• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fatwa majelis ulama Indonesia (MUI) tentang nikah beda Agama dan respon para pemuka Agama terhadapnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fatwa majelis ulama Indonesia (MUI) tentang nikah beda Agama dan respon para pemuka Agama terhadapnya"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH BEDA AGAMA DAN RESPON PARA PEMUKA AGAMA

TERHADAPNYA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana SI

Oleh: Wahyu Sunandar NIM:

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam yang Maha Pengasih dan lagi maha penyayang, yang selalu memberikan hidayah dan naungan kepada semua manusia, khususnya penulis. Sehingga penulis bias menyelesaika skripsi ini walaupun masih banyak cela.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada manusia agung, sang Revolusioner sejati, yang megantarkan manusia dari jaman kebodohan dan sampai pada jaman yang penuh dengan ilmu pengetauan, nabi besar Muhammad Saw.

Aselanjutnya, tiada kata-kata penulis ucapkan selain ucapan terima kasih, kepada semua pihak yang yang telah membantu proses penyelesain skripsi ini terutama:

. Ayahanda tercinta Abdul Koyab BA dan ibunda tercinta Sayati yang selalu memberikan semangat dan motipasi kepada saya, dan perhatian kasih dan sayangnya kepada ananda . ibu bapak terimakasih atas semuahnya

. Bapak Prof Dr. Zainun Kamalludin Faqih M.A. selaku dosen pembimbing, penulis haturkan banyak terima kasih atas waktu dan usaha yang bapak

berikan kepada penulis guna menyelesaikan Skripsi ini. Penulis meminta maaf jika dalam bimbingan banyak kesalahan dan cele yang penulis lakukan. Semoga Allah memberikan keridoan kepada bapak.

(5)

. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan pembantu-pembantu dekan penulis ucapkan terimakasih. Semoga sehat selalu dan sukses selalu . Seluruh dosen perbandingan Agama yabng tak bisa penulis sebutkkan

namanya satu persatu. Terima kasih atas ilmu yang telah bapak berikan kepada saya, semoga amal kebaikan bapak ibu sekalian di terima di sisi Allah Swt.

. Bapak rector UIN Syarif Hidayatullah jakarta beserta stsf-stafnya, yang tak bias penilis sebutkan namanya satu-persatu.

. seluruh karyawan Fakultas Ushuluddin dan anggotanya. Yang telah meyediakan fasilitas buku-buku ilmiyah kepada Mahasiswa dan mahasiswi.

. Kepada bapak KH. Salahudi Al- Aiyubi M.Si. selaku seken MUI. Yang telah menerima penulis dengan penuh kehengatan dan memberikan inpormasi tentang fatwa-fatwa. MUI.

. Kepada Suhu Ruwadi selaku pengurus sungha Mahayana tanah terimakasih atas kesedianya.

.Kepada bapak pendeta Adolp Nazara terimakasih

.Kawan-kawan sekalian yang telah menemani penulis dari semester awal hingga akhir terima kasih untuk temen-temen. Semoga sukses selalu. .dan semuah pihak yang telah membantu semua penyelesau skripsi ini good

luck to you Alll…..

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………i DAFTAR ISI.………...iv BAB I :PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah………..

B. Rumusan Masalah………

C. Tujuan Penelitian……….. D. Metodeligo Penelitian..……… E. Sistematika Penulisan….………...

BAB II : PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAN PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA.

A. Pernikahan Beda Agama Dalam perpektif Islam……… B. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Katolik………. C. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektip Hindu..………. D. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Protestan……... E. Pernikahan Neda Agama Dalam Perspektif Buddha…….…

BAB III : FATWA MUI TENTANG NIKAH BEDA AGAMA

A. Sekilas tentang Komisi Fatwa….……….. B. Susunan Pengurus Majlis Ulama Indonesia Tahun - ….. C. Fatwa Mui Nomor: /Munas: VII/MUI/ Tentang Pernikahan

Beda Agama….……….. D. Dasar-dasar Fatwa MUI nomor; /MUNAS/VII/MUI/

Tentang Pernikahan Beda Agama……….

BAB IV : RESPON PARA PEMUKA AGAMA TERHADAP FATWA MUI

A. Islam………

B. Protestan……….

C. Katholik………..………

D. Hindu……….……….

E. Buddha..………….……….

BAB V ;PENUTUP

A. Kesimpulan……….

B. Saran-saran……….

(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan pengaruh transformasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja membawa kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan perilaku dan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya. Dalam hal ini fatwa menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat universalitas ajaran Islam. Dengan demikian hukum Islam (fiqh) harus selalu dapat menjawab tantangan zaman. Ini karena fiqih sebagai aplikasi operasional dari pemahaman terhadap syari’ah dapat berubah sesuai dengan situasi yang sering berubah pula.1 Dengan demikian sifat fiqih sangat fleksibel. Dalam sebuah kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan al-hukmu yaduuru ma ’a illatihi wujudan waadaman.

Pada dasarnya, hukum Islam (fiqh) dihadirkan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan umat manusia (li-tahqiq mashalih al-nas), yang harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan. Dalam kerangka inilah selalu diperlukan ijtihad dan ijtihad baru. Jangankan perbedaan antara umat sekarang dengan masa lebih seribu tahun lalu; masa hidup Imam Syafi’i saja diperlukan dua pendapat yang berbeda yang disebut dua pendapat berbeda yang disebut q au l

1

(8)

2

q a di m (pedapat Imam Syafi’i di Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir) danqa ul

jad i d (pendapat Imam Syafi’iketika ia pindah ke Mesir).2

Dalam konteks ke-Indonesiaan salah satu upaya merealisasikan hukum Islam yang dinamis adalah dengan adanya fatwa. Fatwa ini dikeluarkan apabila terdapat persoalan hukum yang memerlukan penyelesaian baik dilakukan oleh lembaga yang berkompenten maupun kiai perseorangan. Fatwa merupakan pendapat atau jawaban hukum terhadap persoalan yang diajukan atau terjadi dalam masyarakat.3 Dalam hal ini masyarakat ada yang mengajukan kepada NU yang kemudian dibahas dalam forum bahtsul masail, ada yang mengajukan ke Muhammadiyah yang kemudian menggelar majelis tarjih dan ada pula yang mengajukan ke MUI yang kemudian menggelar sidang fatwa. Dengan demikian, fatwa tentang persoalan hukum biasanya dikeluarkan oleh lembaga atau organisasi sosial keagamaan walaupun memang ada juga yang secara perseorangan.

Perlu dijelaskan bahwa dalam dekade 1970 dan 1980-an MUI ditengarai banyak mengeluarkan fatwa yang kontroversial dan cenderung ‘memihak’ pemerintah. Tidak jarang ‘tangan-tangan’ politik politik Orde Baru yang sedang berkuasa sangat i nt e ns mengintervensi masalah agama di dalam MUI.

Ini tentu tidak lepas dari sejarah Islam masa lalu. Dalam sejarah bisa dilihat pertikain pemikiran “mazhab negara” dan “mazhab non negara” sampai

2

A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum

Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 32.

3

(9)

3

menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah.4 Nampaknya MUI pernah mengalami intervensi negara yang begitu kuat meskipun tidak seluruh fatwanya adalah ‘pesanan’ negara. Dalam hal ini Prof. Ahmad Rofiq menegaskan bahwa di era 1990-an MUI mengalami revitalisasi terutama di era reformasi. Revitalisasi peran MUI ini mengingat sejarah masa lalu MUI yang sering dinilai negatif.5

Dalam rangka revitalisasi ini maka MUI bekerjasama dengan Departemen Agama mengumpulkan fatwa-fatwanya. Ini untuk menunjukkan bahwa MUI sangat merespons perkembangan hukum terutama dalam konteks keinian. Dalam pandangan KH. Ma’ruf Amin, MUI tidak akan membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak bisa dibenarkan, baik secara i'tiqady maupun syar’i. Karena itu para ulama dituntut segera memberikan jawaban. Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zu ’ama dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh umat adalah lembaga yang mempunyaikompetensi untuk menyelesaikan persoalan hukum yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun pemerintah.6

MUI sebagai organisasi keagamaan sangat vital dalam upaya memajukan kehidupan keagamaan dan dijadikan rujukan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Peran yang dimiliki MUI selalu dinantikan realisasinya bukan saja

4

Sebagai contoh ketika al-Ma’mun berkuasa, maka Mu’tazilah resmi menjadi mazhab negara, sementara pada sisi lain Ahl al-Hadits yang dipimpin Imam Hanbali bertentangan dengan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga muncullah peristiwa mihnah. Dari sinilah terjadi penyiksaan dan pemenjaraan terhadap para tokoh pemikir Ahl al-Hadits. Belum lagi pertikaian lain yang tidak terhitung jumlahnya. Baca: Tedi Kholitudin (eds), Runtuhnya Negara

Tuhan, Semarang: PMII, 2005, hlm. xxii

5

Ahmad Rofiq, fiqih Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 362. 6

(10)

4

menyangkut bidang keagamaan yang menjadi ciri khasnya, akan tetapi juga dalam bidang lainnya seperti ekonomi dan pendidikan.

Dalam masalah fatwa MUI mempunyai sebuah komisi yang khusus membidangi masalah ini yakni komisi fatwa. Komisi ini dalam menjalankan tugasnya berdasar pada pedomena penetapan fatwa yang ada dalam MUI. Salah satu fatwa yang dikeluarkan MUI adalah masalah pernikahan beda agama yang dikeluarkan pada MUNAS MUI Tahun 2005. Fatwa ini merupakan salah satu dari 11 fatwa MUI yang pada saat difatwakannya banyak memicu kontroversi karena adanya fatwa tentang paham Ahmadiyah, pluralisme dan liberalisme. Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang pernikahan beda agama ini pada prinsipnya mempunyai kesimpulan hukum bahwa wanita muslim diharamkan menikah dengan laki-laki non mulim atau laki-laki muslim diharamkan menikah dengan wanita ahlul kitab. Dengan fatwa ini maka perlu diadakan kajian lebih mendalam mengenaiFatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tersebut, berikut dasar hukum serta pandangan para pemuka agama.

(11)

5

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama?

b. Bagaimana dasar hukum fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama?

c. Bagaimana pandangan para puka agama tentang fatwa MUI tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Untuk mengetahui fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.

b. Untuk mengetahui dasar hukum fatwa MUI Nomor:

4/MunasVII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.

c. Untuk mengetahui pandangan para pemuka agama tentang pernikahan beda agama.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

(12)

6

perkawinan beda agama. Sumber data tersebut berupa literatur yang terkait dengan substansi penelitian ini. Sumber data ini meliputi :

a. Sumber Primer

Yang dimaksud sumber data primer adalah bahan utama yang dijadikan referensi. Dalam hal ini sumber data primer yang penulis gunakan adalah dokumen tentang fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.

b. Sumber Sekunder

Sumber penunjang sebagai bahan pendukung dalam pembahasan skripsi ini yaitu buku-buku lain yang berisi tentang perkawinan beda agama dalam hukum Islam misalnya hasil Bahtsul Masail NU dan buku masail fiqhiyyah.

2. Metode Analisis Data

Adapun untuk menganalisa data setelah data terkumpul, maka dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.7 Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama dan dasar hukumnya. Adapun yang dimaksud dengan analisis adalah berfikir tajam dan mendalam. Dalam penelitian ini setelah dideskripsikan tentang fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 dan dasar hukumnya kemudian akan dianalisis secara mendalam dengan pendapat-pendapat lainnya tentang pernikahan beda agama.

Di samping itu juga penulis menggunakan metode cont ent ana li si s,

7

(13)

7

yaitumerupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.8 Yang dibutuhkan akan dikumpulkan dengan metode analisis terhadap buku atau dokumen yang ada kaitannya dengan pembahasan ini, yaitu fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu :

Bab pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Pada Bab II dibahas mengenai Pernikahan Beda Agama dalam Agama-agama, baik Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha.

Bab III berisi pembahasan tentang Komisi Fatwa MUI, Fatwa MUI tentang Pernikahan Beda Agama, dan Dasar-dasar yang digunakan Komisi Fatwa dalam menetapkan fatwa tentang Pernikahan Beda Agama.

Bab IV membahas tentang Respon para Pemuka Agama baik Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha terhadap Fatwa MUI tentang Nikah Beda Agama.

Bab V yakni penutup yang meliputi kesimpulan, dan saran-saran.

8

(14)

8

BAB II

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA

A. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA

ISLAM

1. Pengertian Nikah dalam Islam

Kalimat nikah diartikan dengan perkawinan. Nikah secara bahasa adalah akad yang merupakan pengertian majaz, sedangkan secara hakikat nikah adalah

al-wathu (bersenggama).9 Namun ada pula yang berpendapat bahwa secara bahasa nikah adalah al-wath’u yang merupakan pengertian majaz, sedangkan hakikat dari makna nikah adalah akad.10

Dalam konteks keindonesiaan, oleh Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidza) untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11 Dengan demikian pernikahan bukan semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mepunyai nilai ibadah.12 Nikah juga merupakan sunnatullah sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah sekaligus sebagai salah satu sunnah Nabi SAW.

Adapun yang menjadi dalil tentang nikah yaitu:































9

Djam'an Nur, Pengantar Fiqih Munakahat, (Semarang: Qina Utama, tt), hlm. 1. 10

Lihat: Taqiyuddin, Kifayah al-A khyar, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 115. 11 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

12

(15)

9























Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-ruum : 21)13 Sementara itu, dalil yang meyatakan bahwa nikah adalah sunnah Nabi SAW adalah sebagai berikut:

Artinya : Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka bukan termasuk golonganku. ” (Muttafaq alaih).14

2. Pernikahan Beda Agama dalam Islam

Yang dimaksud dengan pernikahan beda agama adalah pernikahan orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:

a. Pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik.

Menurut Nahdlatul Ulama haram hukumnya sebuah pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita kafir yang bukan murni ahli kitab, seperti wanita penyembah berhala, Majusyi, atau salah satu dari kedua orang tuanya adalah orang kafir.15 NU mendasarkan pada firman Allah swt Al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:

13

Depag RI, A l - Qu r ’ a n d a n Te r j e ma h n y a , (Surabaya : Mahkota, 1989), hlm. 120. 14

Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, S h a h i h a l - B u k h a ri , (Penerbit Sulaiman Mar’i,

tt), hlm. 273. 15

Imam Ghazali Dan A. Ma.ruf Asrori (eds), Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Aktual

(16)

10













































































































Artinya : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-o rang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayatayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".16

Namun terdapat perberdaan pendapat di antara para ulama yakni tentang siapa musyrikah yang haram dinikahi sebagaimana maksud ayat di atas? Menurut Ibnu Jarir at-Thabari, bahwa musyrikah yang dilarang dinikahi adalah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Alqur'an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari non Arab, seperti wanita Cina, India, dan Jepang yang diduga mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.17

Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa semua musyrikah baik dari bangsa Arab maupun non-Arab selain Ahlu kitab tidak boleh dinikahi. Menurut

16

Depag RI, O p . Ci t . , hlm. 53-54.

17

(17)

11

pendapat ini, siapapun yang bukan muslim atau ahlu kitab (beragama Kristen/Yahudi) haram dinikahi.18

Menurut Yusuf Qardlawi, konteks ayat di atas, secara keseluruhan beserta

asbabun nuzulnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-kawafir

(perempuan-perempuan kafir), yakni al-watsaniyat (perempuan-perempuan penyembah berhala).19

b. Pernikahan Antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlu Kitab.

Mayoritas ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh menikah dengan wanita Ahlu Kitab (Yahudi/Kristen). Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5:





































































































































Artinya : "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".20

Nahdlatul Ulama dengan menukil berbagai kitab tafsir menegaskan bahwa

18

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991), hlm. 5.

19

Yusuf Qardlawi, Fa t wa - F a t wa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 580.

20

(18)

12

yang dimaksud dengan al-Kitab adalah Taurat dan Injil, dan bukan kitab-kitab lain sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, Idris dan Ibrahim a.s., karena kitab-kitab tersebut tidak diturunkan secara teratur sistematik, dan bisa dipelajari ataupun dibaca. Para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya saja, atau karena kitab-kitab tersebut hanya memuat hikmah dan nasehat-nasehat, dan tidak memuat hukum-hukum syari’at.

(Pernikahan sah) jika nenek moyang wanita-wanita kafir ahli kitab tersebut belum pernah memeluk agama ahli kitab sesudah adanya penyalinan, sama saja apakah telah mengetahui keadaan sebelumnya ataupun meragukannya, mengingat keteguhan mereka dengan agama tersebut. Demikian halnya sah menikahi wanita bukan Israel, jika nenek moyang mereka diketahui tekah menganut agama tersebut sebelum perkawinannya, walaupun setelah adanya perubahan. Jika tidak diketahui, maka pernikahannya tidak sah berdasarkan pendapat yang lebih tegas dalam hal jika diragukan dalam kepemelukan agama tersebut.

Sah menikahi wanita Yahudi dan Nashrani dengan syarat yang telah disebutkan perihal wanita Israel dan lainnya di atas, demikian pula dengan wanita

Samiri dan Sha ’ibah jika keduanya bersepakat dengan Yahudi dan Nashrani

dalam ajaran pokok agama mereka, walaupun keduanya tidak sepakat dalam hal-hal yang tidak bersifat prinsip. Jika keduanya berbeda dalam ajaran pokok agama Yahudi dan Nashrani, maka keduanya haram untuk dinikahi. Semua perincian ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i sebagaimana tertera dalam Mu h ta sha r a l - Mu zan i.21

21

(19)

13

Bagi orang yang pindah agama, seperti orang Yahudi atau penyembah berhala menjadi Nashrani atau sebaliknya, maka tidak akan diterima kecuali Islam. Hal ini karena dia telah mengakui ketidakbenaran agama yang ditinggalkannya itu dan mengakui pula ketidakbenaran agama baru yang dipeluknya.

Berdasarkan ayat 5 surat Al-Maidah di atas, dan dengan didukung oleh sunnah Nabi dan praktik para sahabat, maka Ma’had Aly Situbondo (dengan menukil pendapat para ulama) memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini Nabi menikah dengan Maria Qibtiyah (Muallaf). Demikian pula sahabat Nabi seperti Usman bin Affan dan Hudzaifah menikah dengan wanita ahlu kitab.22

c. Pernikahan antara seorang wanita muslim dengan pria non muslim

Ulama telah sepakat bahwa pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki non muslim baik musyrik maupun ahli kitab adalah dilarang. Disepakati, tidak sah wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, baik merdeka maupun budak. Tidak sah pula wanita murtad menikah dengan siapapun, tidak dengan laki-laki muslim karena wanita tersebut telah kafir dan tidak mengakui apapun, dan tidak sah pula menikah dengan laki-laki kafir karena masih adanya ikatan Islam pada dirinya.

Hal ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:



...











...

Artimya : "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu 'min lebih baik dari

22

(20)

14

orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu".23 (QS. al-Baqarah : 221)

Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan pria muslim. Kenapa wanita muslim dilarang menikah dengan pria musyrik atau ahlu kitab, sementara pria muslim diperbolehkan oleh sebagian ulama untuk menikah dengan wanita ahlu kitab? Dalam hal ini bisa diberikan sebuah alasan hukum, bahwa surat al-Baqarah ayat 221 memang samasama melarang wanita dan pria muslim untuk menikah dengan musyrik atau musyrikah. Akan tetapi pada sisi lain Allah juga berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 5 di atas yang menyatakan bahwa terdapat wanita muhshanat (yang terpelihara) dari mu'minat dan ahlu kitab serta adanya sunnah Nabi dan praktik sahabat. Dengan landasan ini maka kebolehan menikah dengan ahli kitab hanya diperuntukkan bagi pria muslim bukan sebaliknya. Dalam hal ini AL-Jurjawi, Muhammad Ali Ash-Shabuni dan Yusuf Qardlawi memberikan penegasan bahwa dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli kitab semata-mata untuk menjaga iman. Sebab, ada stigma yang berkembang, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.24

B. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF KATOLIK

I. Paham Gereja mengenai Pernikahan

Perjanjian perkawinan, dengan mana pria dan perempuan membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada

23

Depag RI, Op. Cit., hlm. 53.

24

Lihat Al-Jurjawi, Juz II hlm. 33, Yusuf Qardlawi, hlm. 179, As-Shabauni, hlm. 289. semua referensi pendapat ini dikutip melalui, Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqih Rakyat Pertantuan

(21)

15

kesejanjadi sumi atau suami-istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak;

oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat

kemartabat sakramen.”25

Karena itu antara orang-orang yang dibaptis; tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen.”26

Beberapa gagasan pokok mengenai perkawinan berdasarkan keterangan diatas adalah:

1. Perkawinan pada hakekatnya merupaka sebuah perjanjian kasih setia antara seseorang pria dan wanita.

Perjanjian kasih antara suami-istri merupakan pokok perkawinan katolik. Kalau kita hadir dalam pemberkatan perkawinan di Gereja, salah satu bagian penting dalam acara tersebut adalah masing-masing pengantin mengucapkan janji perkawinan di hadapan Tuhan, imam, 2 orang saksi, dan hadirin lainya. Dengan kemungkinan berbagai variasi yang berbeda, intinya tetap sama. Masing-masing pihak menyatakan bahwa sejak saat itu mereka memilih pasagan yang menjadi suami istri. Ia berjanji untuk mencintai pasaganya dalam suka dan duka. Ia berjanji pula untuk menjadi bapak atau ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. itulah yang disebut janji perkawinan. Janji inilah yang membuat mereka melangsungkan perkawinan. Tanpa janji itu mereka tidak mungkin melangsungkan Perkawinan. Janji kasih itu sendiri bukan merupakan sesuatu yang baru sama sekali. Selama merka berpacaran dan secara

25

Lihat Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kanon 1055:1.

http://www.imankatolik.or.id/khk.php?q=1055 diakses pada tanggal 19/11/2010.

26

Lihat Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kanon 1055:2.

(22)

16

khusus mempersiapkan perkawinan, Perlahan-lahan mereka mulai membangun dan mewujudkan kasih itu sendiri. Dalam kesempatan perkawinan kasih yang mereka hayati di nyatakan secara resmi dan menjadikan ikatan kasih mereka berdua resmi pula. Mereka diakui sudah Menikah secar sah. Berbada dengan paham konrak, perkawinan sebagai suatu perjanjian kasih membut pengakuan spiritual dan dua pribadi dan kesamaan dalam kemampuan mereka untuk saling memberi dan menerima secara utuh satu sama lain. Maka perjanjian mengandaikan pilihan bebas, artinya orang tak bisa menikah secar terpaksa. Perjanjian melibatkan pribadi yang utuh, melibatkan kesatuan spiritual, emosi, dan fisik. Paham inilah yang diajarkan gereja seperti yang direfleisikan dalam konsili Vatikan II. Perjanjian kasih juga mempunyai warna biblis yang mengacu pada perjanjian kasih antar Allah dengan bangsa Israel dan memuncak dalam hubungan kasih Kristus dengan Gereja-Nya.27 Selanjutnya pada taraf yuridis dengan perjanjian ini kedua mempelai memaski bersama-sama tekad mereka untuk membangun persekutan yang paling dalam dan seluruh hidup. Itulah sebabnya Gereja mengajarkan bahwa hubungan seksual (suami-istri) tidak dibenarkan kalau dilakukan sebelum menikah resmi Menikah. Karena baru setelah menikah masing-masing pasangan saling memberi dan menerima dan dengan demikian ‘berhak’ atas pasanganya.

2. Perjanjian perkawinan tersebut membentuk kebersamaan seluruh hidup. Hakekat perkawinan adalah kebersamaan hidup suami-istri dalam semua aspeknya. Atau senasib sepenanggungan dalam semua aspek hidup. Istilah latin

27

(23)

17

yang dipakai untuk megungkapkan hakekat ini adalah ‘consortium totius vitae’. (Con=bersama. Sors=nasib. Jadi senasib dalam kebersamaan). Artinya, berbagi nasib (senasib sepenanggungan) dalam seluruh aspek kehidupan. Gagasan ini dinyatakan dan dikatakan secara bagus pada waktu mempelai memberikan janji, yaitu mau setia dalam suka maupun duka. Ungkapan ini sangat sederhana, namun begitu kaya dan tidak selalu mudah untuk megucapkanya. Mudah diucapkan pada saat menikah, bahkan lebih mudah lagi pada waktu pacaran. Tetapi mejadi tidak mudah pada waktu mewujudkan dalam perjalanan hidup perkawinan selanjutnya. Dalam hal ini sangat dibutuhkan semangat kerendahan hati, keterbukaan dan mau berkorban. Dan pengalaman menunjukkan bahwa mengandalkan kekuatan sendiri sering terasa terlalu berat mewujudkan janji tersebut. Namun, dengan berkat Tuhan yang berat dan tidak mudah ini bisa diwujudkan pula dan membuahkan kebahagiaan yang sering tidak terduga sebelumnya. Jelas bahwa, istilah seluruh hidup dimaksudkan agar suami istri membangun perkawinan dan hidup berkeluarga yang berkualitas. Hal itu berarti ada sikap penyerahan diri timbal balik, kestiaan, usaha untuk membahagiakan, dll.28

3. Perkawinan dan kodratinya terarah untuk membangun kesejahtraan suami istri.

Ada beberapa tujuan perkawinan. Salah satu yang pokok adalah membangun kesejahtraan suami istri. Mereka bersama-sama mau mewujudkan apa yang mereka cita-citakan, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Dasar dan dorongan memujudkan kebahagiaan adalah api cinta yang tumbuh mekar dalam

28

(24)

18

hati maing-masing pasangan dan pengalaman jujur, seiap orang yang memilih pacar dan mau menikah dengannya dasarnya yang paling pokok adalah karena dan lubuk hati yang paling dalam sayang dengan pasangan tersebut. Selalu tumbuh kerinduan untuk bertemu bahkan memberikan yang paling baik. Itulah pengalaman orang jatuh cinta. Api cinta ini perlu ditumbuhkan terus dan dipelihara jangan sampai padam. Perkawinan sering mudah terasa hambar karena dorongan yang paling dalam ini tinggal sedikit bahkan hampir lenyap. Karena kedua belah pihak bertekad untuk membahagiakan pasangannya, maka penting sekali sikap-sikap yang mendukung hal tersebut. Misalnya: saling menerima dan menghargai pasangannya dan membantu supaya pasangannya semakin bertumbuh. Mencoba bertuturkata yang baik terhadap pasangannya menghindari kata-kata kotor dan tindak kekerasan terhadap pasangannya. Relasi suami istri akan awet dan berlangsung hangat kalau masing-masing pandai merawar dorongan cinta yang dianugrahkan Tuhan pada awal saling jatuh cinta. Unsur perawatan ini sangatlah penting karena kalau sudah terlanjur dingin dan retak, maka sulit sekali untuk ditumbuhkan kembali.

(25)

19

perlu dilaksanakan secara manusiawi. Tidak boleh masing-masing hanya mementingkan kepentingan dan kebutuhan sendiri. Perlu dijauhi cara-cara dan sikap yang tidak manusiawi, seperti kemungkinan tindak kekerasan seksual kepada pasangannya.

Seandainya mereka tidak anugerahi seorang anak, tidak berarti dan menjadikan alasan ini untuk bercerai ataupun membatalkan perkawinan. Karena gereja mengajarkan bahwa: “anak-anak adalah buah kasih dan anugerah Tuhan yang sangat istimewa dan menjadi kebahagiaan orang tuanya.” Namun masih ada buah-buah lain dari suatu perkawinan misalnya, kedamaian dan kebahagiaan hati hidup bersama dengan pasangannya.

5. Perkawinan sah antara dua orang yang sudah dibaptis oleh Tuhan Kristus diangkat ke martabat sakramen

Salah satu paham khas Gereja Katolik tentang perkawinan adalah pengakuan bahwa perkawinan diantara dua orang dibaptis bermartabat sakramen. Sakramen secara umum berarti tanda dan sarana penyelamatan Tuhan. Maka, melalui perkawinan Tuhan mewujudkan kasih dan menjadikannya sarana penyelamatan.

II.Sifat-Sifat Perkawinan Katolik29

1. Perkawinan Katolik haruslah antara satu orang pria dan wanita

Perkawinan Katolik bersumber pada kasih Yesus Kristus kepada umat-Nya. Dalam mengasihi umat-Nya, Yesus Kristus memberikan diri secara total sampai tetes darah yang terakhir. Ia merelakan hidup-Nya demi keselamatan

29

http://www.linkpdf.com/ebook-viewer.php?url=http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6206177187.pdf diakses pada tanggal

(26)

20

manusia. Cinta Kristus yang total inilah yang harus dilakukan suami-istri. Artinya, seorang suami harus memberikan cintanya secara total hanya pada satu istri saja. Karena itu, perkawinan Katolik menolak poligami.

2. Perkawinan Katolik tidak bisa diceraikan

Gereja Katolik tidak mengenal perceraian. Karena itu, kesetiaan sampai mati adalah mutlak bagi seorang yang akan menikah. Karena itu sesuai dengan keteladanan Yesus Kristus yang mencintai umat-Nya secara total.

III. Perkawinan Beda Agama menurut Katolik

Gereja Katolik memberi kemungkinan untuk perkawinan beda agama karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya. Ada dua jenis perkawinan agama dalam Katolik, yaitu:30

1. Perkawinan beda gereja (seorang baptis katolik menikah dengan seorang baptis non-katolik). Contohnya, seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis Protestan. Perkawinan semacam ini membutuhkan ijin. 2. Perkawinan beda agama (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang

yang tidak di baptis). Contohnya, seorang baptis Katolik menikah dengan seorang Muslim, Hindu atau Buddha. Perkawinan semacam ini memerlukan dispensasi

Untuk mendapatkan ijin atau dispensasi, maka pihak Katolik diwajibkan membuat janji yang berisi dua hal, yaitu:

1. Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.

30

(27)

21

2. Pihak Katolik berjanji untuk berusaha dengan serius untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik.

Selain itu, pihak non-Katolik pun harus membuat janji yang berisi dua hal: 1. Ia tidak akan menghalangi pihak Katolik untuk melaksanakan ibadahnya. 2. Ia bersedia mendidik anak-anak yang akan lahir dalam Gereja katolik.

C. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HINDU

a. Pengertian Nikah

Bagi masyarakat Hindu, soal perkawinan mempunyai arti dan kedudukan khusus dalam dunia kehidupan mereka. Istilah perkawinan sebagaimana terdapat dalam berbagai sastra dan kitan hukum Hindu (smriti), dan dikenal dengan nama “wiwaha”.31

Agama Hindu memandang perkawinan sebagai suatu yang suci. Perkawinan adalah samskara (sakramen) dan termasuk salah satu dari sekian banyak sakramen mulai dari proses kelahiran (gharbadana) sampai proses kematian (antyasti).32 Jadi, perkawinan menurut hukum Hindu adalah ikatan suci antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama, yaitu “Purusa”.33

b. Syarat-syarat Perkawinan dalam Hindu34

31

Gde Puja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, DEPAG, 1974), hlm. 9.

32

Gde Djaksa, Hubungan Perkawinan Menurut Hukum Hindu Dengan Perkawinan Menurut

Undang-Undang No. 1/1974 Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: 1974),

hlm. 41. 33

Gde Puja, Op. Cit., hlm 11. 34

(28)

22

1. Kedua mempelai telah menganut agama Hindu, jika calon mempelai itu tidak beragama Hindu maka perkawinan tersebut tidak dapat disahkan.

2. Dalam upacara pernikahan tersebut harus ada unsur persaksian, yaitu triupasaksi yaitu saksi kepada manusia, saksi kepada bhuta dan saksi kepada Tuhan.

3. Setiap perkawinan menurut agama Hindu harus diresmikan melalui samskara (pembersihan).

4. Untuk mengesahkan perkawinan, menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh Brahmana/Pendeta/Rohaniawan, pejabat-pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya.

c. Perkawinan Beda Agama dalam Hindu

(29)

23

D. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF PROTESTAN

Pandangan agama Kristen Protestan mengenai perkawinan berdasarkan al-Kitab adalah:

a. Perkawinan sebagai suatu persetujuan hidup.

b. Perkawinan mempermiskin dan merusakkan jika perkawinan itu dipandangan hanya dari sudut persetubuhan semata.

Jadi, perkawinan menurut agama Kristen Protestan adalah suatu persekutuan hidup yang meliputi keseluruhan hidup. Yang menghendaki laki-laki dan perempuan yang telah kawin supaya dua kelamin dari jenis yang berbeda menjadi satu dalam kasih Tuhan, satu di dalam kasih-mengasihi, satu di dalam kepatuhan, satu di dalam menghayati kemanusiaan mereka dan satu di dalam memikul beban pernikahan.35

Dengan demikian, maka perkawinan itu menjadi suatu kesempatan untuk memberi jawaban kepada soal mereka masing-masing di segala lapangan kehidupan. Memiliki kesempatan untuk saling melayani agar mencapai kebahagiaan dalam perkawinan.

Walau dikatakan agama Kristen Protestan tidak melarang umatnya menikah dengan orang yang bukan beragama Kristen Protestan, akan tetapi pada prinsipnya agama Kristen Protestan menghendaki perkawinan yang seagama. Hal dapat diketahui dari pandangan al-Kitab bahwa tujuan utama dari perkawinan adalah kebahagiaan.

Oleh karena itu, agama Kristen Protestan memandang perkawinan sebagai

35

(30)

24

perwujudan kasih sayang kepada manusia di dalam persekutuan kasih yang paling dalam antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang dikehendaki Tuhan.

1. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai.

2. Kedua calon mempelai tidak terikat perkawinan dengan orang lain. 3. Sekurang-kurangnya salah seorang calon mempelai merupakan anggota

jemaat Gereja yang bersangkutan.

Demi kesejahtraan perkawinan, geraja menganjurkan kepada umatnya untuk mencari pasangan hidup yang seagama dengan mereka. Tetapi walaupun demikian, karena menyadari umatnya hidup bersama-sama dengan pemeluk agama lainnya, gereja tidak melarang umatnya secara mutlak untuk menikah dengan pemeluk agama lain.

E. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTI BUDDHA

Perkawinan beda agama memang tidak disarankan dalam agama Buddha. Hal ini sesuai dengan petunjuk Sang Buddha tentang syarat kebahagiaan dalam rumah tangga, salah satunya menyebutkan ‘keyakinan yang setara’. Sebenarnya upacara perkawinan antar mereka yang beda agama tidaklah terlalu bermasalah dalam agama Buddha hanya saja memang disarankan untuk satu agama. Permasalahan bukan pada upacara perkawinannya, namun lebih pada kehidupan dalam perkawinan itu sendiri.36

36

(31)

25

BAB III

FATWA MUI TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA

A. Sekilas Tentang Komisi Fatwa

Komisi fatwa merupakan salah satu komisi Majelis Ulama Indonesia yang membidangi masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam yang ada di tengah masyarakat yang memerlukan jawaban. Komisi fatwa MUI mempunyai wewenang mengeluarkan fatwa mengenai:

a. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional.

b. Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.

Adapun komisi fatwa MUI daerah mempunyai wewenang mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat lokal (kasus-kasus di daerah) dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan MUI / Komisi fatwa MUI.

(32)

26

menunjukkan dalilnya, baik Al-qur'an, Hadis, maupun dalil hukum lainnya. Menyatakan hukum tanpa didasarkan pada dalil-dalil hukum disebut tahakkum

(membuat-buat hukum).37 Perbuatan tahakkum harus dihindari, karena perbuatan ini termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah dalam surat al-'A'raf: 33 :



















































































Artinya : "Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."38

Dalam firman-Nya yang lain Allah secara tegas melarang tahakkum. Ini dapat dipahami dari surat an-Nahl: 116:



































































Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.

Fatwa merupakan hal yang sangat penting dalam rangka memberikan penjelasan dan penerangan kepada umat Islam utamanya dalam hal yang berkaitan baik dalam status hukum maupun kepantansan dan etika menurut agama. Dalam

memberikan fatwa, MUI merumuskan persoalan yang memerlukan jawaban

37

KH. Ma'ruf Amin, DKK, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2010), hlm. 3-4.

38

(33)

27

sesuai dengan bidang yang diperlukan. Lalu diedarkan kepada anggota komisi fatwa MUI untuk diteliti secara seksama. Kalau terdapat beberapa pendapat yang berbeda dari para ulama, lalu diadakan pertemuan untuk membahas persoalan tersebut sampai mendapatkan rumusan penjelasan yang dapat diterima sesuai dengan dalil naqli maupun aqli.

Komisi fatwa MUI merupakan lembaga independen yang terdiri dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan memiliki otoritas yang memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah. MUI dengan seluruh anggota komisi fatwanya selalu berpegang kepada al-Qur'an dan al-Sunnah dengan memperhatikan pendapat para ulama terdahulu dan juga menggunakan kaidah ushuliyah/fiqhiyyah. Di dalam mensikapi dan berinteraksi dengan kelompok yang berbeda, MUI tidak fanatik dengan mazhab, kelompok maupun negara. Putusan MUI ini merupakan putusan lembaga bukan perorangan yang tujuannya adalah mencapai kebenaran dengan menjaga kebenaran proses kesimpulan dalil, tujuan-tujuan syara', realitas keadaan, perubahan situasi dan kondisi serta pencurahan segala kemampuan untuk menetapkannya.39

Terdapat mekanisme dalam menetapkan fatwa yakni dengan didasarkan SK Dewan Pimpinan MUI No. U-634/MUI/X/1997 maka mekanisme kerja komisi fatwa secara singkat adalah sebagai berikut:40

Penyelesaian masalah:

1. Setiap surat masuk ke komisi fatwa yang berisi permintaan fatwa atau masalah hukum Islam dicatat dalam buku surat masuk, dilengkapi dengan

39

Wawancara Pribadi dengan Drs. K.H. Salahuddin Al-Ayubbi M.Si 40

(34)

28

asal (pengirim) dan tanggal surat, serta pokok masalahnya.

2. Semua surat masuk diseleksi oleh tim khusus untuk ditentukan klasifikasinya.

Prosedur rapat:

1. Ketua komisi fatwa atau melalui rapat komisi, berdasarkan dari tim khusus menetapkan prioritas masalah yang dibahas dalam rapat komisi fatwa serta menetapkan waktu pembahasannya.

2. Ketua komisi, atau melalui rapat komisi, dapat menunjuk salah seorang atau lebih anggota komisi untuk membuat makalah mengenai masalah yang akan dibahas.

3. Undangan rapat komisi, pokok masalah akan dibahas dan makalah sudah harus diterima oleh anggota komisi dan peserta rapat lain (jika ada) selambat-lambatnya tiga hari sebeleum tanggal rapat.

4. Peserta rapat komisi fatwa terdiri dari anggota komisi dan peserta lain yang dianggap perlu.

5. Rapat komisi fatwa dipimpin oleh ketua komisi atau wakilnya.

6. Rapat komisi fatwa dinyatakan sah jika dihadiri oleh sekurang-kurangnya setengah dari peserta yang diundang rapat atau jika dipandang perlu telah memenuhi quorum oleh peserta yang hadir.

7. Hasil rapat komisi fatwa dicatat oleh sekretaris komisi fatwa. Keputusan fatwa:

(35)

29

2. Keputusan fatwa sebagaimana dimaksud point 1, dilaporkan kepada dewan pimpinan / sekreatriat MUI untuk kemudian ditanfidzkan dalam bentuk surat keputusan fatwa majelis ulama indonesia.

3. Setiap surat keutusan fatwa yang ditanfizkan diberi nomor dan ditandatangani oleh ketua umum, sekretaris umum, dan ketua komisi fatwa MUI.

4. Surat keputusan fatwa MUI dikirim kepada pihak-pihak terkait dan seluruh anggota komisi fatwa serta MUI daerah.

5. Keputusan dipublikasikan pula melalui mimbar ulama dan penjelasannya dalam bentuk artikel.

Di samping adanya mekanisme, dalam menetapkan fatwa MUI sudah menetapkan metode penetapan fatwa yang tertuang dalam SK Dewan Pimpinan MUI Nomor: U-596/MUI/IX/1997. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa dasar-dasar umum penetapan fatwa adalah sebagai berikut:41

1. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu'tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.

2. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul sebagaimana ditentukan di atas, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan

ijma', qiyas yang mu'tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti

istihsan, maslahah mursalah, dan sadz adzri'ah.

3. Sebelum pengambilan keputusan fatwa, hendaklah ditinjau

41

(36)

30

pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.

Adapun prosedur penetapan fatwa MUI adalah sebagai berikut:42

1. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.

2. Mengenai masalah yang jelas hukumnya hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nashnya dari al-Qur'an dan Sunnah.

3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih telah mempertimbangkan fiqih muqaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan.

4. Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang, komisi menetapkan fatwa.

5. Setiap keputusan fatwa harus ditanfidzkan setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).

6. SKF harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah

42

(37)

31 oleh masyarakat luas.

7. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai dengan uraian dan analisis secara ringkas serta sumber pengambilannya.

8. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi SKF tersebut.

B. Susunan Pengurus Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005-201043

Nukilan lampiran:

Surat keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.

Kep-35/MUI/I/2010 tentang Susunan Pengurus Antar Waktu Dewan Pimpinan, Anggota Pleno, dan Komisi-Komisi MUI Masa Bakti 2009-2010.

I. Dewan Penasehat MUI (Majelis Ulama Indonesia)

1. Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan Ketua

2. KH. M. Kafrawi Ridwan, MA Wakil Ketua

3. Dr. H. Fuad Amsyari Wakil Ketua

4. Ir. H. Azwar Anas Wakil Ketua

5. H. M. Maftuh Basyumi Anggota

6. Prof. Dr. H. Quraisy Shihab Anggota

7. Dr. H. Tarmizi Thaher Anggota

8. Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH Anggota

9. KH. Hasyim Muzadi Anggota

43

(38)

32

10. Prof. Dr.A. Syafii Ma’arif Anggota

11. KH. Abdullah Faqih Anggota

12. Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat Anggota

13. H. Fachrudin Masturo Anggota

14. Prof. Dr. Hj. Chamamah Suratno Anggota

15. Drs. H. Irsyad Djuwaeli Anggota

16. Drs. H.A. Chalid Mawardi Anggota

17. H. Ismael Hasan, SH Anggota

18. Prof. Dr. H. Muardi Chatib Anggota

19. Dra. Hj. Asmah Syahroni Anggota

20. KH. Syuhada Bahri, Lc Anggota

21. Prof. Drs. H. Aswadi Syukur, Lc Anggota

22. KH. Cholid Fadlullah, SH Anggota

23. H. Yudo Paripurno, SH Anggota

24. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi Anggota

25. H. Aziddin, SE Anggota

26. KH. Abdurrahman Nawi Anggota

27. KH. Syukron Makmun Anggota

28. KH. Abdur Rasyid AS Anggota

29. Drs. H.A. Mubarok Anggota

30. Dr. H. Muslim Ibrahim Anggota

31. Drs. H. Rusydi Hamka Anggota

(39)

33

33. Prof. Dr. Hj. Aisyah Girindra Anggota

34. Prof. Dr. H. Muslimin Nasution Anggota

35. Prof . Dr. H. Roem Rowi Anggota

36. KH. Dr. Maghtur Usman Anggota

37. Prof. Dr. H. Salim Bajerei Anggota

38. Prof. Dr. H. Sutarmadi Anggota

39. Dr. H. Sulastomo, MPH Anggota

40. Drs. H. Abdurrahman Anggota

41. H. Yos Sutomo Anggota

42. Drs. H. Zaidan Djauhari Anggota

43. Geys Ammar, SH Anggota

44. KH. Tb. Fadhlul’Azmi Anggota

45. Dr. H. Deding Ishak, SH, MH. Anggota

Sekretaris (ex officio) : Drs. H. M. Ichwan Sam

Wakil Sekretaris : Drs. H. Irfan, SH, MPd

II. Dewan Pimpinan Harian

Ketua Umum : Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudh

Wakil Ketua Umum : Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin

Ketua : Prof. Dr. H. Umar Shihab

Ketua : Prof. Drs. KH. Asmuni Abdurrahman

Ketua : KH. Ma’ruf Amin

(40)

34

Ketua : Drs. H. A. Nazri Adlani

Ketua : Drs. H. Amidhan

Ketua : Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, MA

Ketua : KH. A. Cholil Ridwan, Lc.

Ketua : Prof. Dr. Hj. Khuzaemah T. Yanggo

Ketua : Dr. Hj. Tuty Alawiyah

Ketua : Prof. Dr. H. Amir Syarifudin

Sekretaris Umum : Drs. H. M. Ichwan Sam

Sekretaris : Dr. H. Amrullah Ahmad, S.Fil.

Sekretaris : Dr. H. Anwar Abbas, MM

Sekretaris : Drs. H. Zainut Tauhid Saadi

Sekretaris : Dra. Hj. Welya Safitri, M.Si.

Bendahara Umum :

Bendahara : Dra. Hj. Juniwati T. Masjchun Sofyan

Bendahara : Dr. H. Fahmi Darmawansyah, MM

Bendahara : Drs. H. Achmad Djunaedi

Nukilan Lampiran:

(41)

35

Komisi Fatwa

Penasehat : K.H. Ma’ruf Amin

Ketua : Dr. H.M. Anwar Ibrahim

Wakil Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Wakil Ketua : Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA

Wakil Ketua : Dr. H. Masyhuri Na’im, MA

Wakil Ketua : Prof . Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA Sekretaris : Dr. H. Hasanuddin, M.Ag

Wakil Sekretaris : Drs. H.M. Aminuddin Yakub, MA Wakil Sekretaris : Dr. H.M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA Wakil Sekretaris : Drs. H. Sholahuddin al-Aiyubi, M.Si Anggota :

. Drs. K.H. Hafiz Usman . Drs. K.H. Ghazalie Masroerie . K.H. Tb. Hasan Basri

. Drs. K.H. Saifuddin Amsir

. Prof. Dr. K.H. Muslim Nasution, MA . Prof. Drs. H.M. Nahar Nahrawi, SH, MM . Drs.H. Asnawi Latief

(42)

36

. Drs. H. Zafrullah Salim, SH, M.Hum . Drs. H. Ali Zardjas, SH

. Dr. H. A. Fattah Wibisono, MA . H. Mas’adi Sulthoni, MA . H. Nurul Iman, MA

. Prof. Dr. H. Syamsul Anwar . K.H. Ahmad Suhaili

. K.H. Yakub Lubis

. Dra. Hj. Muslimah Syukri, MA . Dr. Hj. Isnawati Rais, MA

. Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, MA . K.H. Muhammad Sofwan Kosasih . H. Abdul Wahhab Abd. Muhaimin, Lc, MA . Drs. H. Sopa, MA

. Dr. H. Muchlis Hanafi, MA . Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA . Drs. Agus Salim Dasuki, M.Eng . K.H. Abdul Manan, MM

. Dr. H. Setiawan Budi Utomo, Lc

(43)

37

B. Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda

Agama44

Dalam MUNAS MUI yang ke VII pada Tahun 2005 di Jakarta, MUI mengeluarkan 11 fatwa MUI yang salah satunya adalah fatwa tentang pernikahan beda agama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikutip seutuhnya keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Pernikahan Beda Agama.

Majelis ulama Indonesia (MUI), dalam Musyarah Nasional MUI VII pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005M., setelah:

Menimbang:

a. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi pernikahan beda agama. b. Bahwa pernikahan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di

antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengudang keresahan di tengah-tengah masyarakat.

c. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan pernikahan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan

d. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentaraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama untuk dijadikan pedoman.

Mengingat :

1. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ (4):

44

(44)

38

























































































Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

2.Firman Allah dalam QS. Ar-Rum (21)





















































Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".

3. Firman Allah dalam QS. Al-Tahrim (6)







































































Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ".

(45)

39



















































































Referensi

Dokumen terkait

Konsumsi bahan bakar cenderung meningkat seiring meningkatanya putaran mesin, lebih hemat dengan bertambahnya etanol dalam campuran bahan bakar dan menggunakan vacuum

1) Jawaban untuk pertanyaan nomor satu ini berhubungan dengan dasar- dasar mikroekonomi yang diketahui memiliki fokus pembelajarn pada perilaku individu termasuk

2 Gary Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Prenhallindo, 1997) h.. memungkinkan organisasi memperoleh, memelihara dan memperkerjakan sejumlah orang yang

Efisiensi operasional saluran tataniaga karet melalui pasar lelang di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan saluran tataniaga karet tradisional (perantara para

Refleksi ini dilakukan bersama dengan observer. Observer yang dimaksud adalah rekan guru yang mengajar di SMK NU 1 Adiwerna. Melalui refleksi ini peneliti dapat melihat

Bilangan kuadrat sempurna adalah bilangan yang merupakan hasil kali dari suatu bilangan dengan dirinya sendiria. Bentuk pangkat ini menjelaskan pada kita berapa

cabang ilmu dan/atau rumpun ilmu yang dibina program studi yang akan diakreditasi diperlukan kajian yang komprehensif mencakup jumlah program studi yang masuk dalam cabang

 Bahwa kejadian hujan di Pulau Batam pada bulan maret 2014 merata. Dimana di seluruh wila- yah Pulau Batam intensitasnya berada pada bawah normal terhadap rata-ratanya. Berdasarkan