• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai kalor atau nilai energi adalah hasil pembakaran sempurna satu kilogram atau satu satuan bahan bakar atau satu satuan volume (ASTM, 1980). Nilai kalor diukur dengan menggunakan alat Bomb Calorimeter.

Ketika bahan bakar mengalami pembakaran sempurna, hidrogen yang terdapat dalam bahan bakar bereaksi dengan oksigen dari udara membentuk molekul air dan bercampur dengan produk pembakaran yang lain. Jika hasil pembakaran didinginkan dan uap air terkondensasi menjadi cairan, maka yang terukur adalah Higher Heating Value (HHV atau nilai kalori kasar) dan jika kandungan air dari hasil pembakaran tetap dalam fase gas, maka yang terukur adalah Lower Heating Value (LHV atau nilai kalori bersih) (Robinson, 2006).

76

F. GEL BIOETANOL

Gel etanol adalah campuran berbasis air yang biasa diaplikasikan dalam bidang farmasi sebagai penghantar obat-obatan non polar (non-polar drug delivery). Campuran tersebut dinamakan hydroalcoholic gels. Bahan pengental yang biasa digunakan adalah Carbopol atau pengental turunan selulosa yang dapat larut di dalam air dan alkohol ( Fresno et al., 2002)

Saat ini telah banyak diproduksi bioetanol yang diaplikasikan sebagai bahan bakar rumah tangga karena sifatnya yang mudah terbakar. Bioetanol yang digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga tidak hanya dalam bentuk cair namun juga dalam bentuk gel (gelfuel). Gelfuel yang telah dikembangkan di Afrika Selatan sebagai bahan bakar rumah tangga dibuat dari etanol cair 70-75% yang dicampur dengan air dan bahan pengental. Aplikasi gel bioetanol sebagai bahan bakar hampir sama dengan aplikasi paraffin. Namun gel bioetanol bersifat lebih ramah lingkungan dengan emisi hidrokarbon yang relatif rendah (Llyod dan Visagie, 2007).

Dengan penambahan bahan pengental, viskositas etanol akan meningkat dan menyerupai viskositas mayones dengan densitas 0, 71 kg/L. Zat pewarna dan flavor juga ditambahkan untuk meningkatkan keamanan saat penggunaan. Llyod dan Visagie (2007) menambahkan bahwa gel bioetanol bersifat tidak mudah tumpah dan dapat dibuat dengan menggunakan bahan-bahan terbarui sehingga sangat prospektif dijadikan bahan bakar. Uji kalorimeter yang dilakukan pada gelfuel di atas menghasilkan Higher Heating Value (HHV) sebesar 19,6 MJ/kg dan Lower Heating Value (LHV) 16,4 MJ/kg dengan asumsi bahan pengental yang digunakan mempunyai kandungan hidrogen yang sama (Robinson, 2006).

77

III.

METODE PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan untuk pembuatan gel bioetanol adalah handmixer, penangas air, dan gelas ukur. Alat yang digunakan untuk uji antara lain adalah Bomb Calorimeter, Brookfield Viscousimeter, Thermometer, kompor bioetanol dan cawan proselen. Bahan yang digunakan adalah bioetanol 99%, air (aquades), Carboxymethylcellulose (CMC) Daichi, Natrium Alginat, Guar Gum dan Karagenan. Bahan-bahan yang digunakan diperoleh dari Toko Kimia Setia Guna dan Toko Kimia Brataco Chemical, Bogor.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Agustus 2009, bertempat di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan (LDIT), Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN), FATETA, IPB dan Laboratoriun Analitik Departemen Kimia, Institut Teknologi Bandung.

C. TATA LAKSANA PENELITIAN

Pada awal penelitian, pembuatan sampel gel bioetanol dilakukan dengan skala 100 ml sebagai penelitian pendahuluan. Sebelum dicampur dengan bioetanol, bahan pengental terlebih dahulu dilarutkan dalam air (aquades) karena bahan pengental tidak dapat larut ke dalam bioetanol secara langsung. Pengadukan dilakukan dengan kecepatan minimal 1500 rpm selama 20-30 menit agar campuran gel bioetanol benar-benar homogen. Diagram alir pembuatan gel bioetanol dapat dilihat pada Gambar 4.

78

Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Gel Bioetanol

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu (1) penentuan jenis bahan pengental yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan gel bioetanol, (2) penentuan konsentrasi bioetanol yang terbaik untuk menghasilkan gel bioetanol yang homogen dan jernih, (3) penentuan formulasi bahan pengental dan konsentrasi bioetanol yang terbaik untuk pembuatan gel bioetanol. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Alir Tahapan Penelitian Mulai

Selesai

Penentuan Jenis Bahan Pengental Penentuan Konsentrasi Bioetanol

Penentuan Formulasi Konsentrasi Bioetanol dan Bahan Pengental Pencampuran, 1500 rpm,

20 menit

Pencampuran, 1000 rpm, 5 menit

Air

(Aquades) Gelling Agent Bioetanol 95%

Larutan Gelling Agent dan air

79

1. Penentuan Jenis Bahan Pengental

Bahan pengental tidak dapat langsung larut dalam bioetanol sehingga harus dilarutkan terlebih dahulu ke dalam air (aquades) dan kemudian baru ditambahkan larutan bioetanol. Dari keempat jenis bahan pengental yang digunakan (Natrium alginat, guar gum, karagenan dan CMC), dipilih campuran yang homogen (tidak mengendap dalam bioetanol) dan digunakan untuk penelitian selanjutnya. Masing-masing sampel dibuat sebanyak 100 ml dengan konsentrasi bioetanol 70% dengan konsentrasi bahan pengental 0,75% (b/v).

2. Penentuan Konsentrasi Cairan Bioetanol

Setelah didapat jenis bahan pengental yang larut dalam campuran air-bioetanol, bahan pengental tersebut selanjutnya diujicobakan untuk mengentalkan dalam beberapa konsentrasi bioetanol, yaitu bioetanol 60%, 70% dan 80%. Dari masing-masing konsentrasi tersebut kemudian dipilih konsentrasi campuran air-bioetanol-bahan pengental yang menghasilkan gel bioetanol paling jernih dan homogen.

3. Penentuan Formulasi Bahan Pengental dan Bioetanol

Dari jenis bahan pengental dan konsentrasi bioetanol yang terbaik dibuat beberapa sampel dengan perlakuan beberapa konsentrasi bahan pengental terpilih. Setiap sampel perlakuan gel bioetanol kemudian dilakukan pengujian terhadap nilai kalor (calorific value), Water Boiling Test (WBT), viskositas dan residu pembakaran. Nilai kalor yang baik untuk gel bioetanol untuk bahan bakar adalah mendekati 16,4 MJ/kg (Robinson, 2006).

D. PROSEDUR PENGUJIAN

Penentuan formulasi terbaik untuk pembuatan gel bioetanol dilakukan dengan pengujian nilai kalor, viskositas, Water Boiling Test (WBT) dan residu pembakaran. Penjabaran dari masing-masing pengujian adalah sebagai berikut.

80

1. Uji Viskositas

Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan gel bioetanol. Alat yang digunakan adalah Brookfield Viscousimeter (Gambar 6). Tingkat kekentalan gel bioetanol akan berpengaruh terhadap aplikasinya sebagai bahan bakar rumah tangga. Viskositas gel bioetanol yang diinginkan adalah kekentalan yang menyerupai pasta dan masih dapat mengalir. Diagram alir uji viskositas diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 6. Alat Brookfield Viscousimeter

Gambar 7. Diagram Alir Uji Viskositas Gel Bioetanol Jarum pemutar dimasukkan dalam sampel

Skala dibiarkan berputar Gel Bioetanol 600 ml

Jarum skala stabil

81

2. Nilai pH

Pengujian nilai pH dilakukan untuk mengetahui derajat keasaman campuran gel bioetanol. Alat yang digunakan untuk pengujian ini adalah pH meter Beckman. Gambar 8 adalah gambar alat pHmeter Beckman.

Gambar 8. Alat pHmeter Beckman.

3. Nilai Kalor

Pengujian nilai kalor dilakukan untuk mengetahui tingkat panas yang dihasilkan oleh setiap sampel gel bioetanol dalam satuan kalori (cal). Untuk mengukur nilai kalor, gel bioetanol dibakar di dalam Adiabatic Bomb Calorimeter (Gambar 9) dimana produk pembakaran kemudian didinginkan kembali hingga suhu ruang. Energi yang digunakan untuk mendinginkan produk pembakaran setara dengan energi yang tersedia dalam bahan bakar (Robinson, 2006).

82

4. Water Boiling Test (WBT)

Pada dasarnya Water Boiling Test (WBT) mengukur efisiensi suhu dari kompor bioetanol dan konsumsi spesifik bahan bakar pada kondisi minimum dan maksimum. Robinson (2006) menjelaskan bahwa untuk melakukan WBT, kompor diuji dari keadaan dingin dan selanjutnya kompor diisi dengan bahan bakar tertentu yang ingin duji. Kompor dinyalakan untuk mendidihkan sejumlah air.

Menurut Yunita (2007), pengukuran WBT dilakukan untuk mengetahui efisiensi proses pemasakan, energi panas yang dihasilkan serta konsumsi bahan bakar yang digunakan per satuan waktu. Prosedur untuk melakukan Water Boiling Test (WBT) adalah sebagai berikut (Modifikasi dari Yunita, 2007).

a. Satu kilogram air dimasukkan ke dalam panci yang akan digunakan untuk mendidihkan air.

b. Termometer alkohol dimasukkan kedalam panci yang telah diisi air. c. Massa awal bahan bakar ditimbang terlebih dahulu dan dimasukkan ke

dalam tanki kompor. Kemudian tanki kompor ditutup rapat.

d. Massa kompor yang telah diisi dengan bahan bakar ditimbang sebagai bobot awal.

e. Kompor dinyalakan untuk mendidihkan air dalam panci dan diamati perubahan dan penampakan nyala api yang terjadi.

f. Pengujian dihentikan bila air telah mencapai suhu mendidih. Suhu air kemudian dibaca dan bobot akhir kompor dan sisa bahan bakar ditimbang sebagai bobot akhir dan sisa pembakaran.

Mengadopsi dari WBT, pada penelitian ini akan dididihkan satu liter air yang bersuhu ruang hingga 100oC dan berapa waktu yang diperlukan untuk mendidihkan air tersebut. Selanjutnya pendidihan terus dilakukan hingga satu liter habis menguap dan kemudian akan dihitung jumlah gel bioetanol yang diperlukan untuk menguapkan satu liter air tersebut. Gambar 10 menunjukkan perangkat untuk pengujian Water Boiling Test (WBT).

83 Gambar 10. Perangkat Pengujian Water Boiling Test (WBT)

5. Uji Pembakaran (Modifikasi dari Robinson, 2006)

Uji pembakaran dilakukan untuk mengetahui efisiensi pembakaran gel bioetanol. Sekitar 10 gram gel bioetanol dibakar di cawan porselen tahan panas. Dari hasil pembakaran tersebut dihitung sisa pembakaran dan lama api menyala saat gel bioetanol terbakar. Rincian uji pembakaran ini adalah sebagai berikut.

a. Cawan alumunium bersih dengan luas permukaan atasnya seluas 22,1 cm2 ditimbang bobotnya dan dinyatakan sebagai bobot wadah.

b. Kemudian ke dalam cawan alumunium ditambahkan kurang lebih 10 gram gel bioetanol dan ditimbang bobotnya. Bobot ini disebut dengan bobot isi.

c. Gel bioetanol yang terdapat di dalam cawan alumunium dibakar dan apinya dibiarkan menyala hingga padam. Waktu dihitung dari awal pembakaran hingga api sudah tidak dapat menyala lagi. Waktu tersebut adalah waktu pembakaran.

d. Selanjutnya, cawan alumunium yang berisi sisa pembakaran gel bioetanol ditimbang kembali dan dicatat sebagai bobot akhir.

Perhitungan residu pembakaran adalah sebagai berikut.

% 100 (%) Re x Isi bobot awal bobot akhir bobot pembakaran sidu Panci Aluminium Kompor Bioetanol

84

6. Specific Fuel Consumption (SFC)

Specific Fuel Consumption (SFC) adalah jumlah bahan bakar yang digunakan untuk mendidihkan satu liter untuk kondisi uji pada suhu ruang yang diukur dalam satuan gram. Menurut Robinson (2006), secara umum, semakin tinggi efisiensi termal dari sebuah kompor, semakin rendah nilai SFC bahan bakar tersebut.

E. RANCANGAN PERCOBAAN

Pada penelitian ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi CMC (0,75; 1,00dan 1,25%) dan konsentrasi bioetanol (55, 65 dan 75%). Dengan demikian terdapat sembilan unit perlakuan dengan dua kali ulangan. Rincian formula gel bioetanol yang dibuat sebagai berikut (Tabel 3). Tabel 3. Rincian Formulasi Gel Bioetanol

Konsentrasi CMC (%) Konsentrasi Bioetanol (%)

55 65 75

0,75 A1B1 A2B1 A3B1

1,00 A1B2 A2B2 A3B2

1,25 A1B3 A2B3 A3B3

Model yang digunakan untuk desain tersebut adalah sebagai berikut (Walpole, 1992).

Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + εk(ij) Dimana:

A = Pengaruh konsentrasi CMC taraf ke-i (i= 0,75; 1 dan 1,25%) B = Pengaruh konsentrasi bioetanol taraf ke-j (j= 55, 65 dan 75%). ABij = Pengaruh Interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j.

εk(ij) = Pengaruh acak antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j pada ulangan ke-k (k=1,2).

Pengolahan data awal adalah Analisis Ragam (ANOVA) dari data yang diperoleh untuk mengetahui signifikansi pengaruh konsentrasi CMC dan konsentrasi bioetanol terhadap viskositas, Water Boiling Test (WBT), Specific Fuel Consumption (SFC) dan residu pembakaran.

85

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan gel bioetanol. Beberapa jenis bahan pengental tersebut adalah Natrium Alginat, Guar Gum, Karagenan dan CMC. Sampel awal dibuat sebanyak empat formula dengan menggunakan bahan pengental yang berbeda dengan masing-masing sampel bervolume 100 ml. konsentrasi bahan pengental yang digunakan adalah 0,75% (b/v) atau 0,75 gram bahan pengental dalam 100 ml larutan gel bioetanol, sedangkan konsentrasi etanol yang digunakan adalah 70% (v/v) dengan penambahan air (aquades).

Konsentrasi 0,75% (b/v) CMC digunakan dalam penelitian tahap satu ini karena konsentrasi tersebut adalah konsentrasi umum yang digunakan pada makanan. Konsentrasi CMC yang biasa diaplikasikan ke dalam makanan sebagai penstabil atau pengental adalah antara 0,75% sampai 1,1% (Murray, 2000). Pada Gambar 11 diperlihatkan penampakan gel bioetanol dengan menggunakan beberapa bahan pengental.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 11. Penampakan gel bioetanol dengan menggunakan beberapa bahan pengental, (a) guar gum, (b) Natrium Alginat, (c) Karagenan, dan (d) CMC.

86 Dari hasil pembuatan gel bioetanol dengan guar gum (a) dan natrium alginat (b) pada gambar diatas dapat dilihat bahwa terjadi pemisahan fase cair dan padat gel bioetanol. Hal ini dapat terjadi dikarenakan perbedaan kepolaran antara bahan pengental tersebut dengan bioetanol. Guar gum dan natrium alginat pada umumnya digunakan sebagai bahan pengental untuk makanan yang berbasis air, dimana air merupakan senyawa yang polar sempurna. Menurut Nussinovitch (1997), alginat dapat berbentuk asam alginat ataupun kalsium alginat yang garamnya tidak larut dalam air pada konsentrasi tertentu. Lebih lanjut menurut Nussinovitch (1997), pelarut yang sangat baik bagi guar gum adalah air, sedangkan pelarut organik akan menghambat kelarutannya. Berbeda dengan air, etanol memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dari air karena pada molekul etanol terdapat rantai alkil yang bersifat non polar dan juga terdapat gugus hidroksi yang bersifat polar (O’Leary, 1976), sehingga bioetanol bersifat semi polar. Bahan pengental seperti guar gum dan natrium alginat tidak dapat menyatu dengan bioetanol meskipun pada awal proses pembuatan telah dicampur terlebih dahulu dengan air (aquades).

Untuk gel bioetanol dengan menggunakan karagenan dan CMC dapat menghasilkan bentuk yang homogen. Hasil pencampuran antara bioetanol dengan karagenan dan CMC dapat meningkatkan kekentalan larutan. Namun dari penampakan dapat dilihat bahwa gel bioetanol dengan CMC menghasilkan gel yang lebih jernih dan transparan dibandingkan gel bioetanol dengan karagenan. Menurut Glicksman (1969), pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan gliserin memperlambat kelarutan dari karagenan sehingga kelarutannya menjadi tidak sempurna yang kemudian akan mencegah terjadinya hidrasi (penyerapan air oleh molekul polimer) dan pelarutan karagenan. Selain itu, pembuatan gel bioetanol dengan menggunakan karagenan harus menggunakan air panas dengan suhu diatas 75oC (Glicksman, 1969).

Berbeda dengan karagenan, pembuatan gel bioetanol dengan CMC dapat dilakukan dengan menggunakan air dingin karena CMC juga dapat larut di air dingin (Murray, 2000). Berdasarkan hal tersebut, pembuatan gel bioetanol dengan menggunakan air dingin dapat mengurangi penguapan bioetanol pada saat proses produksinya sehingga kehilangan etanol akibat panas pada saat pembuatan dapat

87 dikurangi.

Selain itu, sampel gel bioetanol dengan menggunakan karagenan cenderung mengalami sineresis pada saat penyimpanan, sedangkan gel bioetanol dengan menggunakan CMC semakin baik konsistensinya selama penyimpanan. Hal ini karena bentuk larutan CMC menghasilkan gel yang bersifat pseudoplastis, yaitu bentuk jernih yang akan berkurang viskositasnya jika mengalami gaya gunting (shear forces), namun akan meningkat viskositas jika didiamkan dan disimpan tanpa pengadukan terus menerus (Nevell dan Zerogian, 1985). Dengan demikian bahan pengental yang tepat digunakan untuk formulasi gel bioetanol adalah CMC dan akan digunakan untuk pengujian selanjutnya.

B. PENENTUAN KONSENTRASI BIOETANOL

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, bahan pengental yang digunakan dalam penelitian utama adalah Carboxymethylcellulose (CMC). Tahap penentuan konsentrasi bioetanol bertujuan untuk mengetahui rentang konsentrasi bioetanol yang dapat melarutkan seluruh CMC yang ditambahkan serta menghasilkan gel bioetanol yang homogen.. Penentuan konsentrasi bioetanol dilakukan dengan dua perlakuan, yaitu perlakuan konsentrasi CMC (0,75% dan 1%) dan konsentrasi bioetanol (60%, 70% dan 80%).

Pelarutan CMC terhadap campuran bioetanol dan air tidak dapat dilakukan secara langsung. CMC tidak dapat langsung larut dalam pelarut organik sehingga harus dilarutkan terlebih dahulu kedalam air dan selanjutnya pelarut organik dapat ditambahkan (Nevell dan Zerogian, 1985). Dalam campuran gel bioetanol, CMC akan berikatan terlebih dahulu dengan air. Setelah terbentuk campuran CMC dan air yang homogen, air akan berikatan dengan bioetanol yang ditambahkan pada saat terakhir pencampuran. Selulosa eter, seperti halnya CMC meningkatkan viskositas larutan melalui ikatan hidrogen dengan molekul air. Ikatan antara rantai tulang punggung CMC dan molekul air mengakibatkan rantai polimer CMC akan memanjang dan menyebabkan peningkatan viskositas larutan (Van Arkel dalam Kennedy et al., 1990).

88 yang telah homogen dan meningkat viskositasnya. Molekul CMC akan berikatan secara langsung dengan air melalui ikatan hidrogen, sedangkan gugus hidroksi bioetanol yang bersifat polar akan diikat oleh molekul air. Ikatan hidrogen antara molekul air dan etanol dapat dilihat pada Gambar 12.

( Sumber : Harper et al., 1977) Gambar 12. Ikatan hidrogen antara molekul air dan molekul bioetanol.

CMC dapat larut dalam campuran air dan bioetanol pada proporsi tertentu sehingga besarnya konsentrasi bioetanol dan konsentrasi air sangat berpengaruh terhadap kelarutan CMC dalam pembuatan gel bioetanol. CMC merupakan bahan pengental yang umumnya digunakan dalam air, namun menurut Desmarais (1973), CMC mempunyai karakteristik yang partly soluble (larut sebagian) pada larutan etanol dan air. Jika konsentrasi bioetanol yang digunakan telalu banyak dan melebihi kemampuan CMC dalam melarutkan dan mengentalkan, maka konsistensi gel bioetanol yang dihasilkan akan terpisah menjadi dua bagian.

Selain berpengaruh terhadap kelarutan gel bioetanol, konsentrasi air dan bioetanol di dalam campuran juga mempengaruhi penampakan dan konsistensi gel bioetanol. Penampakan gel bioetanol dengan beberapa perlakuan konsentrasi bioetanol diperlihatkan pada Gambar 13 dan Gambar 14.

89 (a) (b) (c)

Gambar 13. Penampakan gel bioetanol dengan konsentrasi CMC 0,75% (b/v) dengan beberapa konsentrasi bioetanol (a) 80% (v/v), (b) 70% (v/v), dan (c) 60% (v/v)

(a) (b) (c)

Gambar 14. Penampakan gel bioetanol dengan konsentrasi CMC 1% (b/v) dengan beberapa konsentrasi bioetanol (a) 80% (v/v), (b) 70% (v/v) dan (c) 60% (v/v)

Pada hasil yang terlihat pada Gambar 13 dan Gambar 14, kecenderungan penampakan dan konsistensi gel bioetanol konsentrasi CMC 0,75% dan 1% pada beberapa konsentrasi bioetanol relatif sama. Pada konsentrasi bioetanol 80%, penampakan gel bioetanol mempunyai dua fase yang terpisah baik pada konsentrasi CMC 0,75% maupun 1% . Hal tersebut dapat terjadi karena CMC

90 tidak dapat mengikat semua bioetanol dengan konsentrasi yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, bioetanol pada konsentrasi 80% tidak dapat melarutkan atau mengikat seluruh konsentrasi CMC yang ada karena konsentrasi gugus hidrofobik dari bioetanol telah melampaui konsentrasi optimum sehingga larutan CMC dan air mengalami titik jenuh dan tidak lagi dapat mengikat bioetanol. Gel bioetanol yang relatif homogen terdapat pada konsentrasi 70% dan 60%. Konsentrasi bioetanol sebesar 70% dan 60% akan digunakan untuk pembuatan gel bioetanol dan analisis selanjutnya. Berdasarkan hasil tersebut, maka formulasi dan perlakuan gel bioetanol dilakukan pada konsentrasi bioetanol lebih rendah dari 80%, yaitu pada rentang 55-75%.

C. PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PENGENTAL DAN

BIOETANOL TERHADAP VISKOSITAS, RESIDU PEMBAKARAN DAN NILAI pH.

Setelah didapat konsentrasi bioetanol yang dapat digunakan untuk pembuatan gel bioetanol, taraf perlakuan diperbanyak dengan kombinasi acak lengkap dan kemudian dilakukan pengujian viskositas larutan gel bioetanol, uji pembakaran serta pengujian derajat keasaman untuk mengetahui karakteristik dan hubungan antara konsentrasi bahan pengental dan konsentrasi bioetanol terhadap viskositas, residu pembakaran dan derajat keasaman (pH).

Terdapat tiga taraf dalam perlakuan konsentrasi bahan yaitu 0,75%; 1% dan 1,25%, sedangkan untuk perlakukan konsentrasi bioetanol juga terdapat tiga taraf, yaitu 55%, 65% dan 75%. Penjelasan dari masing-masing pengujian tersebut di atas adalah sebagai berikut.

1. Uji viskositas

Viskositas gel bioetanol perlu diukur untuk mengetahui kekentalan dari gel bioetanol. Viskositas dari gel bioetanol mempengaruhi sifat fisiknya yang dalam aplikasinya sangat menentukan cara penggunaan maupun pengemasan dan transportasinya. Peningkatan viskositas larutan juga ditujukan untuk meningkatkan tegangan permukaan agar dalam aplikasinya sebagai bahan bakar

91 rumah tangga, gel bioetanol dapat digunakan secara lebih aman.

Menurut Robinson (2006), nilai viskositas dari gel bioetanol berpengaruh kepada mudah tidaknya bahan bakar tersebut untuk tumpah ataupun menguap selama penyimpanan dan pembakaran. Namun viskositas juga berpengaruh terhadap pembakaran bahan bakar di dalam wadah pembakaran pada kompor. Tabel 4 dan diagram pada Gambar 15 memperlihatkan nilai viskositas gel bioetanol.

Tabel 4. Nilai Viskositas Gel Bioetanol

No. Sampel Viskositas (cp) Standar Deviasi

1 CMC 0,75%-Bioetanol 55% 238.34 30.64 2 CMC 0,75% - Bioetanol 65% 1730.00 42.43 3 CMC 0,75% - Bioetanol 75% 1570.00 202.70 4 CMC 1,00% - Bioetanol 55% 1091.25 77.19 5 CMC 1,00% - Bioetanol 65% 4958.34 1048.87 6 CMC 1,00% - Bioetanol 75% 4333.33 141.42 7 CMC 1,25%-Bioetanol 55% 3600.00 1367.08 8 CMC 1,25% - Bioetanol 65% 8816.67 824.96 9 CMC 1,25% - Bioetanol 75% 1856.67 956.95

Gambar 15. Diagram Viskositas Gel Bioetanol Terhadap Konsentrasi CMC dan Konsentrasi Bioetanol

92 Gambar 15 memperlihatkan bahwa viskositas tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25% dengan Bioetanol 65%, sedangkan viskositas terendah terdapat pada formula CMC 0,75% dan Bioetanol 55% . Dengan konsentrasi CMC yang sama, viskositas mempunyai nilai tertinggi pada konsentrasi bioetanol 65%.

Viskositas maksimum gel bioetanol terdapat pada konsentrasi bioetanol 65% pada setiap konsentrasi CMC (0,75; 1 dan 1,25%). Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi bioetanol 65%, CMC dapat mengentalkan campuran dengan optimal. Pada konsentrasi bioetanol rendah, viskositas juga bernilai rendah dengan konsentrasi CMC yang sama. Viskositas akan meningkat pada konsentrasi 65%, namun akan menurun kembali saat konsentrasi bioetanol menjadi 75%.

Landoll (1982) mengemukakan bahwa viskositas maksimum pada larutan CMC, air dan bioetanol diperoleh pada saat rantai hidrofobik dari bioetanol (rantai alkil) mencapai konsentrasi optimum dimana viskositas akan semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi rantai alkil bioetanol pada larutan.

Berdasarkan uji Analisis Ragam (Anova), diketahui bahwa perlakuan konsentrasi CMC dan konsentrasi bioetanol berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas gel bioetanol, begitu pula interaksi perlakuan konsentrasi CMC dan bioetanol (P<0,05). Konsentrasi CMC dan Bioetanol mempengaruhi nilai viskositas melalui mekanisme pengikatan komponen gel bioetanol (CMC, air dan Bioetanol) yang sangat bergantung adanya gugus hidrofobik pada bioetanol yang menghasilkan viskositas optimum pada konsentrasi bioetanol tertentu.

Nilai viskositas dari setiap perlakuan berbeda secara nyata pada setiap konsentrasi bioetanol (55%, 65% dan 75%) dan setiap perlakuan konsenrasi CMC (0,75%, 1% dan 1,25%). Nilai viskositas gel bioetanol tertinggi terdapat pada konsentrasi bioetanol 65%. Hal tersebut terjadi pada setiap perlakuan konsentrasi CMC. Nilai viskositas gel bioetanol berkisar antara 238,335 cP hingga 8816.665 cP. Sebagai perbandingan, viskositas terendah gel bioetanol menyerupai viskositas minyak pelumas motor yang mempunyai viskositas 140-420 cP, sedangkan viskositas tertinggi gel bioetanol menyerupai viskositas madu, yaitu 8.000-10.000 cP (http://www.graco.com/LCC/etoolbox/viscosity.html, 2009). Keseluruhan nilai viskositas gel bioetanol pada rentang tersebut dapat

93 diaplikasikan untuk kompor bioetanol tanpa sumbu karena masih dapat mengalir dan dituang ke dalam wadah pembakaran yang terdapat di dalam kompor.

2. Residu Pembakaran

CMC merupakan bahan pengental yang dibuat dari selulosa dan mempunyai

Dokumen terkait