• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ngaben sarat dan relevansinya di masa kini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ngaben sarat dan relevansinya di masa kini"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

DAN RELEVANSINYA DI MASA KINI

Oleh:

ENUNG SOLIHAH NIM. 106032101071

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN

(2)

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji dan syukur hanya pada-Nya atas segala kasih dan sayang-Nya yang tiada terhenti. Penulis mengucapkan syukur karena dapat menyelesaikan Skripsi ini

yang berjudul ―NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA DI MASA KINI”.

Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, keluarga dan semua sahabatnya.

Dalam penyusunan Skripsi ini, Penulis mengalami berbagai macam rintangan dan hambatan. Namun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, semuanya itu dapat diatasi, sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan. Perkenankanlah Penulis dalam kesempatan ini menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu Penulis, kepada :

1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA. beserta seluruh para Pembantu Dekan Fak. Ushuluddin dan jajarannya.

2. Drs. M. Nuh Hasan, MA dan Bapak Maulana, M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama.

(3)

buku yang dibutuhkan Penulis semasa kuliah dan penulisan Skripsi ini.

5. Kepada seluruh dosen Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmunya dan mendidik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama.

6. Bapak I Ketut Bantas, S.Ag, M.Fil., H (Ketua Parisada Hindu Dharma DKI Jakarta), Bapak Dewa Ketut Suratnaya (Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara) dan Bapak Firdaus (Konselor PHDI) yang telah membantu Penulis dan bersedia menyediakan waktunya untuk melakukan wawancara sebagai bahan Penulis dalam penulisan Skripsi ini.

7. Kedua orang tua saya, Bapak Hamim (Alm.) dan Ibunda Siti Julaeha, serta abangku, Rahmat Syukur, M.Pd.I, Dadan Hermanto dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa, arahan, motivasi, selama kuliah dan penyusunan Skripsi.

8. Kepada Wasil dan kawan-kawan ―perberoan‖ dan seperjuangan yang telah memberikan arahan dan motivasinya yang terus menerus kepada Penulis. 9. Keluarga Besar Mahasiswa Perbandingan Agama Angkatan 2006 yang tidak

bisa saya sebutkan satu persatu.

10.Seluruh teman-teman anak kosan Balance yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

(4)

menyelesaikan Skripsi ini. Semoga jasa baik yang telah diberikan kepada Penulis, Tuhan dengan Maha Kasihnya membalas dengan sebaik-baik balasan. Amiin.

(5)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang Masalah ... 2

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : NGABEN DALAM AJARAN HINDU ... 11

A. Pengertian dan Tingkatan Ngaben ... 11

B. Landasan Umum ... 20

C. Landasan Khusus ... 28

BAB III : NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA ... 33

A. Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat ... 33

B. Landasan Filosofis Ngaben Sarat ... 37

(6)

A.Kesimpulan ... 60 B.Saran-saran ... 61

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Epilog dari drama kehidupan manusia atau sebagai penutup perjalanan hidup manusia adalah soal kematian. Sebagaimana halnya dengan kehidupan, sejak jasad mulai bernyawa di dalam rahim, telah diadakan ritual pranatal dan dilanjutkan dengan ritual-ritual sesudah lahir. Begitupun dengan bagian akhir perjalanan kehidupan manusia memiliki ritual setelah mati.

Tata cara atau semua peraturan yang mengatur upacara (baca: ritual) kematian (petrime-dha-yajna) terhimpun dalam sebuah kitab Weda Smrti yang

dikenal dengan nama kitab ―Petrimedha Sutra‖, dikumpulkan oleh Maha Resi

Budhayana. Lebih lanjut, sejak Agama Hindu mulai tersebar ke Asia Tenggara, pokok-pokok tata cara ritual penyelesaian mayat orang mati telah digubah kembali dan disesuaikan berdasarkan kebiasaan dan fasilitas setempat. Tentunya, hal ini juga tertulis dalam rontal-rontal yang masih tersimpan sebagai warisan kebudayaan bagi masyarakat Hindu di Indonesia.1

Disebabkan tata cara ritual penyelesaian mayat telah berkembang dan mengikuti kebiasaan tradisi setempat, penting kemudian sedikit banyak mengetahui nama atau istilah dari ritual penyelesaian mayat itu sendiri.

Ritual penyelenggaraan atau penyelesaian mayat, dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, disebut dengan istilah Ngaben atau dalam istilah pada umumnya

1

(8)

dikenal dengan istilah Kremasi atau pembakaran mayat. Pada dasarnya, ritual Kremasi (baca: pembakaran mayat) yang dikenal familiar dalam dunia modern saat ini, merupakan ritual yang dapat ditemukan dalam praktek pra-sejarah, jaman Sutra dan permulaan sejarah, atau telah dilakukan oleh sebagian bangsa di dunia sejak zaman sebelum Masehi dan juga pada masa Romawi.

Berdasarkan dengan bukti arkeologis yang dijelaskan oleh ahli Antropologi Inggris V. Gordon Childe, pembakaran mayat atau kremasi telah dijalankan oleh masyarakat neolitik di kepulauan Inggris, Brittany, Switzerland, dan Jerman Tengah. Kremasi menjadi cara yang disukai di Inggris dan Eropa Utara dan Tengah pada abad pertengahan sampai abad perunggu (dari 1400 SM) dan di Spanyol dan Itali Atas sejak permulaan abad besi (dari 1000 SM). Juga dijalankan di Troy Dardonelles, Carchenish dekat Euphratus dan kadang di Creta dan Yunani: antara 1400 dan 1000 SM. Kemudian kremasi atau pembakaran mayat menjadi populer di India di kalangan Hindu.2

Dalam kebudayaan primitif yang telah sampai saat modern ini, kremasi dijalankan secara luas. Pembakaran itu tidak hanya dimaksudkan untuk menghancurkan jasmani mayat secara lebih efektif, dan karenanya untuk mencegah kembalinya hantu itu yang mungkin, tetapi sejak api menyala juga sebagai suatu fungsi pensucian, pembakaran itu sering dianggap sebagai kebaikan untuk melindungi roh jahat.

Tetapi, jangan diartikan, bahwa tujuan kebiasaan kremasi itu sama dalam semua keadaan. Di samping itu, untuk mengurangi keberanian roh dari

2

(9)

mendatangi bangkai (mayat) dan tempatnya semula, dan untuk memberikan semacam pengertian pensucian dari roh jahat, maka kremasi itu juga dalam beberapa contoh, di kalangan orang Hindu dan Chukchi Siberia, telah dihubungkan dengan kepercayaan tentang suatu tempat tinggi bagi roh dari orang yang meninggal. Nyala dari timbunan kayu pembakaran mayat itu, menjulang ke atas, dianggap dapat memudahkan naiknya roh.3

Sementara kremasi masih merupakan cara pembebasan mayat yang lebih disukai dikalangan bangsa-bangsa primitif, kekurangan bahan bakar sering membawa orang untuk menggunakan cara-cara lain. Contohnya, orang-orang Chukchi sering menggunakan cara membiarkan mayat itu, sedangkan orang-orang Koryak, yang hidup lebih jauh ke daerah selatan, mengambil kremasi bila dapat dilakukan, tetapi melemparkan mayat mereka itu ke dalam lautan dari sebuah batu yang curam apabila kekurangan bahan bakar.

Dalam zaman sutra pun, acara penyelesaian jenazah sebagaimana dalam kitab-kitab Aranyaka dan kitab Yajur Weda, acara itu disebut dengan istilah

―Pitrimedha‖ atau upacara untuk membahagiakan orang-orang yang telah

meninggal. Mantra-mantra umumnya diambil dengan ayat Rg Weda. Acaranya lebih mendetail dan lebih sistematik dengan berbagai bentuk rituil sebagai pelengkap acara. Diantara kitab-kitab yang memuat acara itu, kitab Hiranyakesi Grhiyasutra adalah kitab yang paling banyak dianut dan tersebar pemakaiannya,

3

(10)

sampai ke Indonesia dalam bentuk gubahan sastra. Acara inilah yang kemudian disistimatisir disesuaikan menurut tradisi tempat setempat.4

Kremasi dalam perkembangan selanjutnya telah menjadi cara penyelesaian mayat yang paling populer,5 bahkan dengan perkembangan sifat dan sosial ekonomi masyarakat, upacara pembakaran mayat tidak lagi merupakan satu tradisi rutin tetapi merupakan proyek prestise dengan segala kemegahannya. Kejadian-kejadian yang dapat kita amati seperti yang terjadi di kalangan umat Hindu di Bali.6

Lebih dari itu, pembakaran mayat menjadi tradisi dan diizinkan dalam hukum positif, bahkan merupakan sebuah kewajiban dalam hukum agama sebagaimana halnya yang membudaya dalam agama Hindu. Hal ini mempunyai arti kejiwaan yang mendalam di samping mempercepat proses pemulangan atau penyelesaiannya. Secara ekonomipun acara ini akan lebih menguntungkan dari acara lainnya dan karena itu oleh masyarakat Hindu di Bali telah dikeluarkan anjuran kepada masyarakat Hindu untuk menempuh acara pembakaran seketika (Swastha).

Dari aspek kejiwaan, pembakaran lebih mempercepat proses penyelesaian ikatan batin yang ditinggal, sehingga baik yang ditinggal maupun yang meninggal tidak merasakan adanya rintangan batiniah misalnya karena merasa punya kuburan, terpaksa pula hari-hari tertentu harus pergi berkunjung untuk melakukan terpana. Inilah yang disebut ikatan batin yang dapat mengganggu itu. Lain halnya

4

Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 30. 5

Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 26. Uraian tentang acara pembakaran ini dijelaskan pula dalam kitab Grhya sutra. Kebiasaan ini bersifat wajib dijaman Weda.

6

(11)

dengan mayat dibakar, begitu habis dibakar dan dibuang abunya ke laut, selang beberapa hari kemudian pikiran kita sudah terbebaskan oleh ikatan-ikatan itu.

Berdasarkan analisa itu, secara ilmiah perlu pula diusahakan pembuktian tentang kebaikan pembakaran mayat itu didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan agama.

Dalam perkembangan agama Hindu selanjutnya dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan setempat, penyelesaian mayat orang meninggal—kremasi dalam sebutan lainnya,—dalam tradisi umat Hindu di Bali lebih populer dan biasa disebut dengan istilah Ngaben.

Bagi umat Hindu—khususnya di Bali—Ngaben atau pembakaran mayat kemudian berkembang dengan pelbagai sajen dan alat-alat upakara sebagai sarananya. Ini pun tidak hanya menggambarkan sebagai sebuah kebutuhan mutlak untuk mengantar arwah ke tempat yang membahagiakan yakni tatkala bersekutu dengan Sang Hyang Widi. Lebih dari itu, tradisi atau ritual Ngaben di Bali dengan aneka upakara dan upacaranya bukan hanya sebagai ritual keagamaan, melainkan juga menjadi proyek prestise dengan segala kemegahannya.

Ngaben sebagai ritual keagamaan di Bali merupakan bagian dari Pitra Yadnya7, yakni sebagai upacara keagamaan yang diadakan untuk menyelenggarakan jenazah keluarga yang meninggal dengan menggunakan

(12)

berbagai sesajen dan upakara di dalamnya. Melakukan Pitra Yadnya ini merupakan sebuah kebutuhan mutlak dan kewajiban (swadharma).8

Tegasnya, Ngaben yang merupakan salah satu bentuk upacara Pitra Yadnya memiliki sasaran yang cukup luas yang tidak hanya bagi roh orang tua atau leluhur, melainkan untuk segenap roh keluarga yang meninggal. Namun ada pula maknanya yang sempit, yakni hanya bermaksud pengorbanan dalam bentuk upacara-upakara yang tidak merangkum pengorbanan dalam wujud lainnya.

Jadi, Ngaben dalam kepercayaan umat Hindu di Bali disebut sebagai upacara pembakaran mayat yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta9 kepada asalnya. Artinya, setiap manusia terdiri dari unsur atau elemen pratiwi (zat tanah, serba keras atau padat), apah (zat air atau yang cair), teja (zat panas dan cahaya), bayu (udara), dan akasa (ether).

Kendatipun demikian, Ngaben yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya terdiri dari beberapa jenis yang pelaksanaannya beranekaragam berdasarkan tempat, tradisi dan kemampuan yang ada dalam pelaksanaannya. Jadi, ada tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menggelar yadnya, yakni Ngaben Nista (kecil/biasa), Madya (sederhana) dan ngaben Sarat (utama).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dengan melihat dan membaca latar belakang masalah di atas, maka Penulis akan berusaha membatasi penulisan skripsi ini pada Ngaben Sarat tidak terkait

8

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 3-5

9

(13)

dengan tingkatan ngaben lainnya (nista dan madya) dan Relevansinya Di Masa Kini. Hal ini dimaksud demi menjaga fokus utama dari pokok pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Lebih dari itu, pada prinsipnya agar tidak menyimpang dari tujuan pokok penulisan skripsi ini sendiri.

Pembakaran mayat (baca: ngaben) dalam kepercayaan agama Hindu di Bali merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan secepat mungkin. Sekaligus juga memiliki beberapa tingkatan ataupun jenis-jenis ngaben yang memerlukan penjelasan tersendiri dan memiliki keunikan yang menarik perhatian.

Maka, untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas atau dikaji dalam penulisan skiripsi ini, maka kemudian Penulis dirasa perlu untuk merumuskan permasalahan yang akan dieksplorasi secara komprehensif dan elaboratif kedalam pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Ngaben Sarat dan Adakah Relevansinya Terhadap perkembangan Umat Hindu di Bali Masa Kini? C. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi yang dilakukan secara sungguh-sungguh, elaboratif dan diharapkan sesuai standar keilmiahan ini memiliki beberapa tujuan. Tujuan utama penulisan skripsi ini untuk mengeksplorasi sebaik mungkin judul skripsi ini agar kemudian para Pembaca bisa dengan mudah dan benar mengetahui dan memahami apa dan bagaimana yang dimaksud dengan Ngaben Sarat dalam kepercayaan umat Hindu di Bali.

(14)

apalagi memiliki kaitan yang mendalam dalam kepercayaan keberagamaan masyarakat Hindu di Bali. Dan adakah relevansinya bagi umat Hindu di Bali masa kini yang mulai memiliki kehidupan modern dan disibukkan dengan kegiatan individu yang begitu padat.

Bagi para penggiat dan pengkaji agama khususnya dalam hal tema-tema perbandingan agama, penulisan dan penelitian skripsi ini bisa dijadikan pijakan awal atau bahan dasar untuk pengembangan lebih lanjut dan jauh. Sekaligus juga penulis berharap dapat menyumbangkan pemikiran dalam rangka menambah wacana dan memperkaya horizon Ilmu Perbandingan Agama itu sendiri.

Secara akademis penulisan skripsi ini memiliki tujuan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah studi kepustakaan (library research). Artinya, penelitian yang dilakukan oleh Penulis hanya dengan cara membaca, mempelajari, membedah dan meneliti buku-buku dan ensiklopedi semaksimal mungkin sesuai dengan data yang dibutuhkan. Sekaligus juga menggunakan sumber lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, semisal majalah-majalah ataupun sejenisnya.

(15)

Di samping itu, selain menggunakan metode studi kepustakaan, penulis juga melakukan atau menambahkan wawancara (interview), yaitu mengumpulkan data dengan wawancara langsung tiga tokoh Hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun yaitu pada tanggal 26 Oktober 2011dengan Bapak Dewa Ketut Suratnaya (Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara) dan pada tanggal 30 Oktober 2011 dengan Bapak I Ketut Bantas (Ketua Persatuan Hindu Dharma Indonesia) dan Bapak Firdaus (konselor PHDI) yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang akan penulis kemukakan.

Keilmiahan dalam penulisan skripsi dan demi hasil yang akurat dan baik sangat bergantung pada metode dan tehnik yang digunakannya. Jadi, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis.

Deskriptif yang dimaksud oleh penulis yaitu metode penulisan yang (berusaha) menggambarkan atau menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini menurut apa adanya secara jelas dan detail tanpa mengurangi ataupun menambahkannya.

Kemudian dilanjutkan dengan metode analitis kritis yang artinya memberikan uraian-uraian kritis dan sistematis terhadap pokok-pokok pembahasan dan permasalahan tanpa adanya upaya untuk memberikan penilaian tertentu terhadap pembahasan skripsi ini. Hal ini dimaksud demi menghasilkan alur yang jelas dan sistematis.

(16)

(Makalah, Skripsi, Tesis,dan Disertasi) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dan pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab sebagaimana berikut:

Bab Pertama berisi Pendahuluan antara lain: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua menjelaskan tentang Ngaben Dalam Ajaran Hindu antara lain: Pengertian dan Tingkatan Ngaben, Landasan Umum dan Landasan Khusus.

Bab Ketiga adalah Bab yang akan menjelaskan secara elaboratif, eksploratif-komprehensif mengenai Ngaben Sarat dan Relevansinya yang meliputi: Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat, Landasan Filosofis Ngaben Sarat, Upakara dan Upacara Ngaben Sarat, sekaligus Relevansi Ngaben Sarat di Masa Kini.

(17)

BAB II

NGABEN DALAM AJARAN HINDU

A. Pengertian dan Tingkatan Ngaben

Ada yang mengira perkataan Ngaben yang kita kenal di Bali berasal dari kata ngaba+in yang menurut bahasa Bali berarti, membekali atau memberi bekal. Sudah tentu dalam hal ini bekal yang dimaksud dapat berbentuk materi yang diwujudkan dalam upakara-upakara dan benda-benda materi lainnya, dan juga bekal immateriil yang berwujud puja Mantra dari Ida Pedanda serta doa-doa dari sanak saudaranya.10

Dari kata Ngaben yang berarti membekali inilah mungkin timbul anggapan yang mengarah kepada pembuatan upacara besar-besaran sebagai perwujudan rasa terima kasih dan hormatnya kepada alamarhum. Disamping itu terselip suatu anggapan atau pandangan yang seolah-olah orang yang meninggal itu memerlukan bekal sebanyak-banyaknya dalam perjalanannya kedunia sana.

Perkiraan yang lebih tepat asal kata mengenai Ngaben itu dikira dari kata abu. Dari kata abu lalu menjadi ngabu-in dan disingkat menjadi Ngabon. Kata Ngabon ini mengandung arti bahwa mayat itu justru dibakar agar mnenjadi abu. Kemudian kata Ngabon ini berubah menjadi kata Ngaben. Bagi masyarakat Jawa dan Bali yang mengenal kromo inggil, yaitu bahasa kasar dan halus, bila mereka merubah kata-kata dari kasar ke halus cukup dengan cara mengubah beberapa

10

(18)

huruf saja contohnya: ngonkon (kasar) –ngenken (halus), metakon (kasar) – metaken (halus), ngabon (kasar) –Ngaben (halus).11

Dalam istilah lain disebutkan bahwa Ngaben berasal dari kata beya12 artinya biaya atau bekal. Beya berarti bekal ini berupa jenis upakara yang diperlukan dalam sebuah upacara Ngaben. Kata Beya yang berarti bekal, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa Bali. Orang yang menyelenggarakan beya dalam bahasa Bali disebut meyanin. Kata Ngaben, meyanin, sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wedhana.13

Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya14—yang disebut-sebut dalam lontar—adalah atiwa-atiwa atau Malebuang.15 Kata atiwa ini pun belum dapat dicari asal usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia). Upacara sejenis ini (baca: atiwa-atiwa) juga bisa dijumpai pada suku Dayak, di Kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak dikenal dengan sebuthan tibal, untuk menyebutkan upacara setelah kematian.

Upacara Ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok Ngaben di Bali. Yakni tirta pangentas yang berfungsi

11

Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben, h. 3-4. Lebih lanjut Cudamani menjelaskan bahwa dalam lontar-lontar penyelesaian mayat itu dikenal dengan istilah atiwa-atiwa. Pengertian atiwa-atiwa sudah mencakup pengertian apakah upacara itu berbentuk utama (besar-besaran), madya (sedang) ataupun nista (sederhana).

12

Kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. 13

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 21.

14

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 21-22. 15

(19)

untuk memutuskan hubungan kecintaan sang Atman (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atman ke alam Pitra.

Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, Ngaben itu disebut Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.

Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.

Dalam literatur lain disebutkan bahwa Ngaben berasal dari bahasa Bali dari

asal kata ―api‖. Kata ―api‖ ini mendapat prefek sengau ―ng‖ dan suffik ―an‖, dari

kata api menjadi ―Ngapian‖. Setelah disandhikan menjadi kata: Ngapen. Aksara P,

B dan W adalah aksara satu warga. Dengan demikian hurup ―p‖ berubah menjadi

huruf ―b‖. Dari perubahan itu kata Ngapen menjadi kata Ngaben, yang artinya

menuju api.16

Dalam ajaran Hindu api itu lambang kekuatan Dewa Brahma. Dengan demikian Ngaben berarti menuju Brahma. Jadinya maksud dan tujuan upacara Ngaben adalah mengantarkan Sanghyang Atman menuju alam Brahman. Karena

16

(20)

kita berasal dari Brahman. Atman yang berasal dari Brahman ini dilambangkan dalam upacara Nyambutin oleh umat Hindu di Bali.

Berbagai pengertian Ngaben yang Penulis kemukakan di atas tidak berbeda dengan penjelasan salah satu Pandita yang Penulis wawancarai langsung bahwa:

“Ngaben itu istilahnya muncul hanya di Bali yang lain itu tidak dikenal

Ngaben, bahkan Hindu di India, di Jawa juga tidak dikenal Ngaben. Biasanya ada beberapa persepsi, yang pertama itu Ngaben bisa dikaitkan dengan api “ngapen”, ngapen itu menggunakan api untuk mengembalikan lima unsur, lima unsur itu yang membentuk tubuh manusia sewaktu hidup. Selama mati dia menjadi jenazah, jadi mayat, dia harus dikembalikan pada alamnya. Jadi unsur air dikembalikan kepada air, unsur tanah dikembalikan kepada tanah, unsur api dikembalikan kepada api, kemudian apa lagi, unsur udara dikembalikan kepada udara, dan unsur either dikembalikan kepada either.

Nah, proses tercepat untuk mengembalikan lima unsur pembentuk manusia ya dengan pembakaran jenazah sehingga menjadi abu, nanti abunya dibuang ke laut. Itu dianggap sudah kembali ke semua unsurnya. Unsur kembali ke alam.

Yang kedua, Ngaben itu diartikan sebagai ngabehin. Ngabehin itu biaya jadi menggunakan dan membutuhkan biaya atau banyak dana atau uang untuk proses itu dan Ngaben ini dikaitkan dengan Pitra Yajna. Pitra itu leluhur, Yajna upacara, jadi sebentuk penghormatan untuk leluhur itu sebetulnya. Dengan mempercepat mengembalikan lima unsur. Kemudian itu terkait dengan pembakaran jenazahnya, ya kremasinya sampai pembuangan abunya kelaut disebut Sawa Wedana. Itu proses untuk sawanya (badan kasar). Nanti setelah itu ada proses yang namanya Atma Wedana. Atma Wedana itu terkait bagaimana kita menuntun si roh supaya

pertama hubungan dengan dunianya putus. Jadi tidak ada hubungan dengan dunia lagi sehingga dia terpisah dengan kehidupan di dunia ini bahwa dia sekarang menuju sana menuju ke cahaya yang kita anggap sebagai cahaya Tuhan. Kesana arahnya untuk itu roh itu harus dituntun. Nah ini yang namanya atma wedana. Ini dilakukan oleh keturunan dari yang meninggal sebagai wujud bakti Dan penghormatan bahwa leluhur itu banyak membuat jasa kepada yang hidup. Sehingga ini dianggap kewajiban moral, kewajiban sebetulnya bahasa kasarnya utang padahal kewajiban sebetulnya bukan utang kalau saya bilang. Nah itu pemahaman Ngaben.

(21)

dibakar jenazahnya. Ada berapa daerah seperti Tabanan di dekat gunung Batu. Nah, itu secara keseluruhan Ngaben bisa dipahami seperti itu.

Secara umum ya Ngaben bisa dipahami. Ah tentu berbeda kalau misalnya di Jawa Ngaben itu tidak harus di bakar Karena orang Jawa katakanlah belum tega dia melihat orang tuanya, kakeknya dibakar utuh-utuh, secara seperti itu sehingga Ngaben di Jawa itu hanya menggunakan puspalingga. Jadi tidak dibongkar kalau di Jawa tidak dibongkar tapi kemudian ada ritual langsung pada Atman Wedana yang namanya

entas-entas. itu Ngaben persi Jawa. Kalau di India ga dikenal istilah Ngaben walaupun jenazah di bakar kremasi disana malah di India itu kelihatan lebih ekstrim.

Jadi kewajiban moral sebetulnya Ngaben itu jadi seperti itu. Nah caranya berbeda-beda kalau yang dikremasi ini mempercepat proses, ada yang dikubur namanya Ngaben juga. Di trunyan itu pake angin Ngabennya dibiarin aja sampai abis sendiri. Nah itu Ngaben lewat angin

Jadi pada prinsipnya, Ngaben atau meyanin adalah penyelenggaraan upacara untuk sawa (mayat) orang yang sudah meninggal. Selain itu, Ngaben merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara pitra yajna yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Mahabutha kepada asalnya.

Melaksanakan pitra yadnya merupakan sebuah kewajiban atau swadharma bagi umat Hindu. Begitu pula dengan upacara Ngaben yang merupakan bagian dari pitra yadnya, maka upacara Ngaben juga merupakan sebuah kewajiban untuk dilakukan. Ngaben ini merupakan langkah untuk menghormati leluhur dan merupakan suatu pembayaran utang kepada leluhur.

17

(22)

Dalam melakukan upacara Ngaben ada perbedaan tingkatan—tergantung tempat, tradisi dan kemampuan—dari segi penyelenggaraan dengan tujuan agar semua orang bisa menikmati dan memakai dengan pas sesuai dengan seleranya, dengan catatan harus sesuai dengan etika yang berlaku dan esensinya tidak berubah. Jadi, ada tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menggelar yadnya, yakni Ngaben Nista/Alit (kecil/biasa), Madya (sederhana) dan Ngaben Sarat (utama).18

Perbedaan ini muncul juga dikarenakan ada tuntutan dalam melaksanakan yadnya sebagaimana tertulis dalam lontar-lontar. Bahwa umat boleh memilih satu di antara tiga jalan pokok yang ditempuh, yakni nista, madya dan utama/sarat. Aneka sesajen dan upakara yang jumlahnya paling sedikit adalah yadnya pada tingkat nista. Yang lebih banyak ada pada tingkat madya dan yang paling banyak ada pada tingkat utama/sarat.

Artinya, tingkatan-tingkatan Ngaben yang muncul dalam realitas kehidupan masyarakat seperti halnya Ngaben pada tingkat Ngaben Ngirit/Ngelanus/Metandang Mantri, Ngaben Maprenawa/madya/sederhana, Ngaben Ngewangun/utama/sarat19 muncul di lapangan dari Pandita yang muput atau dari tukang Banten yang membuat Bantennya. Bahkan tiap-tiap Pandita memiliki pegangan Lontar tersendiri dan penafsiran sendiri tentang Upacara Pitra Yajna tersebut. Ada yang menggunakan Lontar Yama Tattwa dan sejenisnya, ada juga yang menggunakan Lontar Sunari Gama PeNgabenan.

18

Kata pengantar Wayan Supartha. S.H. dalam bukunya I Gusti Ketut Kaler, Ngaben:

mengapa mayat dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. xv-xvii.

19

Istilah-istilah Ngaben Ngerit (sederhana), Ngaben Maprenawa (menengah) dan Ngaben Ngewangun (besar) bisa diperjelas dalam bukunya Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna

(23)

Ngaben merupakan salah satu yadnya yang paling banyak ragamnya, baik dari besar-kecilnya biaya dan wibawa/prestis lahiriahnya. Dari segi banyaknya sesajen, ada Ngaben yang hanya menggunakan sesajen tiga sampai empat nyiru. Itu bagi yang ekonominya lemah atau orang yang ingin hemat-hematan. Tapi bagi mereka yang cukup berada atau yang ekonominya pas-pasan namun ingin hebat-hebatan, sesajennya bisa empat sampai lima truk. Dari segi biaya, ada yang hanya cukup mengeluarkan ratusan ribu sampai yang ratusan juta rupiah.

Perbedaan tingkatan Ngaben ini demi menjawab beranekaragamnya penjelmaan manusia atau keadaan umat manusia selaku subyek yang akan beryadnya. Tidak saja bermacam-macam dalam hal bakat, kecerdasan, selera dan lainnya, melainkan pula dalam hal kedudukan dan kemampuan materian/ekonomi dalam masyarakat. Ada yang raja, menteri, punggawa, rakyat jelata dan ada pula yang kaya, setengah kaya, sedang-sedang saja, sampai yang gelandangan.20 Artinya, tingkatan ini diadakan agar umat manusia dapat menempuh jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya masing-masing.

Perbedaan itu bisa muncul dalam melaksanakan yadnya sebagaimana tertulis dalam lontar-lontar. Bahwa umat boleh memilih satu di antara tiga jalan pokok yang ditempuh, yakni nista, madya dan utama. Dalam bahasa Indonesia, istilah-istilah ini lebih diartikan kecil, menengah dan besar.21

Bahkan tiga macam jalan itu bisa dirinci menjadi sembilan macam, dengan mengadakan tiga jenis jalan pula bagi setiap macamnya. Jadi dalam kelompok nista ada jenis nistaning nista, madyaning nista dan utamaning nista. Begitu pula

20

Lontar Wrehaspati Tatwa yang dikutip oleh I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h. 37.

21

(24)

pada kelompok madya, mempunyai nistaning madya, madyaning madya dan utamaning madya. Begitu pula bagi kelompok utama ada nistaning utama, madyaning utama dan utamaning utama.22 Hal ini kemudian mudah dibayangkan, bahwa macam sajen dan upakara yang jumlahnya paling sedikit adalah yadnya pada tingkat nista. Yang lebih banyak ada pada tingkat madya dan yang paling banyak ada pada tingkat utama.

Kendatipun demikian, sukses atau gagalnya suatu Pitra Yadnya tidak bisa diukur dari penampilan luarnya. Misalnya jumlah bantennya yang besar dan banyak, badenya yang tinggi bagaikan menara pencakar langit, jumlah orang yang terlibat di dalamnya, jumlah dan kualitas tamu-tamu yang hadir. Upacara yang memakan biaya mahal, tanpa dilandasi pikiran bersih bisa digolongkan gagal. Kualitas manusia itu sendiri yang menentukan dalam sebuah upacara tersebut, bukan sekedar kuantitas alat-alat yang dipakainya.

Namun, sebuah yadnya besar dengan dana besar tidak salah bila betul-betul dilandasi ketulusan suci dan kesungguhan. Bahkan perlu dikecam bila orang-orang yang hidupnya kaya raya tapi menggelar Pitra Yadnya dengan upacara kecil dengan maksud menghemat. Pitra yadnya harus dirasakan sebagai sebuah pengorbanan. Orang yang punya deposito beratus-ratus juta rupiah, tentu akan tidak merasa menanggung beban, bila upacara Pitra Yadnya-nya hanya menghabiskan ratusan ribu rupiah.

Dengan demikian, jelas tidak perlu adanya keseragaman dalam hal besar kecilnya bentuk upacara Pitra Yadnya. Bisa dicontohkan dengan sebuah baju yang

22

(25)

ukuran dan warnanya sama tentu tidak pas bila dipakai oleh semua orang. Jadi, memang harus ada perbedaan agar semua orang bisa memakai dengan pas sesuai dengan seleranya. Tentunya saja harus sesuai dengan etika yang berlaku dan esensinya tidak berubah.

Artinya, keanekaragaman kemampuan ekonomi, serta yadnya itu agar terasa

sebagai ―beban‖, tetapi beban yang dapat dipikul. Para maha resi kemudian

mengadakan jenis nista, madya, utama. Jenis itu diadakan, agar semua umat dapat menempuh jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya masing-masing.

Maka dari itu, upacara pitra yadnya (baca: Ngaben) yang merupakan sebagai sebuah kewajiban haruslah dirasakan sebagai beban (yang dapat dipikul).

Beban dalam arti ada rasa pengorbanan, bukan dalam arti ―menyiksa diri‖.

Bukanlah melakukan yadnya atau pengorbanan namanya bagi mereka yang standar pengeluarannya perhari ala tarif hotel internasional kalau upacara yang dipikulnya hanya menghabiskan dana senilai dua kuintal beras. Pengeluaran

―sekecil‖ itu, tentu tidak terasa sebagai beban di pundak mereka.

Jumlah biaya atau besarnya sesajen bukan ukuran untuk tuntasnya sebuah yadnya. Bila bernama Ngaben dan telah memenuhi syarat esensial, maka upacara Mretaka Sawa itu sudah boleh dikatakan tuntas dalam arti puput. Tinggal hanya melanjutkan ke upacara Atman Wedana.

(26)

itu sendiri. Kendatipun berbeda-beda dalam tingkatannya, upacara Ngaben itu tetap punya nilai yang sama dari segi spritual religius.

B. Landasan Umum

Landasan umum ini merupakan landasan pokok Ngaben yang terangkai dalam lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan, antara lain:

1. Ketuhanan/Brahman

Brahman adalah salah satu sebutan yang digunakan dalam upanisad untuk menamakan Tuhan Yang Maha Esa atau Pencipta Alam Semesta. Dalam kepercayaan Hindu, Brahman ini merupakan asal muasal terciptanya alam semesta beserta isinya. Alam semesta ini seperti; planet, bintang tumbuh-tumbuhan, manusia, serta benda mati yang disebut benda mati, yang berasal dari tuhan dan akan kembali kepada tuhan bila saatnya tiba. Cepat atau lambat alam semesta beserta isinya akan lebur menjadi satu dengan tuhan (amor ing acintyaa). Dengan kata lain, Brahman ini merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan. Kebahagiaan terakhir umat Hindu adalah bersatunya jiwa (atman) dengan Brahman yang disebut moksa. Berdasarkan keyakinan inilah, upacara Ngaben dilakukan dengan maksud untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan alam semesta termasuk manusia ke asalnya yaitu Brahman.23

Landasan ini juga diperjelas oleh Bapak I Ketut Bantas, Beliau mengatakan bahwa:

23

(27)

“Ada yang perlu diketahui dulu yaitu pokok-pokok ajaran Hindu. Pertama Hindu yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa disebutnya Brahman. Brahman ini sumber dari segala yang ada di alam semesta ini termasuk adanya manusia ini. Itu keyakinan yang pertama. Yang kedua Hindu yakin yang namanya atman. Atman itu adalah kalau kita menggunakan istilah kekuatan yang menghidupkan setiap mahkhluk hidup termasuk manusia. Manusia hidup karena ada atman di dalam dirinya. Atman ini sumbernya adalah dari Tuhan.

Dalam Hindu Tuhan itu adalah Brahman. Atman itu sumbernya dari Brahman, jadi sumbernya dari Brahman. Jadi begitu terjadi pembuahan dalam janin Brahman masuk ke dalam atman sehingga embrio itu hidup. Nah kalau sudah hidup kenyataannya kita tidak bisa mengelak kita pasti berbuat sesuatu bekerja action gitu ya. Nah dalam keyakinan Hindu hidup adalah bekerja, berbuat. Setiap perbuatan itu membawakan pahala membawa hasil, hasilnya dua macam baik dan buruk. Baik atau buruk ini yang mengantarkan kita ke surga atau neraka, kalau baik dan buruk ini bisa diatasi artinya dia bisa menjadi pintar atau manusia yang mempunyai keyakinan kuat kepada Yang Maha Esa dan dia sadar bahwa Atmanya sendiri bersumber dari Brahman dia akan berbuat begitu rupa, menghindari hal-hal yang bersifat keburukan kalau bisa dia capai, dia akan bisa kembali ke Brahman. Kita akan kembali ke Brahman yang kembali kepada Brahman ini adalah atman.

Di kala orang mati badan jasmani tertinggal di dunia ini dia kembali kepada tanah itu adalah Atmanya saja atau roh itu. Yang berasal dari bumi kembali kepada bumi yang berasal dari Brahman itu ya harus kembali ke Brahman. Untuk kembali kepada Brahman dalam proses yang cepat itulah diadakan upacara Ngaben. Jadi dalam proses yang cepat, proses yang cepat maksudnya badan yang tertinggal itu begitu Atmanya mati manusia mati Atmanya lepas dia lihat badannya tergeletak begitu, tapi dia masih sayang dengan badannya, masih muda ko mati sayang terikat badannya itu mau pergi masih ada, supaya dia bebas badannya, badan inilah yang di aben. Jenazahnya ini dikremasi untuk kembali kepada sumbernya lagi. Badan ini menurut keyakinan Hindu berasal dari unsur tanah, unsur air, unsur angin, unsur api, unsur either. Dengan dibakar lima unsur ini kembali kepada sumbernya secara cepat, nah kalau itu sudah kembali

secara cepat atman ini bebas dia tidak lagi tertikat dengan dunia “waduh

badan saya masih di kuburan” apakah dia akan ke neraka karma-karmanya

nanti akan menghadap ke pencipta karena karmanya. Jadi dia mendapat kebebasan setelah badan jasmani kembali ke unsurnya.

(28)

Karena ia masih menungguin badannya tapi kalau itu tidak ada dia bebas pergi kemana. Nah jadi itu prinsipnya dari Ngaben mengembalikan unsur badan ini secara cepat kepada asalnya. Jadi secara kilat prinsip pemahaman Ngaben itu mengembalikan unsur jasad seperti itu.”24

2. Atman

Atman berada pada masing-masing badan manusia. Ialah yang menghidupkan manusia. Dan Atman ini merupakan serpihan atau setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu saat setelah tiba waktunya, Ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, maka dari itu atman perlu disucikan. Berkenaan dengan hal ini maka diperlukan upacara Ngaben.

“Dalam ajaran Weda itu mengatakan begini, manusia diciptakan dari

tidak ada menjadi ada maka dia harus kembali lagi ke tidak ada. Nah untuk kembali ke tidak ada itulah supaya atman itu bisa kembali dengan cepat dilakukan upacara Ngaben. Nah, jadi weda itu mengajarkan begitu sumbernya dari tidak ada kembali ke tidak ada seperti itu. Hanya saja kalau dalam Hindu proses kembali cepat itu dengan Ngaben kalau tidak di aben gimana gitu ada yang terlupakan nah itu pasti ada kan itu nah nanti itu akan hancur sendiri akan kembali kepada sumbernya.

Nah, kalau di Bali ada tradisi begini untuk hal-hal seperti itu pake aja istilahnya pengeluatan terus diangkat harus diangkat gitu ya setiap periode mungkin lima tahun sekali di areal yang ada kuburan yang ada diadakan upacara pembersihan. Kalau kita berbicara diangkat itu sama entas-entas model di jawa. Jawa itu ga dibakar jenazahnya, tapi yang diupacari Atmanya/rohnya itu yang diangkat setelah seribu hari namanya entas-entas biasanya itu Ngaben juga namanya. Karena sudah mengangkat dari katakanlah asalnya mereka tidak tau kan mereka di alam kubur ya dari kubur walaupun tidak tau pasti mati dalam kubur apa tidak matinya pasti yang menghidupkan belum tentu. Sebab kalau di Hindu tuh gini manusia itu dua unsur saya kan bilang badan jasmani dan roh.

Tapi ada istilah lain itulah nama dan rupa. Kalau rupa tuh keliatan ada yang jangkung, ada yang cebol, ada yang pendek, cakep tapi nama yang mana namanya itu ini kepala, ini dada, ini perut nah namanya yang mananya itu. Itulah nama yang menghidupkan dia itu yang ada dianggap sebagai nama karena nama ga bisa keliatan badannya yang ke liat. Nah nama dan rupa itu menyatu hidup nah makanya kalau dalam istilah militer ada latihan-latihan serius jangan sampe diadakan juga tempat pulang nama

24

(29)

penyatuan nama yang dibilang gagal berhasil tapi ya namanya aja yang terlihat badan ini dan ga terlihat namanya itu. Yang dikasih nama itu ya

rohnya itu.”25

3. Karma

Upanishad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk pada karma, baik manusia, binatang, maupun tumbuhan-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat dari perbuatan sebelumnya. Menurut Harun Hadiwijono, ajaran karma ini berakar pada ajaran rta dalam agama weda purba. Pada agama Brahmana, yang memusatkan perhatian pada korban, rta mempunyai arti yang sama dengan korban atau yajna. Tiap-tiap upacara korban membawa berkahnya sendiri. Karena itu dapatlah dikatakan ajaran tentang rta dan yajna ini memberi isyarat ajaran tentang karma. Atau, kalau dikaitkan dengan ajaran tentang kelahiran kembali maka kelahiran kembali itu ditentukan oleh keseimbangan relatif yang ditentukan oleh amal perbuatan baik atau buruk pada masa-masa sebelumnya. Orang akan menjadi baik atau buruk hanyalah karena karmanya sendiri.

Hubungan antara ajaran tentang karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau perpindahan jiwa merupakan hal yang penting dalam ajaran upanisad. Vamadewa telah mengembangkan ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau karmanya. Setelah ia mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia. Barang siapa berbuat baik ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang baik, dan sebaliknya, barang siapa

25

(30)

berbuat jelek atau jahat ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang jahat. Karena itu manusia itu perlu dilahirkan kembali berulang kali di dunia supaya perbuatan-perbuatan buruknya dapat tertebus. Hanya atman yang mulia dan tinggi yang sudah tahu akan maya saja mampu mengatasi hukum karma dan mencapai kebebasan serta lepas dari samsara.26

Manusia hidup tidak lepas dari kerja. Kerja itu atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha Karma), akan mandapatkan pahala yang baik pula. Sebaliknya apabila kerja buruk (Asubha Karma), maka akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan merupakan beban bagi atman yang akan kembali asalnya. Lebih-lebih karma yang buruk. Ia merupakan beban atman yang akan menghempaskan ke alam bawah (neraka). Oleh Karena itu, manusia perlu membebaskannya. Hal inilah yang menyebabkan perlunya diadakan upacara Ngaben yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu

4. Samsara

Upanishad juga mengajarkan tentang samsara, yaitu bahwa kehidupan bukan saja akan berakhir dengan kematian, tetapi kematian pun akan berakhir dengan kehidupan. Artinya, yang hidup akan mati dan yang mati akan hidup lagi, demikian seterusnya. Tinggi rendahnya kehidupan yang kemudian tergantung pada karma. Perbuatan baik yang lebih banyak daripada perbuatan buruk akan

26

(31)

mengakibatkan karma yang baik sehingga kehidupan baru itu pun akan lebih baik daripada kehidupan yang sebelumnya.

Samsara adalah perputaran kelahiran kembali. Hanya manusia yang telah mencapai Atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa. Orang semacam ini akan terlepas dari keterikatannya dengan proses ulang kelahiran kembali atau samsara. Untuk dapat lepas dari samsara ia harus menghancurkan dan menumpas keinginan-keinginannya, yaitu dengan mengetahui bahwa Atman dan Brahman sehingga dapat sampai pada pengetahuan yang sejati (jnana). Barang siapa mencapai tingkatan ini ia akan mencapai moksa, yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukti.27

Samsara artinya penderitaan. Atman lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Akan menjadi sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara Ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atman supaya dapat kembali ke asalnya.

5. Moksa

Moksa merupakan tujuan ahkhir dari agama Hindu atau bisa dikatakan bahwa moksa ini adalah kebahagiaan abadi yang menjadi tumpuan harapan semua umat Hindu. Moksa diartikan sebagai suatu istilah untuk menyebutkan kalau

27

(32)

roh manusia telah kembali dan menjadi satu dengan tuhan.28 Jadi, Atman rindu kembali kepada Brahman atau bisa dikatakan manusia itu selalu rindu dan ingin kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan. Di mana roh tidak mengalami kelahiran kembali, artinya bebas dari inkarnasi serta mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yaitu kebahagiaan tanpa wali duka. Demi tercapainya moksa itu, maka atman harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah yang menjadi konsep dasar upacara Ngaben, memukur dan terakhir ngalinggihing dewa hyang sanggah kamulan atau ibu dengen. Hal ini mengandung arti Atman bersatu dengan sumbernya (kamulan kawitan) atau dengan kata lain mencapai moksa. selain itu juga Ngaben ini merupakan langkah untuk mempercepat proses moksa.

Meskipun adanya, namun moksa belum tentu bisa dicapai dengan Ngaben. Hal ini sesuai dengan penjelasan Bapak Dewa Ketut Suratnaya:

“kalau berbicara moksa tanpa dibakar pun orang akan bisa moksa.

Moksa itu kan kembali dikaitkan dengan karma dan kemudian ini juga kalau kita membicarakan moksa maka kaitannya dengan reinkarnasi. Reinkarnasi itu katakanlah orang jawa mengatakan itu menitis, penitisan orang Bali bilang mesurye, meteje kemudian reinkarnasi purnabawa seolah-olah kalau orang itu mati sebetulnya dia justru pada saat mati. Setelah mati ia mulai kehidupan baru hanya dia akan ganti badan sesuai dengan karmanya gitu. Kalau dia masih punya katakanlah karma baiknya masih karma buruknya lebih besar daripada karma baiknya maka dia harus menuntaskan dengan kehidupan yang berikutnya dan karma-karma ini hanya bisa diselesaikan kalau dia hidup lagi dia punya badan baru lagi dimulai lagi dari nol dia seperti itu.

Nah, kalau moksa ini kan pelepasan artinya kalau orang udah nol karmanya maka dia tidak ada alasan untuk lahir lagi. Maka dia di sana ia akan berada di alam Tuhan moksa itu sebetulnya. Tidak bisa diartikan

28

(33)

sebagai penyatuan seperti air dengan api seperti kita misalnya 2 atau 3 orang menyatu blek. Kita bayangkan moksa seperti air sungai yang mengalir ke laut ketika mengalir di laut kita tidak akan bisa memisahkan lagi tapi ada di sana seperti itu.

Dan orang yang diaben itu belum tentu semua moksa. Tergantung karmanya dan pengabenan itu tidak mutlak bisa membebaskan semua roh-roh itu menjadi moksa. Tidak bisa Belum tentu, tergantung karma yang menentukan dan upacara itu kan sekedar sebuah upaya dan dianggap sebagai kewajiban dari keturunannya untuk menyelesaikan membantu. Karena bagiamana pun juga roh itu bodoh dia membutuhkan tuntunan butuh seperti itu.

Jadi, moksa sebetulnya bukan karena diaben, tidak bisa kita katakan bahwa orang yang di aben pasti moksa walaupun tujuan agama Hindu akhirnya adalah moksa. Ya moksa itu artinya kita tidak terbatas ruang dan waktu dan kita tidak kena proses di alam manapun artinya kita tidak kena proses misalkan kalau panas tidak kepanasan, dingin tidak kedinginan dan kita bisa berada di mana saja si roh ini jadi tidak ada lagi ruang dan waktu yang membatasi dia, itu yang kita maksudkan dengan moksa. Walaupun istilahnya roh penyatuan dengan Tuhan.

Demikian juga konsep moksa ini penyatuan atman dengan Brahman, atman dengan Tuhan jangan diartikan lalu luluh lebur menyatu bisa saja kita menyatu. bisa saja kita menemukan sesuatu kebesaran pelepasan itu juga sudah termasuk moksa.

(34)

kepada wujud kuasa Tuhan atau dewa-dewa dan hutang kepada Tuhan itu

sendiri. Jadi ga menjamin itu hanya sebuah upaya.”29

C. Landasan Khusus

Landasan khusus ini merupakan landasan filosofis dari Ngaben. Secara filosofis mayat harus dibakar atau melaksanakan swadharma (kewajiban), dikarenakan pitra yadnya merupakan suatu upacara keagamaan. Maka sebuah keluarga yang melaksanakan upacara ini adalah berdasarkan ajaran agama.30

Tegasnya, upacara ini bukanlah sekedar tradisi yang hambar begitu saja. Tradisi ini adalah suatu tugas suci, swadharma atau kewajiban yang mutlak, karena sudah merupakan hutang. Artinya, ajaran atau upacara itu mengandung makna bahwa setiap orang bukan main besar hutangnya. Apalagi kalau yang diupacarai itu adalah orang tua, ayah atau ibu, kakek dan garis lurus ke atas, maka bobotnya selaku dharmaning santhana sangat dirasakan oleh anak atau keturunannya.

Hal ini disebabkan karena pengikat utama yang menunggalkan sekelompok keluarga terutama yang mempertautkan anak-anak dengan orang tua atau

leluhurnya adalah ―tali sutra‖ yang maha halus yang bernama cinta kasih. Cinta

kasih yang dalam batas tertentu itu begitu kuat, sampai-sampai meluluhkan ―aku‖

menjadi ―kami‖. Bahkan dalam banyak hal, urutannya pun menjadi ―kami‖,

susudah itu baru ―aku‖. Dengan kalimat lain, kepentingan keluarga kami

didudukkan jauh lebih di atas daripada kepentingan seseorang (akunya). Tali kasih

29

Hasil wawancara langsung dengan Bapak Dewa Ketut Suratnaya Sebagai Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara pada tanggal 26 Oktober 2010. lihat pada lampiran II.

30

(35)

yang halus ini dipupuk dan dipersubur pula dengan ditanamkan ajaran tatwaning dumadi, menurut tatwa agama.31

Ajaran itu mengandung makna, bahwa setiap orang bukan main besar hutangnya. Pada mulanya, ketika kita berada di rahim ibu, tubuh kita hanya sekedar dua sel yang teramat kecil. Kita sudah mempunyai utang yang besar kepada orang tua sejak berada di rahim ibu. Kita berhutang kepada ayah karena kama putih-nya (sperma), dan kita berutang kepada ibu karena kama bang-nya (ovum). Ibu melahirkan kita dengan susah payah, menahan rasa sakit yang tidak terperikan. Selanjutnya kita diberi susu baik ASI maupun susu kaleng dan berbagai zat yang lain, sehingga badan kita tumbuh menjadi besar.32

Menurut Agama Hindu, manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Dan manusia itu terdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atman (Roh).33

Pada hakikatnya, setiap stula sarira (jasad) makhluk (manusia) terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang

31

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 6.

32

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h. 6. 33

(36)

ada di sekitar kita. Semuanya berasal dari unsur atau elemen yang sama, yaitu Panca Maha Butha.34

Jadi, ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri pratiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Pratiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat. Apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah either, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.35

Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut : sari-sari Panca Maha Butha yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas), Ksaya (sepet) dan Lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia (laki dan perempuan). Didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang (Ovum/sel telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas (kakere) dan ari-ari.36

Disamping Panca Maha Butha yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Butha itu. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira, yakni

34

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 7. Penjelasan detail tentang Panca Maha Butha juga bisa dilihat dalam penjelasan Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 22-26.

35

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 23. 36

(37)

Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atman (roh) yang akan pergi ke alam pitra.

Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atman akan pergi meninggalkan badan. Atman yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atman (roh).

Untuk tidak terlalu lama atman terhalang perginya, perlu badan kasarnya diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya di alam, yakni Panca Maha Butha. Demikian juga bagi sang atman perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.

Sejatinya, dari Pancamahabutha setiap orang memperoleh pinjaman zat-zat

yang membuat setiap orang hidup, hingga dari ―mereka‖ setiap orang berhutang.

(38)

selaku pihak berhutang. Sebagai utang, maka tentu saja menjadi beban moral yang pada saatnya nanti harus dibayar lunas hingga terhapuslah beban itu.

Selama masih hidup, kita tentu berusaha mempertahankan badan kasar ini. Penyebabnya, karena dianggap begitu penting meski benda itu pinjaman. Merupakan sebuah kewajaran dan keharusan dalam menjaganya. Namun ketika tubuh kasar ini tidak diperlukan lagi karena tidak berfungsi lagi, unsur-unsur stula sarira itu harus dikembalikan kepada pemiliknya atau asalnya semula, yakni Sang Pancamahabutha. Dengan kata lain, sawa harus dipercepat dihancurkan, hingga masing-masing unsurnya kembali menunggal dengan asalnya.

Sederhananya, orang yang meninggal tidak dapat berinisiatif untuk mengembalikan bahan tubuhnya kepada Sang Pancamahabutha. Itulah sebabnya, sebagai anggota keluarga yang hidup membantu secepatnya mengembalikan utang itu. Apalagi, yang wafat itu, orang tua atau leluhur kita. Demi kasih, kita sebagai anak membantu yang wafat itu mengembalikan utangnya. Apalagi kita telah

berutang jasa kepada orang tua atau leluhur yang telah ―memberikan‖ kama bang

dan kama petak yang kemudian menjadi tubuh kita. Belum lagi jasa pemeliharaannya.

(39)

BAB III

NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA

A.Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat

Pada hakekatnya, pengertian ataupun manfaat Ngaben Sarat tidak memiliki perbedaan dengan Ngaben lainnya37 atau pada umumnya. Ngaben (Sarat) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara Pitra Yajna. Ngaben (Sarat) sebagai upacara pemberian beya atau bekel bagi roh untuk kembali kepada asalnya, dan pembakaran mayat, tawulan atau awak-awakan Sawa untuk mempercepat proses kembalinya unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya. Dengan pengertian bahwa Ngaben Sarat adalah Ngaben yang penuh sarat dengan perlengkapan-perlengkapan upakara bebanten dan peralatan lainnya.38

Jadi, Ngaben Sarat merupakan Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara Ngaben Sarat ini memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya .

Ngaben Sarat dilakukan terhadap Sawa yang baru meninggal maupun terhadap Sawa yang telah dipendam. Ngaben Sarat terhadap Sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan Ngaben Sarat terhadap Sawa yang pernah dipendam disebut Sawa Wedhana. Sawa Prateka dan Sawa Wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya yang

37

Ngaben lainnya yang dimaksud oleh Penulis menyangkut tingkatan Ngaben yang variatif; nista, madya, utama atau sarat. Artinya, tingkatan Ngaben yang berbeda-beda yang juga memiliki perbedaan dalam materi, namun manfaat dari tingkatan Ngaben tersebut sama saja.

38

(40)

sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah kedua jenis Ngaben (Sawa Prateka dan Sawa Wedhana39) ini disebut Ngaben Sarat.40

Penjelasan dan pelaksanaan daripada jenis-jenis Ngaben Sarat ini memiliki perbedaan. Adapun penjelasan Sawa Prateka sebagai berikut:

“Sawa Prateka. Ini prihalnya pegangan pada waktu mati. Yang

disebut Atiwa-tiwa. Diwarisi oleh Catur Warna, sampai sekarang. Setelah ditinggal oleh hidup, dimana tempatnya Atma. Diawa. Sawa itu diupakarakan, dengan tata cara kematian, mandi, menyecikan kotoran Sawa itu. Setelah Sawa itu bersih, dikenakan tirtha yang didapatkan dengan memanah, oleh Pandita. Diciptakan dan diajegkan atma itu lagi pada rumahnya dulu. Disuruh melihat-lihat keturunannya dan menikmati banten penentraman. Setelah atma menikmati, lagi disuruh oleh Pandita,

kembah ke wujud kosong, demikian halnya Sawa ditaruh di rumah”.41

Artinya, penjelasan di atas menegaskan bahwa atma atau Urip meninggalkan badan, Sawanya lalu diupacarakan di rumah seperti dimandikan, diperciki tirtha pemanah, dihidangkan saji tarpana, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu. Jadi di rumah, betul Sawanya yang diupacarakan. Inilah yang disebut Sawa Prateka.

Sedangkan terhadap Sawa yang pernah dipendam lalu diAben disebut Sawa Wedhana dengan penjelasan sebagai berikut:

“Adapun Sawa yang telah ditanam di Setra, namanya makingsan,

dititipkan pada tanah, Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan Setra. Demikian prihalnya Sawa yang ditanam. Pada waktu pengupacarakan Sawa itu namanya Sawa Wedhana. Tiga hari menjelang

peNgabenan, ada upakaranya yang disebut ngulapin”.

Penjelasan ini berarti bahwa upacara Ngaben bagi Sawa yang telah dipendam disebut Sawa Wedhana. Sawa yang telah pernah dipendam disebut

39

Sawa Pretaka dan Sawa Wedhana merupakan jenis Ngaben Sarat. 40

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 79. 41

(41)

tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi. Tawulan ini diganti dengan pengawak42, yang dibuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta, dan lebarnya empat nyari.43

Jenis Ngaben Sarat ini merupakan upacara Ngaben yang terbesar. Merupakan upacara yang biasa dinilai utamaning utama. Saking besarnya, upacara ini merupakan pilihan bagi keluarga puri, geria, jero dan mereka yang martabat sosialnya wajar untuk itu, baik karena ekonominya mapan, maupun karena faktor historis.44

Kendatipun demikian, suatu upacara keagamaan barulah mempunyai nilai dan bobot, bila sang meyadnya melaksanakannya dengan sredaning manah, yakni hati yang mantap dan mulus. Manah yang sredah ikut pula ditentukan oleh standar kedudukan seseorang di masyarakat, termasuk kemampuan sosial ekonominya.

Ngaben (Sarat) itu dimaksudkan untuk memproses kembalinya Panca Maha Bhuta pada badan untuk menyatu dengan Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan akan mengantarkan atma ke alam pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu.

Ragha berasal dari air dan diharapkan kembali kepada air, dan terakhir atma mulih ring wisesa. Jadi diharapkan atma agar kembali kepada sumbernya yaitu

42

Upacara Ngaben ada jenazahnya secara nyata disebut masawa atau mawatang. Sedangkan upacara Ngaben bagi jenazahnya yang ditanam atau dibakar titip disebut pengawak, upacara ini juga dilakukan terhadap orang yang dianggap meninggal dan jenazahnya tidak diketemukan. Lihat dalam I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 35-36.

43

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 90-91.

44

(42)

Sang Hyang Wisesa, yang merupakan asal muasal dari semua ciptaan. Ragha kembali kepada air, kiranya sudah jelas, karena badan kita dibentuk oleh dua pertemuan kama bang dan kama petak yang berwujud cair.

Maka dari itu, maksud upacara Ngaben (Sarat) itu untuk mengembalikan unsur yang menjadikan badan atau ragha kepada asalnya di alam ini, kedua adalah mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan memutuskan keterkaitannya dengan ragha sarira. Hal ini diwujudkan dengan upacara ngentas Sawa dengan tirtha pangentas. Dengan memutuskan kecintaan Atma dengan dunianya, ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra.

Artinya, Ngaben (Sarat) itu bertujuan agar raga sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu, Panca Maha Bhutta di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra. Oleh karenanya, Ngaben (Sarat) sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Bahkan secara terperinci pada pawisik Sang Wiku kepada Sang Atma dijelaskan bahwa tujuan daripada Ngaben (Sarat) itu untuk melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi, untuk mendapatkan keselamatan dan kesenangan, dan untuk mendapatkan sorga bagi Sang Pitra. Bagi Pewasik ini, bukan saja Sang Atma yang diharapkan mendapat keselamatan, akan tetapi juga yang beryajna.45

45

(43)

B.Landasan Filosofis Ngaben Sarat

Landasan filosofis Ngaben secara umum telah Penulis uraikan di awal atau di depan secara komprehensif. Namun penting pula dijelaskan yang menjadi landasan filosofis yang lebih khusus dari Ngaben Sarat itu sendiri.46

1. Cinta Yang Mendalam

Sangat besar hutang budhi manusia terhadap leluhurnya. Ia ada karena jasa leluhur, khususnya Bapak dan Ibu. Jasa ini begitu besar, rasa-rasanya tidak bisa terlunasi, kecuali dengan jasa pula. Ia berusaha bagaimana ia mampu untuk mengupayakan agar leluhurnya mendapat keselamatan. Usaha ini yang berupa bakti harus ada buktinya. Dan bukti ini harus dihayati dengan indria dan dapat memberi kepuasan kepada indria itu sendiri. Sebagai bukti rasa cinta kasih itu, ia akan mempersembahkan segala-segalanya. Yang megah dan terindah. Sebagai simbol dari rasa cinta ini, ia akan memenuhi semua sarana yang diperlukan. Ia tidak memperhitungkan mahalnya nilai sarana itu. Yang penting dapat mempersembahkannya. Ia akan mengikuti semua sastra. Hal inilah yang menjadikan landasan filosofisnya Ngaben Sarat itu.

2. Pembebasan Dosa

Manusia berkerja atas dorongan Budi, Manah, Indria dan Ahamkara. Kalau Indira dan Ahamkara yang mendominasi, kecenderungan karma itu adalah buruk, yang akan menjadikan dosa. Manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa ini. Tapi antara manusia satu dengan lainnya akan berbeda kwalitas dosanya, sesuai dengan lingkungan kerja manusia itu sendiri. Kalau ia hanya seorang

46

(44)

petani yang tinggal di daerah terpencil, tentu dosanya kecil pula. Tapi sebaliknya kalau ia seorang Penguasa, atau Pengusaha, yang bergerak dalam dunia politik dan perdagangan tertentu ia memiliki dosa yang lebih besar pula.

Dari dasar pemikiran ini pulalah adanya upacara Ngaben Sarat terhadap mereka, terutama ketika hidupnya penuh bergelimangan dalam duniawi. Usaha pembebasan atas dosa-dosa memang sangat dibutuhkan dalam upacara Ngaben itu. Dari dasar pemikiran inilah, mengapa seorang raja harus diaben secara besar-besaran, bahkan harus memakai naga Banda. Bukankah Naga Banda simbol dari nafsu-nafsu (indria) yang melilit kehidupan seorang raja ketika masih hidupnya. Dan bukankah nafsu-nafsu itu yang membuahkan dosa? Untuk tercapainya kebebasan bagi Atma maka pembalut-pembalut itu berupa nafsu dan sekaligus dosa-dosa, perlu dihapuskan.

Bertitik tolak dari pemikiran inilah yang mendorong pelaksanaan Ngaben Sarat itu. Guna menunjang teori ini, kita dapat menunjukkan adanya berjenis-jenis banten yang diperuntukan bagi penebusan Atma yang ditujukan kepada para Kala dan tempat-tempat hukuman bagi Atma. Misalnya penebusan kepada Bhatara Yama, untuk Jogor Manik, Dorakula, Mahakala, Kawah Tambragohmuka, Weci, Batu Macepak dan lain-lain.

Inilah dasar-dasar pemikiran yang melatarbelakangi adanya Ngaben Sarat.

C.Upakara dan Upacara Ngaben Sarat

(45)

upakara dan sesajen dalam pengabenan ada yang berkedudukan esensial. Ia mutlak harus ada atau dipakai. Artinya, jika tanpa itu, upacara tersebut tidak dapat dinamakan Ngaben. Ada pula alat upakara dan sesajen yang hanya berkedudukan sebagai tambahan, tetapi tetap penting.

Alat upakara dan aneka sesajen, bahkan upacara apapun, tidak sekedar simbol, lambang tanpa nilai atau makna, melainkan diyakini memiliki daya magis-religius yang bermanfaat untuk mencapai sasaran yang dikehendaki sesuai dengan letaknya masing-masing. Nilai daya magis-religius ini dipengaruhi oleh benar tidaknya bentuk alat dan sesajen bersangkutan, ihlas tidaknya dukungan mentalitas tukang dan pendeta, terutama keihlasan dan kuatnya hati orang yang Ngaben dan yang mendukung yadnya tersebut.47 Maka dari itu, hendaklah setiap orang beryadnya didukung dengan penuh sredaning citta, penuh kesanggupan dan kesungguhan, kemulusan dan keikhlasan hati.

Di samping itu pula, upacara Ngaben atau Mreteka Sawa tidak sekedar dilakukan sekali jadi. Upacara ini memiliki bagi bagian pendahuluan dan upacara Ngabennya sendiri. Upacara pendahuluan ini tidak lain adalah upacara tingkat awal sebelum upacara Ngaben.48 Bahkan pelaksanaan upacara ataupun upakara Ngaben memiliki urutan-urutan yang perlu dilakukan sebelum Sawa diaben. Segera setelah seseorang meninggal bila dewasa (hari baik) mengijinkan maka mayat itu terlebih dahulu dimandikan49 di plataran rumah si pemilik.

47

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 42.

48

I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 20. 49

Referensi

Dokumen terkait