• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKAWINAN MENURUT FIKIH DAN HUKUM POSITIF

A. Nikah Sirri

Nikah sirri secara bahasa berarti menikah secara sembunyi-sembunyi atau secara rahasia. Kata sirri dalam bahasa Arab berasal dari kata sirrun-asrar yang berarti rahasia.1 Menurut arti terminologis nikah sirri setidaknya mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Pengertian yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Syaltut, ada dua bentuk nikah sirri, yaitu:

a. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa pencatatan. Para ahli fikih bersepakat melarang nikah sirri semacam ini. b. Akad pernikahan yang dihadiri oleh para saksi, tapi mereka diharuskan

untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai sahnya nikah sirri sepperti ini, sebagian ulama seperti Hanafiyah

dan Syafi’iyah berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan

terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah sebab adanya saksi telah menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi (menjadi nikah „alaniyah). Sebagian ulama yang lain seperti Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya, berpendapat bahwa adanya pesan untuk merahasiakan pernikahan telah mencabut kesaksian dari ruh dan tujuan

1

49

disyariatkannya, yaitu publikasi (i‟lan) oleh karena itu maka pernikahan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum nikah sirri

semacam ini adalah makruh.2

2. Pengertian nikah sirri yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang terdapat dalam syariat Islam, tetapi tanpa melalui Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga pernikahan tersebut tidak dicatat dalam Akta Perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.3

Perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan ialah perkawinan yang dilaksankan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang jelas ketentuan Pasal 2 Ayat 2 yang mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya.4

2

Muhammad Sahnun bin Said al-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra (Beirut: Dar al-Sadr, 1322 H), III:192-194. Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), hlm. 143. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), VII :71.

3

Kamal Muchtar. “Nikah Sirri di Indonesia”, dalam al-Jami‟ah Jurnal Ilmu

Pengetahuan Agama Islam No.56, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, 1994, h. 14.

4

Abd. Shomad, Hukum Islam (Pennormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia). Jakarta: Kencana, 2010. H. 309.

Menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan atau sirri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun dari aspek peraturan perundangan perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya perkawinan.5

Yang biasanya bisa menjadi korban akibat adanya perkawinan model ini, yang biasanya muncul jika ada masalah, bentrokan dan suatu kepentingan, dalam bentuk pengingkaran terjadinya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan dan tak jarang pula anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu juga tidak diakui. Terkadang muncul permasalahan juga dalam hal pembagian waris.6

Pasal 42 dan 43 UUP mengatur bahwa anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Karena menurut hukum Islam, perkawinan sirri itu sah, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu adalah sah. Problema akan muncul berkaitan dengan masalah administratif berkenaan dengan surat kelahirannya.7

a. Persepektif Fikih Konvensional

5

Abd. Shomad, Hukum Islam (Pennormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia). Jakarta: Kencana, 2010. H. 309.

6

Ibid., h. 309.

7

51

Dalam perjalanan hukum Islam, Nikah Sirri bukanlah masalah yang baru, karena di dalam kitab al-Muwatha karya Imam Malik telah termaktub, bahwa istilah nikah sirri berasal dari perkataan Umar Ibnu al-Khathab r.a.:

ع .كلم ا ر خا

لج ّاإ ه لع دَ ش مَل حَاك ف ل جَر ب َرَ ع ّ أ .ر ب با

ا : أرما

.ت جرل ه ف تمّدقت تنك ل ا ّرّسلا حاك

Artinya: “Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata: Ini nikah sirri, Aku tidak membolehkannya, seandainya kamu

melakukannya pasti aku rajam.”

Pengertian nikah sirri dalam perspektif Umar tersebut adalah bahwa syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria Umar dapat dipandang sebagai nikah sirri.8

Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada saksi itu sendiri.

Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia) tidak boleh.9 Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan keduanya diamanati untuk merahasiakan pernikahan, apakah hal ini dianggap nikah sirri atau tidak?.

8

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL NASAB ANAK DI LUAR

PERKAWINAN.pdf, (diakses pada tanggal 7 Oktober 2013).

9

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang: CV. As-Syifa’, 1990), Cet. Ke-1., h. 383.

Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa hal itu bukan nikah sirri. Tetapi Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri.

Perebedaan pendapat ini disebabkan, apakah kedudukan saksi dalam

perkawinan merupakan hukum syara’, ataukah dengan saksi itu dimaksudkan untuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran?

Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’,

maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan.

Dokumen terkait