• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Lahan Dominan di Sub DAS Krueng Simpo

Penggunaan lahan dominan Sub DAS Krueng Simpo secara umum terdiri atas empat jenis yaitu kebun campuran, tegalan, hutan, dan semak belukar (Tabel 9). Tanaman pada penggunaan lahan kebun campuran di sub DAS Krueng Simpo umumnya didominasi oleh pinang, yang ditumpangsarikan dengan kakao, kedelai dan pisang. Adapun sawah di daerah ini dilakukan dua kali penanaman dalam setahun dengan menggunakan irigasi yang berasal dari Sub DAS Krueng Simpo, dimana DAS ini beserta sub DAS lainnya masih dapat memenuhi kebutuhan air untuk irigasi pada wilayah tersebut.

Penggunaan lahan semak belukar didominasi oleh alang-alang dan tegakan pohon. Lahan ini berkembang pada lahan yang ditelantarkan akibat penebangan hutan dan perladangan berpindah. Areal ini cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanian. Kendala yang dihadapi adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah. Sedangkan penggunaan lahan hutan masih berupa hutan alami yang tertutup oleh berbagai jenis semak dan serasah. Dilihat dari fungsinya, hutan memiliki peranan yang sangat penting karena dengan adanya hutan maka kemungkinan penyerapan air oleh tanah dan penguapan oleh tajuk tanaman akan meningkat sehingga air yang mengalir pada permukaan tanah akan lebih sedikit dan memperkecil terjadinya banjir. Dengan demikian maka fungsi hutan harus diperhatikan karena kerusakannya akan berdampak buruk terhadap lahan pertanian di daerah tersebut.

Hasil tumpang tindih peta jenis tanah (Lampiran 4), peta topografi (Lampiran 3) dan peta penggunaan lahan (Lampiran 2) adalah 24 unit lahan (Lampiran 5). Sebanyak 11 unit lahan dijadikan sebagai lokasi pengamatan intensif dan merupakan keterwakilan dari penggunaan lahan hutan (unit lahan 16 dan 22), semak belukar (unit lahan 14), tegalan (unit lahan 5 dan 1) dan kebun campuran (unit lahan 18,4,2,9,7 dan 15). Luas masing-masing penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 9 sedangkan hasil pengamatan untuk masing-masing jenis penutupan lahan dan jenis tanamannya disajikan pada Tabel 10.

Tabel 9 Luas Penggunaan Lahan yang Menjadi Lokasi Pengamatan Intensif di sub DAS Krueng Simpo

Luas No Penggunaan Lahan Unit Lahan

Ha % 1 2 3 4 Kebun Campuran Tegalan Hutan Semak Belukar 18,4,2,9,7, dan 15 5 dan 1 16,22 14 8.501,0 261,9 10.922,0 11.656,0 27,12 0,83 34,85 37,19 Jumlah 31.340,9 100 Sumber : BPDAS (2005)

Berdasarkan Tabel 9 memperlihatkan bahwa penggunaan lahan di Sub DAS Krueng Simpo didominasi oleh semak belukar dengan luas 11,656,0 hektar, diikuti oleh hutan 10,922,0 hektar, kebun campuran 8,501,0 hektar dan tegalan 261,9 hektar.

Tabel 10 Jenis Penutupan Lahan dan Tanaman pada Unit Lahan Lokasi Pengamatan Intensif di sub DAS Krueng Simpo

No Penggunaan Lahan Jenis Penutupan Lahan Jenis Tanaman 1 2 3 4 Kebun Campuran Tegalan Hutan Semak Belukar Tanaman Semusim dan Tahunan Tanaman Semusim Hutan Alami Alang-alang Kedalai,kakao, pinang,pisang. Kedelai,pisang,pinang,kakao. Hutan alami

Alang-alang dan tegakan pohon Sumber : BPDAS (2005)

Berdasarkan pengamatan di lapang, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian umumnya dikelola secara tradisional belum menerapkan teknik konservasi yang memadai sehingga terjadinya erosi yang mengakibatkan hilangnya lapisan tanah atas karena sebagian dari usaha pertanian tersebut telah dilakukan pada lereng yang miring/berbukit. Oleh sebab itu kondisi usahatani yang demikian maka diperlukan adanya penanganan khusus untuk konservasi tanah, diantaranya dengan penanaman menurut kontur, teras gulud dan teras tradisional serta memperbaiki sistem pertanian secara bertahap melalui pola tanam tumpang sari dan tumpang gilir sehingga dapat memperkecil terjadinya erosi dan produktivitas lahan dapat dipertahankan.

32

Evaluasi Penggunaan Lahan

Evaluasi penggunaan lahan dimaksudkan untuk menganalisis kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kelas kemampuan lahannya, agar produktivitas penggunaan lahan dapat dioptimalkan tanpa mengalami kerusakan lahan. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kelas kemampuannya dapat diteruskan karena penggunaan lahan tersebut akan tetap menjamin produktivitas yang tinggi dan kelestarian sumberdaya lahan. Sebaliknya penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahannya harus dirubah karena akan mengakibatkan degradasi lahan seperti erosi yang tinggi.

Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan untuk penggunaan lahan di dasarkan terutama pada karakteristik lahan yang mencakup faktor-faktor : kedalaman efektif, lereng, drainase dan erosi (Lampiran 8) yang terdapat pada unit lahan yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan intensif. Salah satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat berpengaruh terhadap tersedianya air, mudah tidaknya tanah diolah, dan kepekaan terhadap erosi.

Klasifikasi kemampuan lahan di maksudkan untuk mengetahui potensi dan hambatan dalam penggunaan lahan yang ada di Sub DAS Krueng Simpo untuk kegiatan pertanian secara berkelanjutan. Klasifikasi kemampuan lahan menunjukkan di lokasi penelitian diperoleh kelas kemampuan lahan II, III dan IV dengan faktor pembatas utama berupa topografi bergelombang (l) dan erosi sedang (e). Kelas kemampuan lahan pada penggunaan lahan kebun campuran adalah kelas II dan III, penggunaan lahan semak belukar adalah kelas III dan pada penggunaan lahan hutan adalah kelas II dan IV (Tabel 11).

Tabel 11 Evaluasi Penggunaan Lahan di Sub DAS Krueng Simpo Unit lahan Penggunaan Lahan K Kelas Kemampuan Lahan Faktor Pembatas Evaluasi Penggunaan Lahan 2 4 9 5 22 15 18 21 1 14 16 Kebun Campuran Kebun Campuran Kebun Campuran Tegalan Hutan Kebun Campuran Kebun Campuran Kebun Campuran Tegalan Semak Belukar Hutan II II II II II III III III III III IV Topografi (0-3%), dan erosi sedang Topografi (0-3%), dan erosi sedang Topografi (3-8%), dan erosi sedang Topografi (0-3%), dan erosi sedang Topografi (8-15%), dan erosi sedang Topografi (3-8%),

dan erosi sedang Topografi (8-15), dan erosi sedang Topografi (8-15%),

dan erosi sedang Topografi (0-3%),

dan erosi sedang Topografi (3-8%), dan erosi sedang Topografi (3-8%),

dan erosi sedang

Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sumber : Data Primer Diolah

Dilihat dari kriteria kemampuan lahan, bahwa lahan yang termasuk kedalam kelas II (unit lahan 2,4,5,9 dan 22) masih sesuai penggunaan lahannya dengan faktor penghambat yang dijumpai pada kelas ini adalah topografi bergelombang dan erosi sedang. Oleh sebab itu dilihat dari faktor penghambat yang masih ringan, maka agar lahan ini dapat digunakan secara lestari, diperlukan tindakan konservasi sedang, seperti pembuatan teras, gulud dan teras tradisional.

Lahan yang masuk ke dalam kelas III (unit lahan 1,14,15,18 dan 21) masih sesuai penggunaan lahannya dengan faktor pembatas topografi dan erosi sedang. Penggunaan lahan kelas III masih dapat dipertahakan untuk pertanian sedang. Tindakan konservasi yang perlu dilakukan adalah dengan pembutan teras gulud dan teras tradisional, agar nantinya dapat menjaga kelestarian penggunaan lahan untuk menunjang kehidupan dan kesejahteraan masa depan petani dan keluarganya. Penggunaan lahan yang masuk ke dalam kelas IV (unit lahan 16) memiliki faktor pembatas topografi, penggunaan lahannya tetap dipertahankan sebagai hutan. Berdasarkan hasil penilaian penggunaan lahan diatas, dapat

34

disimpulkan bahwa penggunaan lahan di lokasi pengamatan intensif seluruhnya telah sesuai meskipun ada beberapa unit lahan yang sedikit bergelombang, sehingga perlu adanya tindakan konservasi seperti pembuatan teras gulud dan teras tradisional. Melalui penerapan tehnik konservasi tanah dan air tersebut maka erosi dapat dikendalikan sampai pada batas yang masih dapat ditoleransikan dan kerusakan yang mengakibatkan penurunan produktivitas lahan dapat dihindari agar kelestarian sumberdaya lahan tetap terjamin. Dengan demikian pertanian yang berkelanjutan dapat terwujud yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dalam DAS Krueng Simpo dapat meningkat. Berdasarkan hasil evaluasi penggunaan lahan di Sub DAS Krueng Simpo didapat penggunaan lahannya masih sesuai dengan kelas kemampuan lahan.

Identifikasi dan Karakteristik Tipe Usahatani di Sub DAS Krueng Simpo

Tipe usahatani dominan yang diusahakan oleh petani di Sub DAS Krueng Simpo adalah pinang, kakao, pisang, dan kedelai. Pola usahatani dominan yang dilakukan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Pola usahatani dominan di Sub DAS Krueng Simpo

No Pola Usahatani Nilai C % Lahan Luas Lahan

(Ha)

1 Pinang monokultur 0,4 80 1

2 Pinang dan kakao 0,2 60 dan 30 1,5

3 Pinang dan pisang 0,3 60 dan 30 1,5

4 Pinang, kakao dan pisang 0,2 40,30 dan 30 2

5 Pinang dan kedelai 0,4 60 dan 30 1,5

6 Pinang, kakao dan kedelai 0,3 40,30 dan 30 2 7 Pinang, pisang dan kedelai 0,3 40, 30 dan 30 2 8 Pinang, kakao, pisang dan kedelai 0,2 30, 20, 30, dan 20 2

Hasil identifikasi usahatani di Sub DAS Krueng Simpo, ternyata ada 8 tipe usahatani berbasis pinang yaitu (1) pinang monokultur (UT1) merupakan tanaman

unggulan yang pertama kali diusahakan. Pinang ditanam sebagai pagar keliling dengan kerapatan yang tinggi memiliki nilai faktor C = 0,4. Jarak tanam 500 x 500 cm dalam 1 hektar terdapat 320 batang tanaman yang ditanam pada (80% lahan), keadaan permukaan pertanaman terdapat rumput dan sisa-sisa tanaman, agroteknologi yang digunakan untuk membersihkan rumput dan sisa-sisa tanaman hanya menggunakan cangkul sedangkan rumput dan sisa-sisa-sisa-sisa tanaman yang dibersihkan hanya dibiarkan diatas permukaan pertanaman, (2) Pinang dengan kakao (UT2) merupakan pertanaman pinang yang ditambah dengan tanaman kakao untuk meningkatkan pendapatan. Pertanaman pinang dan kakao dengan kerapatan sedang memiliki nilai faktor C sebesar 0,2, dengan kerapatan tinggi. Susunannya pinang ditanam sebagai pagar keliling dengan jarak tanam 500 x 300 cm dalam 1 hektar terdapat 440 batang tanaman (60% lahan), bagian dalam ditanam kakao dengan jarak tanam 300 x 300 cm dalam 1 hektar terdapat 325 batang tanaman di tanam pada (30% lahan). Keadaan permukaan pertanaman terdapat rumput dan sisa-sisa tanaman, agroteknologi yang digunakan untuk membersihkan rumput dan sisa-sisa tanaman hanya menggunakan cangkul sedangkan rumput dan sisa-sisa tanaman yang dibersihkan hanya dibiarkan diatas permukaan pertanaman, (3) Pinang dengan pisang (UT3) merupakan pertanaman pinang ditambah dengan pisang. Tipe ini diusahakan dengan tujuan seperti UT2, agar diperoleh uang tunai tiap bulan dari hasil penjualan pisang. Pertanaman pinang dengan pisang memiliki nilai faktor C sebesar 0.3 dengan kerapatan sedang, dalam 1 hektar terdapat 440 batang tanaman pinang (60% lahan) dengan jarak tanam 500 x 500 cm. Pisang ditanam disela-sela tanaman pinang dengan jarak tanam 2,5 x 2,5 m dalam 1 hektar terdapat 420 batang tanaman (30% lahan). Keadaan permukaan pertanaman terdapat rumput dan sisa-sisa tanaman, agroteknologi yang digunakan untuk membersihkan rumput dan sisa-sisa tanaman hanya menggunakan cangkul sedangkan rumput dan sisa-sisa tanaman yang dibersihkan hanya dibiarkan diatas permukaan pertanaman (4) Pinang dengan kakao dan pisang (UT4), merupakan pertanaman pinang dengan kakao ditambah dengan pisang. Tipe ini diusahakan dengan tujuan seperti UT2, agar diperoleh uang tunai tiap bulan dari hasil penjualan pisang. Pertanaman pinang dengan kakao dan pisang dengan kerapatan tinggi memiliki nilai faktor C sebesar 0,2

36

pinang ditanam sebagai pagar keliling dengan jarak tanam 500 x 500 cm dalam 1 hektar terdapat 256 batang tanaman pinang (40% lahan) sedangkan bagian dalam ditanam pisang dan kakao masing-masing pada 30% lahan, keadaan permukaan pertanaman terdapat rumput dan sisa-sisa tanaman, agroteknologi yang digunakan untuk membersihkan rumput dan sisa-sisa tanaman hanya menggunakan cangkul sedangkan rumput dan sisa-sisa tanaman yang dibersihkan hanya dibiarkan diatas permukaan pertanaman, (5) Pinang dengan kedelai (UT5) merupakan pertanaman pinang ditambah dengan kedelai. Tipe ini diusahakan dengan tujuan, agar meningkatkan pendapatan. Pertanaman pinang dan kedelai dengan kerapatan sedang memiliki nilai faktor C 0,4 susunan tanaman pinang ditanam sebagai pagar keliling dengan jarak tanam 500 x 500 cm dalam 1 hektar terdapat 240 batang tanaman pinang dalam (60% lahan) sedangkan sisanya 30% lahan ditanam kedelai ditanam diantara tanaman pinang dengan jarak tanam 40 x 10 cm, keadaan permukaan pertanaman terdapat rumput dan sisa-sisa tanaman, agroteknologi yang digunakan untuk membersihkan rumput dan sisa-sisa tanaman hanya menggunakan cangkul sedangkan rumput dan sisa-sisa tanaman yang dibersihkan tidak dibiarkan diatas permukaan pertanaman. (6) Pinang dengan kakao ditambah kedelai (UT6) merupakan pertanaman pinang dengan kakao ditambah dengan kedelai dengan kerapatan sedang dan memilki nilai faktor C 0,3, Tipe ini diusahakan dengan tujuan, agar meningkatkan pendapatan. Susunannya pinang ditanam sebagai pagar keliling dengan jarak tanam 500 x 500 cm dalam 1 hektar terdapat (30% lahan) dengan jumlah tanaman 220 batang tanaman, bagian dalam ditanam kakao 30% lahan dengan jumlah tanam 325 batang dan jarak tanamnya 300 x 300 cm dan kedelai 30% lahan dengan jarak tanam 40 x 10 cm. Keadaan permukaan pertanaman terdapat rumput dan sisa-sisa tanaman, agroteknologi yang digunakan untuk membersihkan rumput dan sisa-sisa tanaman hanya menggunakan cangkul sedangkan rumput dan sisa-sisa tanaman yang dibersihkan tidak dibiarkan diatas permukaan pertanaman (7) Pinang dengan pisang ditambah dengan kedelai dengan kerapatan sedang dan memiliki nilai faktor C 0,3. (UT7) merupakan pertanaman pinang dengan pisang ditambah dengan kedelai. Tipe ini diusahakan dengan tujuan seperti UT2, juga agar diperoleh uang tunai tiap bulan dari hasil penjualan pisang. Pinang ditanam sebagai pagar keliling dengan jarak

tanam 500 x 500 cm dalam 1 hektar terdapat (30% lahan) yaitu 220 batang tanaman, bagian dalam ditanami pisang dengan jarak tanam 2,5 x 2,5 m (30% lahan), kedelai dengan jarak tanam 40 x 10 cm (30% lahan) dan kakao dengan jarak tanam 300 x 300 cm (30% lahan). Keadaan permukaan pertanaman terdapat rumput dan sisa-sisa tanaman, agroteknologi yang digunakan untuk membersihkan rumput dan sisa-sisa tanaman hanya menggunakan cangkul sedangkan rumput dan sisa-sisa tanaman yang dibersihkan tidak dibiarkan diatas permukaan pertanaman (8) Pinang dengan kakao, pisang dan kedelai (UT8) merupakan pertanaman pinang dengan kakao, pisang ditambah dengan kedelai dengan kerapatan tinggi dan memiliki nilai faktor C sebesar 0,2. Tipe ini diusahakan dengan tujuan seperti UT2, juga agar diperoleh uang tunai tiap bulan dari hasil penjualan pisang. Tanaman pinang ditanam berbaris disekeliling pagar dengan jarak tanam 500 x 500 cm (30% lahan) yaitu sebanyak 220 batang tanaman, bagian dalam ditanam kakao 220 batang tanaman (20% lahan) dengan jarak tanam 300 x 300 cm, kedelai (20% lahan) dengan jarak tanam 40 x 10 cm dan pisang 480 batang tanaman (30% lahan) dengan jarak tanam 2,5 x 2,5 m. Keadaan permukaan pertanaman terdapat rumput dan sisa-sisa tanaman, agroteknologi yang digunakan untuk membersihkan rumput dan sisa-sisa tanaman hanya menggunakan cangkul sedangkan rumput dan sisa-sisa tanaman yang dibersihkan tidak dibiarkan diatas permukaan pertanaman

Evaluasi Pola Tanam dan Agroteknologi Pada Usahatani Berbasis Pinang

Berdasarkan hasil evaluasi penerapan pola tanam dan agroteknologi yang dilakukan oleh sebagian petani dalam mengelola lahan usahataninya masih bersifat konvensional karena umumnya mereka belum menerapkan agroteknologi yang tepat, seperti pengaturan pola tanam, pemberian mulsa, pemupukan dan penanaman menurut kontur sehingga menyebabkan erosi yang terjadi lebih besar dari erosi yang masih dapat ditoleransikan

Prediksi erosi dilakukan pada setiap unit lahan dan usahatani berbasis pinang di Sub DAS Krueng Simpo dengan menggunakan persamaan USLE yaitu A = RKLCP yang dilakukan pada berbagai pola tanam dan agroteknologi

38

alternatif. Nilai A (prediksi erosi) didapat berdasarkan nilai faktor R, K, L, dan S yang diukur di lapang pada setiap unit lahan sedangkan agroteknologi dapat ditentukan dengan mensimulasi nilai faktor C (pengelolaan tanaman) dan nilai faktor P (tindakan konservasi) saja. Oleh sebab itu penerapan teknologi konservasi dalam suatu wilayah harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya sehingga dapat diterima dan dilaksanakan oleh mereka. Pemilihan agroteknologi didahului dengan inventarisasi agroteknologi yang sudah ada dan agroteknologi lain yang sesuai dengan kapasitas dan keinginan masyarakat di lokasi sub DAS Krueng Simpo. Hasil perhitungan prediksi erosi (A) dan ETol pada berbagai pola usahatani campuran berbasis pinang pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Prediksi Erosi dan ETol pada Berbagai Pola Tanam dan Agroteknologi di Sub DAS Krueng Simpo

Unit Lahan PolaTanam R K dan grAgroteknologi LS C P Prediksi Erosi (ton/ha/thn) ETol (ton/ha/thn) 1 2 UT1+ATTK UT2+ATTK 694.08 0.25 1.31 0.40 1.00 694,08 0,26 0,43 0,20 1,00 90,9 15,5 31,8 37,4 4 5 UT3+ATTK UT4+ATTK 694,08 0,23 0,41 0,30 1,00 694,08 0,28 0,40 0,20 1,00 19,6 15,5 28,8 43,9 9 UT5+ATTK 694,08 0,22 0,82 0,40 1,00 50.0 39,8 14 15 Semak Belukar UT6+ATTK 694,08 0,44 0,25 0,30 1,00 694,08 0,23 0,83 0,30 1,00 22.9 39,7 39,2 31,8 16 18 Hutan UT7+ATTK 694,08 0,28 1,06 0,005 1,00 694,08 0,34 1,06 0,30 1,00 1,5 58,7 20,5 26,9 21 22 UT8+ATTK Hutan 694,08 0,26 1,04 0,20 1,00 694,08 0,19 1,61 0,005 1,00 37,5 0,7 31,8 17.8 Keterangan: UT1:Pinang Monokultur (523 batang 80% lahan), UT2: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (Kakao 325 batang 30% lahan), UT3: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan), UT4: (Pinang 256 batang 40%lahan) + (Kakao 325% 30% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan), UT5: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (kedelai 30% lahan), UT6: (Pinang 256 batang 40% lahan) + (Kakao 325 batang 30% lahan) + (Kedelai 30 % lahan), UT7: (Pinang 256 batang 40% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan) + (Kedelai 30% lahan), UT8: (Pinang 220 batang 30% lahan) + (Kakao 220 batang 30% lahan) + (Pisang 325 batang 30 % lahan) + (Kedelai 30% lahan),. AT=Agroteknologi Tradisional Tanpa Konservasi.

Nilai prediksi erosi yang didapat lebih besar dari nilai ETol disebabkan oleh faktor topografi yaitu topografi yang bergelombang. Semakin bergelombangnya topografi mengakibatkan kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut partikel-partikel tanah juga meningkat. Faktor lain yang mengakibatkan nilai prediksi erosi aktual lebih besar dari nilai

ETol adalah penggunaan lahan yang tidak disertai dengan teknik konservasi yang memadai seperti pergiliran tanaman, pemakaian tanaman penutup tanah, pengolahan tanah minimum, penggunaan mulsa atau kombinasi dari teknik-teknik konservasi. Berdasarkan Tabel 13 penggunaan lahan yang hanya disertai dengan agroteknologi tradisional tanpa teknik konservasi menunjukkan bahwa nilai prediksi erosi pada (UT1,UT5,UT6,UT7,UT8) yang didapat lebih besar dari nilai (ETol). Untuk itu diperlukan penyempurnaan, perubahan pola tanam dan penerapan agroteknologi alternatif untuk memperkecil nilai prediksi erosi yang akan terjadi sedangkan penggunaan lahan semak belukar (unit lahan 14) dengan topografi datar (3-8%), maka penggunaan lahannya diarahkan untuk padang penggembalaan serta penggunaan lahan hutan tetap dipertahankan penggunaannya sebagai hutan.

Hasil evaluasi penerapan pola tanam dan agroteknologi pada unit lahan yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan intensif selanjutnya dilakukan penilaian terhadap erosi yang terjadi pada wilayah tersebut, apakah erosi yang terjadi lebih kecil dari erosi yang masih dapat ditoleransikan atau sebaliknya. Dilanjutkan dengan analisis biaya dan pendapatan untuk menilai kelayakan standar hidup bagi petani dan keluarganya sehingga dapat ditentukan alternatif pola tanam dan agroteknologi yang akan diterapkan untuk meningkatkan taraf hidup petani dan sistem pertanian yang berkelanjutan dapat terwujud.

Berdasarkan hasil perhitungan beberapa parameter dalam menghitung erosi untuk tiap unit lahan lokasi pengamatan intensif maka didapat nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) disajikan pada Lampiran 18, dimana nilai ETol ditentukan berdasarkan kedalaman efektif tanah, nilai faktor kedalaman (Lampiran 19), kedalaman minimum (Lampiran 20), bobot isi tanah, laju pembentukan tanah dan masa pakai tanah.

Alternatif Agroteknologi pada Berbagai Pola Tanam

Hasil analisis menunjukkan bahwa tanpa penerapan agroteknologi yang dapat diterima dan dikembangkan oleh petani, usahatani berbasis pinang di Sub DAS Krueng Simpo umumnya tidak berkelanjutan. Berdasarkan kondisi ini agar usahatani berbasis pinang dapat berkelanjutan, maka penerapan agroteknologi

40

perlu dilakukan. Agroteknologi yang dapat diterapkan adalah pembuatan teras gulud teras tradisional dan agroteknologi pemupukan. Agroteknologi pemupukan ditujukan untuk meningkatkan produksi, khususnya tanaman pinang, sehingga pendapatan usahatani dapat meningkat, minimal sama dengan KHL. Agroteknologi pemupukan untuk semua pola usahatani dengan luas 1,5 ha adalah pemberian pupuk Urea, SP-36, dan KCL dengan dosis masing-masing 100, 35, dan 100 kg/ha. Akibat pemupukan produksi tanaman pinang dari 1,0 ton/ha menjadi 1,6 ton/ha (Disbun Bireuen, 2007). Perbandingan nilai prediksi erosi (A) dengan ETol untuk 2 (dua) alternatif pada berbagai pola tanam dan agroteknologi teras gulud di Sub DAS Krueng Simpo disajikan pada Tabel 14 dan 15.

Tabel 14 Alternatif pola tanam dan agroteknologi teras gulud berdasarkan hasil prediksi erosi dengan ETol pada pola tanam di Sub DAS Krueng Simpo

R K LS C P Prediksi Erosi (ton/ha/th) ETol (ton/ha/thn) Pola Tanam dan

Agroteknologi Alternatif UT1+TG+PPK UT2+TG+PPK UT3+TG+PPK UT4+TG+PPK UT5+TG+PPK UT6+TG+PPK UT7+TG+PPK UT8+TG+PPK 694,08 0,25 0.25 0,40 0,50 694,08 0,26 0,43 0,20 0,50 694,08 0,23 0,41 0,30 0,50 694,08 0,28 0,4 0,20 0,50 694,08 0,22 0,82 0,40 0,50 694,08 0,23 0,83 0,30 0,50 694,08 0,34 1,69 0,30 0,50 694,08 0,26 1,04 0,20 0,50 8.6 7.6 9.8 7.7 25.0 19.8 24.4 18,7 31.8 37.4 28.8 43.7 39.8 31.8 26.9 31.8 Keterangan: UT1:Pinang Monokultur (523 batang 80% lahan), UT2: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (Kakao 325 batang 30% lahan), UT3: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan), UT4: (Pinang 256 batang 40%lahan) + (Kakao 325% 30% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan), UT5: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (kedelai 30% lahan), UT6: (Pinang 256 batang 40% lahan) + (Kakao 325 batang 30% lahan) + (Kedelai 30 % lahan), UT7: (Pinang 256 batang 40% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan) + (Kedelai 30% lahan), UT8: (Pinang 220 batang 30% lahan) + (Kakao 220 batang 30% lahan) + (Pisang 325 batang 30 % lahan) + (Kedelai 30% lahan), TG=Teras Gulud, PPK=Pupuk

Agroteknologi konservasi tanah dan air ditujukan untuk mengurangi erosi yang terjadi pada lahan usahatani berbasis pinang hingga lebih kecil atau sama denganEtol, khususnya pada lahan dengan topografi 3-15%, dan 8-15%. Alternatif paling sesuai dengan kondisi usahatani di Sub DAS Krueng Simpo pada topografi 0-15% adalah pembuatan teras gulud. Berdasarkan Tabel 14 pembuatan teras gulud pada topografi 0-15%, dapat menurunkan erosi dari 90,9 ton/ha/th menjadi 8,6 ton/ha/th (UT1), dari 15,5 ton/ha/th menjadi 12,1 ton/ha/th (UT2), dari 19,6 ton/ha menjadi 6,5 ton/ha/th (UT3), dari 15,5 ton/ha/th menjadi 7,7 ton/ha/th

(UT4), dari 50,0 ton/ha/th menjadi 25,0 ton/ha/th, (UT5), dari 39,7 ton/ha/th menjadi 19,8 ton/ha/th (UT6) dari 58,7 ton/ha/th menjadi 24,4 ton/ha/th (UT7), dari 37,5 ton/ha/th menjadi 18,7 ton/ha/th (UT8).

Tabel 15 Alternatif pola tanam dan agroteknologi tradisional berdasarkan hasil prediksi erosi dengan ETol pada pola tanam di Sub DAS Krueng Simpo

R K LS C P Prediksi Erosi (ton/ha/th) ETol (ton/ha/thn) Pola Tanam dan

Agroteknologi Alternatif UT1+TD+PPK UT2+TD+PPK UT3+TD+PPK UT4+TD+PPK UT5+TD+PPK UT6+TD+PPK UT7+TD+PPK UT8+TD+PPK 694,08 0,25 0.25 0,40 0,50 694,08 0,26 0,43 0,20 0,50 694,08 0,23 0,41 0,30 0,50 694,08 0,28 0,4 0,20 0,50 694,08 0,22 0,82 0,40 0,50 694,08 0,23 0,83 0,30 0,50 694,08 0,34 1,69 0,30 0,50 694,08 0,26 1,04 0,20 0,50 6.0 5.4 6.8 5.4 17.3 13.9 17.1 13,1 31.8 37.4 28.8 43.7 39.8 31.8 26.9 31.8 Keterangan: UT1:Pinang Monokultur (523 batang 80% lahan), UT2: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (Kakao 325 batang 30% lahan), UT3: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan), UT4: (Pinang 256 batang 40%lahan) + (Kakao 325% 30% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan), UT5: (Pinang 440 batang 60% lahan) + (kedelai 30% lahan), UT6: (Pinang 256 batang 40% lahan) + (Kakao 325 batang 30% lahan) + (Kedelai 30 % lahan), UT7: (Pinang 256 batang 40% lahan) + (Pisang 420 batang 30% lahan) + (Kedelai 30% lahan), UT8: (Pinang 220 batang 30% lahan) + (Kakao 220 batang 30% lahan) + (Pisang 325 batang 30 % lahan) + (Kedelai 30% lahan), TD=Teras Tradisional, PPK=Pupuk

Tabel 15 menunjukkan bahwa pembuatan teras tradisional pada topografi 0-15%, dapat menurunkan erosi dari 90,9 ton/ha/th menjadi 6,0 ton/ha/th (UT1), dari 15,5 ton/ha/th menjadi 5,4 ton/ha/th (UT2), dari 19,6 ton/ha menjadi 6,8 ton/ha/th (UT3), dari 15,5 ton/ha/th menjadi 5,4 ton/ha/th (UT4), dari 50,0 ton/ha/th menjadi 17,5 ton/ha/th, (UT5), dari 39,7 ton/ha/th menjadi 13,9 ton/ha/th (UT6) dari 58,7 ton/ha/th menjadi 17,1 ton/ha/th (UT7), dari 37,5 ton/ha/th menjadi 13,1 ton/ha/th (UT8). Berdasarkan berbagai skenario di atas menunjukkan bahwa dengan penerapan agroteknologi pemupukan dan konservasi tanah dan air yang memadai maka tipe UT1,UT2, UT3, UT4, UT5, UT6, UT7, dan UT8 dapat mencapai indikator sistem usahatani yang berkelanjutan secara simultan. Berdasarkan prediksi erosi (A) yang terjadi pada Tabel 14 dan 15 terlihat erosi lebih kecil dari ETol, hal ini dikarenakan sudah dilakukan penerapan

42

teknik konservasi seperti pembuatan teras gulud, teras tradisional dan agroteknologi pemupukan yang berimbang.

Dokumen terkait