• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus tentang Sanksi Delik Pencurian di Kalangan Juris Muslim Klasik dan Kontemporer serta Relevansinya dengan Masa Kini Oleh: Abd.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diskursus tentang Sanksi Delik Pencurian di Kalangan Juris Muslim Klasik dan Kontemporer serta Relevansinya dengan Masa Kini Oleh: Abd."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

serta Relevansinya dengan Masa Kini Oleh: Abd. Salam Arief*

Abstrak

Artikel ini hendak mengkaji sariqah yang secara harfiah berarti mengambil barang milik orang lain. Dalam bahasa hukum, sariqah dapat diartikan mengambil milik orang lain-lain secara sembunyi-sembunyi saat benda tersebut disimpan. Dalam Islam, hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan (qath’ al-yad). Berkaitan dengan hukuman potong tangan ini, banyak sarjana Barat yang mengkritiknya sebagai tindakan (hukuman) barbarian yang kejam. Hukum Islam tidak stagnan. Konsep ijtihad (secara bahasa berati upaya serius untuk mencapai tujuan tertentu) memungkinkan syari’ah dapat mengakomodasi perkembangan modernisasi. Karenanya, tidak benar jika setiap pencuri harus dipotong tangannya. Kata kunci: sanksi, delik, pencurian

A. Pendahuluan

Dalam khazanah hukum Islam, harta benda, jiwa dan kehormatan manusia merupakan suatu prinsip yang harus dilindungi dan dipilihara dari segala bentuk gangguan serta ancaman yang mereduksinya. Hal itu kemudian dirumuskan dalam teori hukum Islam, bahwa mashalih al-khamsah senantiasa harus terwujud dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk terpeliharanya agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, serta harta benda. Oleh karena itu segala tindakan yang merusak terpeliharanya lima pokok yang substansial tersebut merupakan kejahatan atau jarimah yang dapat dikenakan pidana sesuai dengan kuantitas dan kualitasnya.1

Pencurian adalah salah satu tindak pidana (jarimah) terhadap harta benda yang mendapat perhatian dan pembahasan yang cukup signifikan dikalangan ahli fiqih. Terlebih lagi dalam nash tindak pidana pencurian itu dapat dikenakan sanksi qath’ al-yad (potong tangan), penyebutan sanksi qath’ al-yad terhadap seorang pencuri ini, kemudian memicu berbagai pendapat dikalangan ahli fiqih. Ada berbagai teori dan syarat yang

* Penulis adalah Ketua Program Studi Hukum Islam pada Program Pascasarjana

dan Dosen pada Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1 Lihat al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulthāniyah, (Mesir: Maktab Babi al-Halabi, 1973),

h. 219. lihat juga al-Syathibi, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Syarī’ah, juz I, (Mesir: Dar al-Qalam, ttp), p. 10.

(2)

dikemukakan oleh mereka mengenai sahnya sanksi qath’ al-yad bagi seorang pencuri. Para ahli fiqh ada yang menekankan dari aspek kualitas kejahatannya maupun ada juga dari aspek kuantitas kejahatan. Timbulnya perbedaan itu kesemuanya disandarkan dari sumbernya yaitu al-qur’an dan al-sunnah. Yang menjadi kajian kali ini adalah: Adakah hukum potong tangan itu harus dikenakan terhadap setiap pencuri? Ataukah hukum potong tangan itu merupakan hukuman maksimal? Bahkan timbul juga suatu pemikiran: Apakah hukuman potong tangan itu hanya sebagai teknis menjerahkan saja? Ataukah substansinya yang terpenting adalah hilangnya kejahatan pencurian itu sendiri? Kalau demikian halnya, maka sanksi qath’ al-yad (potong tangan) dapat diganti oleh hukuman lain yang mempunyai efek menjerakan dan mengurangi tindak pidana pencurian.

B. Landasan Hukum Sanksi Pencurian dan Syarat-Syaratnya

Mengenai azas legalitas dilarangnya delik pencurian dan sanksinya dikemukakan dalam al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama. Dengan demikian fuqaha’ tidak ada yang berbeda pendapat tentang larangan dan sanksinya. Mereka baru berbeda pendapat tatkala menyatakan kapan seorang pencuri itu harus di potong tangannya. Adakah setiap delik pencurian itu harus dikenai potong tangan? Ataukah sanksi itu hanya diberlakukan bagi seorang pencuri yang telah mencapai syarat tertentu? Bahkan timbul pula pendapat dikalangan fuqaha adanya keharusan reinterpertasi terhadap ayat -ayat yang mengandung delik pencurian, sehingga pemikirannya berbeda dengan kalangan fuqaha salaf.

Al-Qur’an menyatakan dalam surat al-Ma’idah (5) ayat 38:

ﻕﺭﺎﺴﻟﺍ

ﺔﻗﺭﺎﺴﻟﺍ

ﺍﻮﻌﻄﻗﺎﻓ

ﺎﻤﻬﻳﺪﻳﺍ

ﺀﺍﺰﺟ

ﺎﲟ

ﺎﺒﺴﻛ

ﻻﺎﻜﻧ

ﻦﻣ

ﷲﺍ

”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai hukuman dari Allah”.

Di antara hadits yang mengemukakan sanksi pencurian antara lain sebagai berikut:

ﻊﻄﻘﺗ

ﺪﻳ

ﻕﺭﺎﺴﻟﺍ

ﻊﺑﺭ

ﺭﺎﻨﻳﺩ

2

”Tangan pencuri dipotong dalam pencurian bernilai seperempat dinar”.

2 Ibn Hajr ’Asqalāni,Fath Bāri Bi Syarh Bukhāri, juz XII, ( Kairo: Dār

(3)

Sedangkan hadist yang bersumber dari Abdullah Ibn Umar menyatakan:

ﻥﺃ

ﻝﻮﺳﺭ

ﷲﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

ﻊﻄﻗ

ﻦﳎ

ﻪﻨﲦ

ﺔﺛﻼﺛ

ﻢﻫﺍﺭﺩ

3

ِArtinya:”Rasulluah memotong tangan seorang pencuri baju besi senilai tiga dirham”.

Dari hadist tersebut, jumhur ulama menetapkan syarat pencurian yang dikenakan sanksi potong tangan jika telah mencapai satu nisab. Namun demikian, mereka berbeda pendapat tentang batasan satu nisab ini. Imam Malik misalnya menetapkan nisab tiga dirham bagi pencurian perak, dan seperempat dinar bagi pencurian emas.4 Pendapat tersebut juga

dipegangi oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, ketentuan itu juga berlaku terhadap barang-barang curian senilai seperempat dinar maupun tiga dirham.5 Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nisab pencurian

yang dikenakan hukuman potong tangan itu, jika mencapai nilai sepuluh dirham.6 Berbagai pendapat itu muncul karena adanya hadist yang

berlainan tentang batas nisab pencurian. Oleh karena itu dikalangan khawarij dan Daud al-Dhahiri tidak berpegang dengan hadist, mereka lebih memilih berpegang kepada keumuman ayat, yaitu tidak menilai sedikit dan banyaknya barang yang dicuri pelakunya, melainkan faktor hukum materielnya yaitu adanya bukti-bukti kongkrit pencurian itu sendiri, dengan demikian si pencuri bisa dikenakan sanksi potong tangan.7

Melihat berbagai pendapat tersebut Ali Sayis mengambil pendapat maksimal yaitu senilai sepuluh dirham, bahkan ia lebih cenderung menerapkan lebih tinggi dari sepuluh dirham untuk batas nisab kasus pencurian. Karena yang sedikit itu mengandung subhat, sedangkan subhat itu harus dihindari dalam hukuman hudud.8 Dengan demikian sipelaku

cukup dikenakan hukuman ta’zir,9 tidak harus dikenakan hukuman

3 Ibid.

4 Lihat Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmi, juz II, (Kairo: Maktabah

Dār al-Ma’rifah, 1968), p. 581.

5 Ibid., p. 581-582.

6 Al-Kasāni, Badi’ al-Sanā’i, juz VII, (Mesir : Maktabah al-Jamāliyah, 1910), p. 7.

Abu Hanifah berdasarkan hadist: هارد اقرا

7 Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid, juz ii, (Kairo: Maktabah

al-Istiqāmah, 1938), p. 372.

8 Muhammmad ‘Ali Sayis, Tafsīr Âyat al-Ahkām, (Kairo: Maktabah Ali Shabih, ttp),

p. 189-190. Agaknya Ali Sayis berpegang pada hadist:(ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻩﺍﻭﺭ) ﺕﺎﻬﺒﺸﻟﺎﺑﺩﻭﺪﳊﺍﺍﻭﺅﺭﺩﺍ

9 Hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak dikemukakan dalam nash, baik

(4)

terberat (qath’ al-jad). Syarat kedua bagi pencuri yang dikenakan hukuman potong tangan dikalangan jumhur ulama yaitu: Barang yang dicuri itu telah terjaga dan tersimpan ditempat yang layak dan semestinya, bukan di sembarang tempat.10 Dalam teori kriminologi modern terjadinya tindak

kriminal itu antara lain karena adanya faktor NK (adanya Niat dan Kesempatan). Misalnya uang satu juta diletakkan begitu saja di atas meja tanpa ada yang menjaganya, bisa saja seseorang yang semula tidak ada niat mencuri, kemudian timbul niatnya untuk mencuri karena adanya kesempatan yang dapat dilakukannya. Sangat berbeda jika uang tersebut telah diletakkan dalam tempat tersembunyi dan terkunci. Dalam teori jumhur ulama, uang yang diletakkan ditempat terbuka tanpa penjagaan, walaupun mencapai lebih dari nisab, pelakunya tidak dikenakan sanksi potong tangan, melainkan cukup dikenakan hukuman ta’zir.11 Pendapat

tersebut disangkal oleh golongan Zhahiri dan ahli hadist, karena mereka tidak mensyaratkan adanya barang yang dicuri itu harus ditempat yang tersimpan. Persyaratan adanya barang yang dicuri ditempat simpanan itu menurut mereka batal, karena bertentangan dengan keumuman ayat, dan hadistpun tidak mengungkapkannya.12

Syarat ketiga bagi pencuri yang bisa dikenakan sanksi potong tangan menurut jumhur ulama adalah barang yang dicuri itu bukan milik bersama, artinya barang yang dicuri itu milik mutlak orang lain. Oleh karena itu menurut teori ini, harta bersama (harta suami isteri, harta syirkah, harta bait al-māl) jika dicuri oleh salah satu pihak yang ikut memilikinya, pelakunya tidak dikenakan hukuman potong tangan, cukup dikenakan hukuman ta’zir.13 Kalangan al-Dhahiri menolak kriteria tersebut, sebab

bertentangan dengan dhahirnya nash al-Qur’an, oleh karena itu pelaku

berdasarkan undang-undang yang diproduk parlemen atas pertimbangan maslahat). Kalangan Syafiiyyah dan Hanafiyyah berpendapat bahwa batasan hukuman ta’zir tidak boleh lebih tinggi dari hukuman hudud. Sementara kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa batasan hukuman ta’zir dapat dilakukan oleh Imam (pemerintah, hakim) dan boleh melebihi hukuman had, jika maslahat menghendaki.Lihat Jāziri, Fiqh ‘ala Madzāhib al-Arba’ah, juz v, 9Masir, Dār al-fikr, ttp), p. 398.

10 Lihat Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-Uqūbah fi al-Fiqh al-Islāmi, (Kairo: Dār al-Fikr,

ttp), p.126.

11 Mengenai sanksi ta’zir lebih jauh, lihat juga Ibn Taimiyah, al-Siyāsah al-Syar’iyyah

fi Ishlāh al-Rā’i wa al-Ra’iyah, (Mesir: Dār al-Kitab, 1969),p. 112.

12 Ibn Hazm, al-Muhalla, juz III, (Mesir; Maktabah al-Jumhūriyyah, 1972), p. 352.

Lihat juga Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmi, juz II, p. 554.

13 Lihat Abd Aziz Amir, Ta’zīr fi Syarī’at Islāmi, (Kairo: Dar Fikr

(5)

pencurian harta bersama tetap dikenakan potong tangan.14 Pendapat

Dhahiri ini, bisa dimaklumi karena dalam ijtihadnya lebih melihat dari ayat yang eksplisit dari pada yang implisit.

Syarat keempat, jumhur ulama berpendapat bahwa bagi pencuri yang dikenakan sanksi potong tangan adalah pencurian terhadap harta yang berharga menurut syara’ (al-māl al-mutaqawwim ‘inda al-syar’i), oleh karena itu pencurian terhadap harta milik berupa anjing, babi, minuman khamer, pelakunya cukup dikenakan ta’zir karena kepemilikan terhadap benda-benda tersebut dinilai oleh syara’ bukan barang yang berharga.15

Sebenarnya persyaratan tersebut agaknya dikaitkan dengan larangan syara’ tentang memakan babi dan minuman keras, serta binatang anjing yang dinilai najis, bukan berdasarkan nash yang pasti kesahihannya yang dapat digunakan sebagai dalil untuk delik pencurian. Di samping persyaratan khusus bagi benda yang dicuri tersebut, kalangan fuqaha sepakat bahwa pelakunya harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sehingga sanksi potong tangan dapat diberlakukan. Adapaun syarat-syarat dimaksud adalah telah dewasa (bukan anak kecil), berakal sehat (bukan dalam keadaan gila/mabuk), bukan terpaksa melakukan kejahatan karena tekanan dan paksaan dari pihak lain yang membahayakan jiwanya.16

Dengan demikian seseorang dapat dikatakan melakukan delik (jarimah) dan dapat diberikan sanksi pidana, manakala telah mencukupi unsur-unsurnya: pertama terpenuhinya unsur formil ( ﻰﻋﺮﺸﻟﺍ ﻦﻛﺮﻟﺍ ) yaitu adanya ketentuan aturan (nash) yang menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan. Kedua terpenuhinya unsur materiel ( ﻯﺩﺎﳌﺍ ﻦﻛﺮﻟﺍ ) yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum. Ketiga terpenuhinya unsur moril ( ﰉﺩﻷﺍ ﻦﻛﺮﻟﺍ ) yaitu pelakunya cakap bertindak hukum (bukan anak kecil, orang gila, orang yang terpaksa melakukan pembelaan diri atau orang yang menjalankan tugas sebagai eksekutor).17 Secara kumulatif ketiga unsur tersebut harus

terpenuhi dalam suatu tindak pidana (jarimah/delik) sehingga pelakunya dapat diminta pertangungan jawab pidana.

14 Ibn Hazm, Muhallā, juz III, h. 352. Lihat juga Abd ‘Aziz Amir, Ta’zir fi

al-Syari’at al-Islāmi, p. 224-225.

15 Al-Syairāzi, al-Muhazzab, juz II, (Kairo: Dār al-Fikr, ttp), p.280.

16 Ibid. Lihat juga Syarbini al-Khatib, Mugni al-Muhtāj , juz IV, (Mesir: Musthafa

Bābi al-Halabi, 1958), p. 174.

(6)

C. Berbagai Pendapat Mengenai Sanksi Delik Pencurian di Kalangan Ulama Kontemporer.

Sanksi terhadap delik pencurian dalam Islam yang dapat dijatuhi hukuman potong tangan (qath’ al-yad) ini, banyak memperoleh reaksi dikalangan ahli hukum pada umumnya.18 Bahwa hukum Islam itu kejam,

regid dan lebih banyak menampilkan budaya masa lalu klasik dan kaku.19

Memang hukum Islam saat lahir dan pertumbuhannya mempunyai latar belakang masyarakat yang sangat berbeda dengan masyarakat dan budaya saat ini, oleh karenanya apakah hukum Islam itu harus menyesuaikan dirinya dengan kemajuan zaman dengan meninggalkan prinsip-prinsipnya? Ataukah hukum Islam itu tetap eksis dengan membutuhkan reinterpertasi baru terhadap ayat-ayat yang terkandung dalam nash.

Menurut Musthafa Mahmud,20 bahwa masih terbuka luas untuk

melakukan reinterpertasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sebagai contoh ia menafsirkan kata al-sariq dan al-sariqah dalam surat al-Ma’idah(5) ayat 38, menurutnya dalam ayat ini kata al-sariq dan al-sariqah adalah berbentuk ma’rifah, berbeda dengan kata sariq dan sariqah tanpa alif dan lam (nakirah). Menurutnya, bentuk ma’rifah dalam ayat tersebut memberikan arti berulang-ulang, bukan hanya sekali dan dua kali saja. Seperti halnya kata al-katib (penulis) yang berbeda denga katib, kata al-katib hanya ditujukan terhadap seseorang yang memang terus menerus menulis dan ahli dalam bidangnya itu. Seseorang tidak dinamakan al-kātib (penulis) hanya karena sekali atau dua kali menulis. Demikian pula al-sariq dalam surat al-Ma’idah ayat 38 yang dapat dikenakan hukuman potong tangan itu, ialah mempunyai arti berulang-ulang telah melakukan perbuatan mencuri.21

Pencurian yang dilakukan bukan sekali dua kali saja, bahkan pencurian itu telah menjadi pekerjaannya sehari-hari. Dengan demikian, bentuk ma’rifah (al-sariq-al-sariqah) dalam surat al-Ma’idah ayat 38 itu, menurut Musthafa Mahmud memberikan pengertian telah berulang-ulang melakukan pencurian. Yaitu pencuri yang dapat dikenakan sanksi potong tangan itu adalah pencuri yang profesional. Terhadap pencurian yang dilakukan sekali atau dua kali, atau karena terpaksa (masa kekeringan dan kelaparan),

18 Sinyalemen terhadap kritik adanya hukuman potong tangan dalam delik

pencurian dikemukakan pula oleh Muhammad Qutub dalam Islam the Misunderstood Religion, p. 244.

19 Lihat Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam, (Pakistan, Lahore: Kazi

Publication, 1979), p. 133.

20 Seorang sarjana pertanian yang banyak menghasilkan karya-karya mengenai

studi Islam antara lain karyanya adalah Min al-Asrār al-Qur’ân.

21 Lihat Musthafa Mahmūd, Min al-Asrār al-Qur’ani, (Mesir: Dār al-Ma’rifah, ttp),

(7)

tidak dikenakan hukuman potong tangan. Seperti kasus yang pernah terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khaththab, pencurinya tidak dijatuhi hukuman qath al-yad (potong tangan), karena saat itu terjadi masa kekeringan dan kelaparan, sedangkan pencurian itu dilakukan untuk menahan kelaparan yang tidak terhindarkan.22 Keputusan yang pernah diambil oleh

Umar ibn Khaththab tersebut, kemudian memberikan peluang pemikiran ulang terhadap interpretasi surat al-Maidah ayat 38 ini. Hasbi Ash-Shiddiqi misalnya berpendapat, bahwa hukuman potong tangan itu, merupakan hukuman maksimal yang dikenakan pada kasus tertentu saja, dengan pertimbangan yang matang dan saksama pula. Dengan demikian, hukuman potong tangan tidak dikenakan terhadap setiap kasus pencurian.23 Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Hasbi tersebut juga

dikemukakan oleh fuqaha lain, namun dengan alasan yang berbeda. Bahwa tidak setiap pencurian itu dikenakan hukuman potong tangan, kecuali telah mencukupi syarat-syaratnya secara materiel dan formil.

Abbas Mahmud al-Aqqad,24 memiliki reinterpretasi senada dengan

penafsiran Musthafa Mahmud, yaitu menggunakan kaidah bahasa, metode semantic interpretation. Menurut pandangan Abbas Mahmud al-Aqqad, kata al-sāriq dan al-sāriqah itu satu wazn (pola) dengan kata al-kātib yang dipergunakan untuk seseorang yang memiliki kebiasaan menulis.25 Dengan

demikian, kata al-sāriq dan al-sāriqah dalam surat al-Ma’idah ayat 38 ini, ditujukan kepada seorang yang mencuri adalah kebiasannya. Seseorang tidak dapat digolongkan sebagai pencuri yang dapat dikenakan hukuman potong tangan, jika ia melakukannya sekali ataupun dua kali saja. Seperti halnya kata al-fāris (joki/penunggang kuda), seseorang dikatakan sebagai al-fāris, jika ia benar-benar ahli dan piawai dalam menunggang kuda. Sedangkan seorang yang menunggang kuda sekali atau dua kali saja tidak dapat dikatakan piawai atau ahli dalam menunggang kuda. Dengan demikian, pencurian yang dilakukan sekali atau dua kali tidak dapat dikenakan potong tangan. Dalam ungkapan lain pencurian yang dapat dikenakan hukuman potong tangan adalah pencurian yang telah berulang

22 Lihat Muhammad Rawwas al-Qal’aji, Mausū’ah Fiqh Umar Ibn Khaththāb, (Kairo:

Maktabah Mahfūdhah, 1981), p. 244-277 juga 382-386.

23 Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1963),h.355. Lihat juga T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Tafsir An-Nur, jld II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), p. 110-111.

24 Seorang sastrawan dan wartawan berkebangsaan Mesir yang banyak menulis

kajian-kajian Islam. Tulisannya dalam masmedia terkadang menimbulkan polemik di masyarakat Mesir. Ia wafat 1963.

25 Abbās Mahmud al-Aqqād, al-Falsafah al-Qur’âniyah, (Mesir: Lajnah al-Ta’lifi wa

(8)

kali dilakukan dan semacam menjadi pekerjaannya. Reinterpretasi terhadap surat Maidah ayat 38 dilakukan juga oleh Abu Zaid al-Damanhuri. Menurutnya, kata al-sāriq dan al-sāriqah ini menunjukkan kebiasaan yang menjadi sifat perbuatannya yaitu suka mencuri. Dengan demikian orang yang melakukan pencurian sekali atau dua kali dan tidak terus menerus melakukannya serta tidak menjadi kebiasaan baginya melakukan pencurian itu, maka tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan.26 Perlunya reinterpretasi terhadap surat al-Mai’dah ayat 38 ini,

dikemukakan pula oleh Muhammad Syahrur dalam karyanya Nahw Ushūl al-Jadīd Li al-Fiqh al-Islāmi. Menurutnya kata qatha’a (memotong) dalam surat al-Maidah ayat 38, tidak harus dipahami sebagai memotong sesuatu obyek dan memisahkan sebagian dari bagian yang lain dengan sebuah benda tajam. Dalam kosa kata arab dikenal ungkapan qath’ al-rahim (memutus hubungan keluarga), qath’ al-Thariq (menghalangi orang yang berjalan kaki, seperti penyamun atau pembegal jalanan), qath al-shalah (membatalkan salat) atau qath’ al-Nahr (penyeberang sungai) yang kesemuanya tidak memerlukan benda tajam atau pedang untuk memutuskan obyek tersebut.27 Kata tersebut memberikan nuansa

pengertian lain, yaitu tanpa terbersit dalam benak sipengguna kata dan pendengarnya adanya penggunaan benda tajam untuk memotong. Untuk lebih menjelaskan argumentasinya Syahrur menampilkan beberapa ayat al-Quran yang menggunakan kata kerja qatha’a dan perubahannya yang memberikan pengertian selain makna memotong. Ayat-ayat dimaksud adalah surat Ali Imran (3) ayat: 127 sebagai berikut: ﺍﻭﺮﻔﻛ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﻦﻣ ﺎﻓﺮﻃ ﻊﻄﻘﻴﻟ (untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir). Surat al-Taubah (9) ayat: 121; ﺎﻳﺩﺍﻭ ﻥﻮﻌﻄﻘﻳ ﻻﻭ (dan mereka tidak menyeberangi lembah). Surat al-Naml ( 27) ayat: 32; ﻥﻭﺪﻬﺸﺗ ﱴﺣ ﺍﺮﻣﺍ ﺔﻌﻃﺎﻗ ﺖﻨﻛﺎﻣ(aku (Bilqis) tidak pernah memutuskan suatu perkara, sampai engkau sekalian berada dalam majlisku). Juga firman Allah surat al-Waqi’ah (6) ayat: 32-33; ﺔﻋﻮﻨﳑﻻﻭﺔﻋﻮﻄﻘﻣﻻﺓﲑﺜﻛﺔﻬﻛﺎﻓﻭ (dan buah-buahan yang banyak yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya).

Menurut Syahrur ayat tersebut adalah sebagian misal dari ayat-ayat al-Qur’an yang memberi pengertian bahwa kata qatha’a tidak selalu terkait dengan pemotongan anggota tubuh yang menggunakan benda

26 Lihat Abu Zahid Damanhūri, Hidāyah wa ’Irf ān fi Tafsir Qur’ân bi

al-Qur’ân, (Mesir : Dâr al-Ma’rifah, 1930), p. 88-89

27 Muhammad Syahrūr, Nahw Ushūl al-Jadīd li al-Fiqh al-Islāmi, (Seria Damascus;

(9)

tajam sebagaimana banyak dipahami orang, melainkan mempunyai beragam makna yang banyak sekali.28

Di antara ulama salaf yang berpendapat tidak diberlakukannya pemotongan anggota tubuh, antara lain adalah Imam Abu Muslim al-Khurasani.29 Pendapatnya hampir tidak tercantum dalam literatur fiqih

klasik, melainkan hanya dikemukakan sebaris dua baris secara sekilas. Tampaknya pendapat Abu Muslim al-Khurasani itu sengaja tidak banyak dikutip oleh pengarang kitab-kitab fiqih klasik lainnya, dengan pertimbangan untuk menjauhkan pemikirannya dari para pembacanya karena dinilai bertentangan dengan mayoritas ahli fiqh pada masanya dan sesudahnya. Menurut Muhammad Syahrur, penafsiran jumhur ulama terhadap surat al-Maidah ayat 38 masih bersifat fisik, sehingga kata al-yad selalu diartikan dengan (tangan) secara baku, padahal kata al-yad bisa berarti (kekuasaan, atau kemampuan). Seperti firman-Nya surat al-Dzariyat ayat 47:

ﺀﺎﻤﺴﻟﺍﻭ

ﺎﻫﺎﻨﻴﻨﺑ

ﺪﻳﺄﺑ

Artinya:”Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami)”.

Dengan nada menggugat Syahrur bertanya; mengapa para ahli fiqih literalis itu memaksakan pendapatnya tentang pemotongan fisik (tangan) saja? Apakah dapat diterima akal bahwa hukum Allah (kehendak Allah) hanya sebatas yang difahami oleh penerjemah dan penafsir firman-Nya tanpa menyisakan pemahaman lain?30 Dalam perspektif yang lain, jika

al-yad itu diterjemahkan dengan al-qudrah (kemampuan atau kekuasaan), maka redaksi qath‘ al-yad bisa difahami sebagai menghalangi kemampuan seseorang untuk beraktivitas, atau menghalangi seseorang untuk berkuasa karena korupsi dan pencurian harta rakyat. Bentuk sanksinya adalah seseorang bisa masuk penjara atau pengekangan lain (penyekapan) dalam kehidupannya, sehingga seseorang tidak dapat menjalankan aktivitasnya secara normal sebagaimana yang rutin ia lakukan.

D. Relevansi Pemaknaan Surat al-Māi’dah (5) Ayat 38

Adanya keharusan penafsiran baru terhadap teks keagamaan adalah merupakan tuntutan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia telah menimbulkan paradigma baru dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali pemahaman mereka terhadap penafsiran lama mengenai

28 Ibid., p.99. 29 Ibid., p. 102 30 Ibid., p. 103.

(10)

teks keagamaan. Namun demikian, reinterpretasi terhadap teks keagamaan harus memenuhi persyaratan metodologi. Tanpa menggunakan metodologi, maka penafsiran baru terhadap teks keagamaan itu akan kehilangan konteks epistimologinya. Di sini metode hermeneutik yang dibangun oleh Fazlurrahman kiranya dapat menjadi alternatif dalam reinterpretasi teks keagamaan. Yaitu metodologi hermeneutik double movement (gerak ganda) untuk memunculkan objektivitas dalam penafsiran teks keagamaan (al-Qur’an). Gerak pertama dengan meneropong situasi saat ini, kemudian menuju ke situasi saat al-Qur’an diturunkan yang oleh Fazlurrahman disebutnya sebagai task of understanding (tugas pemahaman), yang kemudian secara berproses akan memunculkan teori asbab al-nuzul (turunnya al-Qur’an) secara mikro dan makro.31

Gerak pertama ada dua tahapan. Pertama adalah tahapan pemahaman teks dan konteks sosio historis terhadap surat al-Mai’dah ayat 38. Dengan upaya memahami dan mengkaji situasi atau problem historis yang melingkupinya untuk mendapatkan jawaban terhadap pernyataan ayat tersebut. Di samping juga mempelajari konteks munculnya ayat yang menyatakan pemberian sanksi qath’ al-yad (potong tangan) dalam kasus pencurian. Tahapan berikutnya adalah tahapan generalisasi, dimana peristiwa terhadap pelanggaran hak orang lain direlevansikan dengan tujuan moral-sosial yang dilatar belakangi sosio historis. Dalam proses demikian, perhatian ditujukan kepada missi ajaran al-Qur’an secara keseluruhan. Agar setiap hukum yang dirumuskan dan setiap tujuan yang dikemukakan selalu koheren dengan yang lain.

Gerak kedua adalah gerak dari masa al-Qur’an diturunkan ke masa kini. Suatu gerak yang dapat dirumuskan dan direalisasikan dalam konteks sosio-historis yang kongkret pada masa sekarang. Dengan kecermatan melalui analisis terhadap berbagai unsur komponennya, sehingga dapat menilai situasi kekinian agar bisa menerapkan nilai-nilai al-Qur’an dengan pemahaman baru. Ini sejalan dengan perkembangan saat ini yang memunculkan teori bahwa pemberian suatu sanksi kepidanaan ditentukan

31 Di kalangan ulama salaf, teori asbab al-nuzul hanya dimaknai dan terbatas pada

kasus yang secara khusus menjadi latar belakang turunnya suatu ayat. Sedangkan dalam teori Fazlurrahman asbab al-nuzul dilihat dari dua aspek. Pertama, dari aspek khusus yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat (asbab al-nuzul mikro) yaitu dalam kasus apa suatu ayat itu diturunkan. Kedua, dari aspek masa kehidupan Rasul, serta situasi masyarakat yang melingkupinya.Termasuk situasi semenanjung jazirah Arab secara keseluruhan, baik sebelum Islam datang atau sesudahnya, sebagai latar belakang untuk memahami konteksnya secara luas terhadap turunnya suatu ayat (asbab al-nuzul makro). lihat Fazlurrahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1966), p. 261.

(11)

tidak saja dalam perspektif korban, melainkan juga dari perspektif terpidana.

Sebagai suatu pendekatan baru dalam memahami suatu kejahatan,32

banyak hal yang harus dipertimbangkan yang mencakup aspek ekonomi, sosial budaya, politik, kondisi manusia dan alam yang melingkupinya, serta kecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Suatu arus besar yang memberikan gambaran kecenderungan umum masyarakat dunia untuk lebih memperhatikan rasa kemanusiaan dan kepentingan terpidana. Kebalikan dari kurun sebelumnya yang menganggap terpidana sebagai obyek dan dilihat melulu dengan kecamata negatif. Saat ini para terpidana tidak lagi dilihat semata-mata sebagai penjahat, melainkan juga dilihat sebagai manusia yang perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan mengembangkan diri serta mengusahakan masa depan yang lebih baik. Bahkan tersangka dan terdakwa pun diperlakukan positif agar penerapan azas presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) dapat dipraktekkan secara adil. Agar nilai keadilan itu sendiri dapat ditegakkan sesuai dengan tuntutan kemanusiaan yang luhur dan hati nurani yang jernih.

E. Kesimpulan.

Keharusan reinterpretasi terhadap teks keagamaan adalah merupakan tuntutan zaman, agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya lebih bisa dipahami dan dicerna oleh manusia. Reinterpretasi terhadap teks keagamaan tentunya tidak hanya terbatas pada yang bersifat eksplisit saja, namun juga harus dipahami pula dari aspek implisit substantifnya, agar suatu teks keagamaan itu dapat dimengerti secara komprehensif. Diskursus yang terjadi dikalangan ulama salaf (klasik) atau khalaf (kontemporer) mengenai surat al-Mai’dah ayat 38 yang dikemukakan terdahulu itu terlihat jelas, bahwa interpretasi mereka itu terbatas dari aspek yang tersurat saja, belum menyentuh aspek tersirat. Kiranya perlu adanya pemahaman baru bahwa hukuman qath’ al-yad (potong tangan) dalam kasus pencurian itu adalah teknik operasional, bukan nilai substansial. Sedangkan nilai substansialnya dalam ayat tersebut adalah bagaimana kejahatan pencurian itu bisa dicegah atau tidak terjadi. Dengan demikian bisa difahami, bahwa manakala suatu kejahatan pencurian itu sudah cukup dicegah dengan hukuman penjara saja, maka hukuman potong tangan tidak harus diberlakukan.

32 Lihat A.E Bottom and J.D. McClean “He Defendant’s Perspective” dalam John

(12)

Daftar Pustaka

Amir, Abd Aziz Ta’zīr fi Syarī’at Islāmiyah, Kairo: Dar Fikr al-Arabi, 1976.

‘Aqqād, Abbas Mahmūd, Falsafah Qur’âniyah, Mesir: Lajnah al-Ta’lifi wa al-Nasr, 1948.

al-’Asqal āni, Ibn Hajr, Fath al-Bāri Bi al-Syarh al-Bukhāri, juz XII, Kairo: Dār al-Turats, 1987.

‘Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmi, juz II, Kairo: Maktabah Dar al-Ma’rifah, 1968.

Bottom,A.E and J.D.McClean “He Defendant’s Perspective” dalam John Baldwin, Criminal Justice Selected Reading, 1976

Fazlurrahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1966. Ibn Hazm, al-Muhalla, juz III, Mesir; Maktabah al-Jumhuriyyah, 1972. Ibn Taimiyah, al-Siyāsah al-Syar’iyyah fi Ishlāh al-Rā’i wa al-Ra’iyah, Mesir:

Dār al-Kitab, 1969.

Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid, juz II, Kairo: Maktabah al-Istiqamah, 1938.

al-Kasāni, Badi’ al-Sana’i, juz VII, (Mesir : Maktabah al-Jamaliyah, Mahmud, Musthafa Min al-Asrār al-Qur’ani, Mesir: Dār al-Ma’rifah, ttp. al-Māwardi, al-Ahkām al-Sulthāniyah, Mesir: Maktab Babi al-Halabi, 1973. Syahrur, Muhammad, Nahw Ushūl al-Jadīd li al-Fiqh al-Islāmi, Siria

Damaskus; Maktabah al-Asad, 2000.

al-Qal’aji,Muhammad Rawwās, Mausū’ah Fiqh Umar Ibn Khaththāb, Kairo: Maktabah Mahfudhah, 1981.

Ash-Shiddieqi, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.

---,Tafsir An-Nur, jld II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Al-Syairazi, al-Muhazzab, juz II, Kairo: Dar al-Fikr, T.t.p

Syarbini Khatib, Mugni Muhtāj , juz IV, Mesir: Musthafa Babi al-Halabi, 1958.

al-Syā-thibi, Abu Ishaq, al-Muwāfaqāt fi Ushūl al-Syarī’ah, juz I, Mesir: Dar al-Qalam, t.t.p.

Referensi

Dokumen terkait

 ketua-ketua kelompok kembali ke kelompok dan memberikan penjelasan ulang tentang materi waktu dan posisi matahari terbenam yang baru saja didapatkan dari

atau 5 pekerja sepenuh masa, kedua ialah industri kecil dimana.. Daripada definisi di atas dapat difahami bahawa pengkelasan setiap industri adalah berbeza-beza

Climbers yang tekun dalam kegiatan climbing mengaku bahwa mereka merasa lebih puas karena sudah melakukan climbing, karena mereka merasa bahwa ada

Hal tersebut akan saya jabarkan dalam beberapa bagian, bertujuan untuk pembaca lebih mengerti secara dalam terutama mengenai Struktur dan Skala Upah, dan akhirnya memiliki

Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi,

1 Selepas pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, pentadbiran kerajaan Islam seterusnya telah dilaksanakan oleh kerajaan Bani Umaiyah.. (a) Namakan pusat pentadbiran

Pembinaan pegawai tenaga teknis peradilan agama secara berkesinambungan melalui kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama

Efikasi : adalah kemanjuran biskuit fortifikasi yang dianjurkan dikonsumsi anak untuk meningkatkan status gizi antropometri, konsentrasi Hb, kadar ferritin (status besi),