• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. Neraca Massa

Analisis penerapan produksi bersih bertujuan untuk mengetahui potensi penerapan produksi bersih di PT Condong Garut. Sebelum melakukan analisis, neraca massa harus dihitung dan dikaji terlebih dahulu. Neraca massa dapat membantu untuk mengetahui sumber limbah dan dapat membantu dalam analisis untuk menetukan pilihan produksi bersih yang tepat untuk meminimalkan bahan baku, energi, dan limbah yang terbuang. Perhitungan neraca massa ini dilakukan berdasarkan penelitian dari Samuel Saortua Manullang (2006) dan dari pengamatan di lapangan.

a. Ribbed Smoked Sheet 1. Stasiun Penerimaan

Gambar 5. Neraca massa proses penerimaan lateks Penerimaan

Lateks Kebun

9000 kg Lateks Bersih

8820 kg Lump Busa (±2% dari lateks kebun)

2. Stasiun Pengenceran

Gambar 6. Neraca massa proses pengenceran lateks 3. Stasiun Pembekuan

Gambar 7. Neraca massa proses pembekuan lateks

4. Stasiun Penggilingan

Gambar 8. Neraca massa proses penggilingan sheet

5. Stasiun Pengasapan

Gambar 9. Neraca massa proses pengasapan sheet Bekuan tebal

16086,31 kg

Sheeter Bekuan tipis

8023,36 kg Air 45670,58 kg Air Limbah 53688,53 kg Lump Basah 45 kg Bekuan tipis 8023,36 kg Ruang Pengasapan RSS 3209,35 kg Uap Air 4814,01 kg Lateks Kebun 8820 kg

Pengenceran Campuran Lateks 16216,4 kg

Limbah (±1% dari input) 163,8 kg

Air 7560 kg

Lump Busa (± 1% dari input) 162,49 kg Campuran Lateks 16216,4 kg Pembekuan 16086,31 kg Bekuan Asam Format 32,40 kg

b. Estate Brown Crepe 1. Pencucian dan Sortasi                

Gambar 10. Neraca massa proses pencucian dan sortasi bokar 2. Pencacahan

Gambar 11. Neraca massa proses pencacahan bokar

3. Pembentukan

Gambar 12. Neraca massa proses pembentukan crepe Lump cacah

910 kg

Air 550 kg

Pembentukan  Crepe728 kg tebal

Limbah cair 732 kg H2SO4

3,5 L

Lump Mangkok,lump busa, scraps dan slab basah

1000 kg  Air 850 Kg Pencucian Dan Sortasi Lump bersih 950 kg  Limbah cair 850 kg  Kotoran 50 kg  Lump bersih 950 kg  Air 480 kg

Pencacahan Lump cacah 910 kg

Limbah cair 520 kg

4. Finishing

Gambar 13. Neraca massa proses finishing

5. Pengeringan  

   

Gambar 14. Neraca massa proses pengeringan Tabel 2. Sistem Kesetimbangan Massa Proses Produksi Karet

Proses Input Produk Limbah Sumber

Data Pilihan Produksi Bersih A. RSS •Penerimaan lateks •Pengenceran •Pembekuan •Penggilingan •Pengeringan

B. Estate Brown Crepe •Pencucian dan Sortasi •Pencacahan •Pembentukan •Finishing •Pengeringan Lateks kebun Lateks bersih dan air Camp. Lateks dan asam format Bekuan tebal dan Air Bekuan tipis

Lump, scrap dan slab basah Lump bersih Lump cacah dan asam sulfat

Crepe tebal dan asam sulfat Crepe tipis Lateks bersih Camp Lateks Bekuan tebal Bekuan tipis RSS Lump bersih Lump cacah Crepe tebal Crepe tipis Estate brown crepe Lump busa Lump busa Lump busa Slabs basah dan air Uap air Air dan kotoran Air Air Air Uap Air 2 1 3 3 3 2 3 3 3 3

Bahan baku EBC Bahan baku EBC Bahan baku EBC Bahan baku EBC IPAL IPAL IPAL IPAL IPAL IPAL Keterangan 1. Pengukuran langsung 2. Informasi dari lapangan 3. Studi pustaka Crepe tebal 728 kg Air 480 kg Finishing Crepe tipis 532 kg Limbah cair 676 kg Crepe tipis

532 kg  Pengeringan Estate Brown Crepe 317 kg Uap air

C. Penanganan Limbah yang Diterapkan

Penanganan limbah PT Condong Garut sudah menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Semua limbah cair dari proses produksi akhirnya akan masuk ke IPAL. Limbah cair tersebut diolah sedemikan rupa hingga tidak mencemari sungai ketika dibuang. Proses pengolahan limbah cair yang dihasilkan dari produksi RSS dan estate brown crape menggunakan sistem pengolahan biologi yang terdiri dari kolam rubber trap, kolam aerasi, kolam pengendapan dan kolam testimoni. Kolam rubber trap digunakan untuk memisahkan padatan dari limbah cair yaitu partikel-partikel karet yang tidak menggumpal pada proses koagulasi.

Pengolahan biologi merupakan suatu teknik untuk pengolahan limbah cair yang mengandung senyawa organik dengan memanfaatkan kemampuan purifikasi alamiah oleh mikroba. Sistem proses biologi merupakan cara yang paling luas digunakan untuk mengolah limbah cair yang mengandung senyawa organik dan untuk meningkatkan efektivitas pengolahan limbah (Metcalf dan Eddy, 1991). Pengolahan biologi yang dilakukan oleh PT Condong Garut dengan menggunakan sistem lumpur aktif.

Proses lumpur aktif adalah suatu sistem yang menguraikan senyawa organik dengan menggunakan bakteri atau mikroba pengurai yang bersifat aerob dengan perbandingan keduanya dikontrol agar selalu tetap. Dalam proses penguraian senyawa organik dengan lumpur aktif dibuat bersinggungan dengan waktu yang memadai sambil diberikan pasokan oksigen (udara) sehingga senyawa organik dalam limbah akan terurai.

Pada sistem lumpur aktif, berbagai macam bakteri, fungi, protozoa, dan metazoa hidup dalam kumpulan didalamnya dan membentuk struktur piramida rantai makanan. Sistem lumpur aktif terdiri dari kolam aerasi yaitu tempat lumpur aktif (kumpulan dari mikroba dan bakteri aerob) dan limbah cair bercampur sambil diberi udara (oksigen). Di kolam ini senyawa organik (BOD, COD) diuraikan oleh mikroba aerob. Setelah penguraian senyawa organik di dalam kolam aerasi telah selesai, campuran lumpur dan air dialirkan ke kolam pengendapan untuk dilakukan pemisahan air dan lumpur. Air yang terpisah yang kandungan BODdan COD sudah berkurang dialirkan keluar ke kolam testimoni sedangkan lumpurnya dialirkan kembali ke kolam aerasi.

Dari pengolahan limbah cair karet dengan sistem lumpur aktif dihasilkan lumpur berlebih yang berasal dari kolam pengendapan akhir dan padatan terapung (scum). Scum merupakan hasil endapan melayang dari proses penguraian oleh bakteri. Scum tersebut dikeringkan dan diaplikasikan di sekitar tanaman kelapa sawit karena dapat untuk memperbaiki sifat fisik-kimia tanah.

D. Prinsip Produksi Bersih yang Sudah Diterapkan

Bahan baku berupa lateks kebun hasil sadapan yang diterima oleh pabrik, sebelum dikirim ke pabrik untuk diolah telah mengalami penyaringan di stasiun penerimaan lateks yang berada di areal perkebunan karet. Penyaringan tersebut menyebabkan lateks yang diterima oleh pabrik, telah bebas dari limbah padat berupa ranting, daun ataupun bahan padat lain yang tercampur dalam lateks. Usaha penyaringan lateks di stasiun dapat mengurangi beban limbah yang akan ditangani oleh IPAL pabrik.

Selain itu usaha produksi bersih dilakukan dengan cara menggunakan kembali lump mangkok, scraps dan serpihan sisa pengolahan RSS (slab basah) untuk bahan baku pembuatan estate brown crape. Selain itu menggunakan kembali lump busa untuk diolah dan digunakan sebagai pelapis RSS jenis cutting. Selain itu, tata letak di PT Condong Garut sudah sesuai urutan proses produksi sehingga proses produksinya efisien dan lantai produksi juga sudah berupa keramik sehingga keadaan ruangan produksi terlihat bersih.

Tabel 3. Karakteristik Limbah Hasil Pengolahan IPAL

Komponen Satuan Maksimum Sebelum IPAL Setelah IPAL

pH BOD COD N-Nitrat NH3-N TSS mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 6-9 100 250 25 15 100 6,27 1778 2970 32,24 5,45 600 7,19 12 19,8 3,6 2,21 18 E. Strategi Produksi Bersih yang Dapat Diterapkan

Produksi bersih dapat meningkatkan efisiensi produksi dan memberikan manfaat positif bagi lingkungan. Pada dasarnya PT Condong Garut sudah mengetahui pilihan-pilihan yang dapat memperbaiki produksi karet. Namun hal ini belum dapat dilakukan karena berbagai alasan.

Pilihan produksi bersih yang dapat diterapkan oleh PT Condong Garut antara lain penerapan good housekeeping yang meliputi penghematan air dengan adanya pemantauan air dan membuat bak penampungan bahan baku bokar untuk meningkatkan kualitas produk estate brown crepe yang dihasilkan. Produksi bersih juga dilakukan dengan penggantian bahan penggumpal yang alami yakni asap cair yang berasal dari pirolisis cangkang kelapa sawit dan pemanfaatan partikel karet yang terdapat pada kolam rubber trap untuk bahan baku alas kaki.

F. Analisis Alternatif Penerapan Produksi Bersih secara Kajian di Lapangan

Analisis alternatif penerapan produksi bersih didasarkan pada peninjauan secara langsung terhadap industri pengolahan karet di PT Condong Garut. Analisis ini ditinjau dari beberapa aspek yakni aspek teknis, aspek lingkungan dan aspek ekonomi. Aspek teknis artinya meninjau dari kemudahan dalam penerapan teknologi dari pilihan yang diberikan. Aspek lingkungan artinya meninjau dampak yang diakibatkan terhadap lingkungan, sedangkan aspek ekonomi adalah meninjau penambahan pemasukan atau penghematan yang diberikan dari penerapan pilihan produksi bersih tersebut.

1. Penerapan Good housekeeping

Terdapat beberapa macam pilihan dalam hal penerapan good housekeeping ini, antara lain pemantauan pemakaian air ketika proses produksi berlangsung. Meskipun sumber air yang digunakan berasal dari mata air pegunungan yang sangat melimpah, namun dengan melakukan good housekeeping ini penggunaan air dapat terkendali.

Pembuatan bak penampung bokar juga dapat dilakukan untuk menjaga mutu bokar. Selama ini, bokar yang diangkut dari kebun hanya diletakkan di lantai produksi yang tergenang air. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan mutu bokar dan menyebabkan bau tidak yang tidak enak. Oleh karena itu, perlu adanya penampungan bokar sebelum bokar di cuci.

Dari segi teknis, penerapan good housekeeping tersebut mudah dilakukan karena hanya membutuhkan tambahan peralatan yang sederhana dan dibutuhkan pengontrolan produksi yang baik. Penerapan good housekeeping ini akan berdampak pada jumlah limbah cair yang ditangani oleh IPAL akan berkurang, mutu produk akan terjamin, dan kebersihan tempat produksi akan terjaga.

Aspek Ekonomi

a. Biaya pembelian bak penampung dari aluminium dengan volume 2 m3 dengan asumsi biaya = Rp 400.000,00 (sumber harga dari PT Condong Garut)

b. Asumsi dengan adanya bak penampung bokar akan terjadi peningkatan mutu untuk estate brown crepe I sebesar 5% (PT Condong Garut). Peningkatan mutu ini diartikan bokar lebih terjaga kebersihannya sehingga tidak terjadi kontaminasi dengan mikroba yang menyebabkan penurunan mutu berupa bau dan kerusakan partikel karet di dalam bokar.

Pada tahun 2011 PT Condong Garut rata-rata menghasilkan 20.000 kg estate brown crepe/bulan dengan komposisi 17% mutu I, 51% mutu II, 25% mutu III dan 7% mutu cutting.

Peningkatan mutu dari mutu II menjadi mutu I (5%X51%) X 20.000kg/bulan = 510 kg/bulan

Keuntungan : 510 kg/bulan X Rp 3000,00 (selisih harga mutu I dan II, PT Condong Garut) = Rp 1.530.000/bulan

Paybackperiod= = = 0,26 bulan

2. Penggantian Bahan Penggumpal yang Anti Bakteri

Proses penggumpalan RSS di PT Condong Garut dilakukan dengan menggunakan zat kimia berupa asam format. Penggunaan asam format tersebut bisa digantikan dengan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan yakni asap cair atau Deorub. Deorub adalah cairan berwarna cokelat dengan pH sekitar 2,5 yang diproduksi melalui proses pirolisis tempurung kelapa sawit dalam suatu reaktor tertutup pada suhu 300-4000C selama 8-10 jam (Solichin, 2007).

Asam asetat yang terdapat di dalam asap cair dapat digunakan sebagai penggumpal lateks kebun (Solichin, 2003), sedangkan senyawa-senyawa fenolik terbukti sebagai anti oksidan, anti bakteri, dan anti jamur (Darmadji dan Rahardjo, 2002). Sifat anti oksidan yang akan melindungi molekul karet dari oksidasi pada suhu tinggi sehingga nilai PRI akan tetap tinggi. Sifat anti bakteri tidak hanya mencegah pertumbuhan bakteri tetapi juga membunuh bakteri, di dalam lateks atau koagulum, sehingga mencegah terjadinya bau busuk dari koagulum yang diberi koagulum, sementara sifat anti jamur mencegah pertumbuhan jamur pada sheet kering dan senyawa karbonil akan memberikan warna cokelat yang seragam pada sheet kering.

Penggantian bahan penggumpal ini cukup memungkinkan diterapkan di industri pengolahan karet PT Condong Garut. Dari segi teknis proses penggantian ini mudah dilakukan karena prosesnya tidak jauh berbeda dengan penggunaan asam format. Penggunaan asap cair ini juga dapat dilakukan untuk mengurangi bau busuk bokar pada saat pengolahan estate brown crepe. Asap cair tersebut hanya disemprotkan saja ke tumpukan bokar. Cairan tersebut dapat mengurangi bau busuk pada bokar karena dapat mengurangi pertumbuhan mikroba dan bakteri yang hidup di bokar. Perbedaan mutu sheet yang dihasilkan antara asam format dan asap cair dapat dilihat pada Tabel 3.

Penentuan nilai Plasticity Retention Index (PRI) adalah ukuran dari besarnya sifat keliatan (plastisitas) karet mentah sebelum (Po) dan sesudah (Pa) pengusangan pada suhu 1400C selama 30 menit. Nilai PRI yang tinggi menunjukan ketahanan yang tinggi terhadap degradasi oleh oksidasi serta tingkat kekuatan produk. Dengan mengetahui nilai PRI dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet menjadi lengket selama penyimpanan atau jika dipanaskan. Viscositas Rubber (VR) ) merupakan panjangnya rantai molekul karet atau BM serta derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Semakin tinggi BM hidrokarbon karet

semakin panjang rantai molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran, dengan kata lain karetnya semakin viskos dan keras.

Tabel 4. Perbedaan mutu sheet yang dihasilkan antara asam format dan asap cair

No Parameter Asam format Asap cair

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dosis Kecepatan beku Warna bekuan Bau Serum Mutu Po Pa PRI VR 55 ml larutan 2% 12 menit Putih Bau busuk Putih 46 40 85 75 80 ml larutan 5% 16 menit Coklat krem Bau asap Coklat jernih 49 43 89 80 Sumber : Balai Penelitian Sumbawa, 2005

Aspek Ekonomi

Keunggulan asap cair untuk penggumpalan lateks pada pengolahan RSS dibandingkan dengan menggunakan asam format adalah dapat mengurangi waktu pengeringan dari 120 – 144 jam atau 5 – 6 hari menjadi 36 – 48 jam atau 1,5 – 2 hari (Solichin, 2007). Penghematan waktu disebabkan karena dengan menggunakan koagulan asap cair maka waktu pengasapan yang berfungsi sebagai proses pengawetan dapat dihilangkan. Proses pengawetan tersebut terjadi pada saat pembekuan sehingga pengasapan hanya berfungsi sebagai pengering sheet saja. Dengan demikian jumlah kayu karet yang digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan asap dan panas dapat dikurangi. Perbandingan biaya pengolahan tersebut adalah seperti dipaparkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan biaya penggunaan koagulan asap cair dan asam format pada pengolahan RSS untuk produksi empat ton karet kering di PT Condong Garut menggunakan formula perhitungan menurut Solichin (2007)

Uraian Biaya per kg karet kering (Rp) Asap cair Asam format Asam format 6 ml/kg karet kering Rp

12.000/liter

- 288.000 Asap cair 75 ml/kg karet kering Rp

4.200/liter

1.260.000 - Kebutuhan kayu karet untuk 6 hari

pengeringan (4m3/ton karet kering harga Rp 130.000/m3)

- 2.080.000

Kebutuhan kayu karet untuk 2 hari pengeringan (1,33m3/ton karet kering harga Rp 130.000/m3)

691.600 -

Jumlah biaya 1.951.600 2.368.000

3. Pemanfaatan Partikel – Partikel Karet pada Kolam Rubber Trap

Proses pengolahan limbah cair di IPAL, pada kolam rubber trap masih terkandung partikel-partikel karet yang masih dapat digunakan sebagai bahan baku alas kaki (Utomo, 2006). Partikel-partikel karet tersebut akan terapung di permukaan kolam dan apabila sudah menumpuk, partikel tersebut dapat diambil dan dimasukkan ke dalam wadah dan kemudian dijual ke industri alas kaki. Dari segi teknis pemanfaatan partikel ini mudah dilakukan karena hanya mengambil partikel yang terapung tanpa ada perlakuan yang sulit. Industri yang akan memanfaatkan partikel karet ini akan mendapatkan bahan baku yang lebih bersih karena ada penampungan awal untuk mengumpulkan partikel sehingga terhindar dari kotoran seperti tanah. Penggunaan kembali atau daur ulang partikel karet di kolam rubber trap penting dilakukan karena dengan daur ulang ini akan mengurangi kandungan karet yang terkandung dalam air limbah buangan sehingga bahaya terhadap lingkungan dapat diminimalkan.

Aspek Ekonomi

a. Biaya pembelian alat pengutip limbah = Rp 110.000,- (sumber dari alatcleaning.com)

b. Biaya pembuatan bak penampung dengan volume 1,5 m3 dengan asumsi biaya pemasangan batu bata sebesar Rp 100.000/m3. Jadi biaya pembuatan bak sebesar 1,5 m3 X Rp 100.000/m3. = Rp 150.000,00 (sumber dari narasumber di PT Condong Garut)

Total biaya investasi = Rp 260.000,00

c. Biaya pembelian karung = Rp 1000/karung X 8 karung/bulan = Rp 8.000,00 (dengan asumsi seminggu sekali pengambilan limbah dan banyaknya limbah 50 kg dengan ukuran karung 25 kg, harga bersumber dari tokopedia.com)

Biaya penjualan limbah partikel karet = Rp 5000/kg X 50 kg/minggu X 4 minggu/bulan = Rp 800.000/bulan (harga bersumber dari narasumber di Pusat Penelitian Bogor)

Net profit: Rp 800.000 – Rp 8.000 = Rp 792.000

Paybackperiod = = = 0,33 bulan

4. Pemberian insentif kepada industri yang menerapkan produksi bersih

Insentif adalah suatu penghargaan dalam bentuk material atau non material yang diberikan oleh pihak pimpinan organisasi perusahaan kepada karyawan agar mereka bekerja dengan motivasi yang tinggi dan berprestasi dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Pelaksanaan insentif dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas pelaku industri. Insentif adalah dorongan agar seseorang agar mau bekerja dengan baik dan agar dapat mencapai produktivitas yang tinggi sehingga dapat membangkitkan gairah kerja dan motivasi yang tinggi (Romadoni, 2011)

Pemberian insentif bertujuan agar pelaku industri lebih terpacu untuk menerapkan produksi ke arah yang lebih baik. Pemberian insentif bisa berasal dari berbagai pihak. Dukungan dari pemerintah melalui penetapan kebijakan hukum, serta pemberian penghargaan yang tepat terhadap industri yang melakukan pengendalian limbah dan dari tiga opsi produksi bersih di atas.

G. Analisis Alternatif Penerapan Produksi Bersih secara Kualitatif

Analisis alternatif penerapan produksi bersih secara kualitatif ini dilakukan menggunakan proses hirarki analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagian dan tertata dalam suatu hierarkhi (Marimin dan Maghfiroh, 2010).

Struktur hirarkhi penerapan produksi bersih yang diambil dari industri pengolahan karet dapat dilihat pada Gambar 15. Pada Gambar 15. menunjukkan struktur hirarki dari kasus permasalahan yang ingin diteliti yakni pemilihan alternatif produksi bersih pada industri pengolahan karet yang berdasarkan tiga faktor yakni lingkungan, ekonomi, dan teknik. Garis – garis yang menghubungkan kotak – kotak antar level merupakan hubungan yang perlu diukur dengan perbandingan berpasangan dengan arah ke level yang lebih tinggi.

Tujuan yang ingin dicapai adalah penerapan produksi bersih pada pengolahan karet dengan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap persoalan tersebut yakni lingkungan, teknis dan ekonomi. Aktor yang berpengaruh antara lain pelaku industri, litbang, dan lembaga pemerintahan. Strategi yang ditawarkan antara lain penerapan good housekeeping yang meliputi pemantauan pemakaian air dan pembuatan bak penampung untuk bokar. Selain itu penggantian bahan penggumpal yang anti bakteri, pemanfaatan partikel-partikel karet yang masih terdapat pada rubber trap, dan pemberian insentif kepada pelaku industri yang menerapkan produksi bersih.

Gambar 15. Struktur Hirarki dengan Analitycal Hierachy Process (AHP) Penerapan Produksi Bersih pada Pengolahan Karet

Hasil pengolahan pendapat pakar dipaparkan pada Gambar 16, dimana dapat diketahui bahwa dari tiga faktor yang mempengaruhi upaya penerapan produksi bersih, faktor lingkungan merupakan faktor terpenting dengan bobot 0,655, kemudian faktor teknis (0,206) dan ekonomi (0,139). Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan mempunyai peranan penting dalam penerapan produksi bersih dalam pengolahan karet. Diharapkan dengan penerapan produksi bersih perbaikan lingkungan dapat dilakukan. Aktor yang berpengaruh dengan nilai bobot terbesar sampai terkecil adalah pelaku industri (0.638), lembaga pemerintahan (0.218), dan litbang (0.142).

Pelaku Industri Litbang

Penerapan Produksi Bersih Pada Pengolahan Karet

Ekonomi Lingkungan Teknis

Lembaga pemerintahan Penerapan Good Housekeeping Penggunaan koagulan yang mengandung anti bakteri Pemberian Insentif bagi pelaku industri yang menerapkan produksi bersih Pemanfaatan partikel karet dalam rubber trap

Synthesis with respect to:

Goal: Penerapan produksi bersih pada pengolahan karet

Overall Inconsistency = ,05

penerapan good housekeeping ,277

pemanfaatan partikel karet ,272

penggunaan koagulan antibakteria ,258

pemberian insentif ,194

Hal ini menunjukan bahwa pelaku industri memegang peranan penting untuk menunjang terlaksananya produksi bersih pada pengolahan karet. Pelaku industri sebagai pelaksana komitmen, kepemilikan modal, dan yang mengaplikasikan strategi yang ditawarkan. Kepemilikan modal saja tentu tidak akan cukup jika tidak didukung dari segi pengembangan teknologi atau informasi lain terkait penerapan produksi bersih pada pengolahan karet. Sementara itu, lembaga pemerintahan menempati posisi kedua sebagai aktor yang berpengaruh karena menurut pendapat pakar, dukungan yang diberikan pemerintah juga mempengaruhi dalam menjalankan penerapan produksi melalui penilaian terhadap penanganan limbah pada industri.

Gambar 16. Hasil perhitungan bobot faktor dan aktor dengan AHP

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2000), pelaksanaan produksi bersih lebih mengarahkan pada pengaturan diri sendiri (self regulation), daripada pengaturan secara command and control. Jadi pelaksanaan program produksi bersih ini tidak hanya mengandalkan peraturan pemerintah saja, tetapi lebih didasarkan pada kesadaran untuk merubah sikap, cara pandang, dan tingkah laku.

Gambar 17. Hasil perhitungan bobot alternatif strategi produksi bersih dengan AHP Dari pengolahan data menggunakan Expert Choice 2000, Gambar 17 dapat dilihat sttrategi penerapan good housekeeping menempati posisi pertama dengan bobot 0,277. Dilanjutkan dengan strategi pemanfaatan partikel karet sebesar 0,272, kemudian strategi penggantian koagulan antibakteria sebesar 0,258 dan pemberian insentif bagi pelaku industri sebesar 0,194. Hal ini berarti untuk penerapan produksi bersih dalam pengolahan karet, alternatif strategi yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah penerapan good housekeeping.

Hasil AHP dikatakan sudah konsisten jika memiliki nilai ratio konsistensi maksimal 10%. Jika lebih dari 10% maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki. Dari pengolahan data menggunakan expert choice 2000, diperoleh nilai inkonsistensi sebesar 0,05. Hal ini berarti hasil

yang diperoleh dapat dikatakan sudah konsisten dan cukup akurat karena masih dalam batas rasio konsistensi 10%.

H. Implementasi Produksi Bersih

Implementasi produksi bersih berupaya memadukan strategi produksi bersih untuk mencapai tujuan yaitu penerapan produksi bersih pada industri pengolahan karet. Setelah menganalisis pilihan produksi bersih dari aspek teknis, lingkungan, dan ekonomi maka dapat dilakukan penentuan skala prioritas. Penentuan skala prioritas ini dilakukan dengan pemberian penilaian terhadap masing-masing pilihan. Tabel 5 dipaparkan mengenai urutan prioritas masing- masing pilihan.

Tabel 6. Pembobotan pilihan penerapan produksi bersih Pilihan Penerapan

Produksi bersih

Penilaian

Prioritas Teknis Lingkungan Ekonomi Total

Good Housekeeping ( Pemantauan penggunaan air dan pembuatan bak penampungan bokar)

• Penggantian bahan koagulan

anti bakteri

• Pemanfaatan partikel karet

yang terdapat dalam kolam rubber trap

• Pemberian insentif kepada

industri yang menerapkan produksi bersih 3 3 2 2 3 3 3 2 3 2 2 2 9 8 7 6 1 2 3 4

Apabila pilihan produksi bersih penerapan good housekeeping dan pemanfaatan partkel

Dokumen terkait