BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
E. Nikah Fasid dan Bathil
istri. Istri bertanggungjawab untuk mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang baik yang dapat menghilangkan penat suami setelah bekerja dan mengembalikan semangatnya untuk selalu berusaha dan bekerja. Sementara itu, suami bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial rumah tangganya dan memberi nafkah kepada keluarganya. Dengan pernbagian tugas yang seimbang seperti ini, semuanya akan melaksanakannya dengan tetap mengharap ridha Allah SWT. dan mendapatkan hasil yang diberkahi-Nya.48
6. Pernikahan dapat menyatukan kekeluargaan, menumbuhkan jalinan kasih sayang di antara dua keluarga, serta memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat yang senantiasa dianjurkan dalam syariat Islam. Pada dasarnya, masyarakat yang saling berempati dan berkasih sayang adalah masyarakat yang kuat dan bahagia.49
1. Nikah Shighar
Nikah shighār adalah pernikahan terjadi ketika seseorang menikahkan anak perempuannya (wanita yang ada dalam hak perwaliannya) dengan syarat laki-laki tersebut menyerahkan perempuan yang ada dalam perwaliannya (misalnya, anak atau adik perempuannya), untuk dinikahinya dengan tanpa mahar. Al-Jazīrī mendefinisikannya dengan ‘menjadikan masing-masing mempelai wanita sebagai mahar.51 Dengan demikian, dalam pernikahan ini tidak ada mahar, karena pertukaran kedua mempelai tersebut berlaku sebagai mahar.
Ada beberapa argumen yang diajukan ulama dalam menetapkan keharaman nikah shighār , diantaranya adalah sebuah yang diriwayatkan oleh Muslim dari sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ِم َلَْسِْلْا ِف َراَغِش َلَ
Artinya:
Tidak ada nikah syighar dalam Islam.52
Begitu juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Aisyah RA. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ْنَم َةَئاِم َطََتَْشا ْنِإَو ٌلِطَبِ َوُهَ ف َِّللّا ِباَتِك ِف َسْيَل اًطْرَش َطََتَْشا َِّللّا ُطْرَش ٍطْرَش
ُقَثْوَأَو ُّقَحَأ
Artinya:
Barangsiapa yang mempersyaratkan sesuatu yang tidak ada dalam
51Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Al-fiqhu ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Jilid 5, Penerjemah: Shofa’u Qolbi Djabir, Lc., MA., dkk (Cet.I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h.
259.
52Imam Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim Jilid 2 (Cet. III; Beirut-Lebanon: Daru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2011), h. 339.
kitab Allah, maka syarat tersebut batal sekalipun ada seratus syarat (karena) syarat Allah lebih hak dan terpercaya53
2. Nikah Muhallil
Menurut Wahbah Zuhaili, nikah muhallil adalah pernikahan yang dimaksudkan untuk menghalalkan kembali wanita yang telah ditalak tiga, agar dapat dinikahi oleh suaminya yang pertama.54
Wahbah Zuhaili melanjutkan bahwa pernikahan muhallil ini batal dan tidak sah. Beliau beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari sahabat Uqbah bin Amir, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ْمُكُِبِْخُأ َلََأ ُلِ لَحُمْلا َوُه َلاَق َِّللّا َلوُسَر َيَ ىَلَ ب اوُلاَق ِراَعَ تْسُمْلا ِسْيَّ تلِبِ
َُّللّا َنَعَل
ُهَل َلَّلَحُمْلاَو َلِ لَحُمْلا
Artinya:
“Maukah kalian aku beritahukan mengenai kambing yang dipinjam?" Para sahabat menjawab, "Mau ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Dia adalah muhallil, Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu."55
Wahbah Zuhaili kemudian melanjutkan bahwa pendapat dia berbeda dengan pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Menurut mereka, pernikahan tersebut sah sepanjang seluruh syarat dan rukun nikah terpenuhi, hanya saja pelakunya berdosa. Perbedaan pendapat tersebut karena mereka berbeda dalam memahami makna “laknat” dalam hadits tersebut. Bagi yang memahaminya sebagai dosa saja, maka berpendapat hukum pernikahannya
53Muhammad bin Isma’l bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhary Jilid 2 (Cet.VI; Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009), h. 31.
54Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adullatuhu Jilid 9, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 113.
55Muhammad bin Yazid Qazwini, Sunan Ibnu Majah (Cet. I; Riyadh: Maktabah al-Ma’arif Linnasyr Wa at-Tauzi’i, 1997), h. 335.
sah, namun yang memahaminya sebagai ‘rusaknya akad’, berpendapat bahwa pernikahannya tidak sah.56
3. Nikah Mut’ah
Menurut Sayyid Sabiq, nikah mut’ah adalah pernikahan yang dilakukan seseorang untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun, atau satu bulan, satu hari, dan lain-lain. Pernikahan ini disebut mut’ah, karena dilakukan semata untuk mendapatkan manfaat dan kenikmatan untuk jangka waktu tertentu.57
Mengenai hukum nikah mut’ah, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa para ulama sepakat atas haramnya pernikahan semacam ini. secara tegas mereka mengatakan “apabila pernikahan semacam ini dilaksanakan, maka pernikahannya tidak sah". Adapun alasan-alasan yang disampaikan Sayyid Sabiq sebagai dasar atas hal ini adalah:
a. Bentuk pernikahan seperti ini tidak memiliki kaitan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, baik hukum yang berkenaan dengan pernikahan, talak, ‘iddah, maupun waris, sehingga pelaksanaan nikah cara seperti ini tidak sah.
b. Ada beberapa hadits yang menjelaskan atas haramnya nikah mut’ah.
1) Dalam riwayat Muslim, dari sahabat Sabrah bin Ma’bad disebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah. Beliau bersabda:
56Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adullatuhu Jilid 9, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 114.
57Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk (Cet.V; Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2015), h. 250.
َيَ
ْدَق ََّللّا َّنِإَو ِءاَسِ نلا ْنِم ِعاَتْمِتْس ِلَا ِف ْمُكَل ُتْنِذَأ ُتْنُك ْدَق ِ نِّإ ُساَّنلا اَهُّ يَأ ِةَماَيِقْلا ِمْوَ ي َلَِإ َكِلَذ َمَّرَح
Artinya:
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kepada kalian nikah mut'ah terhadap wanita, dan sesungguhnya (mulai saat ini) Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”.58
2) Hadits riwayat Bukhari dari sahabat Ali bin Abi Thalib ketika perang khaibar:
ْنَع ىََنَ َمَّلَسَو ِهْيَلَع َُّللّا ىَّلَص َِّللّا َلوُسَر َّنَأ ْنَعَو ََبِْيَخ َمْوَ ي ِءاَسِ نلا ِةَعْ تُم
ِةَّيِسْنِْلْا ِرُمُْلْا ِموُُلْ ِلْكَأ
Artinya:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang nikah mut'ah (perkawinan dengan waktu terbatas semata untuk bersenang-senang) dan melarang makan daging keledai jinak pada perang Khaibar.59
c. Umar bin Khatrab ra. telah mengharamkan nikah mut’ah pada saat beliau berkhutbah pada masa pemerintahannya. Begitu pula para sahabat ra., mereka menetapkan larangan nikah mutah dan sangat tidak mungkin bagi mereka untuk menetapkan sesuatu secara tidak benar jika memang larangan itu merupakan suatu kesalahan.60
d. Khattabi berkata, "Para ulama mengharamkan nikah mut’ah secara ijma', kecuali beberapa golongan dari kaum Syi'ah. Dalam hal ini, mereka tidak
58Yahya bin Syarf an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi Jilid 5 (Cet. IV;
Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2010), h. 159.
59Muhammad bin Isma’l bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhary Jilid 3 (Cet.VI; Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009), h. 76.
60Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk (Cet.V; Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2015), h. 250.
mendasarkan pendapat mereka kepada Ali bin Abi Thalib ra. karena dia turut menegaskan penghapusan ntkah mut’ah. Baihaki meriwayatkan bahwa Ja'far bin Muhammad pernah ditanya mengenai nikah mut’ah dan dia menjawab, "Nikah mut'ah merupakan salah satu bentuk perzinaan.61 e. Tujuan utama dari nikah mut’ah adalah untuk melampiaskan hawa nafsu,
bukan untuk mendapatkan keturunan dan menjaga serta mendidik mereka yang merupakan tujuan sebenarnya dari pernikahan. Nikah mut’ah dapat disamakan dengan zina dari sisi tujuan yaitu mencari kenikmatan, yang itu sernua merugikan pihak perernpuan. Perempuan dalam pernikahan ini ibarat barang dagangan yang dapat berpindah dari satu tangan ke tangan Iain. Nikah mut'ah juga merugikan anak-anak yang lahir dari pernikahan itu karena mereka tidak akan mendapatkan rumah ternpat mereka bernaung dan keluarga yang akan mendidik, serta menjaga mereka.62