• Tidak ada hasil yang ditemukan

NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA

Dalam dokumen Ngaben sarat dan relevansinya di masa kini (Halaman 39-69)

NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA

A.Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat

Pada hakekatnya, pengertian ataupun manfaat Ngaben Sarat tidak memiliki perbedaan dengan Ngaben lainnya37 atau pada umumnya. Ngaben (Sarat) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara Pitra Yajna. Ngaben (Sarat) sebagai upacara pemberian beya atau bekel bagi roh untuk kembali kepada asalnya, dan pembakaran mayat, tawulan atau awak-awakan Sawa untuk mempercepat proses kembalinya unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya. Dengan pengertian bahwa Ngaben Sarat adalah Ngaben yang penuh sarat dengan perlengkapan-perlengkapan upakara bebanten dan peralatan lainnya.38

Jadi, Ngaben Sarat merupakan Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara Ngaben Sarat ini memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya .

Ngaben Sarat dilakukan terhadap Sawa yang baru meninggal maupun terhadap Sawa yang telah dipendam. Ngaben Sarat terhadap Sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan Ngaben Sarat terhadap Sawa yang pernah dipendam disebut Sawa Wedhana. Sawa Prateka dan Sawa Wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya yang

37

Ngaben lainnya yang dimaksud oleh Penulis menyangkut tingkatan Ngaben yang variatif; nista, madya, utama atau sarat. Artinya, tingkatan Ngaben yang berbeda-beda yang juga memiliki perbedaan dalam materi, namun manfaat dari tingkatan Ngaben tersebut sama saja.

38

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 158.

sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah kedua jenis Ngaben (Sawa Prateka dan Sawa Wedhana39) ini disebut Ngaben Sarat.40

Penjelasan dan pelaksanaan daripada jenis-jenis Ngaben Sarat ini memiliki perbedaan. Adapun penjelasan Sawa Prateka sebagai berikut:

“Sawa Prateka. Ini prihalnya pegangan pada waktu mati. Yang

disebut Atiwa-tiwa. Diwarisi oleh Catur Warna, sampai sekarang. Setelah ditinggal oleh hidup, dimana tempatnya Atma. Diawa. Sawa itu diupakarakan, dengan tata cara kematian, mandi, menyecikan kotoran Sawa itu. Setelah Sawa itu bersih, dikenakan tirtha yang didapatkan dengan memanah, oleh Pandita. Diciptakan dan diajegkan atma itu lagi pada rumahnya dulu. Disuruh melihat-lihat keturunannya dan menikmati banten penentraman. Setelah atma menikmati, lagi disuruh oleh Pandita,

kembah ke wujud kosong, demikian halnya Sawa ditaruh di rumah”.41

Artinya, penjelasan di atas menegaskan bahwa atma atau Urip meninggalkan badan, Sawanya lalu diupacarakan di rumah seperti dimandikan, diperciki tirtha pemanah, dihidangkan saji tarpana, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu. Jadi di rumah, betul Sawanya yang diupacarakan. Inilah yang disebut Sawa Prateka.

Sedangkan terhadap Sawa yang pernah dipendam lalu diAben disebut Sawa Wedhana dengan penjelasan sebagai berikut:

“Adapun Sawa yang telah ditanam di Setra, namanya makingsan,

dititipkan pada tanah, Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan Setra. Demikian prihalnya Sawa yang ditanam. Pada waktu pengupacarakan Sawa itu namanya Sawa Wedhana. Tiga hari menjelang

peNgabenan, ada upakaranya yang disebut ngulapin”.

Penjelasan ini berarti bahwa upacara Ngaben bagi Sawa yang telah dipendam disebut Sawa Wedhana. Sawa yang telah pernah dipendam disebut

39

Sawa Pretaka dan Sawa Wedhana merupakan jenis Ngaben Sarat. 40

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 79. 41

tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi. Tawulan ini diganti dengan pengawak42, yang dibuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta, dan lebarnya empat nyari.43

Jenis Ngaben Sarat ini merupakan upacara Ngaben yang terbesar. Merupakan upacara yang biasa dinilai utamaning utama. Saking besarnya, upacara ini merupakan pilihan bagi keluarga puri, geria, jero dan mereka yang martabat sosialnya wajar untuk itu, baik karena ekonominya mapan, maupun karena faktor historis.44

Kendatipun demikian, suatu upacara keagamaan barulah mempunyai nilai dan bobot, bila sang meyadnya melaksanakannya dengan sredaning manah, yakni hati yang mantap dan mulus. Manah yang sredah ikut pula ditentukan oleh standar kedudukan seseorang di masyarakat, termasuk kemampuan sosial ekonominya.

Ngaben (Sarat) itu dimaksudkan untuk memproses kembalinya Panca Maha Bhuta pada badan untuk menyatu dengan Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan akan mengantarkan atma ke alam pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu.

Ragha berasal dari air dan diharapkan kembali kepada air, dan terakhir atma mulih ring wisesa. Jadi diharapkan atma agar kembali kepada sumbernya yaitu

42

Upacara Ngaben ada jenazahnya secara nyata disebut masawa atau mawatang. Sedangkan upacara Ngaben bagi jenazahnya yang ditanam atau dibakar titip disebut pengawak, upacara ini juga dilakukan terhadap orang yang dianggap meninggal dan jenazahnya tidak diketemukan. Lihat dalam I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 35-36.

43

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 90-91.

44

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 50-51.

Sang Hyang Wisesa, yang merupakan asal muasal dari semua ciptaan. Ragha kembali kepada air, kiranya sudah jelas, karena badan kita dibentuk oleh dua pertemuan kama bang dan kama petak yang berwujud cair.

Maka dari itu, maksud upacara Ngaben (Sarat) itu untuk mengembalikan unsur yang menjadikan badan atau ragha kepada asalnya di alam ini, kedua adalah mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan memutuskan keterkaitannya dengan ragha sarira. Hal ini diwujudkan dengan upacara ngentas Sawa dengan tirtha pangentas. Dengan memutuskan kecintaan Atma dengan dunianya, ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra.

Artinya, Ngaben (Sarat) itu bertujuan agar raga sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu, Panca Maha Bhutta di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra. Oleh karenanya, Ngaben (Sarat) sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Bahkan secara terperinci pada pawisik Sang Wiku kepada Sang Atma dijelaskan bahwa tujuan daripada Ngaben (Sarat) itu untuk melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi, untuk mendapatkan keselamatan dan kesenangan, dan untuk mendapatkan sorga bagi Sang Pitra. Bagi Pewasik ini, bukan saja Sang Atma yang diharapkan mendapat keselamatan, akan tetapi juga yang beryajna.45

45

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 26-31.

B.Landasan Filosofis Ngaben Sarat

Landasan filosofis Ngaben secara umum telah Penulis uraikan di awal atau di depan secara komprehensif. Namun penting pula dijelaskan yang menjadi landasan filosofis yang lebih khusus dari Ngaben Sarat itu sendiri.46

1. Cinta Yang Mendalam

Sangat besar hutang budhi manusia terhadap leluhurnya. Ia ada karena jasa leluhur, khususnya Bapak dan Ibu. Jasa ini begitu besar, rasa-rasanya tidak bisa terlunasi, kecuali dengan jasa pula. Ia berusaha bagaimana ia mampu untuk mengupayakan agar leluhurnya mendapat keselamatan. Usaha ini yang berupa bakti harus ada buktinya. Dan bukti ini harus dihayati dengan indria dan dapat memberi kepuasan kepada indria itu sendiri. Sebagai bukti rasa cinta kasih itu, ia akan mempersembahkan segala-segalanya. Yang megah dan terindah. Sebagai simbol dari rasa cinta ini, ia akan memenuhi semua sarana yang diperlukan. Ia tidak memperhitungkan mahalnya nilai sarana itu. Yang penting dapat mempersembahkannya. Ia akan mengikuti semua sastra. Hal inilah yang menjadikan landasan filosofisnya Ngaben Sarat itu.

2. Pembebasan Dosa

Manusia berkerja atas dorongan Budi, Manah, Indria dan Ahamkara. Kalau Indira dan Ahamkara yang mendominasi, kecenderungan karma itu adalah buruk, yang akan menjadikan dosa. Manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa ini. Tapi antara manusia satu dengan lainnya akan berbeda kwalitas dosanya, sesuai dengan lingkungan kerja manusia itu sendiri. Kalau ia hanya seorang

46

petani yang tinggal di daerah terpencil, tentu dosanya kecil pula. Tapi sebaliknya kalau ia seorang Penguasa, atau Pengusaha, yang bergerak dalam dunia politik dan perdagangan tertentu ia memiliki dosa yang lebih besar pula.

Dari dasar pemikiran ini pulalah adanya upacara Ngaben Sarat terhadap mereka, terutama ketika hidupnya penuh bergelimangan dalam duniawi. Usaha pembebasan atas dosa-dosa memang sangat dibutuhkan dalam upacara Ngaben itu. Dari dasar pemikiran inilah, mengapa seorang raja harus diaben secara besar-besaran, bahkan harus memakai naga Banda. Bukankah Naga Banda simbol dari nafsu-nafsu (indria) yang melilit kehidupan seorang raja ketika masih hidupnya. Dan bukankah nafsu-nafsu itu yang membuahkan dosa? Untuk tercapainya kebebasan bagi Atma maka pembalut-pembalut itu berupa nafsu dan sekaligus dosa-dosa, perlu dihapuskan.

Bertitik tolak dari pemikiran inilah yang mendorong pelaksanaan Ngaben Sarat itu. Guna menunjang teori ini, kita dapat menunjukkan adanya berjenis-jenis banten yang diperuntukan bagi penebusan Atma yang ditujukan kepada para Kala dan tempat-tempat hukuman bagi Atma. Misalnya penebusan kepada Bhatara Yama, untuk Jogor Manik, Dorakula, Mahakala, Kawah Tambragohmuka, Weci, Batu Macepak dan lain-lain.

Inilah dasar-dasar pemikiran yang melatarbelakangi adanya Ngaben Sarat.

C.Upakara dan Upacara Ngaben Sarat

Alat upakara dan sesajen boleh beranekaragam, berbeda-beda, banyak jenisnya, tetapi memiliki substansi atau hakekat yang sama selaku pamuput. Alat

upakara dan sesajen dalam pengabenan ada yang berkedudukan esensial. Ia mutlak harus ada atau dipakai. Artinya, jika tanpa itu, upacara tersebut tidak dapat dinamakan Ngaben. Ada pula alat upakara dan sesajen yang hanya berkedudukan sebagai tambahan, tetapi tetap penting.

Alat upakara dan aneka sesajen, bahkan upacara apapun, tidak sekedar simbol, lambang tanpa nilai atau makna, melainkan diyakini memiliki daya magis-religius yang bermanfaat untuk mencapai sasaran yang dikehendaki sesuai dengan letaknya masing-masing. Nilai daya magis-religius ini dipengaruhi oleh benar tidaknya bentuk alat dan sesajen bersangkutan, ihlas tidaknya dukungan mentalitas tukang dan pendeta, terutama keihlasan dan kuatnya hati orang yang Ngaben dan yang mendukung yadnya tersebut.47 Maka dari itu, hendaklah setiap orang beryadnya didukung dengan penuh sredaning citta, penuh kesanggupan dan kesungguhan, kemulusan dan keikhlasan hati.

Di samping itu pula, upacara Ngaben atau Mreteka Sawa tidak sekedar dilakukan sekali jadi. Upacara ini memiliki bagi bagian pendahuluan dan upacara Ngabennya sendiri. Upacara pendahuluan ini tidak lain adalah upacara tingkat awal sebelum upacara Ngaben.48 Bahkan pelaksanaan upacara ataupun upakara Ngaben memiliki urutan-urutan yang perlu dilakukan sebelum Sawa diaben. Segera setelah seseorang meninggal bila dewasa (hari baik) mengijinkan maka mayat itu terlebih dahulu dimandikan49 di plataran rumah si pemilik.

47

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 42.

48

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 20. 49

Tatacara-tatacara (memandikan) Sawa secara umum yang akan diaben ini bisa diperjelas secara lebih komprehensif dalam bukunya Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben (Jakarta: Hanuman Sakti, 1993), h. 7-43.

Ketika seseorang diketahui meninggal, sawa dibaringkan terlentang menengadah dan selurus-lurusnya dari kepala ke kaki. Kedua tangannya direntang lurus, telapaknya menelungkup dekat kemaluannya. Mulut jenazah dikatupkan rapat-rapat, kelopak matanya diurut hingga terpejam sempurna. Lalu Sawa ditutup kain putih sampai tak tampak sedikitpun. Jenazah dibaringkan di bale adat—jika ada—dan sebaiknya pula diberi tirai secukupnya. Punjung50 diletakkan di sebelah kanan jenazah dan mendiang dipersilahkan menikmati hidangan.

Sementara itu, air dan sabun untuk memandikan sawa disiapkan. Gorenglah 10 biji pisang mentah dan diambil minyak bekas gorengan itu seperlunya untuk sarana memijat sekujur tubuh jenazah agar segenap otot untuk beberapa jam tidak kaku dan kejang. Setelah semuanya siap, jenazahpun dimandikan di atas balai-balai rumah adat. Cara memandikan, yakni, mula-mula tikar alas jenazah ditarik, hingga sawa berada di atas galar. Dengan demikian, air bekas itu langsung tumpah ke bawah kolong tempat tidur.51

Setelah tubuh jenazah dikeringkan, tikar kembali digelar. Tubuh jenazah dibaringkan lagi seperti semula. Buntelan bola kain diletakkan di bagian leher gingga dagunya agar terganjel agar rahangnya tidak bergerak dan mulutnya tidak menganga. Setelah itu, tubuh jenazah ditutup kembali dengan kain putih, tirai bale adat kembali ditutup.52

50

Merupakan nasi dengan lauk pauk sebagaimana bentuk makanan orang hidup. 51

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 21.

52

Itulah tahap atau tindakan awal untuk menunggu acara pangringkean atau pagulungan atau pula nyaputin yang pembuatan upakaranya bisa memakan waktu lama walau dilakukan oleh banjar secara bergotong-royong.

Sesudah upacara memandikan mayat selesai, lalu mayat dibaringkan di Bale Gede Semanggen dimasukkan kedalam peti dan menunggu saat upacara Pebersihan. Pada waktu upacara Pebersihan dibuatkan banten perwujudan dari jasad yang meninggal itu, karena Sanghyang Atma memerlukan badan sementara sebagai pengganti dari jasadnya yang sudah busuk.53

Sebagaimana penjelasan di awal bahwa jenis Ngaben Sarat tergantung pada jenis Sawa yang diupakarakan. Bila sawa yang diupakarakan itu baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dipendam lalu diaben disebut Sawa Wedhana.54

Jenis Ngaben Sarat inilah upacara Ngaben yang terbesar, upacara yang biasa dinilai utamaning utama. Upacara ini merupakan pilihan bagi keluarga puri, geria, jero dan mereka yang martabat sosialnya wajar untuk itu, baik karena ekonominya mapan, maupun karena faktor historis. Keutamaan sebuah upacara keagamaan ini tidak hanya dilihat dari materinya yang besar, nilai bobotnya dilihat dari dasar orang yang melakukan yadnya dengan landasan sredaning manah, yakni hati yang mantap dan tulus.

Untuk penjelasan secara rinci dan komprehensif mengenai upakara-upacara Ngaben Sarat sendiri dibedakan menjadi dua bagian, upakara peralatan dan upakara bebantenan.

53

Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben (Jakarta: Hanuman Sakti, 1993), h. 13-14.

54

Sedangkan dalam penjelasan lain disebutkan bahwa Sawa Pretaka sama halnya dengan

masawa atau mawatang, sedangkan Sawa Wedhana bisa juga dikatakan pengawak. Bisa diperjelas

dalam I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 35-36. Sekaligus juga bisa diperluas dalam bukunya Drs. I Ketut Wiana,

1. Upakara

Peralatan yang diperlukan dalam Ngaben Sarat terdiri dari peralatan inti dan peralatan penunjang. Peralatan inti adalah: Pepaga adalah jenis Bale yang dipakai untuk memandikan Sawa yang baru meninggal;55 Pengulungan dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) kain putih bertuliskan Padma dengan aksara Walung Kapala; Lante atau Rante Dibuat dari sebitan (serpihan) penjalinan atau rotan. Penjalin ini digulungkan dengan tali ketikung yang dibuat dari penjalin atau bambu;56 Salepa Adalah jenis peti mati tahap pertama; Bandusa peti mati tahap kedua, menyerupai perahu bercadik. Bentuk menyerupai perahu simbol kendaraan penyeberangan dari alam nyata ke alam tidak nyata; Tumpang Salu tempat dimana Sawa yang ada dalam peti Bandusa mendapatkan Samskara (Penyucian);57 Tatindih adalah penutup Bandusa; Wukur wukur dibuat dari uang kepeng. 58

Peralatan inti lainnya termasuk Sawa Karsian pengganti sawa yang pernah dipendam, simbolik dari badan manusia Sawa; Pangrekan adalah kumpulan kwangen sebagai simbol Padma; Kreb Sinom artinya kerudung muda atau kerudung bunga; Kajang artinya selimut; Adegan (Pisang Jati) artinya perwujudan atau simbolik dari swadharma manusia utama; Angenan adalah

55

Bale ini dibuat dari bambu dengan mempergunakan sedikit kawat emas, perak dan tembaga untuk mengikat alasnya. Kawat emas, perak, dan tembaga adalah Tri datu yang merupakan elemen penting ini bumi kita ini. Bisa juga dilihat dalam Drs. I Ketut Wiana, Makna

Upacara Yajna dalam Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 2004), h. 78.

56

Ketekung adalah perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu. Demikianlah diibaratkan manusia mati, yang merupakan proses untuk lahir kembali menjadi manusia.

57

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 53 dan 55.

58

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 96-145 atau juga bisa dilihat dalam I Gusti Ketut Kaler,

simbol jantung manusia;59 Sok Bekel adalah merupakan bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya; Lis Pering adalah sepasang lis yang dibuat dari ron jaka; Kesi-Kesi Deling/Jemek adalah simbol dari Atma (Preta) dan diletakkan dilepitan bagian hulu tempat Sawa; Iber-Iber berupa ayam atau burung;60 Tah Mabakang-Bakang sabit yang berfungsi untuk merabas apa saja yang merintangi perjalanan Atma untuk kembali ke asalnya; Gender adalah gamelan yang memakai laras salendra; Penuntun berfungsi untuk menuntun roh orang yang sudah meninggal agar kembali ke asalnya; Sanggah Cucuk dan Damar Kurung jenis Sanggah yang dipakai untuk persembahan kepada bhutakala; Kaki Patuk dan Dadong Sempret adalah orang-orangan yang berwujud laki dan perempuan, yang disebut kaki patuk dan dadong sempret.

Selanjutnya, peralatan inti juga termasuk Wadah atau Bade61 pengusungan Sawa untuk pergi ke setra; Tragtag adalah wadah untuk menyelesaikan sawa ke wadah. tangga ini melambangkan undangan yang menuju sorga; Ubes-ubes adalah sejenis papecut yang mempergunakan bulu merak pada ujungnya; Pemanjangan adalah sekarura, yakni bunga kwangen bercampur uang kepeng, yang ditaburkan sepanjang jalan; Cegceg adalah berupa butir padi yang dimasuki uang kepeng; Bale Gumi adalah Bale yang berundag tiga dengan lantainya tanah. Bale Gumi adalah tempat Sawa yang akan dibakar; Bale lunjuk atau Bale

59

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 61-62. 60

Binatang ini diterbangkan ketika Sawa mulai dibakar sebagai simbol perginya Atma dari badan kembali ke asalnya. I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 107-108.

61

Menurut perlengkapannya wadah ini dibagi tiga; Wadah dengan dasar babogeman; Wadah dengan dasar bade; Bade wadah dengan papalihan lengkap, serta atapnya bertingkat-tingkat yang disebut tumpang. Bilangan tumpang umumnya ganjil, yakni 11, 9, 7, 5, dan 3. Bilangan tumpang melambangkan kekuasaan. Makin besar kekuasaan seseorang atau leluhurnya, maka tumpangnya akan lebih tinggi. Mengenai Bade atau pengusung jenazah ini bisa diperjelas dalam I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 81-97.

Salunglung artinya Bale keindahan atau keasrian. Di bawah bale inilah Sawa itu dibakar; Patulangan adalah tempat untuk membakar Sawa; Bale Pering ini berfungsi sebagai tempat menghaluskan abu tulang yang telah dibakar (Asti Widhana); Jempana adalah wahana untuk menghanyut atau melarung sekah atau tulang yang telah dihaluskan; Bale Pawedaan adalah bale tempat Pendheta memuja; Sanggar Surya adalah sanggar untuk mempersembahkan banten upasaki kepada Surya.

Disamping peralatan dan sarana yang diperlukan demikian banyaknya dalam upacara Ngaben Sarat, juga jenis upakara bebanten. Upakara bebanten juga banyak sekali diperlukan, namun secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi: bebanten untuk upasaki di Sanggah Surya dengan ayaban sornya, unit banten pamlaspas, banten ayaban, banten yang berfungsi sebagai pebersihan, banten yang berfungsi sebagai oleh-oleh, banten yang merupakan simbol-simbol dari bagian-bagian badan, banten pamerasan dan pengampin, banten-banten upasaki (Piuning).62

Kemudian masih ada banten lain lagi, yang sangat penting yaitu: Bebangkit

Pengiriman. Bebangkit ini berfungsi untuk ―ngirim‖ Sang Pitra dan sisa-sisa galihnya (tulangnya) ke laut. Demikianlah beberapa unit jenis bebanten serta arti simboliknya, yang dipergunakan dalam upacara Ngaben Sarat itu.

2. Upacara

Upacara dimaksudkan adalah tata pelaksanaannya. Prosesi dari awal sampai akhir. Karena Ngaben Sarat ini ada dua jenis yakni: Sawa Prateka dan Sawa

62

Penjelasan upakara bebanten secara jelas dan terperinci bisa dibaca dalam bukunya Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama, h. 113-125.

Wedhana, maka lebih dulu diuraikan jalannya upacara untuk Sawa Prateka. Adapun tahapan-tahapan upacara Ngaben Sarat Prateka adalah sebagai berikut:

a. Pabersihan

Begitu setelah meninggal, Sawa hendaknya dibersihkan. Tata cara mabersih adalah sebagai berikut:63

1. Memandikan

Dalam upacara memandikan ini diperlukan Upakara yang disiapkan: Air bersih, Air kumkuman, Keramas dan minyak rambut, Sigsig, Babelonyoh putih kuning, Sikapa, Telur ayam Bali, Don Tuwung, Daun-daun: intaran, menuh, Kepehan waja, kepehan meka, malem, Daun padma, daun terung bola, Monmon merah, Angkeb rai putih, Pangulungan, Kain putih, Kwangen dengan uang kepeng 11 satu buah (ada kalanya disuatu tempat juga dijalankan kwangen pangrekan 22 buah), Tirtha pembersihan, dan Papaga (bale padyusan).64

2. Pelaksanaan memandikan Sawa

Sawa digotong dari tempat meninggalnya, lalu ditaruh pada bale papaga. Pakaiannya yang terdahulu dilugar, lalu dialasi tikar dengan kain baru. Dikasi gelang dengan uang kepeng 200. Di atas Sawa dipasang kain putih sebagai leluhur. Pakaiannya dilugar, kemaluannya ditutup. Kalau laki ditutup dengan kain, terung bola, oleh anaknya yang perempuan. Kalau perempuan ditutup dengan daun padma, oleh

63

Mengenai Pabersihan ataupun Pasucian bisa juga dilihat dalam bukunya I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h.54-66.

64

anaknya yang laki. Sawa disiram dengan air bersih, ke sekujur

Dalam dokumen Ngaben sarat dan relevansinya di masa kini (Halaman 39-69)

Dokumen terkait