• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Negosiasi antara FKDC dengan Penyedia Jasa Lingkungan

6.3 Analisis Nilai Ekonomi pada Lahan Model Pembayaran Jasa Lingkungan

6.3.1 Nilai Kayu

Untuk menghitung nilai kayu dari tegakan di kawasan model pembayaran jasa lingkungnan digunakan metode pendekatan nilai pasar. Harga yang digunakan adalah harga yang berlaku di sekiitar wilayah lokasi penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Citaman, baik yang menjadi responden maupun tidak, diketahui bahwa saat ini hampir semua jenis

kayu yang terdapat di lokasi model pembayaran jasa lingkungan dapar diperjualbelikan, dengan demikian nilai kayu di wilayah ini ber nilai cukup besar. Berikut daftar harga kayu yang disajikan pada Tabel 7.

Nilai kayu diperoleh dengan menghitung rata-rata volume kayu (mengunakan rumus volume tabung yaitu luas alas (lingkaran) dikalikan tinggi), hasilnya kemudian dikalikan dengan harga jual di pasaran (Tabel 7). Dalam perhitungan ini, jenis kayu yang dinilai dan harga yang digunakan adalah harga yang berlaku di pasaran umum di wilayah Kabupaten Serang (Tabel 7).

Table 7. Daftar Harga Kayu di Sekitar Kawasan Model Pembayaran Jasa Lingkungan

No Jenis Kayu Harga kayu / m3(Rp)

I Buah buahan 1 Durian 2.000.000,00 2 Melinjo 200.000,00 3 Pete 500.000,00 4 Jengkol 500.000,00 5 Cengkeh 500.000,00 6 Mangga 200.000,00 7 Nangka 2.000.000,00 8 Kecapi 300.000,00 9 Kapuk 150.000,00 II Kayu kayuan 1 Mahoni 2.000.000,00 2 Tesuk 300.000,00 3 Sobsi 300.000,00 4 Bayur 600.000,00 5 Waru 1.500.000,00 6 Kihiang 1.500.000,00 7 Mindi 1.800.000,00 8 Suren 1.800.000,00 9 Dadap 150.000,00 10 Kanyere 600.000,00 11 Cempaka 2.000.000,00 12 Albazia 400.000,00

Sumber : Perusahaan penerima kayu PT. Sumber Graha Sejahtera (2009)

Berdasarakan keterangan yang diperoleh dari masyarakat, bahwa tanaman-tanaman yang terdapat di lokasi pembayaran jasa lingkungan ditanam pada waktu yang relatif bersamaan yaitu pada saat sosialisasi program bantuan bibit berbagai

tanaman dari pemerintah sekitar tahun 1980, namun, terdapat sebagian tanaman yang baru di tanam pada sekitar tahun 2000. Berdasarkan kondisi tersebut, diasumsikan bahwa rata-rata volume tanaman-tanaman yang terdapat di lokasi medel pembayaran jasa lingkungan seragam, dengan rata-rata volume kayu disajikan pada Tabel 8. Jumlah pohon di lokasi peneliian lebih dari 12.500 batang pohon. Sehingga berdasarkan hasil pengolahan data primer nilai kayu yang dihasilkan adalah sebesar Rp. 8.604.187.619,60 atau sebesar Rp. 344.167.504,80/ha/tahun (Lampiran 3).

Tabel 8. Perhitungan Nilai Kayu pada Lahan Model Pembayaran Jasa Lingkungan

No Jenis Kayu Volume KayuRata-Rata Nilai / m3 Jumlah Pohon Nilai Total (m3) (Rp) (Rp) I Buah buahan 1 Durian 0.923 1,846,320 1238 2,285,744,160 2 Melinjo 0.777 155,430 4570 710,315,100 3 Pete 1.089 544,476 293 159,531,468 4 Jengkol 1.180 589,849 372 219,423,828 5 Cengkeh 0.739 369,264 2658 981,503,712 6 Mangga 0.584 116,745 26 3,035,375 7 Nangka 0.989 1,978,200 272 538,070,400 8 Kecapi 0.362 108,518 16 1,736,294 9 Kapuk 0.848 127,170 36 4,578,120

Nilai Total Kayu Jenis Buah-Buahan 4,903,938,458 II Kayu-kayuan - -1 Mahoni 0.796 1,591,980 1848 2,941,979,040 2 Tesuk 0.532 159,575 225 35,904,330 3 Sobsi 0.862 258,485 1498 387,210,230 4 Bayur 0.743 445,754 19 8,469,334 5 Waru 0.345 518,100 80 41,448,000 6 Kihiang 0.377 565,200 50 28,260,000 7 Mindi 0.690 1,241,744 30 37,252,332 8 Suren 0.345 621,720 164 101,962,080 9 Dadap 2.135 320,280 49 15,693,720 10 Kanyere 0.063 37,680 712 26,828,160 11 Cempaka 0.345 690,800 56 38,684,800 12 Albazia 2.077 830,844 44 36,557,136

Nilai Total Kayu

Jenis Kayu-Kayuan 3,700,249,162

Sumber : analisis data primer, 2009

Nilai kayu yang dihasilkan di lokasi model pembayaran jasa lingkungan ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian sebelumnya di Taman Pendidikan Gunung Walat yaitu sebesar Rp. 1.294.605.000,00/ha/tahun (Roslinda, 2002). Perbedaan nilai tersebut karena harga kayu saat ini lebih tinggi, selain itu jenis kayu yang dimasukkan dalam perhitungan nilai kayu di lokasi model pembayaran jasa lingkungan lebih banyak dibandingkan penelitian sebelumnya yaitu hanya 3 jenis kayu.

6.3.2 Nilai Kayu Bakar

Kayu bakar merupakan sumber energi utama untuk kebutuhan memasak di lokasi penelitian. Kebiasaan menggunakan kayu bakar telah berlangsung sejak lama, meskipun saat ini sudah ada sumber energi lain seperti minyak tanah dan gas, namun masyarakat di lokasi penelitian tetap menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Menurut mereka, selain murah dan mudah untuk didapatkan, penggunaan kayu bakar juga tidak memiliki risiko kecelakaan sebesar risiko yang ditimbulkan oleh energi lainnya seperti minyak tanah atau gas, selain itu penggunaan kayu bakar yang mudah juga menjadi alasan mengapa mereka tetap memilih kayu bakar meskipun program kompor gas dari pemerintah juga sudah masuk ke wilayah tersebut.

Kayu bakar di lokasi penelitian dikumpulkan dalam bentuk ikatan, dengan konversi 1 m3 kayu bakar setara dengan 10 ikat kayu bakar dengan harga per ikat kayu bakar Rp. 2.500,00/ikat atau Rp 25.000,00/m3. Pengumpulan kayu bakar dilakukan dengan cara mengumpulkan ranting-ranting yang telah berjatuhan dan dengan cara menebang ranting-ranting pohon yang kecil atau memanfaatkan pohon-pohon yang sudah tumbang. Pengambilan kayu bakar dilakukan sambil

pulang dari kegiatan berkebun dan biasanya diambil antara 3 hingga 5 hari sekali, kemudian dikumpulkan di tempat pengumpulan kayu bakar di masing-masing rumah penduduk.

Nilai kayu bakar ditentukan dengan metode pendekatan nilai pasar karena di sekitar wilayah penelitian sudah ada pasar untuk kayu bakar. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa lebih dari 90% masyarakat penerima jasa lingkungan mengunakan kayu bakar sebagai sumber energi utama untuk memasak. Frekuensi memasak untuk semua responden sebanyak dua kali dalam sehari dengan volume rata-rata penggunaan kayu bakar 25,93 m3/tahun (Lampiran 7). Masyarakat penerima pembayaran jasa lingkungan memiliki lahan milik maupun garapan masing-masing, maka diasumsikan kayu bakar yang dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari lahan mereka, karena biasanya pengambilan kayu bakar dilakukan pada saat bertani. Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai kayu bakar yang ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Perhitungan Nilai Kayu Bakar pada Lahan Model Pembayaran Jasa Lingkungan Rata-rata konsumsi kayu bakar per RT (m3/tahun) Jumlah pengguna (jiwa) Total konsumsi (m3/tahun) Harga kayu bakar (Rp/m3) Nilai total (Rp/tahun) 25,93 43 1.115,08 25.000,00 27.876.900,00

Sumber : Analisis data primer, 2009

Dengan jumlah konsumsi kayu bakar rata-rata sebesar 25,93 m3/ tahun untuk masing-masing rumah tangga, dimana rata-rata jumlah anggota keluarga/rumah tangga adalah 5,7 jiwa, maka nilai kayu bakar yang dihasilkan oleh masyarakat di lokasi model pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp. 1.115.076,00/ha/tahun, selengkapnya disajikan pada (lampiran 7). Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian Roslinda (2002) yang menghitung

nilai kayu bakar di wilayah Hutan Pendidikan Gunung Walat dengan pendekatan biaya pengadaan yaitu Rp. 1.903.450,90/ha/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kayu bakar di wilayah Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki tingkat konsumsi kayu bakar dan yang lebih tinggi dibandingkan di lahan model PJL di Desa Citaman.

6.3.3 Nilai Produk

Nilai produk adalah manfaat yang didapatkan dari hasil tanaman yang terdapat di lokasi model PJL meliputi nilai buah dan nilai daun dari sumberdaya tersebut. Lahan model pembayaran jasa lingkungan berupa kebun campuran yang terdiri dari berbagai tanaman buah dan pepohonan kayu dengan luas lahan sebesar 25 ha, dengan demikiaan produktivitas dari tanaman-tanaman yang dihasilkan sangat beragam. Lahan model PJL ini pada awalnya merupakan semak belukar pada sekitar tahun 1970, sehingga jenis-jenis tanaman yang terdapat di lokasi tersebut ditanam pada waktu yang relatif bersaman setelah adanya berbagai program pemerintah seperti gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (GERHAN) serta program-program lainnya. Berdasarkan informasi tersebut, volume produktivitas untuk tanaman-tanaman yang serupa diasumsikan memiliki besaran yang sama.

Nilai produk ditentukan berdasarkan pendekatan nilai pasar, yaitu dengan menghitung produktivitas rata-rata per tanaman dari produk (buah-buahan dan dedaunan) yang dihasilkan oleh masing-masing tanaman tersebut. Besaran produktivitas rata-rata per tanaman kemudian dikalikan dengan harga pasar yang berlaku di wilayah sekitar lokasi penelitian. Akhirnya, didapatkan nilai produksi per pohon untuk masing-masing produk yang kemudian kalikan dengan jumlah pohon yang terdapat di lokasi tersebut.

Berdasarkan hasil pengolahan data (Lampiran 4) yaitu perkalian antara produktivitas rata-rata per tanaman, jumlah panen per tahun, jumlah pohon dan harga masing-masing produk, diperoleh nilai ekonomi produk adalah sebesar Rp. 58.785.091,33/tahun atau Rp. 2.351.403,65/ha/tahun dengan rician yang disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Perhitungan Nilai Produk pada Lahan Model Pembayaran Jasa Lingkungan Jenis Produk Satuan Produktivitas rata2/pohon Panen /tahun Jumlah pohon Harga (Rp) Nilai ekonomi produksi Melinjo kg 0.56 3 4570 3.500,00 27.018.071,60 Daun Melinjo kg 0.15 6 4570 1.250,00 5.099.845,32 Kopi kg 0.19 1 3512 11.000,00 7.168.170,77 Durian butir 0.04 1 1238 4.000,00 222.099,67 Pete empong 0.06 1 293 45.000,00 763.342,11 Jengkol kg 1.32 1 372 1.500,00 735.330,51 Cengkeh kg 0.05 1 2658 32.500,00 4.047.951,15 Mangga butir 1.27 1 26 1.250,00 41.363,64 Nangka butir 0.71 1 272 1.250,00 242.212,39 Kapuk kg 1.53 1 26 500,00 19.943,18 Pisang tandan 0.07 6 7988 4.000,00 13.426.761,01 Total Rp. 58.785.091,30

Sumber : analisis data primer, 2009

Tabel di atas menjelaskan beragam produktivitas, jumlah panen per tahun serta harga produk masing-masing. Perbedaan satuan yang terdapat pada produk jenis durian, pete, mangga, nangka dan pisang karena pada saat pengambilan data masyarakat sulit mengukur produk-produk tersebut dalam satuan kilogram juga karena kebiasaan mereka dalam menjual produk tersebut dengan satuan yang tertulis seperti dalam tabel. Dengan demikian jenis satuan tersebut tidak diubah agar perhitungan yang dihasilkan sesuai dengan apa yang terjadi di lokasi penelitian.

Adanya program pembayaran jasa lingkungan mengandung konsekuensi bahwa masyarakat penerima pembayaran jasa lingkungan berkewajiban untuk

tidak menebang pohon atau menjaga sejumlah pohon pada setiap lahan mereka sebanyak minimal 500 pohon/ha/tahun selama periode kontrak yaitu 5 tahun. Menurut FKDC (2009) Jenis tanaman yang masuk dalam skema pembayaran jasa lingkungan adalah tanaman yang memiliki daya serap air yang tinggi. Data jenis pohon yang termasuk dalam skema model pembayaran jasa lingkungan disajikan pada (Lampiran 1 dan 2). Berdasarkan kesepakatan kontrak tersebut, masyarakat penerima pembayaran jasa lingkungan memiliki keterbatasan akses terhadap pemanfaatan hasil kayu di lokasi model pembayaran jasa lingkungan selama periode kontrak tersebut. Dengan adanya keterbatasan akses pemanfaatan terhadap hasil kayu, maka hasil produksi dari tanaman-tanaman seperti buah-buahan dan dedaunan menjadi tumpuan untuk menghasilkn alternatif penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena mereka tidak memiliki mata pencaharian tetap lain selain bertani.