• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Nilai kerja Pertanian pada Mayarakat Batak Toba

Seorang anak yang berasal dari keluarga petani belum tentu kelak bekerja sebagai petani. Pada masyarakat Batak Toba, penanaman nilai-nilai telah diupayakan sejak kanak-kanak. Nilai-nilai ini disosialisasikan kepada anak untuk mempertahankan identitas diri dan adanya harapan kehidupan keturunannya akan

lebih baik darinya. Kemajuan teknologi dan modernisasi akan berlangsung secara terus menerus yang akan berimplikasi pada kebudayaan. Cita-cita masyarakat Batak Toba juga berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan lingkungan yang dihadapinya. Dengan adanya perubahan pada kebudayaan maka setiap individu harus berupaya beradaptasi terus menerus.

Cita-cita masyarakat Batak dikenal dengan konsep 3H yaitu hagabeon (keturunan) dan hamoraon (kekayaan) serta hasangapon (kehormatan). Dulu untuk mencapai ketiga cita-cita ini diperoleh melalui garis keturunan, namun dengan masuknya agama Kristen terhadap kebudayaan Batak maka cita-cita tersebut dicapai dengan pendidikan. Biasanya cita-cita seorang anak etnis Batak Toba akan dipengaruhi oleh cita-cita keluarga, hal ini dipandang sebagai kewajiban sebagai seorang anak.

Bagi masyarakat Batak Toba, seseorang dianggap telah berhasil sebagai seorang Batak apabila telah berhasil meraih ketiga cita-cita tersebut. Pendidikan telah menjadi titik tolak ukur untuk memperoleh hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Dengan pendidikan tinggi diharapkan akan menciptakan pekerjaan

yang tinggi pula. Apapun jenis pekerjaan yang ditekuni oleh setiap masyarakat Batak akan dianggap baik atau berhasil apabila pekerjaan tersebut mampu memberikan status sosial bagi dirinya terutama pada orangtuanya. Bagi orang Batak, status sosial merupakan sesuatu yang didambakan sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Masyarakat Batak Toba akan berusaha mewujudkan hagabeon, hamoraon, dan hasangapon yang dipandang jalan menuju untuk memperoleh status sosial yang tinggi.

Cita-cita hidup Batak Toba ditanamkan dari generasi ke generasi. Nilai dari cita-cita Batak Toba, yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon atau 3H mengalami perubahan yang selalu mengikuti arus pekembangan zaman yang telah menempatkan pendidikan sebagai kunci dalam meraih cita-cita tersebut. Hal inilah yang mempengaruhi orangtua dalam mensosialisasi nilai kerja. Pencapaian status sosial sebagai puncak dalam keberhasilan mewujudkan ketiga cita-cita ini juga mempengaruhi orangtua dalam menanamkan nilai-nilai. Sejak masa Si Raja Batak, sistem pertanian telah dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Namun, keadaan ini mengalami perubahan karena adanya ketimpangan luas lahan dengan jumlah penduduk, serta kondisi topografi yang kurang mendukung. Hal ini mengakibatkan masyarakat Batak cenderung meninggalkan pertanian. Mereka cenderung melakukan migrasi atau merantau ke daerah lain yang mendukung kegiatan pertanian yang dapat memberikan taraf hidup yang lebih baik dan tidak jarang mereka meninggalkan pertanian dan mencari pekerjaan di luar pertanian. Selain itu, adanya faktor pendidikan yang semakin tinggi mendorong orang Batak untuk keluar dari pertanian.

Bagi masyarakat Batak, merantau telah menjadi suatu budaya yang merupakan jalan mewujudkan cita-cita 3Hnya. Bagi mereka yang telah merantau, tidak dipesankan lagi untuk kembali ke bonapasogit untuk bekerja bahkan untuk mengolah pertanian justru mereka berpesan agar mencari penghidupan yang baik dari orangtua dimanapun. Orangtua tidak memaksakan anaknya untuk menekuni suatu pekerjaan tertentu. Keadaan ini digambarkan melalui ungkapan timbo tiang ni ruma, timboan tiang ni sopo, sai timboma pangkat nang ilmu alai tiboan pangkat na umposo. Hal ini berarti bahwa generasi harus lebih baik. Dari kondisi

yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa nilai kerja pertanian bernilai baik apabila memberikan status sosial yang baik pula. Dari pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sosialisasi nilai kerja pada masyarakat Batak terjadi secara demokrasi dan permisif karena orangtua berupaya menanamkan cita-cita hidup Batak Toba yang telah dijalankan dari dulu dan dibebaskan memilih jenis pekerjaan, jika pekerjaan tersebut mampu memberikan status sosial yang baik bagi dirinya dan keluarga pada umumnya.

a. Hagabeon

Hagabeon terkait dengan keturunan. Bagi orang Batak, hagabeon sangat

penting sebagai penerus keturunan. Kebahagiaan orang Batak belum lengkap jika belum mempunyai anak laki-laki karena anak laki-lakilah yang berfungsi sebagai pembawa marga sekaligus penerus keturuan. Pada zaman dahulu, sebuah keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki, maka sang suami boleh menikah lagi untuk mendapatkan anak laki-laki.

b. Hamoraon

Hamoraon atau kekayaan merupakan sesuatu yang sudah pasti dicari

setiap orang tak terkecuali orang Batak. Hamoraon tidak hanya diukur dari materi saja, tetapi anak pun merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai seperti lagu “anakkonkhi hamoraon di au”. Dalam lagu tersebut tersirat makna bahwa orangtua akan rela melakukan apa saja demi kebagiaan dan keberhasilan anak-anaknya.

c. Hasangapon

Hasangapon terkait dengan kehormatan dan kedudukan atau status sosial.

tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh hasangapon meskipun dirinya belum memperoleh hasangapon. Tapi lewat keturunannya hasangapon akan bisa dicapai. Hasangapon tidak selamanya dilihat dari pangkat atau posisi seseorang dalam masyarakat, namun dapat dilihat dari interaksi dengan lingkungan masyarakatnya. Meskipun seseorang tidak memiliki posisi yang tinggi, bisa saja orang tersebut mendapat hasangapon atau dihormati di lingkungannya dan sebaliknya orang-orang yang memiliki posisi atau jabatan yang tinggi dalam pekerjaan tetapi tidak dihormati di lingkungan.

Ditinjau dari sejarah, orang Batak sangat tergantung pada mata pencaharian dari bertani. Mengutip Situmorang dalam Sitorus (1998), mengemukakan bahwa komunitas Batak Toba merupakan komunitas lembah, yaitu komunitas dengan usahatani sawah beririgasi yang dinyakini telah diterapkan sejak masa “si Raja Batak”. Namun dengan masuknya ajaran agama Kristen membawa perubahan pola pikir masyarakat Batak yang salah satunya pada orientasi pencapaian cita-cita hidup.

Dari hasil studi yang dilakukan oleh Sitompul (1991) bahwa dalam interaksi kehidupan Batak selalu terdengar pasu-pasu/berkat yang sampai saat ini telah tertanam dalam masyarakat Batak, walaupun pekerjaan seseorang tidak lagi bertani yaitu “anduhur martutu di atas purbatua, sai sinur ma pinahan gabe na niula” yang artinya burung tekukur bernyanyi di atas purbatua,

berkembangbiaklah ternak, berbuahlah tanam-tanaman. Berkat ini bertujuan agar apa pun yang mereka kerjakan disawah dan di ladang menghasilkan buah sedangkan ternak berkembangbiak.

Harahap (1987) mengemukakan bahwa merantau telah menjadi suatu budaya bagi orang Batak, karena masyarakat Batak merasa bahwa kampung halaman tidak cukup memberi kemungkinan untuk meningkatkan kesejahteraan termasuk pendidikan maka mereka pun akan mencari tempat-tempat untuk dapat mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan keinginan merantau dan meninggalkan tanah Batak atau keinginan untuk meninggalkan pertanian adalah faktor fisik geografis, iklim/musim dan kesuburan tanah.

1. Topografi

Dataran tinggi Danau Toba menyebabkan pengembangan usaha pertanian sulit dilakukan. Musim kering yang panjang terancam gagal panen dan petani kehilangan pendapatan. Kondisi di atas mengakibatkan masyarakat Toba yang berada disekitar daerah dataran tinggi Danau Toba untuk berpindah tempat. Keadaan inilah yang mengakibatkan pertanian di dataran tinggi Danau Toba semakin lama semakin redup.

2. Faktor Sosial dan Demografi

Tanah bagi orang Batak memiliki peranan baik dalam hal ekonomi maupun sosial/budaya. Pemikiran orang batak yang agraris tradisional, yaitu “sihol di anak, sihol di tano” yang artinya suka akan anak, suka akan tanah. Hal ini

menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dengan luas lahan. Berkurangnya lahan pertanian tentunya mengakibatkan pendapatan berkurang yang tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan.

3. Faktor Pendidikan

Orang Batak Toba cenderung meninggalkan kegiatan tradisional, seperti bertani meraih pendidikan formal yang memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan bertani dan meraih status yang lebih tinggi. Jenis-jenis pendidikan keterampilan yang berkembang akan mempengaruhi orang Batak dalam mengikuti nilai-nilai profesional pekerjaan sesuai dengan pendidikannya.

4. Faktor Ekonomi

Keterbatasan lahan pertanian menyebabkan orang Batak merantau ke daerah lain yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Mengacu dari hasil studi yang dilakukan Tjakrawati (1988) tujuh dimensi untuk melihat nilai kerja pertanian maka nilai pertanian yang terdapat pada masyarakat Batak antara lain:

1. Dimensi lahan

Tanah bagi orang Batak memiliki peranan dalam hal ekonomi maupun sosial/budaya. Dalam hal budaya, terdapat istilah yang berkenaan dengan sistem pertanahan, seperti adat pemargaan, dalihanna tolu dan harajoan. Pada masa agraris tradisional, masyarakat Batak mengenal istilah “sihol di anak, sihol di tano” yang artinya suka akan anak, suka akan tanah yang memiliki makna yaitu

mengejar kemakmuran berupa panen yang baik, ternak berkembangbiak dan juga keturunan yang banyak. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan berkurangnya lahan pertanian. Berkurangnya lahan pertanian tentunya mengakibatkan pendapatan yang berkurang tidak mencukupi pemenuhan

kebutuhan. Hal ini mendorong masyarakat Batak untuk mencari pekerjaan tambahan di luar pertanian bahkan meninggalkan pertanian.

2. Dimensi tenaga kerja

Masyarakat Batak, cita-cita untuk mencapai kemajuan (hamajuon) dalam diri Batak dicapai melalui pendidikan dan merantau. Orang Batak yang telah mampu mengakses pendidikan cenderung meninggalkan kegiatan tradisional seperti bertani menjadi pekerja halus yang memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan bertani dan meraih status yang lebih tinggi. Perkembangan pendidikan menumbuhkan suatu prinsip bagi orang Batak untuk menyekolahkan anak-anak mereka bahkan sampai keluar Tapanuli. Jenis-jenis pendidikan keterampilan yang berkembang mempengaruhi kecenderungan orang Batak Toba dalam mengikuti nilai-nilai professional pekerjaan sesuai dengan pendidikannya.

3. Dimensi modal

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Purba dan Purba (1997) bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orang Batak meninggalkan pertanian dan berpindah tempat mencari areal yang cocok. Faktor tersebut antara lain, faktor fisik geografis, iklim/musim dan kesuburan tanah dimana asal mula orang Batak yang berada di dataran tinggi yang memiliki tipe topografi bergelombang dan curam, keadaan tanah bergunung-gunung dan berlembah-lembah, kemiringan tanah yang curam tidak cocok untuk digunakan sebagai areal pertanian dan memiliki musim kering yang panjang. Berkurangnya lahan pertanian tentunya mengakibatkan pendapatan berkurang yang tidak mencukupi pemenuhan

kebutuhan. Hal ini mendorong masyarakat Batak untuk mencari pekerjaan tambahan di luar pertanian, bahkan meninggalkan pertanian.

4. Dimensi pasar, komoditi dan transportasi

Pada masyarakat Batak, terdapat istilah onan, yaitu pasar yang merupakan suatu institusi ekonomis juga institusi sosial yang menghubungkan antar huta (kampung) yang mana orang-orang yang berasal dari berbeda huta menjajakan barang ataupun jasa. Selain itu, onan ini juga erat kaitannya dengan lingkungan pertaniannya. Tipe pasar yang dimaksud adalah parengge-rengge yaitu pedagang kecil yang berada di emperan toko atau pasar yang menggelarkan barang dagangannya berupa bahan makanan pokok, hasil-hasil pertaniannya dan barang-barang kecil yang mudah diangkut dan disimpan.

5. Dimensi pola pekerjaan dan pandangan terhadap kerja

Orang Batak yang berpegang teguh untuk mencapai status sosial memandang bahwa apapun pekerjaan akan dipandang bernilai apabila mampu memberikan status sosial yang diwujudkan melalui konsep 3H, yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

6. Dimensi hubungan dengan teman dan kerabat

Masyarakat Batak memandang bahwa pendidikan yang tinggi akan menciptakan status sosial sehingga mereka akan cenderung menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Oleh karena itu, para masyarakat Batak akan berlomba dan berusaha memberikan pendidikan yang tinggi kepada keturunannya. 7. Dimensi harapan-harapan

Dalam keluarga Batak, apabila anaknya telah meraih pendidikan yang tinggi maka para orangtua tidak akan memaksakan anaknya untuk kembali ke

kampung halaman untuk bekerja atau melanjutkan pekerjaan orangtuanya. Besar harapan orangtua agar anaknya dapat meraih kesuksesan dimanapun mereka berada.