiwa alamiah dalam konteks kebudayaan tertentu, seperti gerhana matahari, gerhana bulan, dan kemarau yang berkepanjangan. Simbol dan substansi fiqh secara bertahap menjadi

pengarah utama dalam upacara tersebut. Boleh jadi dalam proses itu alokasi fiqh hanya bersifat simbolis, atau sekaligus substantif. Dalam masyarakat yang cederung menganut kebudayaan ekspresif terutama di beberapa negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, khu-susnya di Indonesia, proses tersebut akan mudah diidentifikasi, dipahami, dan dijelaskan.

Institusionalisasi fiqh dalam setiap komunitas tidak selalu berjalan secara simultan. Norma fiqh yang berkenaan dengan institusi kekerabatan, terutama fiqh munakahah, telah menjadi norma kehidupan dalam lingkungan masyarakat Islam pada umumnya; dan memperoleh legalisasi di beberapa negara yang ditetapkan dalam dan melalui peraturan perundang-undangan (Lihat: Tajul Arifin dan Cik Hasan Bisri, 2001). Norma fiqh berkenaan dengan institusi ekono-mi, yakni fiqh muamalah, terutama dalam pengelolaan perbankan (bank syari‘ah) telah menjadi salah satu alternatif dalam menggerakkan roda perekonomian di beberapa negara, termasuk di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Sementara itu, norma fiqh berkenaan dengan tindak pidana, yaitu fiqh jinayah, masih mengalami kontroversi, kecuali di beberapa negara Islam. Dengan demikian, secara kultural norma fiqh, syari’at umumnya, dalam masyarakat Islam dilaksanakan secara (relatif) “kāffah”. Sedangkan se-cara struktural norma tersebut baru dilaksanakan di beberapa negara Islam, di antaranya Brunei Darussalam (Madzhab Syafi‘i), Iran (Madzhab Ja‘fari), Pakistan (Madzhab Hanafi), dan Saudi Arabia (Madzhab

Pelaksanaan Syar[at Islam di Indonesia: Pendekatan Struktural dan Kultural Hambali).9 Tentu saja, dalam kedua pendekatan itu ter-jadi “percampuran” dengan norma lokal atau norma hukum asing yang dominan (civil law dan common law).