NELAYAN PADA PENGOPERASIAN SOMA PAJEKO DI BITUNG
NHEP 1 Ketidakbiasaan/ tidak memahami terhadap sebuah situasi yang sebenarnya
penting namun jarang terjadi
17,00 2 Kekurangan waktu untuk mendeteksi kegagalan dan tindakan koreksi 11,00
3 batasan rasio kebisingan yang terlalu rendah 10,00
4 Terlalu mudah untuk melakukan penekanan atau penolakan informasi/aturan
9,00 5 Tidak adanya alat untuk menyampaikan informasi spasial dan fungsional
kepada operator dalam bentuk operator dapat secara siap memahaminya.
8,00 6 Ketidaksesuaian antara SOP dan kenyataan dilapangan 8,00 7 Tidak adanya cara yang jelas untuk memperbaiki suatu tindakan yang tidak
diinginkan
8,00 8 Kapasitas overload, terutama disebabkan oleh munculnya informasi yang
berlebihan secara serempak
6,00 9 Adanya cara kerja yang benar-benar baru, yang prinsip cara kerjanya saling
bertolak belakang
6,00 10 Kebutuhan untuk mentransfer pengetahuan yang spesifik dari aktivitas ke
aktivitas lain tanpa adanya informasi yang hilang
5,50 11 Ambiguitas dalam tuntutan/kebutuhan standar kinerja 5,00 12 Ketidaksesuaian antara risiko yang dirasakan dengan risiko sebenarnya 4,00 13 Tidak sesuai, rancu atau ketidakcocokkan umpan balik sistem 4,00 14 Ketidakjelasan konfirmasi yang langsung tepat pada waktunya atas tindakan
yang diinginkan dari bagian sistem dimana pengendalian digunakan
4,00 15 Operator yang kurang berpengalaman (contoh: baru memenuhi kualifikasi
namun tidak ahli)
3,00 16 Kualitas informasi yang tidak baik dalam menyampaikan prosedur dan
interaksi orang per orang
3,00 17 Sedikit atau tidak ada pengecekan independen atau percobaan pada hasil 3,00 18 Adanya konflik antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang 2,50 19 Tidak adanya keragaman masukan informasi untuk pemeriksaan ketelitian 2,50 20 Ketidaksesuaian antara level edukasi yang telah dimiliki oleh individu
dengan kebutuhan pekerjaan
2,00 21 Adanya dorongan untuk menggunakan prosedur yang berbahaya 2,00 22 Sedikit kesempatan untuk melatih pikiran dan tubuh diluar batasan
langsung pekerjaan
1,80 23 Alat yang tidak dapat diandalkan (cukup bahwa diperhatikan) 1,60 24 Kebutuhan untuk membuat suatu keputusan yang diluar kapasitas atau
pengalaman dari operator
1,60 25 Alokasi fungsi dan tanggung jawab yang tidak jelas 1,60 26 Tidak adanya kejelasan langkah untuk mengamati kemajuan selama
aktivitas
1,40
27 Adanya bahaya dari keterbatasan kemampuan fisik 1,40
28 Sedikit atau tidak adanya arti penting dari aktivitas 1,40
29 Level emosi yang tinggi 1,30
30 Adanya gangguan kesehatan khususnya demam 1,20
31 Tingkat kedisiplinan yang rendah 1,20
32 Ketidakkonsistenan dari tampilan atau prosedur 1,20
33 Lingkungan yang buruk atau tidak mendukung 1,15
34 Siklus berulang-ulang yang tinggi dari pekerjaan dengan beban kerja bermental rendah
1,10
35 Terganggunya siklus tidur normal 1,10
36 Melewatkan kegiatan karena intervensi dari orang lain 1,06 37 Penambahan anggota tim yang sebenarnya tidak dibutuhkan 1,03
Setelah nilai BCF dari EPC ditentukan maka langkah selanjutnya adalah menentukan Proportion of Affect (PA) dengan proporsi antara 0-1 (0 hingga 100%). Semakin besar nilai PA menunjukan EPC semakin sering terjadi. Nilai HEP suatu aktivitas dapat dihitung setelah nilai Asessed Effect (AE) dari tiap EPC pada suatu aktivitas selesai ditentukan dan dikalikan dengan nilai NHEP dari kategorinya. Langkah mengerjakan analisis HEART (modifikasi dari Kirwan, 1996) disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17 Langkah kuantifikasi HEART
Berdasarkan EPC, maka dilakukan perhitungan Asessed Effect (AE) yang akan terjadi melalui proporsi dari EPC. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumusan sebagai berikut (Wittingham, 2004) :
( - ) ... (6) dengan : AE = Assessed Effect dari EPC yang diidentifikasi
BCF = Basic Correction Factor dari EPC PA = Proportion of Affect (kisaran nilai 0-1)
Nilai AE dari satu aktivitas dapat lebih dari 1 tergantung hasil analisa dari observasi assessor. Perhitungan nilai Human Error Probability (HEP) dari suatu aktivitas dilakukan dengan cara perkalian NHEP dari kategori aktivitas tersebut dengan semua nilai AE yang timbul pada aktivitas tersebut. Rumus perhitungan HEP yang diadaptasi dari Wittingham (2004) adalah sebagai berikut :
... (7) dengan : HEP = Human Error Probability
NHEP = Nominal Human Error Probability pada Generic Task AEi = Assessed Effect ke-i
i = banyaknya EPC yang didentifikasi
Menetapkan Nominal HEP (NHEP) Mengklasifikasikan Generic Task
(Kategori A – H)
Mengidentifikasi EPC (tentukan BCF)
Menentukan PA tiap EPC
Menghitung HEP akhir Menghitung AE
HEP yang telah dihitung pada tiap aktivitas pengoperasian soma pajeko berfungsi sebagai input untuk menentukan pola kegagalan dari suatu aktivitas. Untuk menganalisis pola tersebut dilakukan Fault Tree Analysis (FTA). Fault Tree adalah diagram logika yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara kejadian-kejadian yang muncul secara tunggal atau dalam kombinasi menyebabkan kejadian pada tingkat yang lebih tinggi. Hal ini digunakan di Fault Tree Analysis untuk menentukan probabilitas dari peristiwa puncak (top event), yang dapat berupa jenis kecelakaan atau hasil berbahaya yang tidak diinginkan. Fault Tree Analysis dapat memperhitungkan penyebab umum kegagalan dalam sistem dengan elemen-elemen berlebihan atau standby. Fault Tree dapat mencakup peristiwa kegagalan atau penyebab yang berkaitan dengan faktor manusia (IMO 2007).
Dhillon (2005) menyatakan ketika probabilitas terjadinya peristiwa kegagalan dasar (basic fault event) diketahui, probabilitas terjadinya top event dapat dihitung. Hal ini membutuhkan lebih dulu perkiraan kemunculan probabilitas dari output peristiwa kegagalan yang lebih rendah dan menengah seperti gerbang logika (logic gate) AND dan OR. Hasil probabilitas terjadinya peristiwa kegagalan AND-gate dan OR-gate masing-masing dirumuskan sebagai berikut:
1) AND-gate : jika dua atau lebih peristiwa yang lebih rendah (lower event)perlu terjadi untuk menyebabkan peristiwa berikutnya yang lebih tinggi. Peluang terjadinya kegagalan dengan dengan logika AND-gate dirumuskan sebagai berikut :
∏ ... (8)
dengan :
P(E0) = peluang terjadinya output AND-gate dari peristiwa kegagalan, E0
n = jumlah input independen peristiwa kegagalan P(Ei) = peluang peristiwa kegagalan Ei untuk i=1,2,3,...,n
2) OR-gate : jika salah satu dari lower event dapat menyebabkan peristiwa berikutnya yang lebih tinggi. Peluang terjadinya kegagalan peristiwa X dengan logika OR-gate dirumuskan sebagai berikut :
-∏ { - } ... (9) dengan :
P(X0) = peluang terjadinya output OR-gate dari peristiwa kegagalan, X0
k = jumlah input independen peristiwa kegagalan P(Xi) = peluang peristiwa kegagalan Xi untuk i=1,2,3,...,k
Menurut Purwangka (2013) terdapat empat langkah dasar yang pada umumnya diikuti dalam mengembangkan Fault Tree :
1) Tentukan kejadian yang tidak diinginkan (misalnya, top event) dari sistem, Memahami secara menyeluruh sistem dan aplikasi yang diinginkan.
2) Tentukan tingkatan tertinggi dari fungsi peristiwa kegagalan untuk memperoleh sistem yang telah ditetapkan sebagai penyebab kondisi kesalahan. Selanjutnya, lanjutkan FTA untuk menentukan keterkaitan logis dari peristiwa kegagalan pada tingkat yang lebih rendah.
3) Membuat sebuah fault tree yang berisi hubungan logis antara kejadian- kejadian kegagalan.
4) Mengevaluasi fault tree.
Penilaian Risiko Kecelakan Kerja Nelayan Soma Pajeko
Kuantifikasi membuat penggunaan data kecelakaan, kegagalan dan sumber informasi lain ini sesuai dengan tingkat analisis. Jika data tidak tersedia, perhitungan, simulasi atau penggunaan teknik diakui atas penilaian ahli dapat digunakan (Aven, 2008). Pada dasarnya risiko merupakan kombinasi frekuensi/peluang kejadian dan tingkat keparahan dari konsekuensi (IMO 2007).
s obab l t ons u n ... (10) Konsekuensi mempunyai tingkat keparahan dari dampak yang dihasilkannya. Berikut ini salah satu contoh matriks risiko secara umum digunakan dalam keselamatan dan kesehatan kerja.
Tabel 16 Matriks Risiko 5x5
Severity (keparahan) Konsekuensi Likelihood (kemungkinan)/peluang 1 2 3 4 5 5 5 10 15 20 25 4 4 8 12 16 20 3 3 6 9 12 15 2 2 4 6 8 10 1 1 2 3 4 5
(sumber: diadaptasi dari On Safe, www.risk-assessment.org 2012) Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah
Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
Menurut IMO (2006) prinsip As Low As Reasonably Practicable (ALARP) digunakan untuk prosedur penilaian risiko. Risiko harus rendah sebagaimana yang dapat layak dipraktekkan. Hal ini berarti bahwa peristiwa kecelakaan yang risiko berada dalam wilayah ini harus dikurangi kecuali ada biaya yang tidak proporsional dengan manfaat yang diperoleh. Kriteria ALARP yang digunakan oleh IMO tersebut diadaptasi dari Health Safety Executives (2001a) yang menjelaskan tentang kategori toleransi ALARP.
Tabel 17 Tingkat Risiko dengan toleransi ALARP
Nilai Matriks Risiko Aspek toleransi dalam daerah ALARP Tingkat Risiko
1 - 8 Secara umum diterima Low
9 - 15 Dapat ditoleransi Medium
16 - 25 Tidak dapat diterima High
(sumber: diadaptasi dari On Safe, 2012 www.risk-assessment.org) Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah
Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
Evaluasi risiko adalah proses yang digunakan untuk membandingkan hasil analisis risiko dengan kriteria risiko. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menentukan apakah tingkat risiko tertentu dapat diterima ataupun tidak atau ditoleransi sesuai kriteria ALARP yang digunakan dalam acuan untuk mengevaluasi risiko. Evaluasi risiko dilanjutkan dengan pembuatan pilihan dalam pengendalian risiko yang didasarkan pada kondisi nyata yang diamati, dengan mempertimbangkan area kerja, peralatan yang digunakan serta latar belakang sumber daya manusia yang terlibat (IMO 2007).
Hasil dan Pembahasan
Pengoperasian Perahu Motor Tempel (PMT) soma pajeko (mini purse seine) dilakukan setiap hari (one day fishing) pada malam hari. Aktivitas pengoperasian soma pajeko dimulai dari persiapan di sore hari pukul 17.00 WITA. Perahu soma pajeko mulai berlayar menuju fishing ground sekitar pukul 18.00 WITA. Aktivitas pengoperasian soma pajeko berakhir setelah pembongkaran muatan unit penangkapan soma pajeko selesai dilakukan. Aktivitas ini rata-rata selesai pada pukul 07.00 WITA.
Peluang Risiko Kecelakaan Kerja Nelayan Pengoperasian Soma Pajeko Hasil observasi dan identifikasi dengan menggunakan HTA pada Bab 2 sebelumnya menunjukkan bahwa pengoperasian soma pajeko dari tahap awal hingga akhir terdiri atas 8 tahap aktivitas pokok dengan total 58 aktivitas atau disebut juga tugas (task) dalam HTA. Hal tersebut untuk selanjutnya diistilahkan dengan aktivitas dasar (basic event). Penilaian HEP dengan menggunakan HEART pada tiap aktivitas dasar yang telah diidentifikasi pada pengoperasian PMT soma pajeko dengan panjang kapal <24 meter di Bitung disajikan pada tabel berikut.
Tabel 18 Perhitungan HEP pada urutan aktivitas dasar (basic event) pengoperasian soma pajeko
No. Tahap Aktivitas HEP
1 Persiapan
1 Pengurusan dokumen-dokumen SIB (3 hari sekali) 0,001123
2 Pengecekan kehadiran ABK 0,026000
3 Pembagian tugas ABK 0,027280
4 Pembelian perbekalan awak kapal 0,018000
5 Pengecekan dan perbaikan alat tangkap 0,000610 6 Pengecekan dan pengaturan mesin kapal 0,006696 7 Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan 0,040320
2 Loading
8 Pengangkutan dan pengisian bensin dan oli 0,180634 9 Pengangkutan dan pengisian es ke dalam palka 0,178560
10 Pengangkutan jerigen air minum 0,195840
11 Pengangkutan blong dan keranjang tambahan 0,195840
12 ABK naik ke kapal 0,038160
3
Berlayar ke fishing ground
13 Melepas tali tambat 0,036000
14 Juru mesin menyalakan motor mengarahkan kapal keluar
kolam pelabuhan 0,520960
15 ABK mendorong kapal lain di sisi kanan dan kiri 0,093600
16 Membuang air di lambung kapal 0,111600
17 ABK memakan perbekalan 0,000553
Tabel 18 Perhitungan HEP pada urutan aktivitas dasar (basic event) pengoperasian soma pajeko (lanjutan)
No. Tahap Aktivitas HEP
3 Berlayar ke fishing ground
19 Membuka terpal penutup jaring 0,036000
20 Menyiapkan jaring, pelampung dan cincin 0,005400
21 ABK mematikan lampu di kapal 0,000592
22 Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju
fishing ground 0,416000
4 Setting
23 2 orang ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal
lampu 0,433440
24 Menurunkan pelampung tanda 0,146286
25 Mengatur bagian jarring untuk di turunkan 0,005806
26 Menurunkan bagian sayap jaring 1 0,188082
27 Menurunkan bagian badan jaring 0,184599
28 Menurunkan bagian sayap jaring 2 0,181116
29 Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan 0,864000 30 Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring 0,515840 31 ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring 0,028288
5 Hauling
32 Penyelam mengawasi ikan, jarring dan memberikan kode 0,851533
33 Operator winch menyalakan mesin 0,426240
34 ABK memasang tali kolor ke winch 0,220792
35 Operator megoperasikan winch menaikkan cincin-cincin 0,808704 36 Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan
& belakang) 0,174960
37 ABK bersiap di posisi masing2 (5-6 haluan, 15 dek tengah,
6-8 buritan) 0,014040
38 ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek 0,810000 39 Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau
badan jaring 0,054560
40 Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling 0,615680 41 Mengatur posisi alat tangkap saat hauling 0,346320
6 Penanganan hasil tangkapan di atas kapal
42 Mengangkat ikan dari kantong jarring dengan alat serok 0,165888 43 Memasukkan ikan ke dalam blong atau palka bila blong
penuh 0,239760
44 Memecahkan es dan memasukkan ke dalam blong 0,165888 45 ABK merapihkan bentuk jarring untuk setting selanjutnya 0,174960 46 Bila tidak ada setting lanjutan maka ikan disortir ke dalam
keranjang 0,432000
7
Berlayar ke Fishing Base
47 Tonaas mengarahkan arah menuju FB 0,515840
48 Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal 0,255744 49 ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan 0,152640 50 ABK menyortir ikan ke dalam keranjang 0,449280
51 ABK istirahat/memakan perbekalan 0,000561
8 Unloading
52 ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal 0,421200 53 Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh 0,520960
54 Melemparkan tali 0,036000
55 ABK menurunkan hasil tangkapan 0,036000
56 Juru mudi mengarahkan kapal dari kolam TPI menuju
dermaga soma pajeko. 0,352000
57 ABK turun kapal dengan perlengkapan masing-masing 0,038160 58 2 orang ABK piket menjaga kapal dan membersihkan kapal
soma pajeko 0,008268
Tabel 18 menunjukkan nilai peluang risiko kegagalan akibat kesalahan manusia (HEP) dari masing-masing aktivitas dasar (basic event) pada
pengoperasian soma pajeko di Bitung. Peluang risiko kegagalan yang terkecil adalah pada tahap 3 (berlayar ke fishing ground) saat ABK memakan perbekalan (aktivitas No.17) dan saat ABK mengganti pakaian/mengenakan jas hujan (aktivitas No.18) dengan nilai HEP masing-masing sebesar 0,000553.
Peluang risiko kegagalan yang terbesar adalah pada tahap 4 (setting) yaitu pada saat juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan (aktivitas No.29) dengan nilai HEP sebesar 0,864000. Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) yang diacu dalam Nurani (2010), faktor yang memegang peranan penting dalam keberhasilan operasi penangkapan ikan adalah kecepatan melingkari gerombolan ikan, kecepatan tenggelam jaring, dan kecepatan penarikan tali cincin. Pada tahap ini Kapten melakukan pengambilan keputusan yang tepat dalam waktu yang terbatas didukung dengan keterampilan juru mudi dalam melakukan olah gerak kapal untuk mengelilingi ikan. Konsekuensi dari kegagalan aktivitas ini dapat menyebabkan gagalnya tahap 4 (setting) sehingga perlu dilakuakan pengulangan aktivitas setting dari awal dengan konsekuensi kelelahan bagi seluruh awak kapal.
Peluang risiko kegagalan kedua terbesar adalah pada tahap 5 (hauling) yaitu pada saat penyelam mengawasi ikan, bentuk jaring dan memberikan kode (aktivitas No.32) dengan nilai HEP sebesar 0,851533. Pada tahap ini terdapat kecenderungan penururan daya tahan tubuh disaat melakukan aktivitas tersebut dalam waktu yang cukup lama dan berulang-ulang dengan konsekuensi paling buruk adalah kehilangan nyawa akibat tenggelam.
Tabel 19 Hasil perhitungan FTA pada pengoperasian soma pajeko di Bitung
No. Tahap Aktivitas Konsekuensi kegagalan HEP
1 Persiapan di darat Kelelahan 0,108140
(HEP : 0,114653) Terluka 0,007302
2 Loading Kelelahan 0,195840
(HEP :0,581359) Terluka 0,326940
Cidera 0,226527
3 Berlayar ke Fishing Ground Kelelahan 0,112583
(HEP : 0,792137) Cidera 0,126230 Terluka 0,540971 Tenggelam 0,416000 4 Setting Kelelahan 0,936388 (HEP : 0,983320) Cidera 0,516320 Tenggelam 0,457867 5 Hauling Kelelahan 0,624945 (HEP : 0,999534) Terluka 0,820366 Cidera 0,366148 Tenggelam 0,989085
6 Penanganan Hasil Tangkapan di atas Kapal Kelelahan 0,432000
(HEP : 0,752131) Terluka 0,165888
Cidera 0,476821
7 Berlayar ke Fishing Base Kelelahan 0,801665
(HEP : 0,831939) Cidera 0,152640
8 Unloading Kelelahan 0,008268
(HEP : 0,840733) Terluka 0,420796
Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
Gambar 18 Grafik HEP dari konsekuensi kegagalan pengoperasian soma pajeko Tabel 19 menunjukkan nilai peluang kesalahan manusia yang memberikan dampak konsekuensi kegagalan terhadap keselamatan nelayan soma pajeko. Nilai tersebut dikelompokkan tiap tahap aktivitas dan jenis dampaknya yang ditimbulkan dari tiap tahap aktivitas tersebut. Peluang kecelakaan kerja terbesar terjadi pada tahap 5 (hauling) dengan nilai 0,999534. Terdapat 4 jenis kecelakaan kerja yang teridentifikasi pada tahap hauling yaitu kelelahan, terluka, cedera dan tenggelam. Gambar 18 mendeskripsikan sebaran konsekuensi bahaya dan nilai peluangnya pada tiap tahap pengoperasian soma pajeko.
Potensi bahaya cedera dapat terjadi pada hampir semua tahap pengoperasian soma pajeko kecuali pada tahap 1 (persiapan). Peluang terjadinya jenis kecelakaan dengan kategori fatal hingga menyebabkan hilangnya nyawa manusia adalah tenggelam. Potensi ini dapat timbul pada tahap 3, 4 dan 5 dengan peluang tertinggi yaitu pada tahap 5 (hauling) dengan nilai peluang human error terhadap jenis kecelakaan tenggelam sebesar 0,989085. Sedangkan pada tahap 3 dan 4, peluang terjadinya kecelakaan tenggelam akibat kesalahan manusia mempunyai nilai probabilitas < 0,5. Bagi nelayan soma pajeko, risiko jatuh ke laut sudah sangat biasa. Nelayan melakukan berbagai tugas yang terkait dengan posisi badan yang membungkuk ke arah ke laut, atau menjaga keseimbangan pada area dek perahu yang terbatas licin dan basah. Pada kapal penangkap ikan yang berukuran kecil bibir perahu seringkali sangat rendah tidak ada pagar pembatas atau tali. Risiko itu yang membuat para nelayan soma pajeko yang beroperasi pada malam hari tidak menyadari kondisi risiko yang sebenarnya. Kasus orang jatuh ke laut tanpa diketahui oleh orang lainnya terutama terjadi pada malam hari. Pada saat di air risiko terjadinya hipotermia sangat lambat dan gejalanya tidak jelas. Perenang terbaik akan tenggelam setelah mereka telah kehilangan panas tubuh mereka di dalam air (Ben-Yammi, 2000).
Pola kegagalan yang memicu kecelakaan kerja pada tahap hauling disebabkan oleh konsekuensi dari kegagalan aktivitas dasar. Fault Tree Analysis dari konsekuensi masing-masing aktivitas dasar pada tahap hauling ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 19 FTA kecelakaan kerja hauling pada pengoperasian soma pajeko Diagram FTA untuk aktifitas hauling menjelaskan pada tahap ini merupakan top event (level tertinggi) dari peluang konsekuensi bahaya yang ditimbulkan akibat kesalahan manusia. Basic event (aktivitas dasar) dengan nilai HEP yang terbesar adalah pada aktivitas no. 1 yaitu saat penyelam mengawasi ikan, jaring dan memberikan kode. Sedangkan basic event dengan HEP yang terendah adalah aktivitas no. 6 yaitu saat ABK bersiap di posisinya masing- masing sebelum kegiatan menarik jaring.
0. Kecelakaan kerja Hauling
2. Operator winch menyalakan mesin 10. Mengatur posisi alat tangkap saat hauling Kelelahan OR 7. ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek 8. Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring OR Terluka 3. ABK memasang tali kolor ke winch 5. Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang) 6. ABK bersiap di posisi (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan) OR Cedera 1. Penyelam mengawasi ikan, jaring dan memberikan kode 4. Operator mengoperasikan winch menaikkan cincin-cincin 9. Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling OR Tenggelam OR 0,615680 0,810000 0,054560 0,197136 0,162000 0,014040 0,426240 0,346320 0,989085 0,999534 0,336148 0,624945 0,820366 0,808704 0,851533
Nilai HEP terbesar dari lower event yang terbentuk akibat kegagalan dari salah satu peristiwa dasar yaitu tenggelam dengan nilai 0,989085. Top event yang terbentuk pada FTA adalah “kecelakaan kerja hauling” dengan nilai HEP total 0,999534. Nilai HEP pada tahap ini merupakan yang tertinggi dibandingkan top event pada tahap pengoperasian soma pajeko lainnya. Penelitian yang serupa sudah dilakukan oleh Purwangka (2013) pada pengoperasian alat tangkap payang di Palabuhanratu juga menjelaskan bahwa pada tahap pengangkatan alat tangkap (hauling) memiliki peluang risiko yang paling besar. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian Purwangka (2013) pada pengoperasian payang di Palabuhanratu menunjukkan bahwa tahap hauling merupakan peluang kecelakaan terbesar dengan nilai HEP sebesar 0,99978. Hasil penelitian pada Bab 2 sebelumnya juga menunjukkan bahwa dengan perhitungan dasar menentukan indeks Intensitas Kerja Primer (IKP) dapat dibuktikan oleh hasil FTA yang menegaskan bahwa tahap hauling adalah aktivitas yang sangat memerlukan perhatian lebih tinggi dari pada aktivitas lainnya yang berpotensi lebih tinggi menimbulkan kecelakaan kerja pada pengoperasian soma pajeko PMT <24 meter di Bitung.
Tingkat Risiko Kecelakaan Kerja Nelayan Soma Pajeko
Menurut Ridley (2004) penilaian risiko adalah cara-cara yang digunakan majikan untuk dapat mengelola dengan baik risiko yang dihadapi oleh pekerjanya dan memastikan bahwa kesehatan dan keselamatan mereka tidak terkena risiko pada saat kerja. Penilaian sisiko ditentukan dari konsekuensi dan probabilitasnya. Penilaian risiko dari suatu bahaya yang terjadi ditentukan dari likelihood (kemungkinan) dari peluang dan tingkat keparahan (severity) dari konsekuensinya.
Kategori likelihood yang diacu adalah dari IMO (2008) berdasarkan kesempatan munculnya dalam batas waktu (siklus). Nilai likelihood berkisar antara 1% hingga 99% dalam 5 kategori (Lampiran 18 pada halaman 87). Sedangkan untuk severity dari konsekuensi kegagalan dibagi menjadi 5 kategori. Matriks 5x5 yang menunjukkan tingkat risiko pada pengoperasian soma pajeko di Bitung dikombinasikan dari ukuran HEP sebagai probabilitas dan tingkatan konsekuensi kegagalan dari masing-masing 58 aktivitas yang teridentifikasi. Hasil analisis tingkat risiko digambarkan pada matriks 5x5 berikut.
Tabel 20 Matriks Tingkat Risiko Aktivitas Pengoperasian Soma Pajeko
Severity
(Konsekuensi)
Likelihood (peluang kejadian)
Rare (≤1%) Unlikely (>1%-3%) Possible (>3%-10%) Very Unlikely (>10%-30%) Almost Certain (>30%-99%) 1 2 3 4 5 5. Fatal 26; 27; 28 22; 32; 40 4. Berat 34 35 3. Menengah 20 15 10; 24; 36; 42; 43 14; 23; 52; 53; 2. Ringan 5; 6; 17; 21; 25 31;37 12; 13; 19; 39; 54; 55; 57 8; 9; 44; 45; 49 38; 56 1.Tidak berbahaya 1; 18; 51; 58 2; 3; 4 7 11; 16; 48 29; 30; 33; 41; 46; 47; 50 Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah; Kuning = tingkat risiko sedang;
Tujuan evaluasi risiko adalah untuk membuat keputusan, berdasarkan hasil analisis risiko, tentang resiko mana yang memerlukan prioritas penanganan dan pengendalian. Output dari evaluasi risiko adalah daftar prioritas risiko untuk tindakan lebih lanjut (AS/NZS4360: 2004). Berdasarkan Tabel 20 dapat dijelaskan bahwa terdapat total 38 aktivitas yang memiliki tingkat risiko dalam kategori rendah (LOW) dengan kisaran nilai risiko 1-8. Aktivitas dalam kategori ini secara umum masih dapat diterima sesuai dengan kategori ALARP. Pengurangan risiko tidak perlu dilakukan pada aktivitas yang berada pada kriteria ini. Tingkat risiko dengan kriteria menengah (MEDIUM) dengan nilai risiko 9-15 terdiri atas 12 aktivitas, tersebar pada tahap 2 (loading) hingga tahap 8 (unloading) . Aktivitas yang berada pada area ini masih dapat ditoleransi sesuai dengan batasan ALARP. Tingkat risiko menengah hanya bisa ditoleransi untuk jangka pendek bila tidak dapat dilakukan tindakan pengendalian akibat tidak proporsionalnya biaya untuk melakukan perbaikan (Aven et al., 2006). Tindakan pengendalian sementara dilakukan untuk mitigasi risiko yang selanjutnya direncanakan dan diintroduksikan dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Berdasarkan Gambar 20, aktivitas yang berada pada kriteria tingkat risiko tinggi (HIGH) dengan nilai risiko berkisar antara 16-25 sebanyak 8 aktivitas. Risiko tinggi pertama kali teridentifikasi pada tahap 3 (perjalanan menuju fishing ground) kemudian pada tahap 4 (setting) dan paling banyak aktivitas berisiko tinggi pada tahap 5 (hauling). Pada kriteria ini risiko tidak dapat ditoleransi sehingga memerlukan pengendalian dengan mengurangi tingkat risiko serendah mungkin hingga dapat memenuhi batasan ALARP yang dapat ditoleransi.
Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
IMO (2007) menegaskan bahwa pada kriteria risiko tinggi (melewati batasan ALARP) tidak dapat dibenarkan dan harus dikurangi terlepas dari perhitungan biaya yang dikeluarkan. Secara keseluruhan 14% dari total aktivitas dasar untuk tercapainya pengoperasian soma pajeko dengan PMT ukuran panjang <24 meter di Bitung berada pada kriteria tinggi. Risiko keselamatan kerja dapat diketahui dengan mengidentifikasi risiko di lingkungan kerja dan pengukuran bahaya di tempat kerja yang memungkinkan terjadinya kerugian. Setelah risiko diidentifikasi, kemudian risiko tersebut dianalisis terlebih dahulu untuk dapat