• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID PERSPEKTIF

2. Nilai Insaniyah

Manusia ialah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, tidak bisa lepas dari penilaian orang lain, dan tidak bisa menuntut ilmu serta mengamlakan ilmunya tanpa orang lain. Selain nilai ilahiyah, pendidikan tauhid juga berusaha menanamkan nilai insaniyah kepada manusia, agar ia mampu memahami kehidupan dan menjadi manusia yang bermanfaat. Ia akan selamat bila dalam setiap melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan sesuatu, maka ia mengikuti hati nuraninya. Adapun diantara nilai-nilai tersebut ialah:

98 a. Husnudhdhon

Husnudhdhon artinya berbaik sangka. Husnudhdhon harus diterpakan dalam kehidupan sehari-hari baik kepada manusia maupun Allah. Dengan berbaik sangka, kita akan terhindar dari rasa takabbur (sombong), bangga diri (ujub), dan sifat lain yang cenderung membesarkan diri dan menganggap orang lain lebih rendah dari dirinya. Dalam kutipan kitab sullam at- taufiq diterangkan bahwa salah satu hal yang menyebabkan murtad ialah ragu terhadap sifat ataupun wujud Allah (Sunarto, 2012:41). Sehingga setiap insan senantiasa diajarkan untuk selalu menjaga prasangka baik, baik kepada Allah ataupun kepada sesamanya. b. Jujur

Jujur artinya lurus dalam hati, perkataan dan perbuatan. Jujur juga berarti kesesuaian antara lahir dan batin. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:644) kejujuran bararti ketulusan dan kelurusan hati (tidak curang). Hati merupakan penentu dari segala perbuatan manusia. Jika ia baik, maka baiklah seluruh anggotanya, dan jika ia buruk maka buruklah semua anggotanya. Tauhid menuntun agar hati tetap dalam ketaatan kepada Allah SWT. Kejujuran adalah kunci dari kebaikan, dan kebaikan akan menuntun kepada jannah.

Dalam kitab Sullam At-Taufiq menerangkan bahwa sifat rasul diantaranya memiliki sifat siddiq (jujur), sedangkan rasul

99

merupakan suri tauladan yang menjadi panutan bagi setiap insan khususnya muslim. Maka dari itu hendaknya setiap insan juga diharapkan bahkan diwajibkan memiliki sifat jujur.

c. Menjaga lisan

Hifdhullisan atau menjaga lisan ialah sikap menahan diri dari mengatakan hal-hal yang tidak diridhoi oleh Allah dan makhluk. Dalam kitab Sullam At-Taufiq dijelaskan bahwa macam-macam sebab orang menjadi murtad salah satunya disebabkan karena ucapan atau perkataan, disebut murtad qouli

(Abdullah, t.t: 8). Dengan menjaga lisan dari mengatakan hal-hal yang bisa menyebabkan seorang muslim keluar dari status islam,

seperti contoh memanggil orang islam dengan panggilan: “Hai kafir!”. Maka hifdhullisan merupakan salah satu cara untuk terhindar dari kemurtadan tersebut.

d. Silaturrahmi

Hubungan tali rasa sayang dan cinta antara sesama manusia karena Allah SWT. khususnya dalam hubungan saudara, kerabat, tetangga, dan lain sebagainya. Allah SWT. adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang kepada semua makhluk-Nya. baik yang taat maupun yang bermaksiat, baik yang beriman maupun yang kafir. Maka dari itu, orang yang beriman hendaklah saling mencintai satu sama lain. Baik seagama maupun yang tidak seagama. Karena sudah merupakan takdir Allah bahwa manusia

100

hidup di dunia ini menjadi makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Dan itu merupakan suatu ibadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu antara satu dengan yang lain harus terjalin hubungan yang baik dan harmonis. Rasulullah bersabda:

َلا ق م ص يِبَّنلا ِنَع ضر َةَرْيَرُه ْيِبَأ ْنَع

ِللهاِب ُنِمْؤُي َناَك ْنَم

)يراخبلا هاور( ُهَمِحَر ْلِصَيْلاَف ِرِخَ ْلأا ِمْوَيْلاَو

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad SAW.

bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir

hendaklah menyambung tali persaudaraan” (HR. Bukhari)

(Mahmud, 2017: 274).

e. Tawadlu’

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1641) tawaduk artinya rendah hati, patuh (taat). Tawaduk merupakan sikap rendah hati menerima kebenaran dan tidak menyombongkan serta tidak membanggakan diri. Jadi tawaduk adalah kebalikan dari sombong. Rasulullah SAW. bersabda:

ْطَب ُرْبِكْلا َلاَق م ص يِبَّنلا ِنَع دْوُعْسَم ِنْبا ِالله ِدْبَع ْنَع

قَحْلا ُر

)ملسملا هاور( ِساَّنلا ُطْمَغَو

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Muhammad SAW.

beliau bersabda: “Sombong adalah menentang kebenaran dan

merendahkan manusia (orang lain)” (HR. Muslim) (Mahmud,

2017: 290).

Kesadaran diri bahwa segala pujian, kemuliaan, keagungan, dan sifat luhur lainnya hanya milik Allah. Ketundukannya

101

dilandasi atas dasar penghambaan kepada Allah SWT. Karena Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk menghamba (beribadah) kepada-Nya.

Manusia itu asal mulanya terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah, mati dikubur kedalam tanah. Maka dari itu sifat yang harus dimiliki oleh manusia adalah sifat rendah. Karena tiada kekuatan dari suatu apapun melainkan dengan kuasa Allah SWT. Dalam kutipan kitab Sullam At-Taufiq diterangkan bahwa segala yang terjadi berasal dari Allah serta tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah SWT (Abdullah, t.t: 4).

f. Amanah

Amanah ialah sikap dapat dipercaya karena menunaikan sesuatu yang dititipkan atau dipercayakan dengan kejujuran budi dan kebaikan hati atas konsekuensi beriman kepada Allah SWT. Orang yang memiliki sifat amanah bukan hanya akan mendapat kemuliaan dari manusia, namun juga dimuliakan oleh Allah dan lebih tinggi lagi amanah itu adalah sifat wajib para Rasul.

Amanah mencakup banyak hal, bukan hanya sesama manusia akan tetapi juga amanah sebagai konsekuensi seorang muslim tentang keimanan, diantaranya yaitu:

1) Amanah menjaga fitrah keisalaman 2) Amanah menjaga syariat Islam

102

3) Amanah menjaga ukhuwah atau persaudaraan

4) Amanah mengajak kepada jalan yang benar (Islam) (Mahmud, 2017: 45).

Dalam kitab Sullam At-Taufiq menerangkan bahwa sifat rasul diantaranya memiliki sifat amanah (dapat dipercaya), dan sifat ini yang menjadi ciri khas Rasulullah sehinggaa mendapat julukan al-amin, sedangkan rasul merupakan suri tauladan yang menjadi panutan bagi setiap insan khususnya muslim. Maka dari itu hendaknya setiap insan juga diharapkan bahkan diwajibkan memiliki sifat amanah.

g. Ukhuwah

Ukhuwah ialah jalinan hubungan yang solid untuk bisa bersatu dalam tali persaudaraan untuk bersama-sama mengharap ridho dari Allah SWT. Dalam hal ini menjaga hubungan yang baik dengan persaudaraan antar sesama manusia terutama orang islam yang sesuai dengan tuntunan syari’at islam. Maka

hendaklah persaudaraan tersebut dilandasi dengan 1) Iman dan takwa kepada Allah SWT.

2) Keikhlasan semata-mata karena Allah SWT.

3) Saling nasihat menasihatai dalam kebaikan dan kesabaran Orang-orang islam itu satu sama lain adalah bolo. Artinya bukan musuh. Orang Islam satu merupakan saudara orang Islam yang lain. Maka janganlah berbuat dhalim kepadanya. Rasulullah

103

bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:

َّنَأ َرَمُع ِنْبا ِالله ِدْبَع ْنَع

ِمِلْسُمْلا وُخَأ ُمِلْسُمْلا َلاَق م ص ِالله َلْوُسَر

ِهِتَجاَح ْيِف ُالله َناَك ِهْيِخَأ ِةَجاَح ْيِف َناَك ْنَم ُهُمِلْسُي َلََو ُهُمِلْظَي َلَ

َمْوَي ِبَرُك ْنِم ًّةَبْرُك اَهِب ُهْنَع ُالله َجَّرَف ًّةَبْرُك مِلْسُم ْنَع َجَّرَف ْنَمَو

َمَو ِةَماَيِقْلا

يراخب هاور( ِةَماَيِقْلا َمْوَي ُالله ُهَرَتَس اًّمِلْسُم َرَتَس ْن

)ملسمو

Artinya: Dari abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW.

bersabda: “Seorang muslim adalah saudara orang muslim yang

lain, jangan menzaliminya dan jangan pula membiarkannya. Barang siapa memenuhi hajat saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya, barang siapa yang menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan-kesusahan pada hari kiamat, dan barang siapa menutupi aib seorang muslim makan Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat (HR. Bukhari Muslim) (Mahmud, 2017: 260).

Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir menjelaskan yang termasuk hal yang bisa menjadikan seseorang menjadi murtad dari sisi perkataan (murtad qauli) yang pertma

disebut ialah memanggil orang islam dengan sebutan: “Hai kafir!”. Disini selain menjadikannya murtad juga akan merusak

hubungan persaudaraan sesama muslim. h. Adil

Adil adalah menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Lawan dari sikap adil adalah dholim. Adil bukan berarti harus

104

sama persis satu dengan lainnya, akan tetapi memeberikan hak sesuai dengan proporsinya.

Sifat adil hendaklah dipraktekkan oleh semua manuasia dalam kehidupan berwarga negara. Oleh manusia biasa sifat adilpun harus diterapkan apa lagi oleh orang-orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan di suatu wilayah atau negara. Orang yang menerapkan sikap adil akan menuntun kepada keistiqamahan ibadah kepada Allah SWT. Macam-macam adil diantaranya yaitu:

1) Adil kepada Allah

Maksudnya menempatkan Allah SWT. sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah, tidak ada Tuhan yang wajib untuk disembah kecuali Allah SWT. Melaksanakan hal-hal yang sudah diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah.

2) Adil kepada diri sendiri

Artinya bersikap prefesional dengan semua hal yang menjadi tanggung jawabnya. Seperti contoh seorang penuntut ilmu harus bisa menempatkan diri belajar dengan tekun dan giat. Seorang hakim harus memberikan keputusan yang sesuai dengan perundang-undangan kepada semua pihak tidak pandang bulu.

105

Sebagai makhluk sosial manusia harus bisa beradaptasi dengan lingkungannya.

Memenuhi hak-hak sesama manusia dan menjaga akhlak mulia dalam hidup bermasyarakat.

4) Adil kepada semua makhluk Allah SWT.

Artinya memiliki rasa peduli lingkungan dan tidak merusak alam sekitar baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan yang diciptakan oleh Allah untuk kebutuhan manusia itu sendiri.

Dalam kitab sullam at-taufiq diterangkan bahwa termasuk perkataan yang dapat menyebabkan seseorang menjadi murtad

adalah memanggil orang islam dengan panggilan: “Hai Kafir!”.

Demikian itu contoh orang yang tidak brsikap adil kepada sesama orang Islam, yang seharusnya dipanggil dengan sebutan yang baik. Dengan demikian setiap orang harus mempunyai sifat adil agar terjaga dari melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh

syari’at Islam.

B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid dengan Pendidikan Indonesia Pembahasan sub bab ini penulis akan memberikan penjelasan mengenai relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid dalam Kitab Sullam Taufiq Karya Syaikh Sayyid Abdullah Bin Husain Bin Thahir dengan pendidikan Indonesia. Pemaparan nilai-nilai pendidikan tauhid sebelumnya telah membahas pendidikan tauhid ialah suatu usaha penanaman nilai-nilai tauhid kepada peserta didik. Dimana pendidikan

106

tauhid ditanamkan sejak awal manusia diciptakan. Berawal dari dalam kandungan Allah menanyakan dengan tegas dalam QS. Al-a’raf ayat

172: “Apakah Aku adalah Tuhanmu?”. Kemudian sang janin menjawab: “Iya, Engkau adalah Tuahnku, dan aku bersaksi”. Setiap

manusia yang lahir di muka bumi dalam keadaan suci. Artinya ia telah beragama Islam, adapun pertumbuhan dan perkembangannya maka tergantung pendidikan yang diterima dari lingkungannya, dalam hal ini orang tua menjadi tempat penanaman nilai yang pertama.

Proses penanaman nilai-nilai keimanan didahului oleh pemberian pengetahuan tantang Sang Pencipta Alam dan isinya Yang Maha Esa. Iman seseorang tidak akan tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus diasah dan dipertebal dengan mengeksplor rahasia-rahasia Allah SWT. melalui proses pendidikan dan belajar, serta diiringi perilaku taat dan beribadah kepada Allah SWT. Nilai-nilai pendidikan tauhid ditanamkan kepada anak didik bertujuan agar ia mampu memadukan fungsi akal dan wahyu dan mendapatkan petunjuk iman dari Allah SWT.

Dalam merelevansikan nilai-nilai pendidikan tauhid Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir dengan pendidikan di Indonesia khususnya, penulis mengulas tentang penjelasan dalam kitab

Sullam At-Taufiiq mengenai nilai-nilai pendidikan tauhid yang terbagi dalam tiga pembahasan. Pertama, Sifat Allah dan Rasul. Menjelaskan makna syahadat tauhid dan syahadat rasul. Mengarahkan seorang yang

107

beragama Islam harus mengetahui sifat-sifat Allah Tuhan Yang Maha Esa dan mengetahui pula tentang Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi umat Islam. Menanamkan iman kepada manusia menjadi pilihan pertama dalam pendidikan tauhid Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir. Sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebersih-bersih tauhid merupakan suatu pondasi untuk mendorong dan menciptakan pendidikan anak pada saat lahir ke dunia (Mansur, 2011: 311).

Iman yang kuat akan mengantar mencapai tujuan pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 (http://referensi.elsam.or.id) menyebutkan:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab harus dilandasi dengan keimanan yang kuat.

Setiap penduduk Indonesia harus memiliki iman dalam hatinya. Dengan tegas Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir menulis,

“Di wajibkan atas setiap orang mukallaf untuk masuk ke dalam agama Islam” (Abdullah, tt: 3).

108

Beliau mengajak pada jalan keselamatan yaitu Islam untuk mendapatkan cinta Allah.

Pendidik, peserta didik serta semua pihak yang berperan dalam dunia pendidikan di Indonesia khususnya harus memegang teguh keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Dasar-dasar akidah harus terus-menerus ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan pertumbuhannya senantiasa dilandasi oleh akidah yang benar (Mansur, 2011: 116). Substansi Syahadat harus terwujud dalam ucapan (lisan), gerak hati, dan tindakan. Baik dalam hal ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Bertauhid kepada Allah membangkitkan kebaikan-kebaikan, membina rasa senantiasa diawasi oleh Allah, memotivasi untuk mencari hal-hal yang luhur dan mulia. Mengenali para Rasul dan Nabi, mendorong manusia untuk meneladani sifat-sifat mereka dan tolong menolong dalam kebenaran dan kebaikan, sehingga mendorong manusia kepada kesadaran dan keimanan yang sempurna.

Kedua, hal-hal yang menyebabkan murtad. Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir mengawali pembahasan ini dengan kalimat,

“Wajib bagi setiap orang Islam menjaga dan memelihara ke-Islaman dari sesuatu yang merusak, membatalkan, dan memutuskannya, yakni

kemurtadan” (Abdullah, tt: 5).

Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir mengajarkan keteguhan dalam menjaga iman. Tidak mudah untuk berpindah-pindah keyakinan, sehingga tidak seperti mempermainkan agama. Nilai-nilai

109

pendidikan tauhid Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir mendidik setiap orang Islam untuk senantiasa menjaga iman dalam hatinya. Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir menanamkan keteguhan hati dalam memegang keimanan. Seusai dengan UU no. 20 tahun 2003 Bab V pasal 12 tentang kewajiban peserta didik bahwa:

Peserta didik berkewajiban untuk menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.

Setiap orang yang berperan dalam dunia pendidikan di Indonesia diharapkan memiliki keteguhan iman, sehingga tidak mudah tergoyahkan oleh kemewahan dunia.

Ketiga, hukum-hukum orang yang murtad. Pada pembahasan ini Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir menjelaskan tentang berbagai kewajiban orang-orang murtad untuk kembali kepada Islam (Abdullah, tt: 12). Pembahasan ini menggambarkan perhatian Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir kepada semua orang (tidak mendiskriminasikan) termasuk yang telah keluar dari agama Islam. Sesuai dengan UU no. 14 tahun 2005 Bab IV pasal 20 yang menyatakan bahwa kewajiban guru adalah:

Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.

Selain mencerminkan kecintaan seorang guru (pendidik), Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir menunjukkan cahaya kepada orang yang telah murtad bahwa ada kesempatan untuk kembali ke

110

jalan yang benar. Melalui taubat yang sungguh-sungguh dapat kembali kepada jalan yang diridhoi Allah, yaitu Islam.

Dunia pendidikan islam telah lama terjadi dikotomi ilmu, terutama sekali semenjak madrasah Nizhamiyah mempopulerkan ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan logika falsafah, hal itu menyebabkan terjadinya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu akal (umum) (Assegaf, 2014: 22). Di Indonesia sendiri telah terjadi dikotomi pendidikan, yaitu pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidikan agama khususnya Islam diposisikan hanya pada aspek keakhiratan. Pandangan dikotomis dalam pendidikan dilancarkan oleh adanya pengaruh budaya dan kebijakan pendidikan bangsa bangsa Barat yang menjajah negeri Islam. Menurut As-Said dalam skripsi Hanif (2015) di Indonesia dikotomi pendidikan yang memisahkan pendidikan “umum” dengan pendidikan “agama”,

merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda. Akibat berangkai pola pikir pendidikan yang dikotomis ini adalah terjadi disharmoni relasi antara pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, dan antara dimensi duniawi dengan ukhrawi.

Kondisi dikotomi tersebut dapat menyebabkan pemurtadan secara tidak sadar. Sebagai contoh, apabila pendidikan umum membuat ragu pada kekuasaan Allah ataupun takdir Allah maka bisa

111

dikategorikan dalam murtad i’tiqod. Sebagaimana keterangan Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir,

“Termasuk bagian dari kemurtadan yang pertama (i’tiqod) adalah meragukan Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an” (Abdullah, tt: 6).

Untuk mengantisipasi dikotomi pendidikan tersebut, pada dasarnya seluruh ilmu bersifat Islami sepanjang diniatkan ibadah kepada Allah dan berada dalam batas-batas yang digariskan Allah SWT.

Pendidikan tauhid yang diajarkan oleh Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir dalam kitab Sullam At-Taufiq bertujuan agar siapa saja yang mempelajari kitab tersebut akan memperoleh cinta Allah. Pada pendahuluan kitab tersebut telah dituliskan harapan beliau agar orang-orang yang menelaah kitab Sullam At-Taufiq diberi pertolongan sehingga dapat mengamalkan isinya kemudian diangkat derajatnya dan di tempatkan pada maqam mahabbah.

Negara Keatuan Republik Indonesia didirikan oleh para pendahulu dengan nilai spiritual yang tinggi. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bersifat final dan mengikat bagi seluruh penyelenggara negara dan seluruh warga negara Indonesia (MPR, 2016:88). Dengan demikian Pancasila juga menjadi sumber nilai spiritual Indonesia yang digali dari nilai-nilai Bangsa Indonesia. Sila pertama tentang Ketuhanan menjadi ruh bagi empat sila selanjutnya. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pandangan dasar dan bersifat primer yang secara substansial menjiwai keseluruhan wawasan kenegaraan bangsa Indonesia (MPR, 2016:92). Masyarakat Indonesia

112

yang beragama Islam tidak dapat meninggalkan dua hal pokok, yaitu dasar negara Indonesia dan ajaran Islam. Dasar negara Indonesia tidak bertentangan dengan ajaran Islam, keduanya sama-sama berdasarkan pada nilai ketuhanan.

113 BAB V PENUTUP A. Simpulan

Nilai-nilai pendidikan tauhid dalam kitab Sullam At-Taufiq karya Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir yang dapat penulis paparkan, yaitu pertama, nilai ilahiyah yang mencakup interpretasi iman, Islam, ihsan, takwa, sabar, tawakal, syukur, ikhlas dan taubat. Kedua, nilai insaniyah

mencakup interpretasi husnudhdhon, jujur, menjaga lisan, silaturahmi,

tawadu’, amanah, ukhuwah, dan adil.

Adapun relevansi nilai-nilai pendidikan tauhid dalam kitab Sullam At-Taufiq dengan pendidikan di Indonesia penulis kategorikan menjadi tiga yaitu: Pertama, Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir mengawali dengan menanamkan pendidikan tauhid yaitu mengenai sifat-sifat Allah. Sesuai dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertulis dalam UU no. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3. Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir mengajak pada jalan keselamatan yaitu Islam, untuk mendapatkan cinta Allah. Pendidik, peserta didik serta semua pihak yang berperan dalam dunia pendidikan di Indonesia khususnya harus memegang teguh keimanan dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, Syaikh Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir mengajarkan keteguhan dalam menjaga iman dan Islam. Sesuai dengan kewajiban peserta didik dalam menjaga norma-norma pendidikan sebagaimana tertulis dalam UU no. 20 tahun 2003 Bab V pasal 12. Ketiga, Syaikh Abdullah bin Husain

114

bin Thahir sebagai guru memberi perhatian kepada semua orang. Termasuk orang yang telah murtad bahwa masih ada kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. Melalui taubat yang sungguh-sungguh untuk dapat kembali kepada jalan yang diridhoi Allah, yaitu Islam. Sesuai dengan kewajiban sebagai guru yang bersikap objektif dan tidak diskriminatif kepada semua peserta didiknya serta memberi arahan dan bimbingan, sebagaimana tertulis dalam UU no. 14 tahun 2005 Bab IV pasal 20. Dengan demikian penggunaan nilai-nilai dalam kitab Sullam At-Taufiq dalam pendidikan Indonesia sangat relevan.

B. Saran

1. Kitab Sullam Taufiq sebaiknya selalu diajarkan kepada peserta didik karena kemanfaatannya yang besar. Kitab yang tidak terlalu tebal dan mudah untuk dipelajari, walaupun demikian kitab Sullam Taufiq memiliki pembahasan yang lengkap yakni ilmu tauhid, fiqh, dan akhlak-tasawuf. Dengan harapan setiap peserta didik akan tertanam akidah yang benar dari pembelajaran tauhid di kitab Sullam Taufiq.

2. Ilmu tauhid dalam kitab Sullam Taufiq masih sangat luas pembahasannya. Pembahasan tauhid sangatlah luas dan penuh dengan rahasia-rahasia yang tidak akan habis walaupun selalu dipelajari. Maka kitab Sullam Taufiq perlu dibahas lebih mendalam agar nilai-nilai tauhid bukan hanya menjadi ilmu pengetahuan, namun terpicu untuk mengamalkan nilai-nilai tauhid tersebut.

115

3. Pendidikan tauhid perlu diberikan kepada pendidik maupun peserta didik agar bukan hanya berkualitas dalam intelektualitas namun juga berkualitas ruhaniahnya. Menjadi pribadi yang selalu mendekat kepada Allah.

C. Kata Penutup

Syukur kepada Allah SWT. yang telah memberi kesempatan penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi. Syukur kepada Allah SWT. yang telah mengizinkan penulis untuk membahas sebuah kitab yang penuh dengan barokah, yaitu Sullam At-Taufiq. Syukur kepada Allah SWT. harus penulis panjatkan karena telah diberi kesempatan untuk membahas setetes hikmah dari ilmu tauhid. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat dan menjadi amal jariyah dari penulis. Karya sederhana ini pasti banyak kekurangan, sehingga dengan penuh hormat penulis meminta kritik dan saran agar karya ini semakin baik dan bernilai barokah.

116

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1979. Risalah Tauhid. Terjemah oleh A.N. Firdaus. Jakarta: Bulan Bintang.

Dokumen terkait