SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Pada Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhshiyah) Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
M. JABIR MUKHTAR NIM: 105261107218
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 1443 H/2022 M
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN Mahasiswa yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : M. JABIR MUKHTAR
Nim : 105261107218
Fakultas : Agama Islam
Jurusan : Ahwal Syakhshiyah
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah karya penulis sendiri. Jika kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan duplikat, tiruan, plagiat, di buat seluruh atau sebagiannya oleh orang lain, maka skripsi dan gelar kesarjanaan yang di peroleh karenanya batal demi hukum.
Makassar, 01 Shafar 1444 H 29 Agustus 2022 M
Penulis
M. Jabir Mukhtar NIM: 105261107218
v
Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam, (dibimbing oleh Hasan bin Juhanis dan Mukhlis Bakri).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui relevansi antara pendapat M.
Quraish Shihab dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pernikahan beda agama di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat kepustakaan (library research), dimana data penelitian berfokus pada studi naskah dan teks yang diperoleh dari kitab Tafsir al-Misbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa M. Quraish Shihab berpendapat akan kebolehan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab atas dasar nash Al-Qur’an surah al-Ma’idah ayat 5. Selain itu Nabi Muhammad SAW juga pernah menikahi wanita Ahli Kitab, yakni Mariyah al-Kibtiyyah yang seorang Nasrani, dan juga ada beberapa sahabat yang menikahi wanita Ahli Kitab. Namun demikian timbul kekhawatiran darinya yaitu tidak tercapainya keluarga sakinah dari pernikahan tersebut. Sehingga terlepas dari unsur keilmuan tentang Al- Qur’an surah al-Maidah ayat 5, beliau tidak setuju jika hukum kebolehan dalam Al-Qur’an tersebut dipraktikkan, karena unsur kebolehan itu tidak mutlak hukumnya. Sedangkan dalam KHI, segala bentuk pernikahan beda agama itu tidak diperbolehkan, sehingga antara pendapat M. Quraish Shihab dengan Kompilasi Hukum Islam itu relevan dan tidak ditemukan adanya pertentangan antara keduanya.
Kata Kunci: Ahli Kitab, Pernikahan, Beda Agama.
vi
Laws According to the Compilation of Islamic Law, (supervised by Hasan bin Juhanis dan Mukhlis Bakri)
This study aims to determine the relevance of the opinion of M. Quraish Shihab and the Compilation of Islamic Law (KHI) on intermarriages in Indonesia.
The method used in this study is a qualitative method that is library research, where the research data focuses on the study of manuscripts and texts obtained from the Tafsir al-Misbah book: Messages, Impressions and Harmony of the Qur'an and the Compilation of Islamic Law (KHI). The results of this study indicate that M. Quraish Shihab is of the opinion of the permissibility of marriage between Muslim men and women of the People of the Book on the basis of the text of the Qur'an surah al-Ma'idah verse 5. In addition, Prophet Muhammad SAW also married a woman of People of the Book, namely Mariyah al-Kibtiyyah who is a Christian, and there are also some friends who married women of the People of the Book. However, there was concern from him that the sakinah family could not be achieved from the marriage. So apart from the scientific element about the Qur'an in surah al-Maidah verse 5, he does not agree if the law of permissibility in the Qur'an is practiced, because the element of permissibility is not absolute law. Whereas in KHI, all forms of interfaith marriage are not allowed, so that between the opinions of M. Quraish Shihab and the Compilation of Islamic Law is relevant and there is no contradiction between the two.
Keywords: Ahl Kitab, Marriage, Interfaith
vii
hambanya. Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah swt., karena dengan rahmat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pendapat M. Quraish Shihab Tentang Makna Ahli Kitab dan Relevansinya dengan Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam” ini sesuai dengan waktu yang ditentukan. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah saw. yang senantiasa menjadi sumber inspirasi dan teladan terbaik untuk manusia sepanjang masa.
Tiada jalan tanpa rintangan, tiada puncak tanpa tanjakan, tiada kesuksesan tanpa perjuangan. Dengan kesungguhan dan keyakinan untuk terus melangkah, akhirnya sampai dititik akhir penyelesaian skripsi. Namun, semua tak lepas dari uluran tangan berbagai pihak lewat dukungan, arahan, bimbingan, serta bantuan moril dan materil.
Ucapan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada:
1. Bapak Profesor Dr. H. Ambo Asse, M. Ag., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar beserta jajarannya serta wakil rektor I, II, III, dan IV.
2. Ibu Dr. Amirah Mawardi, M.Si, selaku Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar beserta wakil dekan I, II, III, dan IV.
viii
4. Ayahanda Ustadz Hasan bin Juhanis, Lc., M.S, selaku ketua program studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar, dan juga sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ustadz Ridwan Malik, S.H., M.H, selaku Sekretaris program study Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.
6. Ustadz Dr. Mukhlis Bakri, Lc., M.A, selaku Dosen Pempimbing II dalam penyusunan skripsi yang telah memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya, serta arahan, kriti, dan saran.
7. Seluruh dosen yang telah mendidik, membimbing, dan membekali berbagai pengetahuan kepada penulis saerta seluh staff di Jurusan Ahwal Syakhshiyah sehingga penulis dapat menyelesaikan jenjang S1.
8. Kupersembahkan karya sederhana ini kepada Ayahanda Mukhtar dan Ibunda Miliany, serta Adinda Fauziyah Mukhtar, Yuniarti Mukhtar dan Maghfirah Mukhtar, yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan cinta kasih yang tiada terhingga tidak mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah awal bagiku untuk dapat membahagiakan kedua orang tua.
ix susah maupun senang.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang ikut andil dalam memberikanbantuan, dukungan moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Jazaakumullahu khaeral jazaa’.
Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pembaca guna menambah pengetahuan dan wawasan keislaman. Penulis juga menyadari bahwa dalam penyusunan proposal ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan segala kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
Makassar, 01 Shafar 1444 H 29 Agustus 2022 M Penulis
M. Jabir Mukhtar NIM: 105261107218
x
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
BERITA ACARA MUNAQASYAH ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
ABSTRAK ... v
DAFTAR ISI ... x
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian... 6
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan ... 9
B. Hukum Pernikahan ... 11
C. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 17
D. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ... 25
E. Nikah Fasid dan Bathil ... 29
F. Pengertian Ahli Kitab ... 34 BAB III: PENDAPAT M. QURAISH SHIHAB DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN LAKI-LAKI MUSLIM DENGAN WANITA AHLI KITAB
xi
D. Pendapat M. Quraish Shihab tentang Pernikahan Laki-Laki Muslim dengan Wanita Ahli Kitab... 41 E. Pendapat Kompilasi Hukum Islam tentang Pernikahan Laki-Laki Muslim dengan Wanita Ahli Kitab ... 44 BAB IV: ANALISIS PENDAPAT M. QURAISH SHIHAB DAN RELEVANSINYA DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Analisis Terhadap Pendapat M. Quraish Shihab Tentang Kebolehan Laki- laki Muslim Menikahi Wanita Ahli Kitab ... 48 B. Relevansi Pendapat M. Quraish Shihab dengan Kompilasi Hukum Islam tentang Pernikahan Laki-Laki Muslim dengan Wanita Ahli Kitab ... 54 BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 57 B. Saran ... 58 DAFTAR PUSTAKA ... iv LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan jalan pernikahan yang sah, laki-laki dan perempuan menjadi terhormat. Hal ini sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia.1
Pernikahan yang disyariatkan dalam Islam dimaksudkan untuk mengatur perjodohan di antara manusia yang merupakan naluri biologis kemanusiaan, untuk meneruskan keturunan, memperoleh ketenangan hidup, menumbuhkan dan memupuk rasa kasih sayang antara suami-istri serta mengandung nilai-nilai religiusitas.2
Dalam Islam, pernikahan adalah sesuatu yang di syariatkan, sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 03 :
َنِ م ْمكَل َباَط اَم اْوُحِكْناَف ...
َعىبُرَو َثىلُ ثَو ىنْٰثَم ِء ۤا َسِ نلا
...
Terjemahnya:
...Nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat....3
1Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 3 (Cet. I; Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018), h. 381.
2Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 3, h. 382.
3Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
CV. Pustaka Jaya Ilmu, 2014), h.77. Semua terjemahan ayat dalam skripsi ini menggunakan rujukan yang sama.
Menurut hukum nasional, sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.4
Dari undang-undang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan boleh tidaknya perkawinan di Indonesia itu ditentukan oleh hukum agama. Jika hukum agama menyatakan sah maka hukum negara pun akan menyatakan sah, dan sebaliknya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada pasal 40 bagian (c) dikatakan bahwa: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.5 Kemudian pada pasal 44 disebutkan bahwa: seorang wanita Islam tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.6
Ketentuan hukum dalam pasal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an, yang melarang seorang muslim dan muslimah untuk menikahi orang musyrik. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 221 :
4Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Pengertian dalam Pembahasannya (Jakarta:
Perpustakaan dan Layanan Informasi Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, 2011), h.
134.
5Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Pengertian dalam Pembahasannya, h. 72.
6Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Pengertian dalam Pembahasannya, h. 73.
ْشُمْلا اوُحِكْنَ ت َلََو َلََو ۚ ْمُكْتَ بَجْعَا ْوَلَّو ٍةَكِرْشُّم ْنِ م ٌْيَْخ ٌةَنِمْؤُّم ٌةَمََلََو ۗ َّنِمْؤُ ي ى تَّح ِتىكِر
ۗ ْمُكَبَجْعَا ْوَلَّو ٍكِرْشُّم ْنِ م ٌْيَْخ ٌنِمْؤُّم ٌدْبَعَلَو ۗ اْوُ نِمْؤُ ي ى تَّح َْيِْكِرْشُمْلا اوُحِكْنُ ت ...
Terjemahnya:
Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu.
Adapun pada ayat yang lain, sebagaimana yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 5, disebutkan tentang kebolehan seorang laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab. Allah SWT. berfirman:
َنْيِذَّلا ُماَعَطَو ۗ
ُتىبِ يَّطلا ُمُكَل َّلِحُا َمْوَ يْلَا ْمَُّلَّ ٌّلِح ْمُكُماَعَطَو ْمُكَّل ٌّلِح َبىتِكْلا اوُتْوُا
ٓاَذِا ْمُكِلْبَ ق ْنِم َبىتِكْلا اوُتْوُا َنْيِذَّلا َنِم ُتىنَصْحُمْلاَو ِتىنِمْؤُمْلا َنِم ُتىنَصْحُمْلاَو َا ْٓيِذِخَّتُم َلََو َْيِْحِفىسُم َْيَْغ َْيِْنِصُْمُ َّنُهَرْوُجُا َّنُهْوُمُتْ يَ تىا ٍۗناَدْخ
...
Terjemahnya:
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik.
Makanan (sembelihan) Ahlul kitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan- perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik).
Ayat tersebut menyebutkan secara zhahir tentang kebolehan seorang laki-laki muslim menikahi seorang wanita Ahli Kitab. Adapun M. Quraish Shihab, dalam tafsirnya menyebutkan terkait ayat tersebut bahwa laki-laki
muslim dapat menikahi wanita Ahli Kitab, tetapi laki-laki Ahli Kitab tidak dibenarkan menikah dengan wanita muslimah.7
Dari pendapat tersebut, bisa disimpulkan bahwa M. Quraish Shihab cenderung setuju dengan pendapat jumhur ulama yang membolehkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab.
Pendapat yang diuraikan oleh M. Quraish Shihab tersebut jelas berbeda dengan yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam Pasal 40 bagian (c) disebutkan tentang larangan menikahi wanita yang tidak beragama Islam, dan Ahli Kitab bukanlah orang yang beragama Islam.
Hal inilah yang melatar-belakangi peneliti untuk mengangkat judul “ Analisis Pendapat M. Quraish Shihab tentang Makna Ahli Kitab dan Relevansinya terhadap Pernikahan Beda Agama di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka peneliti dapat merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat M. Quraish Shihab tentang perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab?
2. Apa relevansi antara pendapat M. Quraish Shihab dengan hukum pernikahan beda agama menurut Kompilasi Hukum Islam?
7M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 29.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penyusun membahas judul ini adalah:
1. Untuk mengetahui pendapat M. Quraish Shihab tentang perkawinan laki- laki muslim dengan wanita Ahli Kitab.
2. Untuk mengetahui relevansi antara pendapat M. Quraish Shihab dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pernikahan beda agama di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Dari aspek teoritis, hasil kajian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum perkawinan Islam di Indonesia dan bagi pihak-pihak yang berminat dalam melakukan kajian terkait masalah perkawinan untuk dijadiakan bahan studi atau kajian serupa atau kajian lanjutan yang sesuai dan sejalan dengan kajian ini.
Sementara dari aspek praktis, hasil kajian ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan oleh instansi terkait dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan kebijakan masalah perkawinan beda agama.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data atau informasi sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana seharusnya, dengan tujuan dan kegunaan tertentu.8
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library research), yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang ada di perpustakaan seperti buku referensi, hasil penelitian sebelumnya yang sejenis, artikel, catatan, serta berbagai jurnal yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan. Kegiatan dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyimpulkan data dengan menggunakan metode/teknik tertentu guna mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi.9
2. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dimana data bisa diperoleh, adapun dalam penelitian ini, sumber data terdiri dari:
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli.10 Adapun data primer dalam penelitian ini adalah data yang
8Hardani, dkk, Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif (Cet. I; Yogyakarta: CV.
Pustaka Ilmu, 2020), h. 242.
9Milya Sari & Asmendri, Jurnal Penelitian Kepustakaan (library research) dalam Penelitian Pendididkan IPA [t.d], h. 44.
10Sandu Siyoto & M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Cet. I; Yogyakarta:
Literasi Media Publishing, 2015), h. 67.
bersumber dari “Tafsir Al-Misbāh - Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an” oleh M. Quraish Shihab yang diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2001 dan “Kompilasi Hukum Islam” sebagai salah satu Peraturan perundang-undangan yang sah.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.11 Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah literatur buku, jurnal, makalah, skripsi, artikel dan berbagai tulisan ilmiah lainnya, baik yang berbentuk media cetak maupun media elektronik (internet) yang berhubungan dengan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi berarti cara mengumpulkan data dengan mencatat data-data yang sudah ada. Metode ini lebih mudah dibandingkan dengan metode pengumpulan data yang lain. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.12
Dalam proses ini, peneliti mengumpulkan buku, jurnal, makalah, skripsi, artikel dan berbagai literatur dan tulisan ilmiah lainnya yang berhubungan
11Sandu Siyoto & M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Cet. I; Yogyakarta:
Literasi Media Publishing, 2015), h. 68.
12Hardani, dkk, Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif (Cet. I; Yogyakarta: CV.
Pustaka Ilmu, 2020), h. 149.
dengan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab, baik yang berbentuk media cetak maupun media elektronik.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.13
Dalam hal ini penyusun menggunakan metode analisis induktif, yaitu analisis data yang prosesnya berlangsung dari fakta-fakta ke teori. Penyusun menganalisa data dari fakta/kasus yang ada kemudian memahami karakteristik dan latar belakang lahirnya fakta/kasus tersebut sehingga mencapai sebuah kesimpulan.
13Hardani, dkk, Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif (Cet. I; Yogyakarta: CV.
Pustaka Ilmu, 2020), h. 162.
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pernikahan
Menurut Abdurrahman al-Juzairi, nikah itu memiliki tiga arti.
Pertama; arti menurut bahasa, yaitu: masuk dan berhubungan intim.
Penggunaan kata "nikah" dengan arti akad adalah sebagai kiasan (metafora), karena akad nikah merupakan sebab adanya hubungan intim (persetubuhan).14
Kedua; arti dari sudut pandang ushul atau menurut syariat. Mengenai hal ini ulama berselisih dalam tiga pendapat:
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa arti sebenarnya adalah persetubuhan, sedangkan arti kiasannya adalah akad. Begitu ada kata nikah dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa disertai konteks yang lain, maka artinya adalah persetubuhan.
2. Pendapat kedua menyatakan bahwa arti sebenarnya adalah akad, sedangkan arti kiasannya adalah persetubuhan, kebalikan dari arti menurut bahasa. Dalilnya adalah karena kata nikah sering digunakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan arti akad nikah. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat menurut madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki.
3. Pendapat ketiga menyatakan bahwa artinya saling berkaitan dari segi lafal, yaitu antara akad nikah dan persetubuhan. Barangkali ini
14Abdurrahman Al-Juzairi, Al-fiqhu ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Jilid 5, Penerjemah:
Shofa’u Qolbi Djabir, dkk (Cet.I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015) h. 2.
merupakan pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara tiga pendapat ulama, karena syariat kadang menggunakan kata nikah dengan maksud akad nikah dan kadang menggunakannya dengan maksud hubungan intim (persetubuhan) tanpa memperhatikan arti semula dalam penggunaan. Ini menunjukkan bahwa nikah adalah arti sebenarnya terkait penggunaan dengan maksud akad nikah maupun persetubuhan.15
Ketiga; terkait kata nikah yaitu dari sudut pandang fikih. Ungkapan ulama fikih dalam hal ini cukup beragam namun keseluruhannya bermuara pada satu arti. Yaitu bahwasanya akad nikah ditetapkan oleh syariat agar suami dapat menikmati kelamin istri dan seluruh badannya terkait keperluan bersenang-senang. Maka, dengan akad nikah ini suami memiliki kewenangan untuk menikmati, dan kewenangan ini khusus untuknya namun dia tidak memiliki kewenangan terkait manfaatnya. Kewenangan menikmati dengan kewenangan terkait manfaat dibedakan lantaran bila kewenangan manfaat diberikan juga maka konsekwensinya suami boleh memanfaatkan apa saja yang berkaitan dengan kelamin istri, padahal tidak demikian ketentuannya.16
Adapun menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa pernikahan adalah sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk dan
15Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Al-fiqhu ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Jilid 5, Penerjemah: Shofa’u Qolbi Djabir, dkk (Cet.I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 2-4.
16Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Al-fiqhu ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Jilid 5, Penerjemah: Shofa’u Qolbi Djabir, dkk, h. 4.
sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan,dan keluarga.17
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.18
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.19
B. Hukum Pernikahan
Pernikahan disyariatkan dalam Islam berdasarkan dalil dari Al- Qur’an, sunnah, dan ijma'. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisa’ ayat 3:
َثىلُ ثَو ىنْٰثَم ِء ۤا َسِ نلا َنِ م ْمُكَل َباَط اَم اْوُحِكْناَف ىىمىتَ يْلا ِفِ اْوُطِسْقُ ت َّلََا ْمُتْفِخ ْن ِاَو اَم ْوَا ًةَدِحاَوَ ف اْوُلِدْعَ ت َّلََا ْمُتْفِخ ْنِاَف ۚ َعىبُرَو ۗاْوُلْوُعَ ت َّلََا ٓىنْٰدَا َكِلىذ ۗ ْمُكُناَْيَْا ْتَكَلَم
Terjemahnya:
Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu
17Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adullatuhu Jilid 9, Penerjemah: Abdul Hayyie al- Kattani, dkk (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 39.
18Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Bab 1: Pasal 1).
19Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Pengertian dalam Pembahasannya (Jakarta:
Perpustakaan dan Layanan Informasi Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, 2011), h. 64.
berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.
Dan juga firman-Nya dalam surah an-Nur ayat 32:
َّي ْنِا ْۗمُكِٕى ۤاَمِاَو ْمُكِداَبِع ْنِم َْيِْحِلى صلاَو ْمُكْنِم ىىمَيََْلَا اوُحِكْنَاَو ُى للّا ُمِهِنْغُ ي َءۤاَرَقُ ف اْوُ نْوُك
ۗهِلْضَف ْنِم ُى للّاَو
ٌعِساَو ٌمْيِلَع
Terjemahnya:
Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba- hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Menurut Abdurrahman as-Sa’adi (w. 1376 H) dalam Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, menjelaskan ghina yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah janganlah engkau takut hanya karena engkau miskin harta lalu mencegah dirimu atau minder untuk menikah, sebab janji Allah kepada seorang laki-laki yang sudah menikah akan dicukupkan (dikayakan) setelah sebelumnya miskin.20
Sedangkan dalam hadits, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Alqamah, bahwa Abu Abdurrahman mendengar Nabi Muhammad Saw. bersabda:
َْلَ ْنَمَو ْجَّوَزَ تَ يْلَ ف َةَءاَبْلا ْمُكْنِم َعاَطَتْسا ْنَم ِباَبَّشلا َرَشْعَم َيَ
ُهَّنِإَف ِمْوَّصلِبِ ِهْيَلَعَ ف ْعِطَتْسَي
ٌءاَجِو ُهَل
21
20Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalami al- Mannan (Cet. II; Kairo: Daarus Salam, 2002) h. 768.
21Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari (Cet. I; Beirut: Dar Ibn Katheer, 2002), h. 1293.
Artinya:
Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.
Syeikh Utsaimin menjelaskan kata “agaddhu li al-bashar” dalam hadits tersebut adalah bahwa pernikahan itu sangat membantu untuk bisa menundukkan pandangan. Masalah ini telah teruji, bahwa seseorang jika sudah menikah, maka ia akan menundukkan pandangannya dari melihat wanita yang bukan mahramnya. Adapun sebelum menikah, maka dikhawatirkan ia akan terus melihat kepada wanita, karena Allâh Azza wa Jalla memberikan tabiat seperti itu kepada mereka. Tetapi jika ia memiliki iman yang kuat, maka itu akan mencegahnya.22
Namun perlu diketahui bahwa hukum pernikahan itu bisa berbeda- beda, tergantung situasi dan kondisinya. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqih Sunnah menjabarkan beberapa hukum pernikahan. Diantaranya yaitu:
1. Wajib bagi yang sudah mampu menikah dan takut terjebak dalam perzinahan.
Bagi orang yang sudah siap melangsungkan pernikahan, dan dia khawatir apabila tidak menikah dia akan terjebak dalam perzinaan, maka pernikahan baginya adalah wajib. Sebab, menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan (zina) hukumnya adalah wajib, sementara untuk mencegah
22Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Fathu dzi al-jalali wa al-ikram jilid 4 (Cet. I;
Riyadh: Maktabah al-Islamiyah, 2006) h. 419-420.
perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan jalan menikah. Karena itu, hukum menikah adalah wajib.
Imam al-Qurthubi berkata “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama atas kewajiban menikah bagi orang yang mampu dan dia takut jika hidup membujang (tidak menikah), hal itu akan membahayakan pada diri dan agamanya. Tapi, jika dia tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya, Allah SWT. memberikan keluasan kepadanya”. Sebagaimana firmannya dalam surah an-Nur ayat 33:
ۗ هِلْضَف ْنِم ُى للّا ُمُهَ يِنْغُ ي ى تَّح اًحاَكِن َنْوُدَِيَ َلَ َنْيِذَّلا ِفِفْعَ تْسَيْلَو ....
Terjemahnya:
Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.
Namun demikian, bagi orang yang belum siap dan belum mampu untuk menikah, hendaknya memperbanyak puasa. Imam Bukhari meriwayatkan hadits yang bersumber dari Alqamah, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ِإَف ِمْوَّصلِبِ ِهْيَلَعَ ف ْعِطَتْسَي َْلَ ْنَمَو ْجَّوَزَ تَ يْلَ ف َةَءاَبْلا ْمُكْنِم َعاَطَتْسا ْنَم ِباَبَّشلا َرَشْعَم َيَ
ُهَّن
ٌءاَجِو ُهَل
23
Artinya:
Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.
23Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari (Cet. I; Beirut: Dar Ibn Katheer, 2002), h. 1293.
2. Sunnah bagi yang sudah mampu menikah, namun masih mampu menjaga dirinya dari perzinahan.
Selanjutnya, Sayyid Sabiq berkata bahwa bagi seseorang yang memungkinkan dan mampu untuk melangsungkan pernikahan, tapi dia masih mampu untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan jika tidak menikah, maka menikah baginya hukumnya sunnah. Meskipun demikian, menikah tetap dianjurkan dan mungkin lebih utama daripada melakukan berbagai macam ibadah. Hidup membujang dan enggan menikah tidak ada dalam ajaran Islam.
Dalam hal ini, Sayyid Sabiq memperkuat alasannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, dari sahabat Abu Umamah RA. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ُلا ُمُكِب ٌرِثاَكُم ِ نِٰإَف اْوُجَّوَزَ ت ىَراَصَّنلا ٍةَّيِناَبْهَرَك اْوُ نْوُكَت َلََو َمَم
Artinya:
Menikahlah, sesungguhnya aku membanggakan kalian kepada umat yang lain karena banyaknya jumlah kalian; dan janganlah kalian bertindak seperti para pendeta Nasrani (hidup membujang).24
Umar RA. pernah berkata kepada Abu Zawaid "Dua hal yang menghalangimu melangsungkan pernikahan; kelemahan dan kemaksiatan!”
Bahkan Ibnu Abbas ra. berkata "Ibadah yang dilakukan oleh seseorang yang belum menikah tidak akan sempurna sampai dia menikah.”25
24Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra (Cet. IV; Beirut- Lebanon: Daru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2010), h. 131.
25Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk (Cet.V; Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2015), h. 209-210.
3. Haram bagi yang tidak mampu memberi nafkah kepada istri dan anaknya.
Bagi seseorang yang dipastikan dia tidak akan mampu memberi nafkah kepada istri dan anaknya, baik secara lahir maupun batin, maka menikah baginya adalah haram hukumnya. Sayyid Sabiq menukil pendapat Thabrani yang berkata “Ketika seseorang mengetahui secara pasti bahwa dirinya tidak akan mampu untuk memberi nafkah kepada istrinya, membayar maharnya, dan menjalankan segala tanggung jawab setelah akad nikah, maka dia diharamkan melangsungkan pernikahan sampai dia benar-benar merasa mampu”. Pernikahan juga diharamkan bagi orang yang mengidap penyakit yang dapat menghalanginya untuk bersenggama, seperti gila, kusta, dan penyakit kelamin. Dia harus memberitahukan atas penyakit yang dideritanya kepada calon istrinya, sebagaimana kewajiban seorang pedagang yang harus memberitahukan cacat yang ada pada barang dagangannya kepada calon pembeli. Jika suami ataupun istri mendapati aib pada pasangannya, dia berhak untuk membatalkan pernikahan; jika suami mendapati aib pada istrinya, dia berhak membatalkan pernikahan dan meminta lagi mahar yang sudah diberikan.
Sayyid Sabiq menambahkan berkenaan dengan seseorang yang lemah syahwat, jika sang istri menerima kekurangannya dan menikah lantas dia bercerai karena kekurangan itu, ada perbedaan riwayat dari Malik. Dia pernah berkata “Perempuan berhak sepenuhnya atas mahar yang dia dapat.” Tapi, dia
juga sempat berkata, “Perempuan itu hanya berhak setengah dari keseluruhan mahar.”26
4. Makruh jika suami tidak bisa menafkahi, namun istri rela karena berkecukupan dan mampu menahan syahwatnya.
Sayyid sabiq berpendapat bahwa seseorang yang tidak bisa memberi nafkah lahir dan batin, tapi perempuan yang akan dinikahinya mau menerima kondisinya, karena dia tergolong orang yang kaya dan syahwatnya tidak begitu besar, maka menikah baginya hukumnya makruh. Jika dia (suami) tidak mampu memberi nafkah lahir maupun batin karena melakukan ketaatan atau adanya halangan, seperti sedang menuntut ilmu pengetahuan, maka hukum makruh bertambah kuat.27
5. Mubah jika faktor-faktor yang mengharuskan maupun menghalangi terlaksananya pernikahan tidak ada pada diri seseorang.28
C. Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun menurut para ulama Hanafiah adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan menjadi bagian di dalam esensinya. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu. Sesuatu tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya. Atau dengan kata lain merupakan hal yang harus ada. Dalam perkaan mereka yang masyhur: rukun adalah hal yang hukum syar'i tidak mungkin ada melainkan dengannya, atau hal yang menentukan esensi sesuatu,
26Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk (Cet.V; Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2015), h. 210.
27Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk, h. 210.
28Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk, h. 211.
baik merupakan bagian darinya maupun bukan.29
Sedangkan syarat adalah adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan bukan merupakan bagian di dalam esensinya.30
Menurut jumhur ulama, rukun pernikahan ada 4 (empat):
1. Sighat (Ijab dan Qabul) 2. Pengantin wanita 3. Pengantin pria 4. Wali
Empat perkara tersebut menjadi kesepakatan para ulama, namun ulama Syafi’iyah memasukkan dua orang saksi sebagai salah satu rukun pernikahan, sedangkan ulama Malikiyah memasukkan mahar sebagai salah satu rukun pernikahan.31
Menurut Wahbah Zuhaili, syarat dalam pernikahan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, diantaranya yaitu:
1. Syarat pengantin pria:
a. Islam
b. Ridha terhadap pernikahan tersebut c. Orangnya jelas
29Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adullatuhu Jilid 9, Penerjemah: Abdul Hayyie al- Kattani, dkk (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 45.
30Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adullatuhu Jilid 9, Penerjemah: Abdul Hayyie al- Kattani, dkk, h. 45.
31Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Al-fiqhu ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Jilid 5, Penerjemah: Shofa’u Qolbi Djabir, Lc., MA., dkk (Cet.I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015) h. 27- 28.
d. Tidak ada halangan syara’, misalnya tidak sedang ihram haji atau umrah.32
Selain itu, Wahbah Zuhaili juga menukil beberapa pendapat ulama, diantaranya adalah pendapat ulama Ḥanafiyah yang mengatakan bahwa baligh dan berakal bukan syarat sah-nya nikah, melainkan syarat sahnya pelaksanaan akad nikah, sementara syarat sahnya nikah cukup mumayyiz, yakni berusia tujuh tahun.
Kemudian Wahbah Zuhaili juga menukil pendapat ulama Mālikiyah, yang mana membolehkan ayah dan hakim atau orang yang mendapatkan wasiat untuk menikahkan orang gila dan anak kecil untuk kepentingan maslahat seperti dikhawatirkan terjadinya zina.
Wahbah Zuhaili juga menukil pendapat ulama Shāfi’iyah yang juga membolehkan ayah dan kakeknya menikahkan anaknya yang mumayyiz, sekalipun lebih dari satu istri jika hal tersebut membawa maslahat.
Dan terakhir Wahbah Zuhaili juga menukil pendapat ulama Ḥanābilah membolehkan seorang ayah menikahkan anak laki lakinya yang masih kecil, atau gila walaupun yang bersangkutan sudah tua.33
2. Syarat pengantin wanita:
a. Ridha terhadap pernikahan tersebut b. Islam atau Ahl al-Kitāb
32Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh Vol. IX, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), h. 6514.
33Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh Vol. IX, h. 6515.
c. Orangnya jelas
d. Tidak ada halangan syar’i untuk dinikahi, baik yang bersifat muabbad (selamanya) karena mahram, atau muaqqat (sementara) misalnya sedang terikat pernikahan dengan orang lain.34
3. Syarat wali (nasab dan hakim):
a. Cakap bertindak hukum (baligh dan berakal) b. Merdeka
c. Seagama antara wali dan mempelai yang diakadkan d. Laki-laki
e. Adil
Wahbah Zuhaili menukil pendapat ulama Ḥanafiyah bahwa perempuan dapat menjadi wali sebagai wali pengganti atau mewakili.
Adil juga bukan syarat bagi seorang wali menurut Ḥanafiyah dan Mālikiyah, sehingga menurut mereka seorang yang fasik juga dapat bertindak sebagai wali.35
4. Syarat saksi:
a. Cakap bertindak hukum b. Minimal dua orang laki-laki c. Muslim
d. Melihat e. Mendengar
34Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh Vol. IX, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), h. 6515.
35Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh Vol. IX, h. 6701-6702.
f. Adil
g. Paham terhadap maksud akad h. Merdeka.36
Wahbah Zuhaili menukil pendapat ulama Ḥanābilah yang mengatakan bahwa kesaksian budak dianggap sah, karena tidak ada pernyataan nash yang menolak kesaksian mereka. Adapun keharusan saksi laki-laki dalam pernikahan adalah berdasar pada hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
َسْفَ ن ُجِ وَزُ ت ِتَِّلا َيِه َةَيِناَّزلا َّنِإَف اَهَسْفَ ن ُةَأْرَمْلا ُجِ وَزُ ت َلََو َةَأْرَمْلا ُةَأْرَمْلا ُجِ وَزُ ت َلَ
اَه
Artinya:
Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan dan tidak boleh seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.37
Wahbah Zuhaili juga menukil pendapat Ḥanafiyah yang memperbolehkan saksi seorang laki-laki dan dua orang perempuan sebagaimana dalam muamalah. Ḥanafī juga memperbolehkan orang buta dan orang fasik menjadi saksi. Sekalipun memandang bahwa saksi merupakan syarat pernikahan, namun Mālikiyah berpendapat bahwa saksi itu tidak harus ada pada saat berlangsungnya akad.
Menurut mereka, saksi boleh datang setelah selesai akad, sepanjang belum terjadi dukhūl (bersetubuh). Dengan demikian, dalam
36Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh Vol. IX, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), h. 6561.
37Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah (Cet. I; Riyadh: Maktabah al- Ma’arif Linnasyr Wa at-Tauzi’i, 1997), h. 327.
pandangan Mālikiyah, saksi merupakan syarat sah-nya kebolehan dukhūl (hubungan suami isteri), bukan syarat sahnya akad.38
5. Syarat Ijab Qabul
Wahbah Zuhaili dalam kitabnya menjelaskan tentang syarat-syarat ijab qabul, yaitu:
a. Lafaz yang diucapkan harus bersifat pasti (menggunakan fi’il māḍī),
b. Tidak mengandung makna yang meragukan
c. Lafaz akad bersifat tuntas bersamaan dengan tuntasnya akad.
Artinya, akad tidak digantungkan pada syarat tertentu, misalnya,
“saya nikahkan anak saya jika nanti sudah diterima menjadi pegawai negeri”.
d. Ijab dan qabul diucapkan dalam satu majlis, artinya ijab dan qabul berada dalam situasi dan kondisi yang menunjukkan adanya kesatuan akad. Jika salah satu pihak tidak hadir dalam majlis akad, namun mengirimkan surat yang berisi kesediaan terhadap akad, maka ketika surat tersebut dibacakan di hadapan saksi, maka itulah satu majlis
e. Qabul tidak berbeda dengan ijab. Jika jumlah mahar disebutkan dalam akad, maka jumlah mahar yang disebut dalam qabul harus sama dengan jumlah yang disebut dalam ijab, kecuali jika dalam qabul (pihak suami) menyebut jumlah mahar yang melebihi jumlah
38Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh Vol. IX, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), h. 6561.
yang disebut dalam ijab. Dalam hal ini, akad sah. Sekalipun menurut jumhur mahar bukan rukun, namun jika disebut dalam akad, maka menjadi bagian dari akad
f. Antara ijab dan qabul harus bersifat segera (al-faur), artinya, tidak ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang menunjukkan adanya perubahan/pemalingan dari tujuan akad
g. Kedua pihak mendengar ijab dan qabul secara jelas h. Orang yang mengucapkan ijab tidak mencabut ijabnya
i. Harus disampaikan secara lisan, kecuali orang bisu dan orang yang tidak berada di tempat
j. Akad bersifat abadi, tidak dibatasi oleh waktu, misalnya bahwa pernikahan hanya selama satu bulan, dan lain-lain.39
Adapun dalam perspektif UU No.1 Tahun 1974 berbeda dengan perspektif fikih. UU Perkawinan ini hanya hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat syarat perkawinan. Didalam Bab II Pasal 6 ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,
39Wahbah al-Zuhāilī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh Vol. IX, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), h. 6563.
maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga, yang mempunyai hubungan garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan hendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melakukan perkawinan atas permintaann orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan ayat (1) sampai (6) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.40
40Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Bab 2: Pasal 6).
D. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Manusia diciptakan oleh Allah SWT. dalam keadaan mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapatkan pemenuhan. Salah satu naluri manusiawi yang dianugerahkan Allah SWT. kepada manusia adalah naluri kebutuhan seksual/biologis. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surah Ali
‘Imran ayat 14:
َّضِفْلاَو ِبَهَّذلا َنِم ِةَرَطْنَقُمْلا ِْيِْطاَنَقْلاَو َْيِْنَبْلاَو ِء ۤا َسِ نلا َنِم ِتىوَهَّشلا ُّبُح ِساَّنلِل َنِ يُز ِة
اَتَم َكِلىذ ۗ ِثْرَْلْاَو ِماَعْ نَْلَاَو ِةَمَّوَسُمْلا ِلْيَْلْاَو
ۗ اَيْ نُّدلا ِةوىيَْلْا ُع هَدْنِع ُى للّاَو
ُنْسُح ِبىاَمْلا
Terjemahnya:
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.
H. Abdul Rahman Ghazali dalam bukunya “Fikih Munakahat”
menjelaskan tentang tujuan disyaraitkannya pernikahan. Beliau mengatakan bahwa setelah mendalami surah Ali ‘Imran ayat 14 diatas, serta memabaca uraian Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, maka tujuan pernikahan antara lain yaitu:
1. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
2. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kerusakan kejahatan dan kerusakan.
3. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
4. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.41
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam, tujuan pernikahan tertuang dalam pasal 3 Bab II tentang dasar-dasar perkawinan. Pasal tersebut berbunyi:
”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”42
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih Sunnah menjelaskan tentang hikmah disyariatkannya pernikahan dalam Islam. Adapun hikmah yang disampaikan beliau yaitu:
1. Naluri seksual merupakan naluri yang sangat kuat yang selalu mengarahkan manusia untuk berusaha mencari sarana untuk menyalurkannya. Jika tidak terpenuhi, dia akan dihinggapi rasa gelisah yang berkelanjutan bahkan bisa terjerumus pada hal-hal yang tidak baik.
Pernikahan merupakan sarana terbaik untuk menyalurkan naluri seksual manusia. Pernikahan dapat menjauhkan manusia dari rasa gelisah, dapat menjaga pandangan mata dari sesuatu yang dilarang, dan beralih pada sesuatu yang dihalalkan Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam surah ar-Rum ayat 21:
41Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat (Cet. II; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 22-24.
42Kementrian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (2018), h. 5.
هِتىيىا ْنِمَو ْنَا
َقَلَخ ْمُكَل ْنِ م ْمُكِسُفْ نَا اًجاَوْزَا
آْوُ نُكْسَتِ ل اَهْ يَلِا
َلَعَجَو ْمُكَنْ يَ ب ًةَّدَوَّم
ًةَْحَْرَّو
ۗ َّنِا ِْف َكِلىذ ٍتىيىَلَ
ٍمْوَقِ ل َنْوُرَّكَفَ تَّ ي
Terjemahnya:
Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Jabir bin Abdillah RA. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
َرَصْبَأ اَذِإَف ٍناَطْيَش ِةَروُص ِف ُرِبْدُتَو ٍناَطْيَش ِةَروُص ِف ُلِبْقُ ت َةَأْرَمْلا َّنِإ ًةَأَرْما ْمُكُدَحَأ
ِهِسْفَ ن ِف اَم ُّدُرَ ي َكِلَذ َّنِإَف ُهَلْهَأ ِتْأَيْلَ ف
Artinya:
Sesungguhnya wanita itu datang dan pergi bagaikan syetan.
Maka bila kamu melihat seorang wanita, datangilah isterimu, karena yang demikian itu dapat menentramkan gejolak hatimu.43
2. Pernikahan merupakan sarana terbaik untuk mendapatkan keturunan, menjaga keberlangsungan hidup dan dapat menghindari terputusnya nasab yang mendapatkan perhatian tersendiri dalam Islam. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ِةَماَيِقْلا َمْوَ ي َءاَيِبْنَْلا ٌرِثاَكُم ِ نِّإ َدوُلَوْلا َدوُدَوْلا اوُجَّوَزَ ت
43Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim Jilid 2 (Cet. III; Beirut-Lebanon: Daru al- Kutub al-‘Ilmiyah, 2011), h. 329.
Artinya:
Menikahlah dengan seorang wanita yang memiliki kasih sayang serta manghasilan banyak keturunan, karena sesungguhnya saya berlomba-lomba untuk saling memperbanyak umat dengan para Nabi pada hari kiamat.44
Keturunan yang banyak dapat memberi kemaslahatan secara umum dan manfaat yang dapat dirasakan secara khusus. Yang mana, dengan banyaknya kemaslahatan dan manfaat ini, banyak negara berusaha untuk memperbanyak penduduknya dengan memberikan bantuan sebagai motivasi kepada siapa pun yang memiliki keturunan yang banyak.45
3. Menurut Sayyid Sabiq, naluri kebapakan dan keibuan akan terus berkembang dan semakin sempurna setelah lahirnya seorang anak.
Kemudian rasa kasih sayang akan semakin nampak, yang itu semua akan menyempurnakan sifat kemanusiaan seorang manusia.46
4. Rasa tanggung jawab untuk menafkahi keluarga dan mengayomi anak- anak dapat menumbuhkan semangat untuk bekerja dan menampakkan kreatifitasnya. Semua itu dilakukan sebagai rasa tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Dengan demikian, dunia usaha akan semakin berkembang dan mendorong investasi yang dapat memicu kesejahteraan dengan banyaknya produksi yang dapat digarap, yang semua itu telah disediakan oleh Allah SWT. di muka bumi ini.47
5. Pembagian tugas kerja, baik yang di dalam (istri) maupun yang di luar (suami) dengan tetap mengacu pada tanggungjawab bersama antara suami
44Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra (Cet. IV; Beirut- Lebanon: Daru al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2010), h. 131.
45Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk, h. 209-210.
46Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk, h. 209-210.
47Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk, h. 209-210.
istri. Istri bertanggungjawab untuk mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang baik yang dapat menghilangkan penat suami setelah bekerja dan mengembalikan semangatnya untuk selalu berusaha dan bekerja. Sementara itu, suami bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial rumah tangganya dan memberi nafkah kepada keluarganya. Dengan pernbagian tugas yang seimbang seperti ini, semuanya akan melaksanakannya dengan tetap mengharap ridha Allah SWT. dan mendapatkan hasil yang diberkahi-Nya.48
6. Pernikahan dapat menyatukan kekeluargaan, menumbuhkan jalinan kasih sayang di antara dua keluarga, serta memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat yang senantiasa dianjurkan dalam syariat Islam. Pada dasarnya, masyarakat yang saling berempati dan berkasih sayang adalah masyarakat yang kuat dan bahagia.49
E. Nikah Fasid dan Bathil
Dilihat dari segi keabsahannya, ada dua jenis pernikahan yakni nikah sahih dan nikah fāsid/batil. Nikah sahih adalah pernikahan yang terpenuhi syarat dan rukunnya, sementara nikah fāsid/bāṭil adalah pernikahan yang tidak terpenuhi syarat dan rukunnya.50 Adapun macam-macam nikah fasid/bathil adalah sebagai berikut:
48Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk (Cet.V; Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2015), h. 209-210.
49Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk, h. 209-210
50Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat - Hukum Pernikahan dalam Islam, (Cet. I;
Tangerang: Tira Smart Printing, 2019), h. 99.
1. Nikah Shighar
Nikah shighār adalah pernikahan terjadi ketika seseorang menikahkan anak perempuannya (wanita yang ada dalam hak perwaliannya) dengan syarat laki-laki tersebut menyerahkan perempuan yang ada dalam perwaliannya (misalnya, anak atau adik perempuannya), untuk dinikahinya dengan tanpa mahar. Al-Jazīrī mendefinisikannya dengan ‘menjadikan masing-masing mempelai wanita sebagai mahar.51 Dengan demikian, dalam pernikahan ini tidak ada mahar, karena pertukaran kedua mempelai tersebut berlaku sebagai mahar.
Ada beberapa argumen yang diajukan ulama dalam menetapkan keharaman nikah shighār , diantaranya adalah sebuah yang diriwayatkan oleh Muslim dari sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ِم َلَْسِْلْا ِف َراَغِش َلَ
Artinya:
Tidak ada nikah syighar dalam Islam.52
Begitu juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Aisyah RA. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ْنَم َةَئاِم َطََتَْشا ْنِإَو ٌلِطَبِ َوُهَ ف َِّللّا ِباَتِك ِف َسْيَل اًطْرَش َطََتَْشا َِّللّا ُطْرَش ٍطْرَش
ُقَثْوَأَو ُّقَحَأ
Artinya:
Barangsiapa yang mempersyaratkan sesuatu yang tidak ada dalam
51Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Al-fiqhu ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Jilid 5, Penerjemah: Shofa’u Qolbi Djabir, Lc., MA., dkk (Cet.I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h.
259.
52Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim Jilid 2 (Cet. III; Beirut-Lebanon: Daru al- Kutub al-‘Ilmiyah, 2011), h. 339.
kitab Allah, maka syarat tersebut batal sekalipun ada seratus syarat (karena) syarat Allah lebih hak dan terpercaya53
2. Nikah Muhallil
Menurut Wahbah Zuhaili, nikah muhallil adalah pernikahan yang dimaksudkan untuk menghalalkan kembali wanita yang telah ditalak tiga, agar dapat dinikahi oleh suaminya yang pertama.54
Wahbah Zuhaili melanjutkan bahwa pernikahan muhallil ini batal dan tidak sah. Beliau beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari sahabat Uqbah bin Amir, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
ْمُكُِبِْخُأ َلََأ ُلِ لَحُمْلا َوُه َلاَق َِّللّا َلوُسَر َيَ ىَلَ ب اوُلاَق ِراَعَ تْسُمْلا ِسْيَّ تلِبِ
َُّللّا َنَعَل
ُهَل َلَّلَحُمْلاَو َلِ لَحُمْلا
Artinya:
“Maukah kalian aku beritahukan mengenai kambing yang dipinjam?" Para sahabat menjawab, "Mau ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Dia adalah muhallil, Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu."55
Wahbah Zuhaili kemudian melanjutkan bahwa pendapat dia berbeda dengan pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Menurut mereka, pernikahan tersebut sah sepanjang seluruh syarat dan rukun nikah terpenuhi, hanya saja pelakunya berdosa. Perbedaan pendapat tersebut karena mereka berbeda dalam memahami makna “laknat” dalam hadits tersebut. Bagi yang memahaminya sebagai dosa saja, maka berpendapat hukum pernikahannya
53Muhammad bin Isma’l bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhary Jilid 2 (Cet.VI; Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009), h. 31.
54Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adullatuhu Jilid 9, Penerjemah: Abdul Hayyie al- Kattani, dkk (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 113.
55Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah (Cet. I; Riyadh: Maktabah al- Ma’arif Linnasyr Wa at-Tauzi’i, 1997), h. 335.
sah, namun yang memahaminya sebagai ‘rusaknya akad’, berpendapat bahwa pernikahannya tidak sah.56
3. Nikah Mut’ah
Menurut Sayyid Sabiq, nikah mut’ah adalah pernikahan yang dilakukan seseorang untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun, atau satu bulan, satu hari, dan lain-lain. Pernikahan ini disebut mut’ah, karena dilakukan semata untuk mendapatkan manfaat dan kenikmatan untuk jangka waktu tertentu.57
Mengenai hukum nikah mut’ah, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa para ulama sepakat atas haramnya pernikahan semacam ini. secara tegas mereka mengatakan “apabila pernikahan semacam ini dilaksanakan, maka pernikahannya tidak sah". Adapun alasan-alasan yang disampaikan Sayyid Sabiq sebagai dasar atas hal ini adalah:
a. Bentuk pernikahan seperti ini tidak memiliki kaitan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, baik hukum yang berkenaan dengan pernikahan, talak, ‘iddah, maupun waris, sehingga pelaksanaan nikah cara seperti ini tidak sah.
b. Ada beberapa hadits yang menjelaskan atas haramnya nikah mut’ah.
1) Dalam riwayat Muslim, dari sahabat Sabrah bin Ma’bad disebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah. Beliau bersabda:
56Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adullatuhu Jilid 9, Penerjemah: Abdul Hayyie al- Kattani, dkk (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 114.
57Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk (Cet.V; Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2015), h. 250.
َيَ
ْدَق ََّللّا َّنِإَو ِءاَسِ نلا ْنِم ِعاَتْمِتْس ِلَا ِف ْمُكَل ُتْنِذَأ ُتْنُك ْدَق ِ نِّإ ُساَّنلا اَهُّ يَأ ِةَماَيِقْلا ِمْوَ ي َلَِإ َكِلَذ َمَّرَح
Artinya:
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kepada kalian nikah mut'ah terhadap wanita, dan sesungguhnya (mulai saat ini) Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”.58
2) Hadits riwayat Bukhari dari sahabat Ali bin Abi Thalib ketika perang khaibar:
ْنَع ىََنَ َمَّلَسَو ِهْيَلَع َُّللّا ىَّلَص َِّللّا َلوُسَر َّنَأ ْنَعَو ََبِْيَخ َمْوَ ي ِءاَسِ نلا ِةَعْ تُم
ِةَّيِسْنِْلْا ِرُمُْلْا ِموُُلْ ِلْكَأ
Artinya:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang nikah mut'ah (perkawinan dengan waktu terbatas semata untuk bersenang-senang) dan melarang makan daging keledai jinak pada perang Khaibar.59
c. Umar bin Khatrab ra. telah mengharamkan nikah mut’ah pada saat beliau berkhutbah pada masa pemerintahannya. Begitu pula para sahabat ra., mereka menetapkan larangan nikah mutah dan sangat tidak mungkin bagi mereka untuk menetapkan sesuatu secara tidak benar jika memang larangan itu merupakan suatu kesalahan.60
d. Khattabi berkata, "Para ulama mengharamkan nikah mut’ah secara ijma', kecuali beberapa golongan dari kaum Syi'ah. Dalam hal ini, mereka tidak
58Yahya bin Syarf an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi Jilid 5 (Cet. IV;
Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2010), h. 159.
59Muhammad bin Isma’l bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhary Jilid 3 (Cet.VI; Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009), h. 76.
60Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk (Cet.V; Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2015), h. 250.
mendasarkan pendapat mereka kepada Ali bin Abi Thalib ra. karena dia turut menegaskan penghapusan ntkah mut’ah. Baihaki meriwayatkan bahwa Ja'far bin Muhammad pernah ditanya mengenai nikah mut’ah dan dia menjawab, "Nikah mut'ah merupakan salah satu bentuk perzinaan.61 e. Tujuan utama dari nikah mut’ah adalah untuk melampiaskan hawa nafsu,
bukan untuk mendapatkan keturunan dan menjaga serta mendidik mereka yang merupakan tujuan sebenarnya dari pernikahan. Nikah mut’ah dapat disamakan dengan zina dari sisi tujuan yaitu mencari kenikmatan, yang itu sernua merugikan pihak perernpuan. Perempuan dalam pernikahan ini ibarat barang dagangan yang dapat berpindah dari satu tangan ke tangan Iain. Nikah mut'ah juga merugikan anak-anak yang lahir dari pernikahan itu karena mereka tidak akan mendapatkan rumah ternpat mereka bernaung dan keluarga yang akan mendidik, serta menjaga mereka.62
F. Pengertian Ahli Kitab
Ahli Kitab secara bahasa berasal dari kata Al-Ahl dan Al-Kitab. Kata Al- Ahl berarti keluarga, kerabat, family, pemilik. Sedangkan Al-Kitab yang
sudah mahsyur di Indonesia yang berarti buku, atau dalam makna yang lebih khusus berarti kitab suci. Dari pengertian tersebut, kata ahl jika disambung dengan al-kitâb, tampaknya yang paling sesuai pengertiannya secara bahasa, adalah orang-orang yang beragama sesuai dengan al-Kitab, atau dengan kata lain, mereka adalah para penganut atau pengikut al-Kitab. Dalam Kamus
61Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk (Cet.V; Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2015), h. 251.
62Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap, dkk, h. 252.