HASIL DAN PEMBAHASAN
2. Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan (Option Value)
Nilai Hutan sebagai Penyerap Karbon
Keberadaan hutan tropis sangat penting karena diyakini sebagai paru-paru dunia yang berfungsi menjaga keseimbangan iklim global dunia. Hutan diyakini oleh sebagian besar para ahli lingkungan dapat menurunkan emisi CO2 di atmosfer melalui kemampuannya dalam menyerap gas berbahaya tersebut sehingga hutan disebut
sebagai rosot karbon atau carbon sink karena fungsinya dalam menyerap dan
63 Kehutanan menjadi isu yang kontroversial sejak diadopsi ke dalam Kyoto Protocol terutama berkaitan dengan tiga program dalam Kyoto Protocol yakni Joint
Implementation(JI), Clean Devolopment Mechanism (CDM) dan Emission Trading
(ET) yang merupakan market based instruments dalam upaya penurunan emisi gas
rumah kaca. Dalam CDM besarnya kemampuan dalam menyerap karbon dihargai dengan nilai US$ 10/ton karbon. Berdasarkan studi inventarisasi Gas Rumah Kaca
tahun 1994 (Ridwan et al., 2001) menyebutkan bahwa hutan mampu menyerap CO2
sebesar 404 metrik ton. Sementara berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Brown (1997) untuk hutan tropis di Indonesia rata-rata 210 – 226 ton C/ha.
Penghitungan nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan harga pasar dimana pada saat ini harga karbon yang berlaku di pasaran dunia sebesar US$ 10/ton atau bila dikurskan dengan nilai rupiah sekarang adalah sebesar Rp.93.000/ton. Besarnya potensi hutan dalam menyerap karbon didekati dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Brown (1997), dimana hutan tropis di Indonesia bisa menyerap karbon rata-rata 210 – 226 ton C/ha.
Berdasarkan hasil penafsiran citra Ikonos tahun 2003 besarnya luasan hutan di Sub DAS Ciesek sebesar 654,73 ha yang terdiri dari hutan dengan kerapatan vegetasi tinggi sebesar 521,48 ha dan hutan dengan kerapatan vegetasi rendah sebesar 133,25 ha. Dengan mengasumsikan besarnya besarnya karbon yang dapat diserap seperti pada hasil penelitian Brown (1997) maka besarnya hutan dengan kerapatan vegetasi tinggi sebesar 226 ton C/ha dan besarnya hutan dengan kerapatan vegetasi rendah sebesar 210 ton C/ha. Dalam penelitian ini jangka waktu pengelolaan hutan diasumsikan sama dengan pengelolaan hutan alam yakni selama 35 tahun. Dengan mengalikan besarnya potensi karbon yang dapat diserap dengan harga karbon yang berlaku di pasaran dunia maka nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.387.510.290,23/tahun atau Rp.591.861,83/ha/tahun. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
64
Nilai Keberadaan
Nilai Ekonomi Sebagai Habitat Flora dan Fauna
Hutan dengan segala keunikan ekosistemnya merupakan habitat yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai flora dan fauna yang ada di dalamnya. Hal ini menyebabkan keberadaan hutan sebagai habitat flora dan fauna mempunyai nilai dalam menjaga kelestarian flora dan fauna yang hidup dan berkembang didalamnya.
Jumlah masyarakat yang menjadi responden dalam menentukan nilai keberadaan hutan sebagai habitat flora dan fauna ini berjumlah 69 orang. Adapun karakteristik sosial dan ekonomi responden dapat dilihat seperti pada Tabel 15 dan Tabel 16 di atas. Penilaian manfaat ekonomi hutan sebagai habitat satwa liar dalam penelitian ini menggunakan Contingent Valuation Method (CVM), yakni dengan cara menanyakan kepada masyarakat yang menjadi responden tentang kesediaan membayar (Willingness to pay) akan fungsi hutan sebagai habitat flora dan fauna.
Hasil penelitian menunjukan besarnya kesediaan membayar masyarakat untuk membayar agar hutan tetap terjaga dengan baik sehingga fungsi sebagai habitat satwa liar dapat berfungsi dengan baik adalah Rp.77.333/orang/tahun. Jika digandakan dengan seluruh jumlah rumah tangga yang ada di Sub DAS Ciesek sebesar 8.910 KK. maka besarnya nilai ekonomi hutan sebagai habitat flora dan fauna sebesar
Rp.689.040.000/tahun atau Rp .1.052.401,67/hektar/tahun. Hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.
Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Lindung
Besarnya nilai ekonomi kawasan lindung dalam penelitian ini dihitung menggunakan konsep nilai ekonomi total atau Total Economic Value (TEV) dimana nilai ekonomi total kawasan lindung merupakan hasil penjumlahan nilai guna dan nilai bukan guna manfaat ekonomi dari hutan. Hasil rekapitulasi perhitungan nilai ekonomi total hutan lindung dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini.
65 Tabel 17. Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Kawasan Hutan sebagai Kawasan
Lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu
Nilai Ekonomi
Nilai Ekonomi per hektar (Rp/ha)
Nilai Ekonomi Total (Rp/th) Nilai Guna
a Nilai Guna Langsung
Nilai Ekonomi Kayu Bakar 92.179,75 60.352.941,18 1,19
Wisata Alam 250.580,51 164.062.827,17 3,23
Total Nilai Guna langsung 342.760,26 224.415.768,35 4,41
b Nilai Guna Tidak Langsung Penyedia Kebutuhan Air untuk
Rumah Tangga 3.232.824,90 2.116.630.677,85 41,63
Penyedia Kebutuhan Air untuk
Pertanian 44.711,77 29.274.181,82 0,58
Pengendali Banjir dan Erosi 2.501.623,47 1.637.890.434,78 32,21
Total Nilai Guna tidak langsung 5.779.160,14 3.783.795.294,45 74,41
Total Nilai Guna 6.121.920,40 4.008.211.062,81 78,83
Nilai Bukan Guna a Nilai Pilihan
Penyerap Karbon 591.861,83 387.510.290,23 7,62
Total Nilai Pilihan 591.861,83 387.510.290,23 7,62
b Nilai Keberadaan
Habitat Flora Fauna 1.052.401,67 689.040.000,00 13,55
Total Nilai Keberadaan 1.052.401,67 689.040.000,00 13,55
Total Nilai Bukan Guna 1.644.263,51 1.076.550.290,23 21,17
Total Nilai Ekonomi 7.766.183,90 5.084.761.353,04 100 100 100
2. No
Persentase Terhadap Nilai Total (%) 1.
Sumber analisis data primer, 2005
Dari Tabel 17 di atas dapat dilihat nilai guna memberikan manfaat sebesar
Rp.4.008.211.062,81 atau Rp.6.121.920,40/ha nilai ini memberikan kontribusi
sebesar 78,83 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung. Nila i ini terdiri dari nilai guna langsung sebesar Rp.224.415.768,35 atau Rp.342.760,26/ha (4,41 %) dan nilai guna tidak langsung sebesar Rp.3.783.795.294,45 atau Rp.5.779.160,14/ha (74,41%).
Sementara sisanya sebesar 21,17 % merupakan kontribusi dari nilai bukan guna yang memberikan manfaat sebesar Rp.1.076.550.290,23 atau Rp1.644.263,51/ha. Nilai ini terdiri dari nilai pilihan sebesar Rp.387.510.290,23 atau Rp.591.861,83/ha (7,62 %) dan nilai keberadaan sebesar Rp.689.040.000,00 atau Rp.1.052.401,67 (13,55 %).
66 Kecilnya nilai guna langsung yang cuma 4,41 % dari nilai ekonomi total kawasan hutan me nunjukan masih kecilnya manfaat ekonomi kawasan hutan yang langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat dengan adanya keberadaan hutan adalah sebagai penyedia kayu bakar dan sebagai lokasi wisata yakni dengan adanya pengelolaan kawasan wisata Curug Panjang yang dikelola oleh masyarakat bersama Perhutani.
Jika dilihat masing-masing jenis pembentuk nilai ekonomi total kawasan lindung, nilai terbesar berasal dari nilai penyedia kebutuhan air untuk rumah tangga sebesar Rp.2.116.630.677,85 atau Rp.3.232.824,90/ha, nilai ini memberikan kontribusi sebesar 41,63 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung. Hal ini menunjukan betapa pentingnya kawasan hutan sebagai pensuplai kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga masyarakat di Sub DAS Ciesek. Sedangkan penyumbang nilai ekonomi terkecil berasal dari nilai ekonomi penyedia air untuk kebutuhan pertanian sawah sebesar Rp.29.274.181,82 atau Rp.44.711,77/ha, nilai ini memberikan kontribusi sebesar 0,58 % dari nilai ekonomi total kawasan lindung.
0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000
Kayu BakarWisata Alam
Air RT Air Pertanian
Penggendali Banjir dan Erosi
Penyerap Karbon
Habitat Flora FaunaJenis Nilai
Nilai Ekonomi (Rp/ha/th)
Gambar 10. Komponen Pembentuk Nilai Ekonomi Total Kawasan Lindung Per Hektar Per Tahun
67
Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya
Penggunaan Lahan untuk Pertanian Lahan Basah
Hasil intrepretasi dari citra satelit Ikonos tahun 2003 didapatkan informasi bahwa luas lahan pertanian sawah seluas 300,97 ha atau 11,35 % dari luas Sub DAS Ciesek. Distribusi luas sawah dan jumlah petani untuk tiap-tiap desa di daerah penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Luas Pertanian Sawah dan Jumlah Petani di Sub DAS Ciesek
Desa Luas (ha)1 Luas Pertanian (ha)1 prosentase (%) Jumlah KK2 Jumlah Petani2 Desa Cipayung 438,44 86,96 28,89 4.597 93
Desa Cipayung Girang 193,75 32,06 10,65 1.691 230
Desa Megamendung 1724,22 51,36 17,06 1.325 106
Desa Cilember 296,86 138,48 46,01 1.297 499
Total 2653,27 300,97 100,00 4.597 928
1 sumber Ikonos tahun 2003
2 sumber Kecamatan Dalam Angka Tahun 2003
Adapun distribusi dan rata-rata lahan garapan petani yang menjadi responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.
Tabel 19. Distribusi dan Rata-rata Luas Lahan Garapan Petani Responden di Sub DAS Ciesek
Desa Jumlah Responden Rata-rata lahan garapan (ha)
Desa Cipayung 5 0,042
Desa Cipayung Girang 5 0,096
Desa Megamendung 4 0,045
Desa Clember 8 0,109
Total 22
Sumber analisis data primer, 2005
Berdasarkan wawancara dengan 22 orang petani responden, rata-rata lahan yang menjadi garapan sawah seluas 790 m2 per orang. Perlu untuk diketahui bahwa
68 petani yang mengusahakan sawah di Sub DAS Ciesek ini bukan seluruhnya masyarakat yag tinggal di desa-desa yang ada di Sub DAS Ciesek tetapi banyak juga diantaranya petani yang berasal dari desa-desa di luar Sub DAS Ciesek. Karakteristik sosial ekonomi responden untuk menentukan nilai ekonomi pertanian lahan basah di daerah Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21 berikut ini.
Tabel 20. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pertanian Lahan Basah
Uraian Satuan Rata-rata
Pendapatan Rp/bln 411.364
Luas Garapan ha 0,079
Jumlah Anggota KK orang 5,00
Konsumsi Air Pertanian hari sepanjang hari
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 21. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani Pertanian Lahan Basah
Uraian Jumlah Persentase (%)
Tingkat Pendidikan SD 11 50,00
SMP 7 31,82
SMA 4 18,18
Total 22 100,00
Status Kepemilikan Lahan Sendiri 3 13,64
Sewa 0 0,00
Penggarap 19 86,36
22 100,00
Sumber : olahan data primer, 2005
Sebagian besar responden yang menjadi petani sawah berpendidikan SD (50%) dengan rata-rata tingkat pendapatan sebesar Rp.411.364/bulan. Dari hasil wawancara juga didapatkan informasi bahwa 86,36% rata-rata lahan garapan para petani adalah tanah bukan milik para petani itu sendiri, melainkan tanah milik orang- orang kota terutama orang dari Jakarta. Para petani tersebut hanya sebagai petani penggarap dengan sistem bagi hasil. Akan tetapi banyak juga para petani yang menggarap lahan orang-orang Jakarta dengan perjanjian seluruh hasil dari pertanian
69 sawah untuk para petani, sementara kewajiban mereka adalah menjaga keamanan lahan-lahan orang-orang Jakarta dan bersedia menghentikan kegiatan pertanian jika lahan tersebut akan dipergunakan oleh pemilik sah lahan garapan pertanian mereka.
Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi lahan pertanian lahan basah dapat ditentukan. Dengan rata-rata luas garapan sebesar 0,079 ha tiap petani mampu menghasilkan padi rata-rata sebesar 2,51 kuintal tiap kali panen. Jika dalam satu tahun terdapat dua kali panen maka petani bisa mendapatakan 5,2 kuintal per tahun. Besarnya nilai produktivitas lahan pertanian lahan basah untuk rata-rata seluas satu hektar dalam penelitian ini sebesar Rp.3.729.747/ha/tahun. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Sebagian besar dari petani pertanian lahan basah yang ada di daerah pene litian bersifat subsisten, artinya hasil padi mereka tidak dikomersilkan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar sistim pertanian yang dilakukan kurang intensif, petani hanya melakukan pekerjaan pertanian lahan basah ini hanya bersifat sebagi sambilan. Banyak diantara mereka mempunyai pekerjaan lain seperti sebagai penjaga villa, buruh dan wiraswasta.
Gambar 11. Sistim Pertanian Lahan Basah (Sawah) yang Diusahakan oleh
70
Penggunaan Lahan untuk Pertanian Lahan Kering
Pola pertanian lahan kering yang bayak dilakukan oleh masyarakat di Sub DAS Ciesek merupakan pola pertanian lahan kering dataran tinggi, dimana komoditi pertanian yang ditanam didominasi oleh pisang dan singkong. Jenis komoditi pertanian lahan kering lainnya yang juga banyak ditanam adalah sayuran seperti tomat, kubis, cabe, mentimun, sesin, buncis serta berbagai komoditi bunga potong. Seperti pertanian lahan basah, sistim pertanian lahan kering yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya masih kurang intensif, sehingga hasil yang didapatkan belum begitu menggembirakan.
Karakteristik responden petani pertanian lahan kering di dalam penelitian ini bisa dilihat pada Tabel 22 berikut ini.
Tabel 22. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pertanian Lahan Kering
Uraian Satuan Rata-rata
Luas Garapan ha 0,76
Jumlah Anggota KK orang 5,00
Pendapatan Rp/bln 869.091
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 23. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani Pertanian Lahan Kering
Uraian Jumlah Persentase (%)
Tingkat Pendidikan SD 4 28,57
SMP 3 21,43
SMA 4 28,57
S1 3 21,43
Total 14 100,00
Status Kepemilikan Lahan Sendiri 4 28,57
Sewa 2 14,29
Penggarap 8 57,14
14 100,00
71 Berdasarkan Tabel 22 dan 23 di atas, dapat dilihat rata-rata luas garapan petani lahan kering di daerah penelitian adalah 760 m2, dengan status kepemilikan lahan adalah sebagai penggarap (57,14 %), serta status pendidikan terbesar adalah SD dan SMA (28,57 %). Seperti petani pertanian lahan basah, di daerah Sub DAS Ciesek memang kebanyakan lahan yang ada adalah milik dari orang Jakarta, sementara masyarakat setempat hanya sebagai penggarap saja.
Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi pertanian lahan kering yang ada di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.7.905.698,23/ha /th (Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9). Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan petani lahan basah yang hanya Rp.3.729.747/ha /tahun, hal ini dikarenakan ada sebagian masyarakat yang mengusahakan sistim penggarapan pertanian lahan kering dengan sistim yang lebih intensif sehingga nilai rata-ratanya menjadi tinggi, seperti pola pertanian yang dikelola oleh PUSKOPAL (Pusat Koperasi Angkatan Laut) dan usaha budidaya bunga potong. Namun sebagian besar pertanian lahan kering yang ada di daerah penelitian belum digarap dengan intensif, seperti pola pertanian laha n kering yang sangat mendominasi pemanfaatan lahan yang ada yakni pertania n lahan kering dengan komoditas utama tanaman singkong dan pisang.
Gambar 12. Sistim Pertanian Lahan Kering yang Diusahakan oleh Masyarakat di
72
Penggunaan Lahan untuk Kebun Campuran
Dalam penelitian ini yang digolongkan kedalam kebun campuran merupakan pertanian lahan kering dengan melibatkan tanaman tahunan seperti buah-buahan dan tanaman keras seperti sengon. Karakteristik responden masyarakat yang mengusahakan penggunaan lahan dengan sistim kebun campuran di dalam penelitian ini bisa dilihat pada Tabel 24 berikut ini.
Tabel 24. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Kebun Campuran
Uraian Satuan Rata-rata
Luas Garapan ha 0,441
Jumlah Anggota KK orang 5,00
Pendapatan Rp/bulan 622.500
Sumber : olahan data primer, 2005
Tabel 25. Tingkat Pendidikan dan Status Kepemilikan Lahan Responden Petani
Kebun Campuran
Uraian Jumlah Persentase (%)
Tingkat Pendidikan SD 4 33,33
SMP 4 33,33
SMA 4 33,33
Total 12 100,00
Status Kepemilikan Lahan Sendiri 5 41,67
Sewa 0 0,00
Penggarap 7 58,33
Total 12 100,00
Sumber : olahan data primer, 2005
Dari Tabel 24 dan 25 tersebut di atas dapat dilihat rata-rata luas garapan kebun campuran yang diusahakan oleh masyarakat adalah 441 m2 dengan status kepemilkan lahan adalah penggarap (58,33%), serta tingkat pendidikan responden SD, SMP dan SMA yang merata (33,33%). Berdasarkan pengamatan, sebagian besar pola kebun campuran yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan tidak intensif, dimana kebun- kebun campuran yang dikelola masyarakat terbagi atas petak-petak tanah yang tidak
73 begitu luas, bahkan banyak diantaranya merupakan pekarangan rumah. Masyarakat hanya sekedar memanfaatkan lahan yang ada baik yang merupakan kepunyaan sendiri atau hanya sekedar memanfaatkan lahan tidur kepunyaan orang-orang Jakarta. Sementara masyarakat yang benar-benar serius mengusahakan pola kebun campuran ini tidak dijumpai, hal ini bisa dilihat dengan tidak adanya masyarakat yang dengan sengaja menyewa lahan (0,00%) untuk dikelola dengan sistim kebun campuran.
Dengan tidak dikelola dengan baiknya sistim kebun campuran di daerah Sub DAS Ciesek, menyebabkan tingkat produktivitas yang dihasilkan per hektarnya relatif kecil bila dibandingkan dengan sistim pertanian lahan basah dan sistim pertanian lahan kering. Berdasarkan pendekatan produktivitas, nilai ekonomi kebun campuran yang ada di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebesar Rp.3.435.982,91 /ha/th. Hasil perhitungan nilai ekonomi kebun campuran selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.
Gambar 13. Sistim Kebun Campuran yang Diusahakan oleh Masyarakat di Sub
74
Penggunaan Lahan untuk Pemukiman
Kondisi udara pegunungan yang sejuk dengan pemandangan yang indah, menyebabkan penggunaan lahan untuk pemukiman terutama pembangunan villa-villa di Sub DAS Ciesek ini berkembang dengan pesat. Pembangunan villa yang bertambah terus dari tahun ke tahun menyebabkan permasalahan tersendiri bagi tata ruang kawasan puncak karena seringkali pembangunan villa-villa ini kurang mengindahkan aspek lingkungan dan peruntukan lahan seperti yang telah disusun dalam RTRW. Besarnya jumlah villa dan jumlah rumah yang ada di Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Jumlah Rumah dan Villa yang Terdapat di Sub DAS Ciesek
Desa Luas (ha) Jumlah Rumah1 Jumah Villa Persentase Jumlah Villa (%) Desa Cipayung 438,44 4597 60 1,31
Desa Cipayung Girang 193,75 1691 106 6,27
Desa Megamendung 1.724,22 1325 370 27,93
Desa Cilember 296,86 1297 100 7,71
Total 2.653,27 8910 636 7,14
Sumber Monografi Desa, 2004
Keterangan : 1 asumsi jumlah rumah sama dengan jumlah KK
Dari Tabel 26 di atas dapat dilihat jumlah persentase villa terbesar berada di Desa Megamendung yakni mencapai 370 buah villa atau 27,93 % dari jumlah rumah yang ada di Desa Megamendung. Hal ini bisa dimaklumi mengingat panorama alam Desa Megamendung yang relatif indah dibandingkan ketiga desa yang ada di Sub DAS Ciesek. Desa Megamendung merupakan desa dengan topografi ketinggian paling tinggi sehingga tingkat kesejukan udara relatif lebih sejuk. Jumlah villa dengan persentase terkecil berada di Desa Cipayung dengan persentase 1,31 % dengan jumlah villa sebanyak 60 unit. Desa Cipayung merupakan desa dengan topografi ketinggian paling rendah dibandingkan dengan ketiga desa lainnya, sehingga tingkat kesejukan udara relatif kurang jika dibandingkan dengan desa
75 lainnya. Disamping keindahan alam, tingkat kesejukan ini diduga menjadi salah satu motivasi orang dalam membangun villa.
Penghitungan manfaat nilai perumahan dilakukan dengan metode CVM dengan mewancarai 69 orang responden, yang terdiri dari 44 responden untuk jenis bangunan rumah biasa dan 25 responden untuk jenis bangunan rumah villa. Sulitnya menemui responden para pemilik villa menjadi kendala utama dalam menentukan nilai ekonomi perumahan. Hal ini disebabkan pemilik villa tidak berada di villa setiap hari, melainkan hanya hari- hari tertentu saja. Bahkan tidak jarang villa-villa tersebut tidak ditempati melainkan disewakan. Karakteristik sosial ekonomi responden untuk tiap jenis rumah dalam peneiltian ini dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Karakteristik Sosial Ekonomi Responden masing- masing Jenis Rumah
Jenis Bangunan Rumah Rumah Biasa Villa Uraian n % n % Tingkat Pendidikan SD 14 31,82 - 0,00 SMP 13 29,55 - 0,00 SMA 12 27,27 5 20,00 S1 5 11,36 19 76,00 S2 - 0,00 1 4,00 Total 44 100,00 25 100,00
Jenis Pekerjaan Petani 11 25,00 - 0,00
Buruh 7 15,91 - 0,00 Penjaga Villa 12 27,27 - 0,00 Swasta 3 6,82 14 56,00 PNS 8 18,18 - 0,00 Wiraswasta 3 6,82 11 44,00 Total 44 100,00 25 100,00
Status Penduduk Asli 40 90,91 - 0,00
Pendatang 4 9,09 25 100,00 Total 44 100,00 25 100,00 Rata-rata Pendapatan (Rp/bln) 718.864 7.160.000 Sumber : olahan data primer, 2005
76 Berdasarkan Tabel 27 di atas dapat dilihat responden untuk jenis bangunan rumah biasa sebagian besar berpendidikan SD (31,82 %), dengan jenis pekerjaan terbesar adalah berprofesi sebagai penjaga villa (27,27 %) serta status kependudukan adalah warga asli setempat (90,91 %). Sedangkan untuk jenis bangunan rumah villa status pendidikan terbesar adalah S1 (76,00 %), dengan jenis pekerjaan terbesar adalah berprofesi sebaga i karyawan swasta (56,00 %) serta status kependudukan adalah warga pendatang (100 %). Sebagian besar villa yang ada di daerah penelitian dimiliki oleh orang yang berdomisili di Jakarta yang digunakan untuk tempat peristirahatan pada hari- hari libur saja.
Nilai jual tanah dan nilai harga jual dan nilai jual objek pajak (NJOP) disesuaikan dengan aksesibilitas atau kemudahan dicapainya lokasi. Harga jual tanah dan NJOP ini akan semakin tinggi bila aksesibilitasnya mudah, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan wawancara dengan responden dan aparat desa setempat, NJOP masyarakat adalah seperti yang dicantumkan pada Tabel 28 berikut ini. Tabel 28. Harga Jual Tanah dan NJOP Perumahan di Sub DAS Ciesek
Desa Harga jual tanah yang dilalui (x Rp.1.000)
NJOP yang dilalui (x Rp.1.000)
Jalan Raya Jalan Desa Jalan Kampung
Jalan
Raya Jalan Desa
Jalan Kampung Cipayung 1.000-1.500 100 - 300 100 - 300 464 100 - 180 36 - 64 Cipayung Girang 1.000-1.200 100 - 300 100 - 300 464 - 850 103 - 285 36 - 160 Megamendung 1.200 100 - 400 50 - 60 400 160 - 200 48 - 60 Cilember 1.200 100 - 300 < 50 335 100 - 150 48 - 64
Sumber : olahan data primer, 2005
Nilai ekonomi perumahan didasarkan pada rata-rata kesediaan membeli responden yang maksimal didalam membeli rumah. Rata-rata kesediaan membeli rumah responden untuk tipe rumah biasa sebesar Rp.93.181.818 dan untuk tipe rumah villa sebesar Rp.862.400.000. Dengan asumsi jangka waktu layak huni untuk tipe rumah biasa selama 30 tahun dan untuk tipe rumah villa selama 50 tahun maka besarnya nilai ekonomi perumahan untuk tipe rumah biasa sebesar Rp. 554.653.679,65/ha/th dan untuk tipe rumah villa sebesar Rp.1.288.702.928,87/ha/th.
77 Berdasarkan analisis regresi dengan metode stepwise diketahui variabel yang mempengaruhi nilai kesediaan orang dalam membeli rumah adalah tingkat pendapatan (X5) dan kelas rumah atau kondisi fisik bangunan (X6), sementara variabel faktor lingkungan (X1), jarak dari jalan raya (X2), ketinggian tempat (X3), kemiringan lahan (X4) serta tipe rumah (X7) tidak berpengaruh nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah Y = -363604537,91 + 54,46 X5 + 331119138,07 X6, dengan r2 sebesar 74,30 % dan p value sebesar 0,000. Hasil analisis regresi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14. Berdasarkan model regresi ini bisa dijelaskan bahwa semakin besar tingkat pendapatan dan kualitas bangunan, maka kesediaan membeli rumah akan semakin tinggi pula. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.
Gambar 14. Kelas Bangunan 3 (a), Kelas Bangunan 2 (b), Kelas Bangunan 1 (c) a
78
Perbandingan Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 dan RTRW Tahun 2000
Besarnya nilai ekonomi pada berbagai penggunaan lahan yang ada sekarang jika dibandingkan dengan besarnya nilai ekonomi pengunaan lahan sesuai dengan oeruntukkannya sebagaimana yang telah disusun dalam RTRW tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 29 berikut ini.
Tabel. 29. Perbandingan Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Berdasarkan Ikonos
Tahun 2003 dengan Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW Tahun 2000 No Arahan Penggunaan Umum RTRW Arahan Penggunaan Khusus RTRW Luas Berdasarkan RTRW (Ha) Penggunaan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 Luas Berdasarkan Ikonos (Ha) Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 (Rp/ha/th) Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW Tahun 2000 (Rp/ha/th) 1 Kawasan Kawasan 1.040,41 Hutan kerapatan tinggi 521,48 4.049.917.347,95
Lindung Hutan Lindung Hutan kerapatan rendah 133,25 1.034.844.005,08 Kebun campuran 35,72 122.729.873,42 Bangunan rumah 2,06 2.271.197.074,01 Pertanian lahan kering 144,70 1.143.915.006,02 Semak belukar 200,42 369.566.776,41 Tanah kosong 2,79 558.400.000,00
Total a 1.040,41 9.550.570.082,90 8.080.038.693,14 2 Kawasan Kawasan 531,17 Pertanian lahan kering 269,88 2.133.574.028,09
Budidaya Pertanian Hutan kerapatan tinggi 5,32 41.331.630,73 Pertanian Lahan Kering Hutan kerapatan rendah 1,68 13.023.890,41 Kebun campuran 109,53 376.326.027,78 Bangunan rumah 38,81 42.852.420.826,16 Sawah 103,04 384.313.113,92 Tanah kosong 2,91 1.456.500.000,00 Total b 531,17 47.257.489.517,09 4.199.238.108,35 Kawasan 125,23 Sawah 56,63 211.219.293,04
Pertanian Kebun campuran 41,82 143.699.677,09 Lahan Basah Bangunan rumah 24,94 27.535.918.244,41